PENGARUH EFISIENSI, EFEKTIVITAS, KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS PELAYANAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
(Studi pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008 – 2011)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat Sarjana S-1
Oleh:
MAYA DIAN INDAH SARI 1002030136
PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
HALAMAN PERSETUJUAN
PENGARUH EFISIENSI, EFEKTIVITAS, KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS PELAYANAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
(Studi pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode 2008 – 2011)
Oleh:
MAYA DIAN INDAH SARI 1002030136
Diperiksa dan disetujui Oleh :
Pembimbing I
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH EFISIENSI, EFEKTIVITAS, KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS PELAYANAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
(Studi pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008-2011)
Oleh :
MAYA DIAN INDAH SARI 1002030136
Telah dipertahankan didepan panitia ujian skripsi Pada Hari Rabu, Tanggal 24 Februari 2016
SUSUNAN PANITIA Ketua,
Dekan,
Akhmad Darmawan, SE, M.Si NIK. 2160148
Sekretaris Kaprodi Akuntansi S1,
Hadi Pramono, SE.,M.Si.,AK..,CA NIP. 197511232005011001 Penguji I
Hadi Pramono, SE.,M.Si., AK., CA NIP. 197511232005011001
Penguji II
Iwan Fakhruddin, SE, M.Si NIK. 2160186 Penguji III
Edi Joko Setyadi, SE., M.Si., AK., CA NIP. 197405052005011002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Purwokerto
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : MAYA DIAN INDAH SARI
NIM : 1002030136
Program Studi : Akuntansi S1
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Universitas : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya
dan bukan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain.
Demikian Pernyataan ini saya nyatakan secara jujur, dan apabila kelak di
kemudian hari terbukti ada unsur penjiplakan, maka saya bersedia
mempertanggungjawabkan sesai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 24 Februari 2016
Yang Menyatakan
MOTTO
Barang siapa memberi kemudahan kepada orang lain yang sedang kesulitan,
maka Allah SWT akan memudahkan kepadanya di dunia dan di akherat.
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Ayah dan ibu kandungku tercinta yang telah merawatku, membesarkanku dengan
cinta dan kasih sayang, pengorbanan, dukungan, motifasi dan do’anya untuk
keberhasilanku.
2. Bapak dan ibu mertua yang memberikan semangat dan do’anya.
3. Suamiku yang telah menjadi imam yang baik, setia, memberikan kebersamaan, do’a dan kasih sayangnya untuk keluarga kecil kami.
4. Anak-anakku tersayang yang menjadi semangatku, penerangku, penyejuk jiwaku,
harapanku serta kebahagiaanku. Karena kau selalu ada disetiap do’a dan langkah
kakiku.
5. Adik kandungku atas kebersamaannya. Karena kau, aku bisa menjadi seorang kakak yang lebih dewasa dan tahu bagaimana rasana mengalah.
6. Adik Iparku yang selalu kompak.
7. Keponakanku semoga kelak menjadi anak Soleh.
8. Teman-teman seperjuangan Akuntansi S-1 Paralel 2010 yang selalu kompak. 9. Almamaterku.
Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak mungkin penulis sebutkan seluruhnya.
Purwokerto, 24 Februari 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH EFISIENSI, EFEKTIVITAS, KEMANDIRIAN
KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS PELAYANAN PEMERINTAH
DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH (Studi pada
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008-2011)”.
Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan studi pada program Studi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dalam menyusun skripsi ini penulis tidak terlepas dari bantuan kerja sama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, S.H., M.H selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
2. Bapak Akhmad Darmawan, SE, M.Si ; selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. 3. Bapak Hadi Pramono, SE.,M.Si.,AK..,CA ; selaku Ketua Program Studi Akuntansi
S1 dan selaku Dosen Pembimbing skipsi yang telah memberikan bimbingan dan arahannya.
4. Bapak Iwan Fakhruddin, SE, M.Si ; selaku Dosen Penguji ujian skripsi.
5. Bapak Edi Joko Setyadi, SE., M.Si.,AK.,CA ; selaku Dosen Penguji ujian skripsi. 6. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang
7. Segenap Staf dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah banyak membantu selama studi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
8. Ayah, Ibu, Mertua, Suami, Anaku, Adik, Keponakan dan beserta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, dorongan dan motivasi.
9. Teman-teman seperjuangan Akuntansi S-1 Paralel 2010 yang selalu kompak. 10. Almamaterku
11. Semua pihak yang telah mendukung, membantu dan memberikan ilmu pengetahuan yang berguna dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimililki , maka apa yang disampaikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis dan berarti untuk kesempurnaan di masa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini akan bermanfaat bagi semua pihak.
Purwokerto, 24 Februari 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
RINGKASAN ... xv
SUMMARY ... xvi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Pembatasan Masalah ... 11
D. Tujuan Penelitian ... 11
E. Manfaat Penelitian ... 11
II. TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN A. Telaah Pustaka ... 13
1. Otonomi Daerah ... 13
2. Keuangan Daerah ... 16
3. Efisiensi Keuangan Daerah ... 24
4. Efektivitas Keuangan Daerah ... 24
5. Kemandirian Keuangan Daerah ... 25
6. Kapasitas Pelayanan Pemerintah Daerah ... 28
B. Kerangka Pemikiran ... 32
1. Perumusan Model Penelitian ... 32
III. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK ANALISIS DATA A. Metode Penelitian ... 38
1. Jenis Penelitian ... 38
2. Objek Penelitian ... 38
3. Populasi dan Sampel ... 38
4. Jenis dan Sumber Data ... 38
5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 39
B. Teknis Analisis Data ... 42
1. Metode Analisis Deskriptif ... 42
2. Uji Asumsi Klasik ... 42
3. Analisis Regresi Linier Berganda ... 45
4. Pengujian Hipotesis ... 45
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 51
1. Populasi dan Sample ... 51
2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 52
B. Analisis Data ... 56
1. Uji Asumsi Klasik ... 56
2. Uji Kelayakan Model Regresi ... 58
C. Pembahasan... 62
1. Efisiensi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 62
2. Efektivitas Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 64
3. Kemandirian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 66
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
C. Keterbatasan Penelitian ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sensus Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah ... 52
Tabel 2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 53
Tabel 3. Uji normalitas data. ... 56
Tabel 4. Nilai kolom VIF untuk pengujian multikolinearitas ... 57
Tabel 5. Uji heteroskedastisitas ... 57
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah Tahun
2008-2011 ... 77
2. Efisiensi Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2011 ... 80
3. Efektifitas Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2011 ... 83
4. Kemandirian Keuangan Daerah Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2011 ... 86
5. Kapasitas Pelayanan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2011 ... 89
6. Input Data Analisis ... 92
7. Uji Normalitas Data ... 94
8. Uji Multikolinearitas ... 95
9. Uji Heteroskedastisitas ... 96
10. Analisis Regresi Pengaruh Efisiensi, Efektifitas, Kemandirian dan Kapasitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 97
11. Nilai F tabel ... 98
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan daerah dan kapasitas pelayanan pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008-2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah se-propinsi Jawa Tengah yang berjumlah 35 kabupaten dan kota. Metode pengambilan sampel menggunakan metode sensus dimana keseluruhan jumlah populasi diambil sebagai data penelitian yaitu laporan realisasi APBD pemerintah daerah se-Provinsi Jawa Tengah selama 4 tahun berturut-turut yaitu tahun 2008-2011. Analisis menggunakan regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan daerah dan kapasitas pelayanan pemerintah daerah berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini ditunjukkan dengan F hitung sebesar 11,4346 dan F tabel sebesar 2,4387. Sehingga F hitung > F tabel. Secara parsial, diketahui bahwa variabel efisiensi tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan nilai t hitung < t tabel atau 0,3352 < 1,9777, untuk variabel efektivitas berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dengan t hitung > t tabel atau 2,4884 > 1,9777, untuk variabel kemandirian keuangan daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan t hitung > t tabel atau 4,5884 > 1,9777, dan kapasitas pelayanan pemerintah daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan t hitung > t tabel atau 2,0683 > 1,9777.
ABSTRACT
This research was aimed at knowing the effect of efficiency, effectiveness, local financial independence and service capacity of local government towards local economic development at Regencies and Cities in Central Java province in 2008-2011.
The population of this research was local government in central java consisting of 35 regencies and cities. The sampling technique used was survey in which all the samples were taken as the research data that was in a form of APBD realization report (local fund of income and expense) of local government in Central Java in the consecutive 4 years from 2008-2011. The technique of data analysis was multiple linier regression.
The result of the research showed that efficiency, effectiveness, local financial independence and service capacity of local government simultaneously affected local economic development. It was known by Fobtained 11.4346 and Ftable
2.4387. Therefore F obtained > F table. Partially, it was known that efficiency did not have effect towards local financial development by t obtained < t table or 0.3352 < 1.9777, the effectiveness affected the local financial government by t obtained > t table or 2.4884 > 1.9777, the local finance independence had effect towards local financial development by t obtained > t table or 4.5884 > 1.9777, and service capacity of local government affected the local financial development by t obtained > t table or 2.0683 > 1.9777.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk
mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu
daerah pada periode tertentu (Nuni Wulandari, 2009). Era otonomi daerah
yang dimulai pada tahun 2001 memberikan wewenang pemerintah daerah
yang semakin luas dalam mengatur pemerintahannya termasuk dalam hal
keuangan daerah. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbarui
dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dan UU No. 25
tahun 1999 yang diperbarui UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, memberikan
kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan kemampuan
daerah untuk membiayai pembangunan pembangunan yang ada di daerah.
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan dalam
bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam
menghadapi otonomi daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah dituntut untuk
menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien untuk mendorong
peran serta masyarakat dalam pembangunan, serta meningkatkan
kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan
diberlakukaanya UU No.22 tahun 1999 yang diperbarui UU No 32 tahun
2
meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD), sehingga secara otomatis
akan meningkatkan kemandirian daerah tersebut dari bantuan atau
sumbangan dari pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dapat
mengoptimalkan pendapatan dan potensi yang ada untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dengan di berlakunya UU No.
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (otonomi daerah), maka daerah di
tuntut untuk mampu mengembangkan perekonomian daerahnya
masing-masing dimana hal tersebut sesuai dengan tujuan utama penyelenggaraan
ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan
memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002).
Saat ini kemampuan beberapa pemerintah daerah masih sangat
tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Oleh karena
itu, bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan
otonomi daerah itu sendiri, maka setiap daerah dituntut harus dapat
membiayai sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya.
Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai
potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat di daerah.
Untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah, pemerintah
daerah harus berupaya terus menerus menggali dan meningkatkan sumber
sumber keuangan sendiri. Untuk mendukung upaya peningkatan PAD perlu
3
dipungut secara berkesinambungan tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor
produksi. Meningkatnya PAD memberi indikasi yang baik bagi kemampuan
keuangan daerah dalam mengatur rumah tangganya terutama dalam
pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, serta peningkatan
pembangunan. Peningkatan cakupan PAD dapat pula dilakukan dengan
meningkatkan jumlah obyek dan subyek pajak dan atau retribusi daerah.
Menurut Halim (2004) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah
otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya.
Artinya daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada
bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus
menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan
pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar sistem
pemerintahan negara.
Keuangan daerah berperan penting dalam otonomi daerah karena
keuangan daerah menggambarkan cerminan kemampuan daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam bidang keuangan daerah,
pemerintah daerah memiliki kebijakan sendiri dalam mengelola keuangannya
dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada
publik.
Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
4
Anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas, efisiensi dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran sebagai
instrumen kebijakan dan menduduki posisi sentral harus memuat kinerja, baik
untuk penilaian secara internal maupun keterkaitan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Menurut Halim (2007) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan
daerah diawali dengan menyusun Rencana Angaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD). Perencanaan anggaran daerah tersebut merupakan salah
satu instrumen kebijakan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum
dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Realisasi pendapatan pemerintah provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 tercatat sejumlah Rp 5.700.000.000.000 atau sebesar 106,74% dari
anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Realisasi tersebut telah
melampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp
5.200.000.000.000. Berdasarkan komponennya, realisasi PAD tercatat
sebesar Rp 4.000.000.000.000 atau 109,48% dari target yang terdiri dari
penerimaan pajak daerah sebesar Rp 3.230.000.000.000 (Realisasi 110,10%),
retribusi daerah Rp 130.000.000.000 (101,32%). Realisasi dana perimbangan
tahun 2009 sebesar Rp 1.690.000.000.000 atau 100,58%.
Realisasi pendapatan tahun 2009 jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan realisasi pada tahun sebelumnya baik dari segi jumlah maupun
persentasenya. Realisasi pendapatan tahun 2008 tercatat sebesar Rp
5
angka realisasi pendapatan terbesar pada komponen pajak daerah yang
meningkat sebesar Rp 200.000.000.000 dibandingkan tahun 2008. Hal ini
menyiratkan bahwa usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak
relatif baik, karena sampai saat ini pajak daerah masih menjadi faktor
dominan dalam menunjang penerimaan daerah. Pangsa penerimaan
pendapatan dari pajak daerah mencapai 56% dari keseluruhan total
pendapatan.
Sementara itu, retribusi tahun 2009 jumlahnya tercatat lebih kecil
dibanding tahun 2008. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal
seperti persiapan penerapan kebijakan kelebihan muatan nol persen bagi
kendaraan angkutan barang serta penyerahan pengelolaan Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) kepada pemerintah Kabupaten dan Kota yang sangat
mempengaruhi penerimaan retribusi daerah. Komponen pendapatan daerah
lainnya seperti hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan PAD
lain-lain sampai saat ini masih tergolong relatif kecil kontribusinya. Sumber
pendapatan lain yang signifikan nilainya adalah dana perimbangan. Realisasi
penyaluran dana bagi hasil pajak, DAU dan DAK dari pemerintah pusat pada
tahun 2009 sebesar 100%.
Belanja daerah merupakan salah satu instrumen fiskal daerah yang
paling signifikan di samping pajak dan retribusi daerah. Besarnya belanja
daerah ini mencerminkan peranan pemerintah daerah terhadap perekonomian
daerah. Sebagai instrumen fiskal, besarnya belanja daerah ini juga dapat
6
besar merupakan indikasi peran fiskal daerah yang ekspansif, yang
diharapkan dapat berpengaruh positif dalam peningkatan output daerah, selain
investasi daerah dan ekspor daerah.
Realisasi total belanja daerah pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 tercatat sebesar 91,37% atau Rp 5.200.000.000.000. Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya, realisasi penyerapan belanja pemerintah provinsi
kali ini juga belum dapat maksimal hingga mendekati 100%. Tingkat
persentase realisasi belanja tahun 2009 relatif hampir sama dengan tahun
2008 yaitu sebesar 91%. Bila dibandingkan dengan realisasi belanja pada
triwulan-triwulan sebelumnya, maka realisasi pada triwulan IV ini merupakan
realisasi yang terbesar selama tahun 2009. Besarnya realisasi belanja khusus
pada triwulan ini sebesar 41,9%. Fenomena penumpukan realisasi belanja
anggaran pemerintah pada triwulan terakhir telah menjadi fenomena yang
selalu berulang tiap tahunnya dan terjadi pada hampir seluruh pemerintah
daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu komitmen dari pemerintah untuk
senantiasa membuat perencanaan kegiatan yang matang serta terjadwal
dengan baik sehingga tidak terjadi keterlambatan realisasi anggaran.
Efisiensi dalam pengelolaan keuangan daerah pada APBD merupakan
salah satu indikator yang menunjukan keberhasilan otonomi daerah. Rasio
efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan
input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Selain
itu, otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan
7
Efektifitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi
pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan
tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan
pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan
sebelumnya. Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin besar
realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan PAD, maka dapat
dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya.
Salah satu indikator kualitas pelayanan publik adalah dengan
menggunakan tingkat kapasitas pelayanan pemerintah daerah yang dipro
aksikan oleh total belanja daerah (Nur Indah Susanti, 2010). Semakin tinggi
belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang digunakan dalam
memberikan pelayanan kepada publik diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Dengan adanya kapasitas pelayanan pemerintah
daerah yang baik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Pengembangan kapasitas pemerintah daerah mengisyaratkan suatu
prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada. Selain itu dapat
diartikan sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak.
Pengembangan kapasitas merupakan upaya yang dimaksudkan untuk
mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efisiensi (dalam hal
waktu dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu outcome),
8
dan responsivitas kinerja pemerintah (bagaimana mensinkronkan antara
kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut). Menurut Morrison
(2001:42) dalam Soeprapto (2003) melihat capacity building sebagai suatu
proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan, perubahan multi
level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan
sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian
individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan
lingkungan yang ada.
Dengan adanya pengelolaan daerah yang dilakukan secara ekonomis,
efisien dan efektif atau memenuhi value for money serta partisipasi,
transparasi, akuntabilitas dan keadilan akan mendorong pertumbuhan
ekonomi (Hamzah, 2007). Untuk pengelolaan daerah tidak hanya dibutuhkan
sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya ekonomi berupa keuangan
yang dituangkan dalam suatu anggaran pemerintah daerah. Selain itu,
kapasitas pelayanan pemerintah daerah yang dipro aksikan oleh total belanja
daerah di provinsi Jawa Tengah diharapkan mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun.
Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka
masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari–harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin
meningkat, dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik
9
belanja modal maka akan berdampak pada periode yang akan datang yaitu
produktivitas masyarakat meningkat dan bertambahnya investor akan
meningkatkan pendapatan asli daerah (Abimanyu, 2005).
Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Analisis elastisitas PAD terhadap PDRB
yang dilakukan oleh Bappenas (2003) pada pemerintah Provinsi
menunjukkan ada 12 provinsi (41,37 %) yang mempunyai nilai elastisitas > 1,
yang berarti bahwa setiap terjadi perubahan PAD akan memberikan dampak
yang positif dan signifikan terhadap perubahan PDRB (Hasnaria, 2008 : 2).
Semakin tinggi PAD, maka semakin mandiri suatu daerah dalam mengelola
keuangannya.
Pertumbuhan ekonomi penting dalam mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data dari BPS (2012), rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2006-2010 adalah 5,80%, Jawa
Tengah 5,50%, Jawa Timur 5,95%, Banten 8,95%. Dalam kurun waktu tahun
2006 sampai 2010, pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Tengah meningkat,
tetapi dibandingkan dengan provinsi-provinsi di pulau Jawa lainnya,
pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah tergolong rendah. Kondisi
laju pertumbuhan ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji
mengingat sumber daya alam, prasarana penunjang relatif sama dibanding
provinsi lain, bahkan letak provinsi Jawa Tengah yang berada di tengah Pulau
10
Efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan daerah dan kapasitas
pelayanan pemerintah daerah di provinsi Jawa tengah sebagai indikator
keberhasilan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah. Selain efisiensi, efektivitas dan kemandirian keuangan
daerah, dengan adanya peningkatan kapasitas pelayanan pemerintah daerah
juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dilakukan penelitian
dengan judul : “Pengaruh Efisiensi, Efektivitas, Kemandirian Keuangan Daerah, Dan Kapasitas Pelayanan Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi pada Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa tengah periode 2008 – 2011)”.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah efisiensi keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah ?
2. Apakah efektivitas keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah ?
3. Apakah kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah ?
4. Apakah kapasitas pelayanan pemerintah daerah berpengaruh signifikan
11
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang dipaparkan di atas diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan terfokus. Selanjutnya masalah
yang menjadi obyek penelitian dibatasi pada Laporan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Tahun 2008-2011 pada Kota dan Kabupaten di Jawa Tengah.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh efisiensi keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
3. Untuk mengetahui pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
4. Untuk mengetahui pengaruh kapasitas pelayanan pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
12
pengetahuan tentang pertumbuhan ekonomi daerah khususnya di provinsi Jawa Tengah.
2. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rekomendasi tentang
pembuatan kebijakan keuangan daerah bagi pemerintah daerah. Bagi
pemerintah daerah provinsi Jawa tengah khususnya sebagai kontribusi
terhadap pembuatan kebijakan dan strategi dalam meningkatkan PAD
dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan
daerah dan peningkatan kapasitas pelayanan pemerintah daerah agar
terwujud pertumbuhan ekonomi daerah yang baik.
3. Bagi Kalangan Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan literatur akuntansi sektor publik (ASP). Dapat juga
digunakan sebagai referensi dan acuan yang dipakai untuk penelitian
BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN
A. Telaah Pustaka 1. Otonomi Daerah
Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Daerah otonom yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desetralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan megurus urusan pemerintah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian otonomi secara riil dan seluas-luasnya adalah
swasembada yang sebesar-besarnya dan keuangan daerah yang
sebanyak-banyaknya. Dalam otonomi daerah perimbangan keuangan pusat dan
daerah merupakan persoalan yang perlu diperhatikan (Aida, 2005).
Otonomi atau desetralisasi dilakukan karena tidak adanya suatu
14
kebijakan publik di segala bidang ataupun mampu melaksanakan
kebijakan tersebut secara efisien di seluruh wilayah tersebut.
Penyelenggaraan otonomi daerah memiliki suatu tujuan yaitu
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah
(Mardiasmo, 2002). Dan dengan adanya desetraliasi diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kemakmuran
seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang.
Ciri utama suatu daerah dapat melaksanakan otonomi (Abdul
Halim, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Kemampuan keuangan daerah, berarti daerah harus memliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang
cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.
b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin
agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber
keuangan daerah terbesar. Dengan demikian, peranan pemerintah
daerah menjadi lebih besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan
otonomi daerah dituntun untuk mencari alternatif sumber pembiayaan
15
(sharing) dan bagian dari Pemerintah Pusat dengan menggunakan dan
publik sesuai prioritas dan aspirasi masyarakat.
Peningkatan penerimaan daerah akan memberikan keleluasaan
untuk mendesain kebijakan yang dapat memberikan stimulus pada
pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggaran daerah untuk investasi akan
meningkatkan kapital stok daerah dan memperluas kesempatan kerja,
sehingga akan meningkatkan kapasitas ekonomi daerah yang pada
akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap konsumsi dan tabungan
(investasi) masyarakat sehingga akan memperbesar basis pajak daerah.
Dampak selanjutnya yaitu terjadi peningkatan penerimaan pajak dan
retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah akan meningkat
Dengan kondisi seperti itu, peranan investasi swasta dan
perusahaan milik daerah sangan diharapkan sebagai pemacu utama
pertumbuhan ekonomi daerah (enginee if growth). Dengan juga
diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar
(Mardiasmo, 2002).
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan
keleluasan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui
usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif
masyarakat. Sidik (2002) mengemukakan desentralisasi fiskal merupakan
16
melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam
pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka
daerah harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik
yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk sucharge of
taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun
subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.
2. Keuangan Daerah
a. Pengertian Keuangan Daerah
Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara/daerah, Pemerintah telah melakukan
reformasi manajemen keuangan negara/daerah. Salah satu bentuk
reformasi tersebut adalah diterbikannya dua UU yang mengatur
tentang keuangan daerah yakni UU No. 317 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Selain itu diterbitkan pula PP No. 58 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah yang mencoba lebih jauh mendahului
proses penganggaran dengan proses perencanaan, mulai dari
penyusunan RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, dan Renja SKPD.
Yang terpenting dalam PP ini adalah adanya prinsip pengelolaan
keuangan daerah yang meliputi prinsip: tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, ekonomis efektif,
17
kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Sebagai turunan dari PP
No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah
diterbitkan pula Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur mulai dari penjelasan
prinsip, fungsi keuangan daerah, kekuasaan keuangan daerah,
penyusunan anggaran, perubahan anggaran, penatausahaan keuangan
daerah, dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Belum genap
satu tahun berlakunya Permendagri No. 13 Tahun 2006, Depdagri
kembali mengeluarkan revisinya menjadi Permendagri No. 59 Tahun
2007. Tidak heran revisi ini diberlakukan karena sejak Permendagri
No. 13 Tahun 2006 diimplementasikan, ia mendapat kritik dari
berbagai daerah, meskipun Permendagri revisi ini juga tidak bebas
dari kritikan
Keuangan daerah penting dalam otonomi daerah karena dari
keuangan daerah mencerminkan kemampuan daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas
otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan penjelasan UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, bahwa keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan
uang dan segala sesuatu baik berupa uang dan barang yang dapat
dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
18
Menurut Mamesah (Halim, 2007), keuangan daerah dapat
diartikan sebagai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,
demikian pula dengan segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta
pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku. Keuangan Daerah memiliki ruang lingkup yang terdiri
dari keuangan yang dikelola langsung kekayaan daerah yang
dipisahkan. Yang termasuk keuangan daerah yang dikelola langsung
adalah Anggaran dan Pendapatan Daerah (APBD) dan
barang-barang inventaris milik daerah. Di lain pihak, keuangan daerah yang
dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Salah satu konsekuensi pelaksana otonomi daerah adalah
adanya sumber-sumber keuangan daerah yang memadai untuk
membiayai penyelenggaraan otonomi. Kapasitas keuangan
Pemerintah Daerah (Pemda) menentukan kemampuan Pemda dalam
menjalankan fungsi-fungsi seperti fungsi pelayanan masyarakat
(public service funcion), melaksanakan fungsi pembangunan
(development funcion) dan melaksanakan fungsi perlindungan
masyarakat (protective fungcion). Rendahnya kemampuan keuangan
daerah menimbulkan siklus efek negatif yaitu rendahnya tingkat
pelayanan masyarakat yang selanjutnya mengundang campur tangan
19
tingkat pemerintah yang lebih atas ataupun kepada instansi-instansi
vertikal.
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Menurut UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, APBD adalah
rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
rakyat daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
APBD memuat rincian semua penerimaan daerah di satu sisi dan
semua pengeluaran daerah disisi yang lain. Selain itu APBD
merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disusun berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku, serta
berbagai pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan,
pemantauan, pengendalian dan evaluasi APBD mudah dilakukan.
Pada sisi yang lain APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak
tertentu untuk melihat atau mengetahui kemampuan daerah baik dari
sisi pendapatan maupun sis belanja.
APBD sebagai rencana kerja keuangan daerah adalah sangat
penting dalam rangka penyenggaraan fungsi daerah otonom. Boleh
dikatakan bahwa APBD sebagai alat/wadah untuk menampung
berbagai kepentingan publik (public accountability) yang
diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program, dimana saat
20
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) memiliki fungsi
sebagai berikut :
1) Fungsi Otorisasi yaitu bahwa anggaran daerah menjadi dsar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2) Fungsi Perencanaan yaitu bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada
tahun yang bersangkutan.
3) Fungsi Pengawasan yaitu bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
4) Fungsi Alokasi yaitu bahwa anggaran daerah untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya , serta
meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
5) Fungsi Distribusi yaitu bahwa kebijakan anggaran daerah harus
mempertahankan rasa kepeduilan dan kepatuhan.
c. Kinerja keuangan
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan,
baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai
dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana
dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang
direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila
21
dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek. Kinerja
keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan untuk
menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis
sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas
dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut.
Kemudian salah satu alat untuk menganalisis kinerja
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah adalah dengan
melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah
ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2007). Dalam rangka
pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis ,
efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio keuangan perlu
dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaedah pengakuntansinya
dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta
(Mardiasmo, 2002).
d. Rasio Keuangan pada APBD
Halim (2007) mengemukakan bahwa analisis rasio
keuangan pada APBD yaitu dengan membandingkan hasil yang di
capai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.
Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan
dengan rasio keuangan yang dimiliki pemerintah daerah tertentu
22
potensi daerahnya relatif sama untuk melihat bagaimana posisi rasio
keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah
lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio
keuangan pada APBD yaitu :
1) DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2) Pihak eksekutif sebagai landsan dalam menyusun APBD
berikutnya.
3) Pemerintah Pusat atau Provinsi sebagai bahan masukan dalam
membina pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
4) Masyarakat dan Kreditor, sebagai pihak yang turut memiliki
saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun
membeli obligasi.
Beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data
keuangan yang bersumber dari APBD (Halim, 2007), yaitu rasio
kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal), rasio efektivitas dan
efisiensi pendapatan asli daerah, rasio keserasian, rasio pertumbuhan
dan debt service coverage rastio. Namun dari penjelasan tersebut
yang terkait hanya rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio
efisiensi.
e. Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah seringkali diartikan sebagai
mobilisasi sumber keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah.
23
menghasilkan rekomendasi kebijakan sepihak yang kurang
memperhatikan masyarakat dan mengedepankan kepentingan
pemerintah daerah. Bagi penganut pandangan ini, otonomi daerah
akan sulit terwujud karena dari segi kualitas, sumber pembiayaan
yang tersedia bagi daerah otonom sangat kurus, sedangkan dari
sudut kuantitas sumber pembiayaan tersebut sangat sedikit. Dalam
konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah dapat
menyangkut beberapa aspek berikut:
1) Pengelolaan/optimalisasi seluruh sumber yang mampu
memberikan penerimaan, pendapatan, dan atau penghematan
yang mungkin dilakukan.
2) Dikelola oleh multi lembaga; ditetapkan oleh badan legislatif
dan eksekutif, dilaksanakan oleh eksekutif, serta diawasi oleh
badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah.
3) Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
4) Didasari prinsip-prinsip ekonomis, efektif, dan efisien.
5) Dokumentasi, transparansi dan akuntabilitas.
Obyek pengelolaan keuangan daerah adalah sisi penerimaan
dan pengeluaran. Pada isi penerimaan, daerah dapat melakukan
ekstensifikasi dan intensifikasi. Sedangkan dari sisi pengeluaran,
daerah dapat melakukan redefiisi proses penganggaran, perbaikan
tingkat ekonomis, efisiensi dan efektifitas setiap kegiatan
24
3. Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan
antara output yang dihasilkan terhadap input yang dianggarkan atau
realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil
rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik. Dan
pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya
pengeluaran untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya
sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya
tersebut efisiensi atau tidak. Dalam hal ini dengan mengasumsikan
bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai peruntukannya dan
memenuhi dari apa yang dihasilkannya. Pada sektor pelayanan
masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan
pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah
dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah
mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan
biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
4. Efektivitas Keuangan Daerah
Pengertian efektivitas yang umum menunjukkan pada taraf
tercapainya hasil, dalam bahasa sederhana hal tersebut dapat dijelaskan
bahwa efektifitas dari pemerintah daerah adalah bila tujuan pemerintah
daerah tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang
25
efektivitas adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah
ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.
Rasio efektivitas keuangan daerah otonom menggambarkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli
daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007).
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan
efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik.
5. Kemandirian Keuangan Daerah
Halim (2007) mengemukakan bahwa kemandirian keuangan
daerah (otonomi fiskal) merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi
sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditujukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber
lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Kemandirian fiskal daerah (otonom fiskal) merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari otonomi daerah secara keseluruhan.
Menurut Mardiasmo dalam Hessel Noggi (2005) disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah :
26
hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah.
b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih
rendah yang memiliki informasi lebih lengkap.
Rasio kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal.
Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap
pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
tahun 2005 PSAP 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, sumber
pendapatan daerah kabupaten / kota terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu pendapatan yang
menunjukan kemampuan suatu daerah dalam menghimpun
sumber-sumber dana untuk membiayai pengeluaran rutin. Jadi dapat
dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah sebagai pendapatan rutin
dari usaha-usaha Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan
potensi-potensi sumber keuangan daerahnya sehingga dapat mendukung
pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah dan pembangunan daerah.
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi
dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos
27
perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta
Pengelolaan Sumber Daya Alam (Bastian, 2002).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
Kelompok PAD dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan yaitu :
pajak daerah, restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik
daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
b. Pendapatan Transfer
Pendapatan Transfer merupakan pendapatan daerah yang
diperoleh dari otoritas pemerintah di atasnya. Kelompok pendapatan
trasnfer untuk kabupaten/kota dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
1) Transfer pemerintah pusat (Dana perimbangan), yaitu dana bagi
hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus.
2) Transfer pemerintah pusat lainnya yaitu dana otonomi khusus
dan dana penyesuaian.
3) Transfer pemerintah provinsi yaitu pendapatan bagi hasil pajak
dan pendapatan bagi hasil lainnya.
c. Lain-Lain Pendapatan yang Sah
Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan,
terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan
lain-lain yang sah, menurut Devas bahwa : kelompok penerimaan
28
penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan bahan
jasa. Penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta
17 penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian
sumber penerimaan daerah sangt bergantung pada potensi daerah itu
sendiri. Sesuai dengan peraturan Permendagri Nomor 13 Tahun
2006, pendapatan ini dibagi menurut jenis pendapatan yang
mencakup :
1) Pendapatan Hibah
2) Pendapatan Dana Darurat
3) Pendapatan Lainnya
6. Kapasitas Pelayanan Pemerintah Daerah
a. Pengertian Kapasitas Pelayanan Pemerintah daerah
Kapasitas pelayanan pemerintah daerah adalah besarnya
ukuran kemampuan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
kepada publik yang dihitung dari belanja pemerintah daerah
(Harimurti, 2007), yaitu belanja modal. Total belanja modal
mengidentifikasikan bahwa pemerintah daerah membelanjakan
uangnya untuk membiayai pelaksanaan kegiatan di pemerintahan,
membangun infrasturktur, meningkatkan investasi, mempebaiki dan
merawat pelayanan umum dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan kualias pelayanan yang
29
Dengan mengambil konsep pengelolaan keuangan publik
dari Brobak dan Sjolander (2001) dalam Nugraha (2004), kedua
peneliti membagi tahapan studi pengembangan kapasitas tersebut
dalam empat elemen dasar dalam pengelolaan keuangan publik,
yaitu :
1) perencanaan dan penganggaran;
2) akuntansi;
3) pembayaran, dan
4) audit dan pendapatan.
Dari studi tersebut dapat di simpulkan bahwa kapasitas
kelembagaan dalam pengelolaan keuangan negara dinilai masih
banyak kekuarangan, yang diakibatkan oleh penerapan program ini
terlalu terburu-buru dan tidak dilakukan secara matang. Artinya
penerapan program pengelolaan keuangan yang ada lebih terkesan
memenuhi kebutuhan formalitas administrasi keuangan semata
dibandingkan dengan memenuhi kaidah pengelolaan sesungguhnya.
Untuk itu maka selanjutnya Goran Anderson and Jan
Isaksen (2002) merekomendasikan sejumlah pengembangan
kapasitas yang menyangkut pengelolaan dan perencanaan sumber
pendapatan, peningkatan kapasitas (pendidikan) sumber daya
manusia pengelola, perbaikan dalam manajemen sumber daya,
30
Sehingga dengan makin besarnya belanja modal yang
dikeluarkan pemerintah daerah akan menunjukan bahwa semakin
besar pula upaya pemerintah daerah meningkatkan kapasitas
pelayanan pemerintah daerah.
b. Elemen Belanja Daerah
Menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 bahwa Belanja
Daerah terbagi menjadi dua kelompok yaitu :
1) Belanja Tidak Langsung, merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program
kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yaitu belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tak
terduga.
2) Belanja Langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Kelompok Belanja Langsung sesuai dengan Permendagri No. 59
Tahun 2007 revisi dari Permendagri No. 13 Tahun 2006 ada tiga
yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja
modal.
7. Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi daerah adalah meningkatnya tingkat
kegiatan ekonomi suatu daerah yang kemudian akan berdampak pada
31
akan terjadi jika masing-masing aspek dalam suatu daerah bekerja sama
dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi. Apabila investasi
meningkat maka secara langsung akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Boediono (1981) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Penekanan pada
arti proses disini karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau
perkembangan. Oleh karena itu, pamakai indikator pertumbuhan
ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama. Waktu yang
diperlukan dapat kurang lebih antara 10 tahun, 20 tahun atau 50 tahun
atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat dihitung dari
perubahan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) pada harga
konstan dari tahun sekarang dengan tahun sebelumnya. Adapun
pertumbuhan ekonomi daerah dihitung dengan Formulasi sebagai berikut
(Boediono, 1981):
Pertumbuhan Ekonomi Daerah = ( ) 100 %
1 1
x PDRB
PDRB PDRB
t t t
Keterangan :
PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t
PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t
PDRB (Produk Domestik Bruto) merupakan keberhasilan
pembangunan daerah baik dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat
32
berbagai aktivitas ekonomi suatu daerah dalam kurun waktu satu tahun.
PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk meningkatkan
keberhasilan pembangunan daerah yang dilaksanakan dan sekaligus
untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. PDRB
juga secara tidak langsung merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam mengelola sumber
daya alam yang dimilki. Pertumbuhan ekonomi daerah dari tahun ke
tahun dapat dilihat melalui besarnya PDRB baik berdasarkan harga
berlaku maupun berdasarkan harga konstan.
B. Kerangka Pemikiran
1. Perumusan Model Penelitian
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah
(Mardiasmo, 2002). Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu
indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan
ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni Wulandari , 2009).
Efisiensi dalam pengelolaan keuangan daerah pada APBD merupakan
salah satu indikator yang menunjukan keberhasilan otonomi daerah.
Efisiensi keuangan daerah diukur dengan menggunakan rasio efiisiensi
pada APBD. Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan
perbandingan antara input dan output atau realisasi belanja dengan
realisasi pendapatan daerah (Abdul Halim dalam Ardi Hamzah, 2008).
33
Dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang
dibelanjakan sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi dari apa yang
dihasilkannya.
Pada sektor pelayanan masyarakat, efisiensi adalah kegiatan
yang dilakukan dengan baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu
kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input)
yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang
diinginkan. Rasio efisiensi dalam penelitian ini diproaksikan oleh
realisasi belanja dengan realisasi pendapatan (Abdul Halim dalam Ardi
Hamzah , 2008).
Rasio efektivitas adalah rasio yang menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang
ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio
efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mariyam (2012) menyimpulkan bahwa
efektivitas kinerja keuangan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
pada 29 kabupaten dan 9 Kota di Jawa Timur Periode 2006 -2010.
Otonomi fiskal daerah atau kemandirian keuangan daerah
merupakan salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara
keseluruhan. Otonomi fiskal daerah menggambarkan kemampuan
34
lain-lain. Kemandirian keuangan daerah diukur dengan menggunakan
rasio kemandirian pada APBD. Rasio kemandirian keuangan daerah
menunjukan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah (Bahrul Ulum, 2010). Rasio ini juga menggambarkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal.
Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap
pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Abdul Halim
dalam Ardi Hamzah, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kurniawan, Donny (2010) menyimpulkan Rasio kemandirian
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
kota/kabupaten di Sumatera Barat.
Ardi Hamzah (2008) melakukan penelitian mengenai analisa
kinerja keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran,
dan kemiskinan pada kabupaten dan kota di Jawa Timur menyimpulkan
bahwa kesenjangan kinerja keuangan berupa rasio kemandirian cukup
besar, bahkan rasio efektifitas dan efisiensi dapat dikatakan besar sekali.
Selain itu hasil pengujian secara langsung antara kinerja keuangan
terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukan rasio kemandirian, dan rasio
efisiensi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonimi,
sedangkan rasio efektivitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
35
Otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan publik (Hessel Nogi, 2005). Salah satu indikator kualitas
pelayanan publik adalah dengan menggunakan tingkat kapasitas
pelayanan pemerintah daerah (Nur Indah Susanti, 2010). Kapasitas
pelayanan pemerintah daerah adalah besarnya pemerintah daerah untuk
memberikan pelayanan kepada publik yang dihitung dari belanja
pemerintah daerah (Harimurti, 2007), khususnya belanja modal. Semakin
tinggi belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang
digunakan dalam memberikan pelayanan kepada publik diharapkan dapat
meningkatkan publik.
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang
diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dengan dikelolanya,
APBD oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan
pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah
pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah, pemerintah daerah lebih
leluasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya (Reza
Monanda, 2009). Pengeluaran pemerintah daerah merupakan salah satu
faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah.
Pengeluaran pemerintah daerah yang terlalu kecil akan merugikan
pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang boros akan
menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pengeluaran pemerintah yang
36
2009). Oleh karena perlu adanya peningkatan kapasitas pelayanan
pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rokhmawati, Anita (2009)
menyimpulkan kapasitas pelayanan pemerintah daerah yang diukur dari
pengeluaran belanja modal mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Secara skematis, model penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang diajukan
adalah sebagai berikut:
H1 : Efisiensi keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
H2 : Efektivitas keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Efisiensi Keuangan Daerah
(Rasio Efisiensi)
Kemandirian Keuangan Daerah (Rasio Kemandirian)
Kapasitas Pelayanan emerintah Daerah (Total Belanja Modal)
Pertumbuhan Ekonomi Daerah
(PDRB) Efektivitas Keuangan Daerah
37
H3 : Kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
H4 : Kapasitas pelayanan pemerintah daerah berpengaruh signifikan
BAB III
METODE PENELITIAN DAN TEKNIS ANALISIS DATA
A. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi empiris pada pemerintah daerah
kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Tengah.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi daerah yang
dipengaruhi oleh efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan daerah dan
kapasitas pelayanan pemerintah daerah.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Daerah se-provinsi Jawa
tengah baik kabupaten dan kota yang berjumlah 35 kabupaten dan kota.
Metode yang digunakan dalam pengambilan sample menggunakan
metode sensus dimana keseluruhan jumlah populasi kita ambil sebagai
data penelitian, yaitu laporan realisasi APBD Pemerintah Daerah
se-provinsi Jawa tengah selama 4 tahun berturut-turut yaitu tahun
2008-2011.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
39
a. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupetan dan Kota di provinsi Jawa tengah pada tahun
2008-2011 yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan melalui situs www.djpk.depkeu.go.id.
b. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten dan Kota
di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2011 yang dipublikasikan
oleh Badan Pusat Statistik melalui situs resmi www.bps.go.id.
c. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2011
dapat diperoleh dari Website Resmi di masing-masing Kabupaten
dan Kota di Provinsi Jawa Tengah.
5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
a. Variabel Dependen (Y)
Di dalam penelitian ini yang merupakan variabel dependen adalah
pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah adalah
meningkatnya tingkat kegiatan ekonomi suatu daerah yang kemudian
berdampak pada tingkat kemakmuran dan kemandirian suatu daerah.
Pertumbuhan ekonomi daerah dapat dihitung dari perubahan nilai
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada harga konstan dari
tahun sekarang dengan tahun sebelumnya dengan satuan persentase
40
Untuk menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah,
menggunakan rumus sebagai berikut (Boediono, 1981):
Pertumbuhan Ekonomi Daerah = ( ) 100 %
1
Dalam penelitian ini variabel independen yang digunakan adalah
efisiensi, efektivitas, kemandirian keuangan daerah dan kapasitas
pelayanan pemerintah daerah. Efisiensi dan kemandirian keuangan
daerah yang diukur dengan menggunakan rasio efisiensi, rasio
efektivitas dan rasio kemandirian yang bersumber pada APBD.
1) Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan
antara input dan output atau realisasi belanja dengan realisasi
pendapatan daerah. Rasio efisiensi diukur dengan (Abdul Halim
dalam Ardi Hamzah, 2008) :
Rasio Efisiensi =
2) Efektivitas Keuangan Daerah
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi