A. Internalisasi Nilai-nilai Islam 1. Pengertian internalisasi
Internalisasi merupakan suatu proses yang harus terjadi dalam
pendidikan. Internalisasi bukan hanya sekedar transformasi ilmu
pengetahuan oleh pihak pendidik kepada peserta didik, tetapi
menekankan kepada penghayatan serta pengaktualisasian ilmu
pengetahuan yang merupakan nilai sehingga nilai tersebut menjadi
kepribadian dan prinsip dalam hidupnya.
Internalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar
nilai tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Karena pendidikan
agama Islam berorientasi pada pendidikan nilai sehingga perlu adanya
proses internalisasi tersebut. Jadi internalisasi merupakan ke arah
pertumbuhan batiniah atau rohaniah peserta didik. Pertumbuhan itu
terjadi ketika siswa menyadari sesuatu nilai yang terkandung dalam
pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai itu dijadikan suatu sistem
nilai diri sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku,
dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini (Nurdin, 2014 :
124-125).
Menurut Muhadjir (1993 : 103). Internalisasi adalah interaksi
(values), lebih memberi pengaruh pada kepribadiannya, fungsi evaluatif
menjadi dominan. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir dalam Nurdin
(2014 : 125) internalisasi adalah upaya memasukkan pengetahuan
(knowing) dan ketrampilan melaksanakan (doing) ke dalam pribadi
seseorang (being).
Internalisasi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
ketiga adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai
sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin
atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
Dapat disimpulkan bahwa internalisasi adalah menyatukan
keberhargaan nilai ke dalam diri seseorang melalui pembiasaan,
penanaman, pengorganisasian, penghayatan, terhadap suatu ajaran untuk
dijadikan sebagai sikap, perilaku, ucapan dan perbuatan sesuai dengan
ajaran Islam.
2. Tujuan internalisasi nilai
Setiap proses yang dilakukan dalam pendidikan harus dilakukan
secara sadar dan memiliki tujuan. Tujuan ialah suatu yang diharapkan
tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan,
karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui
tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan
bertingkat (Daradjat, 2008 : 29).
Sedangkan menurut Mujib dan Mudzakkir (2006 : 75-77)
Islam, dan ihsan serta ilmu pengatahuan menjadi pilar-pilar utamanya.
Secara teoritis, tujuan akhir di bedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak di internalisasi, misalnya :
b. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk mengfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi :
c. Tujuan operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial.
Dari berbagai tujuan di atas maka guru akan lebih mudah untuk
melaksanakan internalisasi nilai-nilai yang akan dicapai dalam sebuah
proses pembelajaran, aspek ini lebih menekankan pada kesadaran siswa
untuk mengamalkannya. Selain melalui proses pendidikan di sekolah
perlu adanya kerja sama dengan pihak orang tua siswa, mengingat waktu
siswa lebih banyak digunakan di luar sekolah. Dalam kajian psikologi,
kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu akan
muncul tatkala tindakan tersebut telah dihayati (terinternalisasi).
3. Tahapan dan langkah-langkah internalisasi nilai-nilai
Menurut Muhaimin (2012 : 178) tahap-tahap dalam internalisasi
nilai adalah :
a. Tahap transformasi nilai : pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal. b. Tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan
melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru bersifat timbal balik.
Jadi, dalam tahapan-tahapan ini guru tidak sekedar
menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada
siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal tetapi juga
melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru
yang bersifat timbal balik.
Menurut Muhaimin (2012 : 179) tahap-tahap internalisasi ini
diupayakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menyimak (receiving), yakni kegiatan siswa untuk bersedia menerima adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam sikap efektifnya.
b. Menanggapi (responding), yakni kesediaan siswa untuk merespons nilai-nilai yang ia terima dan sampai ke tahap memiliki kepuasan untuk merespons nilai tersebut.
c. Memberi nilai (valuing), yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespons nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
d. Mengorganisasi nilai (Organization of value), yakni aktivitas siswa untuk mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai kebenaran dalam laku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki suatu sistem nilai yang berbeda dengan orang lain.
e. Karakteristik nilai (characterization be a value complex), yakni dengan membiasakan dengan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang diorganisir dalam laku kepribadiannya sehingga nilai tersebut sudah menjadi watak (kepribadiannya), yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya.
Menurut Krathwohl (1964) sebagaimana di kutip Lubis (2009 :
19-21) bahwa tahapan-tahapan lain dalam menginternalisasi nilai dapat
dikelompokkan dalam 5 tahap, yakni :
b. Tahap responding (menanggapi). Pada tahap ini, seseorang sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimulus dalam bentuk respons yang nyata.
c. Tahap valuing (memberi nilai). Kalau pada tahap pertama dan kedua lebih banyak masih bersifat aktivitas fisik biologis dalam menerima dan menanggapi nilai, maka pada tahap ini seseorang sudah mampu menangkap stimulus itu atas dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek. d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization). Yaitu satu tahap yang
lebih kompleks dari tahap ketiga di atas. Seseorang mulai mengatur sistem nilai yang ia terima dari luar untuk diorganisasikan (ditata) dalam dirinya sehingga sistem nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahankan dalam dirinya.
e. Tahap karakterisasi nilai (Characterization). Yang ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisasir sistem nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajek dan konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya.
Tahapan-tahapan proses pembentukan nilai ini lebih banyak
ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang menerima nilai-nilai
dari kemudian menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya.
Dalam tahapan internalisasi nilai ini seorang guru melakukan suatu
pembiasaan pemahaman kepada siswanya agar tahapan-tahapan tersebut
terlaksana sesuai dengan yang di harapkan. Seorang guru ketika
menginternalisasi nilai membutuhkan proses yang lama untuk
menjadikan nilai itu tetap melekat dalam dirinya.
B. Nilai-nilai Islam
1. Pengertian nilai-nilai Islam
Demikian luasnya implikasi konsep nilai ketika dihubungkan
dengan konsep lainnya, ataupun dikaitkan dengan sebuah statement.
benar-salah, ketika dihubungkan dengan estetika menjadi indah-jelek, dan
ketika dihubungkan dengan etika menjadi baik-buruk. Kata value, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai,
berasal dari bahasa Latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir (Encyclopedia of Real Estase Terms, 2002). Sebatas arti denotatifnya,
valere, valoir, value, atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. (Mulyana, 2011 : 7).
Menurut M.Z. Lawang dalam Nurdin (2014:36) yang pasti bahwa
nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas,
berharga, dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang
bernilai tersebut.
Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai ini adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna,
dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2008 : 28).
Sedangkan menurut Kupperman, 1983 sebagaimana di kutip
Mulyana (2011 : 9) nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan
alternatif.
Sidi Gazalba dalam Lubis (2009 : 17) bahwa mengartikan nilai
adalah sesuatu yang bersifat abstrak, dan ideal. Nilai bukan benda
konkret, bukan fakta, tidak hanya sekedar soal penghayatan yang
Islam secara teologis merupakan rahmat bagi manusia dan alam
semesta. Letak kerahmatannya pada kesempurnaan Islam itu sendiri
Islam mempunyai nilai-nilai universal yang mengatur semua aspek
kehidupan manusia. Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW., diyakini oleh umat manusia sebagai ajaran yang
dapat menjamin bagi terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera
lahir dan batin, dunia akhirat.
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Di tinjau
dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan
salah, haq dan bhatil. Sedangkan ditinjau dari operatif nilai mengandung
lima pengertian kategorial yang menjadi perinsip perilaku manusia yaitu
wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Pada dasarnya struktur dalam
islam lebih banyak memberikan ruang gerak yang luas dalam
menentukan pilihan tingkah laku perbuatan seorang muslim.
http://newjoesafirablog.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-dan-konsep-nilai-dalam-islam.html. (diakses tanggal 01 Desember 2015 pukul 0 : 02
WIB).
Nilai-nilai keagamaan merupakan salah satu nilai yang ada
sebagaimana dijelaskan pada uraian terdahulu. Nilai-nilai keagamaan di
sini dimaksudkan sebagai nilai-nilai Islam. Studi tentang nilai-nilai Islam
secara kaffah merupakan pekerjaan yang amat besar, karena nilai-nilai
Islam tersebut menyangkut berbagai aspek dan memerlukan kajian dan
mengupas aspek-aspek tersebut secara terperinci, namun dibatasi pada
nilai-nilai pokok ajaran Islam yang sewajarnya ada dan dimiliki oleh
seorang muslim.
Nilai-nilai pokok ajaran Islam tersebut meliputi iman, Islam dan
ihsan, sebagai satu kesatuan integral yang tidak dapat di pisahkan atara
satu dengan yang lain. Keterkaitan ketiga komponen di atas digambarkan
oleh Allah SWT dalam sebuah perumpamaan dalam Al-Qur‟an,
“Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membawa
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya
pada tiap musim dengan seizin Tuhan. Allah membawa
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (Q.S.
Ibrahim : 24-25). Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan muslim dari Umar bin Khathab ra bahwa nilai-nilai pokok
ajaran agamaIslam secara keseluruhan mencakup tiga hal :
a. Iman, meliputi enam rukun : 1) Imam kepada Allah
2) Iman kepada Malaikat-malaikat Allah 3) Iman kepada Kitab-kitab Allah 4) Iman kepada Rasul-rasul Allah 5) Iman kepada Hari akhir
6) Iman kepada Qadar baik dan Qadar buruk b. Islam, meliputi rukun Islam
1) Mengucapkan dua kalimat syahadat 2) Mendirikan shalat
3) Membayar zakat
4) Mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan
c. Ihsan yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah dan jika kita tidak dapat melihatnya, kita meyakini, bahwa Allah melihat kita. (Lubis, 2009 : 20).
Islam berasal dari kata aslama, yaslimu yang berarti mengarah, tunduk dan patuh. Islam mengandung makna yang
umum bukan hanya nama dari suatu agama. Ketundukan, ketaatan
dan kepatuhan merupakan makna Islam. Dengan demikian Islam
segala sesuatu yang tunduk dan patuh terhadap kehendak
Al-Qur‟an mempunyai beberapa arti : Tunduk dan Patuh ( Q.S. Al
-Baqarah : 131, berserah diri) (Q.S. Yunus : 72) (Q.S. Yunus : 84)
(Q.S. Ali-Imran) dan Islam (Q.S. Yusuf : 101) (Q.S. Al-Maidah : 3)
(Q.S. Al-Maidah : 19) dan (Q.S. Al-Baqarah : 208)
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya berasal dari
Allah SWT diwahyukan kepada utusannya (Rasul) dan lanjutannya
disampaikan kepada manusia. Islam adalah agama Allah yang
dibawa oleh para Nabi pada setiap zamannya yang berakhir dengan
kenabiian Muhammad SAW. Peranan agama Islam bagi para Nabi
didasarkan kepada firman Allah. Rangkaian ayat-ayat yang ada
dalam firman Allah SWT menggambarkan bahwa agama Islam
adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui para
Rasul dan pada saat terakhir agama ini diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Jadi Islam dalam pengertian lain ajaran yang
Agama Islam adalah risalah atau pesan-pesan yang
diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul sebagai
petunjuk dan pedoman ysang mengandung hukum-hukum.
Risalah-risalah tersebut sempurna untuk dipergunakan dalam
menyelenggarakan tata cara kehidupan manusia, yang mengatur
hubungan manusia dengan khaliq, manusia dengan makhluq (manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya).
Sebagai sumber nilai, agama Islam merupakan petunjuk,
pedoman dan pendorong bagi manusia dalam menciptakan dan
mengembangkan budaya, serta memberikan pemecahan terhadap
segala persoalan hidup dan kehidupan. Agama Islam mengandung
ketentuan-ketentuan keimanan, muamalah dan pola tingkah laku dalam berhubungan dengan sesama makhluk dan menentukan
proses berpikir, dan lain-lainnya (Lubis, 2009 : 21).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai Islam adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan yang
dapat mempengaruhi perilaku sosial meliputi iman, Islam dan ihsan,
sebagai satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan atara satu
dengan yang lain.
2. Sumber nilai-nilai Islam
Menurut Daradjat (2008 : 19) setiap usaha, kegiatan dan tindakan
yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan
Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai
landasan kemana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan nilai-nilai
Islam itu dihubungkan, landasan itu terdiri dari Al-Qur‟an dan sunnah
Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah, al mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya.
a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an ialah firman Allah SWT berupa wahyu yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di
dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang
terkandung itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan
dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang
berhubungan dengan amalan itu disebut Syari‟ah.
Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak
dibicarakan dalam Al-Qur‟an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan
dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang
paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan
manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya,
dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh
(syari‟ah). Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam membicarakan
langsung berhubungan selain dengan Allah, dan akhlak untuk
tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan.
b. As-Sunnah
As-Sunah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
Rasul Allah SWT. Yang dimaksud pengakuan itu ialah kejadian atas
perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau
membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah
merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur‟an, sunnah juga
berisi aqidah dan Syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk
keselamatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina
umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk
itu Rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri
mendidik, pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi
Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk
mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke
daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam
rangka pembentukan muslim dan masyarakat Islam.
Oleh karena itu sunnah merupakan landasan kedua bagi cara
pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka
kemugkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa
ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah
Dari kedua sumber nilai-nilai Islam di atas setiap aktivitas
yang disengaja harus mempunyai sumber dan landasan tempat
berpijak yang kukuh dan kuat, karena manusia selalu berpedoman
kepada pandangan hukum-hukum dasar yang dianutnya dan kedua
sumber di atas itulah yang akan menjadi pegangan dasar di dalam
kehidupan manusia.
3. Ruang lingkup nilai-nilai Islam
Dasar-dasar agama Islam pada hakikatnya adalah membicarakan
kerangka umum dari ajaran Islam seluruh dasar-dasar atau pokok-pokok
ajaran Islam adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Apabila diklasifikasikan ada bagian yang penting. Dalam
tulisan ini akan dibahas secara berurutan secara mulai dari bagian yang
paling mendasar dan sekaligus merupakan bagian yang paling penting.
Menurut Alim (2011 : 124) yaitu :
a. Nilai akidah/ keimanan
Akidah secara etimologi berarti yang terkait. Setelah
terbentuk menjadi kata, akidah berarti perjanjian yang teguh dan
kuat, dan tertanam dalam lubuk hati yang paling dalam. Secara
terminologis berarti credo, creed, keyakinan hidup iman dalam arti khas, yakni pengikraran yang bertolak dari hati, menentramkan jiwa,
Akidah atau iman adalah pondasi dalam kehidupan umat
Islam, sedangkan ibadah adalah menifestasi dari iman. Kuat atu
lemahnya ibadah seseorang ditentukan oleh kualitas imannya.
Dengan demikian, iman harus mencakup empat komponen yaitu ;
ucapan, perbuatan, niat (keyakinan) dan sesuai dengan Sunnah
Rasul. Sebab iman apabila hanya berbentuk ucapan tanpa amal,
berarti kafir; ucapan dan amal tapi tanpa niat adalah munafik;
sementara ucapan, amal dan niat tapi tidak sesuai dengan Sunnah
Rasul adalah bid‟ah.
b. Nilai ibadah
Secara harfiyah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah
SWT, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
Sedangkan menurut majelis Tarjih Muhammadiyah yang dikutip
oleh Muhammad Alim di dalam bukunya definisi ibadah sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan
segala yang diizinkan-Nya.
Ketentuan ibadah termasuk salah satu bidang ajaran Islam di
mana akal manusia tidak berhak campur tangan, melainkan hak dan
otoritas milik Allah sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini
mematuhi, mentaati, melaksanakan dan menjalankannya dengan
penuh ketundukan sebagai bukti pengabdian dan rasa terimakasih
patuh dan tunduk guna mendapatkan kedamaian dan keselamatan.
Ketenangan jiwa, rendah hati, menyandarkan diri kepada amal saleh
dan ibadah bukan kepada nasab tertentu, semuanya adalah hasil dari
pengamalan ibadah.
Dengan demikian visi Islam tentang ibadah adalah
merupakan sifat, jiwa dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan
dengan tugas sang pencipta manusia, sebagai makhluk yang hanya
diperintahkan agar beribadah kepada-Nya. Peraturan ibadah dalam
Islam terdiri dari :
1) Rukun Islam : mengucapkan syahadatain, shalat, zakat, puasa
dan haji.
2) Ibadah lainnya dan ibadah yang berhubungan dengan rukun
Islam. Hal ini terbagi menjadi dua, pertama ibadah badaniyah atau bersifat fisik (bersuci meliputi wudhu, mandi, tayamum,
pengaturan penghilangan najis, peraturan air, adzan, iqamah,
doa, pengurusan mayat dan lain-lain). Kedua ibadah maliyah (bersifat kebendaan/materi) seperti kurban, akikah, sedekah,
wakaf, fidyah, hibah dan lain-lain.
Ibadah secara umum berarti mencakup seluruh aspek
kehidupan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam
pengertian inilah yang merupakan tugas hidup manusia. Dalam
atau perintah Allah dan dicontohkan oleh Rasululllah, atau disebut
ritual (ibadah vertikal, habluminallah).
c. Nilai akhlak
Salah satu tujuan risalah Islam ialah menyempurnakan
kemulian-kemuliaan akhlak. Akhlak mulia dalam ajaran Islam
pengertiannya adalah perangai atau tingkah laku manusia yang
sesuai dengan tuntutan kehendak Allah. Akhlak dalam Islam mulai
dari akhlak yang berkaitan dengan diri pribadi, keluarga, sanak
famili, tetangga, masyarakat, lalu akhlak yang berkaitan dengan flora
dan fauna hingga akhlak yang berkaitan dengan alam yang luas ini.
Dan di atas itu semua akhlak yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan Allah SWT.
Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa arab yang berarti : (a) perangai, tabiat, adat (diambil dari kata dasar khuluqun), (b) kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun). Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan, di antaranya Ibn Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan (Alim, 2011 : 151).
Akhlak adalah merupakan salah satu khazanah intelektual
muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, akhlak
adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku dalam
jiwa manusia yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa didahului pertimbangan dan pemikiran manusia itu
sendiri, dimana perbuatan-perbuatan itu sudah tertanam di dalam
jiwanya.
Dari beberapa pendapat diatas maka penulis menarik kesimpulan
bahwa tujuan internalisasi nilai-nilai Islam adalah menanamkan atau
menyatukan nilai-nilai Islam seperti; aqidah (keimanan), nilai ibadah,
nilai akhlak (moral), nilai sosial untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari agar menjadi manusia yang selalu dekat dengan Allah SWT.
Komponen dalam ruang lingkup nilai-nilai Islam seperti akidah, ibadah
dan akhlak ketiganya merupakan suatu kesatuan integral yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
C. Anak Autis
1. Pengertian autis
Monks dkk.,dalam Novan (2014 : 187) mengungkapkan bahwa autisme berasal dari kata autos yang berarti aku. Pada pengertian non ilmiah kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri disebut dengan autisme. Sementara itu, Berk mengartikan autisme dengan istilah absorbed in the self atau keasyikan dalam dirinya sendiri. Sementara Wall mengartikan autisme sebagai aloof atau withdrawn, yang mana anak-anak dengan gangguan autisme ini tidak tertarik dengan dunia sekelilingnya. Kemudian Tilton mengungkapkan bahwa pemberian nama autisme karena hal ini diyakini dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri.
Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang
(berhubungan) dengan orang lain. Sutadi, 2011 bagaimana di kutip
Sujarwanto (2005 : 167). Penyandang autisme tidak dapat berhubungan
dengan orang lain secara berarti serta kemampuannya untuk membangun
hubungan dengan orang lain terganggu karena ketidakmampuannya
untuk berkomunikasi dan untuk mengerti perasaan orang lain. Lebih
lanjut bahwa sutadi mengemukakan bahwa autisme merupakan gangguan
proses perkembangan yang terjadi dalam tiga tahun pertama, yang
menyebabkan gangguan pada bahasa, kognitif, sosial dan fungsi adaptif,
sehingga anak-anak tersebut semakin lama tertinggal perkembangannya
dibandingkan teman-teman seusia mereka.
Menurut Yatim (2002) dalam Sujarwanto (2005 : 168)
mengemukakan bahwa autisme merupakan kumpulan gejala kelainan
perilaku dan perkembangan dimana terjadi penyimpangan perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga
anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri serta terjadi kelainan
emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasive).
Sedangkan menurut Yuniar (2002) dalam Sujarwanto (2005 :
169) mengemukakan autisme adalah ganguan perkembangan yang
kompleks, mempengaruhi perilaku dengan akibat kekurangmampuan,
komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga
sulit untuk mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan
Dapat disimpulkan bahwa Autis adalah gangguan perkembangan
yang muncul di awal kehidupan seorang anak, yang ditandai oleh
ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, masalah dalam
hal komunikasi, dan adanya pola tingkah laku tertentu yang
diulang-ulang. Anak dengan gangguan autis secara sepintas tampak tidak
bermasalah. Namun bila dicermati lebih mendalam akan terlihat bahwa
mereka mengalami keterlambatan perkembangan (khusunya dalam hal
bahasa) serta mereka menunjukkan perilaku aneh (misalnya sering
mengkibas-kibaskan tangan, bergerak berputar-putar, atau sering
memandang dengan sudut mata).
2. Sejarah autis
Dalam memahami autis, sejarah munculnya autis menjadi penting
sekali untuk kita ketahui jalan ceriteranya. Sejarah munculnya
terminology autistik pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler seorang
Psikitiatik Swiss pada tahun 1991, dimana terminology ini digunakan
pada penderita schizopherenia anak remaja. Pada tahun 1943, Dr. Leo
Kanner dari Johns Hopkins University mendeskripsikan tentang autistik
pada masa anak-anak awal (Infantile Autism). Penemuannya didasarkan
pada hasil observasi dari 11 anak-anak dari tahu 1938-1943. Selanjutnya,
Kanner meredusir poin-poin di atas menjadi dua ciri-ciri utama, yakni
maintenance of sameness in children’s repetitive routine dan extreme
Dalam waktu yang sama, seorang psychiatrist dari Jerman Hans
Asperger mengenalkan pola perilaku abnormal dalam kelompok remaja
diman aia menyebutnya dengan “Autistic Psychopathy” (kepribadian
yang tidak normal). Tulisan yang dipublikasikannya terkenal adalah
“Autism and Asperger Syndrome” yang di edit oleh Uta Frith tahun
1991. kedua tulisan Hans Asperger dan Kanner mendiskripsikan aspek
kondisi yang sama. Digby Tantam dalam publikasinya National Autistic Socienty yang memberi kesan bahwa bagaimana dari keberadaan
orang-orang dengan autis itu dapat bersosialisasi, perilaku yang janggal,
ketrampilan secara verbal dan mengembangkan ketertarikan khusus. Dia
menggunakan terminologi “Asperger Syndrome” untuk menentukan
individu dalam kelompok “difficulties”. (Yuwono, 2009 : 8-11).
Sejak sekitar tahun 1977 masalah autis mulai dikenal oleh
sebagian masyarakat Indonesia. Ini terlihat dengan banyak beredarnya
informasi mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya
yayasan-yayasan yang peduli dan menangani individu autis, sampai
seminar-seminar nasional yang membicarakan masalah ini dengan
pakar-pakar dari dalam dan luar negeri. Penanganan terhadap permaslahan anak
autis semakin dapat diberikan secara terpadu dan terarah. Intervensi yang
dulu dianggap „mustahil‟ kini sudah dapat dilakukan sendiri oleh orang
tua sejak usia sangat dini. Perubahan ini memberikan dampak sangat
positif bagi perkembangan anak, sehingga mereka dapat dipadukan untuk
Menurut Hidayat, dkk (2006 : 71) istilah autisme ini baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Pada saat itu jumlahnya masih sedikit dan mereka mempunyai karakteristik yang khas. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini masalah autis meningkat sangat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Juga pada tahun 90-an jumlah anak penyandang autis adalah 15-20 per 10.000 anak, maka tahun 2000 akan diperkirakan ada 1 per 150 anak penyandang autis (Amerika Serikat). Berdasarkan penelitian psikiater di Jakarta selama tahun 2000 tercatat jumlah pasien baru autis sebanyak 103 kasus di RSCM dibandingkan dengan 6 bulan terakhir tahun 1998 yang hanya ditemukan 1 kasus baru.
Masalah Pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah anak
terutama penyandang autisme. Mengingat di Negara kita belum ada
upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak
autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan
pendidikan secara umum. Peningkatan pelayanan pendidikan itu
diharapkan dapat menampung anak autisme lebih banyak serta
meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme
(learning problem). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan dan pendidikan anak autisme diperlukan pendidikan
integrasi dan implementasinya dalam bentuk group/kelas (sekolah),
individu (one on one) serta pembelajaran individual melalui modifikasi
perilaku.
3. Penyebab utama autis
fenfluramine terhadap orang-orang autistic hyperserotonergis yang termasuk lemah ingatan tingkat madya dan tinggi.
Autisme adalah suatu penyakit yang dalam satu abad yang lalu
hampir tidak terdengar sama sekali, namun kini sudah hampir menjadi
suatu yang normal. Perkembangan penyebab autis pada manusia makin
melejit di beberapa dekade terakhir. Secara umum, anak yang mengalami
gangguan autis ini akan mengalami efek pada sistem pencernaan, syaraf,
dan kekebalan tubuh.
4. Ciri-ciri anak autis
Ketiga gangguan utama autisme, yaitu gangguan interaksi sosial,
gangguan komunikasi dang gangguan perilaku memiliki keterkaitan. Jika
perilaku bermasalah, dalam perkembangan aspek interaksi sosial dan
komunikasi akan mengalami masalah. Sebaliknya jika kemampuan
komunikasi anak tidak berkembang, anak akan mengalami kesulitan
dalam mengembangkan perilaku dan interaksi sosial yang bermakna.
Demikian juga jika anak memiliki kesulitan dalam berinteraksi sosial.
Menurut Novan (2014 : 187) berikut ini merupakan ciri-ciri anak-anak
dengan gangguan autis :
a. Interaksi sosial
1) Cuek terhadap lingkungan.
2) Kontak mata sangat kurang, bahkan tidak mau menatap mata lawan bicara.
3) Ekspresi muka kurang hidup.
4) Tidak mau bermain dengan teman sebayanya. 5) Suka bermain dengan dirinya sendiri.
6) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
b. Komunikasi
1) Terlambat bicara.
2) Tidak memiliki usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara.
3) Jika bicara, bicaranya tidak untuk berkomunikasi.
4) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. 5) Tidak dapat memahami pembicaraan orang lain.
c. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan.
2) Perilaku tak terarah, seperti suka mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, melompat-lompat, dan lainnya. 3) Seringkali sngat terpukau pada benda-benda yang berputar atau
benda-benda yang bergerak.
4) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang. 5) Terpaku pada satu kegiatan rutin yang tidak ada gunanya.
6) Mempertahankan satu permintaan atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autistik yang
menyertainya seperti gangguan emosional seperti tertawa dan menangis
tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa takut yang berlebihan
dan sebagainya. Hal lainnya adalah koordinasi motorik dan persepsi
sensoris misalnya kesulitan dalam menangkap dan melempar bola,
melompat, menutup telinga bila mendengar suara tertentu ; car call, klakson mobil, suara tangisan bayi dan sirine, menjilat-jilat benda,
mencium benda, tidak dapat merasakan sakit, tidak memahami bahaya
dan sebagainya serta gangguan perkembangan kognitif anak (Yuwono,
2009 : 30).
5. Pelaksanaan pendidikan anak autis
Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak
biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual
autis memiliki kebutuhan berbeda. Ira Christiana Kepala sekolah khusus
autis, “AGCA Centre” Bekasi, mengatakkan, sekolahnya memiliki
berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Diantaranya, terapi
terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. Terapi apa yang diberikan
tergantung dari kondisi anaknya.
Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada
pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar. Jika penyandang autis di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi
sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah
kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang
yang sudah bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah
reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan
di sekolah khusus penyandang autis.
Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu
seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk
meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai
dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu,
melafalkan huruf A, dan melafalkan konsonan (Santoso, 2012 : 56).
Dengan berkembangnya pandangan masyarakat terhadap
anak/orang berkelainan/ luar biasa, maka sistem layanan pendidikan yang
diberikan pun berubah. Masyarakat percaya bahwa penyandang kelainan/
cacat dapat dilatih dan dididik sehingga mereka mulai memberikan
yang khusus. Pada masa ini penanganan secara khusus di tempat yang
khusus dianggapnya sebagai cara yang paling tepat dan efektif.
Pendidikan luar biasa merupakan canbang dari pendidikan umum,
sebagaimana disiplin ilmu pendidikan lainnya, ilmu pendidikan luar biasa
telah berkembang secara pesat. Perkembangan yang secara pesat tersebut
disebabkan adanya kecenderungan dari para ahli pendidikan melakukan
kajian untuk menjadi ilmu pendidikan luar biasa sebagai disiplin ilmu
yang mandiri.
Dalam Undang-Undang RI No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Luar Biasa ialah ; Pendidikan “...yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental”. Pendidikan tersebut menurut PP. No.27 tahun 1991 bertujuan “...membantu peserta didik agar mampu mengembangkan sikap dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan dalam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”. Pendidikan luar biasa yang dimaksud di atas diwujudkan dalam bentuk-bentuk sekolah khusus bagi anak tuna netra, tunarungu-tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan tunaganda, bahkan pada saat ini telah bertambah dengan pendidikan untuk anak autis. (Hidayat, dkk. 2006 : 11).
Pada prinsipnya, sekolah yang tepat ditentukan oleh kemampuan
dan kebutuhan anak. Menentukan sekolah tidak bisa dilakukan hanya
dengan berdasarkan cerita orang lain, tetapi harus datang ke sekolah,
bicara dari hati ke hati dengan orang tua anak lain yang sudah masuk di
sekolah tersebut, serta bertemu dan berdiskusi dengan kepala sekolah dan
guru kelas. Dari situ anda akan memiliki gambaran yang lebih baik
D. Penelitian Terdahulu
1. Skripsi Khairatun Nisa yang berjudul Internalisasi Nilai-nilai Islam
Terhadap Anak Autis (Studi di Tempat Pelatihan Autisme dan Anak
dengan Kebutuhan Khusus Rumah Sakit UNISMA).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui strategi
yang diterapkan di tempat pelatihan autisme dan anak dengan
berkebutuhan khusus dalam internalisasi nilai-nilai Islam terhadap anak
didik, faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat
internalisasi nilai-nilai Islam pada anak didik, dan usaha-usaha yang
dilakukan oleh tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan
khusus dalam mengatasi kendala-kendala internalisasi nilai-nilai Islam
terhadap anak didik.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif, sumber data adalah ketua, wakil ketua, enam terapis tempat
pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus, dan orang tua anak
didik, serta situasi sosial lingkungan tempat pelatihan autisme dan anak
dengan kebutuhan khusus. Untuk tekhnik pengumpulan data,
menggunakan observasi langsung, interview dan dokumentasi. Analisa
data dengan reduksi data, display data kesimpulan dan verifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian, strategi yang diterapkan oleh tempat
pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus internalisasi
nilai-nilai Islam terhadap anak didik adalah : memberikan meteri-materi yang
seperti ; doa sehari-hari, surat-surat pendek, pengenalan huruf hijayyah,
pengenalan rukun Iman, rukun Islam, wudhu, shalat berikut prakteknya,
serta memberikan contoh yang baik pada anak didik.
Yang menjadi faktor pendorong dalam internalisasi nilai-nilai
Islam terhadap anak autis adalah telah tersedianya kurikulum dengan
materi-materi ajaran Islam dari tempat pelatihan autisme dan anak
dengan kebutuhan khusus (intern) itu sendiri, orang tua, dan lingkungan
masyarakat. Sedangkan penghambat adalah berasal dari anak didik,
orang tua, dan lingkungan sekitar. Adapun usaha-usaha yang dilakukan
dalam mengatasi kendala atau penghambat internalisasi nilai-nilai Islam
terhadap anak didik adalah terapis berusaha keras membimbing anak
didik dengan bekerja sama dengan orang tua dan linkungan masyarakat,
serta selalu mengadakan evaluasi bersama-sama setiap habis meberi
materi terhadap anak didik, baik satu kali atau dua kali dalam seminggu.
Perbedaan pada penelitian terdahulu diatas dengan penelitian
penulis yang berjudul pelaksanaan internalisasi nilai-nilai Islam kepada
siswa autis di SLB C-C1 Yakut Purwokerto adalah peneliti terdahulu
megambil penelitian di rumah sakit sedangkan penulis mengambil
penelitian di lembaga pendidikan untuk mengetahui internalisasi
nilai-nilai Islam terhadap siswa autis yang dilakukan oleh SLB C-C1 Yakut
Purwokerto dalam mengatasi internalisasi nilai-nilai Islam terhadap
2. Skripsi Wildan Nabet yang berjudul Internalisasi Nilai-nilai Islam pada
Lembaga Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate di Ranting
Sampang Kabupaten Cilacap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai Islam apa
saja yang ada dan bagaimana proses internalisasi nilai-nilai Islam pada
PSHT terhadap siswanya?.
Penelitian ini menunjukkan bahwa PSHT Ranting Sampang
dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam kepada siswanya dilakukan
melalui dasar atau azaz PSHT, yaitu persaudaraan, olahraga, kesenian,
beladiri, dan kerohanian. Dalam prakteknya proses internalisasi
nilai-nilai pendidikan Islam pada PSHT Ranting Sampang dilaksanakan
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : pralatihan seperti ; berwudhu,
penghormatan, dan doa sebelum latihan. Kegiatan inti meliputi ;
pemanasan latihan tekhnik dan kerohanian. Terakhir adalah penutup
meliputi ; meditasi, shalat asar berjamaah, penghormatan, doa penutupdan berjabat tangan. Adapun kegiatan lainnya seperti ; doa
bersama, tasyakuran (doa), zakat fitrah, halal bihalal, latihan. Dari tahapan dan berbagai kegiatan tersebut nilai-nilai yang tertanam meliputi
; nilai ibadah, nilai akhlak kepada Allah, nilai akhlak kepada sesama,
nilai sosial.
Perbedaan pada penelitian terdahulu diatas dengan penelitian
penulis yang berjudul internalisasi nilai-nilai Islam terhadap siswa autis
pada Lembaga Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate sedangkan
penulis pada siswa autis untuk mengetahui pelaksanaan internalisasi
nilai-nilai islam kepada siswa autis yang dilakukan oleh SLB C-C1
Yakut Purwokerto dalam mengatasi internalisasi nilai-nilai Islam