• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

5 A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Visum et Repertum

Visum et Repertum berasal dari bahasa Latin. Kata “visum” atau “visa” dalam bentuk tunggalnya berarti tanda melihat atau melihat, sedangkan “Repertum” berarti melapor. Visum et Repertum secara etimologi adalah apa yang dilihat dan diketemukan. Visum et Repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut (Amir, 2005).

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari badan manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan (Budiyanto et al., 1997). Visum et

(2)

Repertum merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada badan manusia. Visum et Repertum merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan (Herkutanto, 2005).

Visum et Repertum merupakan bentuk keterlibatan dokter dalam penegakan hukum yang dalam tugas profesinya dijalankan sebagaimana sesuai dengan Lafal Sumpah Kedokteran Indonesia yang telah di sempurnakan dalam Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2 di Jakarta, Desember 1981 pada poin 4 dan 6. Poin 4 berbunyi “Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat”. Poin 6 berbunyi “Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam” (Soeparto et al., 2011). Konsil Kedokteran Indonesia mengubah poin lafal sumpah kedokteran tersebut, sehingga tertuang pada poin 1 dan 5 pada tahun 2012 (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Upaya prosedur pembuatan Visum et Repertum yang memenuhi standar sangat diharapkan karena memiliki dampak yuridis yang luas dan dapat menentukan nasib seseorang (Afandi, 2010).

(3)

2. Prosedur Permintaan Visum et Repertum

Permintaan Visum et Repertum guna membuat terang suatu perkara pidana hanya dapat dilakukan oleh penyidik (KUHAP Pasal 133). Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (KUHAP Pasal 6).

Kebutuhan akan Visum et Repertum terdapat pada perkara pidana yang berhubungan dengan badan manusia, tergolong kasus pidana umum, sehingga penyidiknya adalah polisi. Penyidik polisi ditentukan dengan sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. Penyidik dibantu oleh seorang penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang disamakan dengan itu (Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983). Penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pembantu pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum. Tidak dibenarkan pula Visum et Repertum diminta tanggal yang lalu (Idries, 1997).

(4)

3. Bentuk dan Isi Visum et Repertum

Bentuk dan isi Visum et Repertum adalah sebagai berikut (Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005):

a. Pro Justitia

Kata “Pro Justitia” merupakan pernyataan yang menunjukkan semata-mata demi keadilan, guna kepentingan peradilan. Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas sebagai pemenuhan syarat yuridis, pengganti materai, sehingga Visum et Repertum tidak perlu bermaterai.

b. Visum et Repertum

Kata “ Visum et Repertum” menyatakan jenis dari barang bukti atau pengganti barang bukti.

c. Pendahuluan

Kata “Pendahuluan” tidak dituliskan dalam Visum et Repertum. Bagian ini menerangkan identitas dokter pemeriksa yang membuat Visum et Repertum, identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal diterimanya permohonan Visum et Repertum, waktu dan tanggal dilakukan pemeriksaan, tempat pemeriksaan, dan identitas subjek yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur, bangsa, pekerjaan, alamat.

(5)

d. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

Menerangkan hasil pemeriksaan yang objektif, sesuai dengan apa yang diamati, dilihat dan ditemukan pada subjek yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah untuk menghindari ketertinggalan bagian yang diamati. Deskripsinya tertentu, mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya, jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut sangat dibutuhkan terutama pada pemeriksaan subjek mati yang pada tidak dapat dihadirkan kembali pada persidangan.

Pemberitaan pada pemeriksaan korban hidup terdiri dari:

1) Anamnesis mengenai apa yang menjadi keluhan, apa yang diriwayatkan terkait penyakit yang diderita subjek sebagai dugaan hasil tindak pidana yang berhubungan dengan badan manusia.

2) Hasil pemeriksaan yang mencakup keseluruhan pemeriksaan, meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan penunjang lainnya.

3) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan.

(6)

Deskripsi meliputi semua temuan pada saat itu. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tepat atau tidaknya penanganan dokter dan tepat atau tidaknya kesimpulan yang diambil.

4) Keadaan akhir korban. Deskripsi lengkap mengenai segala sisa dan cacat badan. 6 unsur yang termuat didalamnya yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada badan, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

e. Kesimpulan

Memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil pemeriksaan, berupa opini pribadi dokter pemeriksa, bersifat subjektif, tidak terikat oleh pengaruh pihak tertentu, namun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan oleh dokter pemeriksa dan pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut. Hal pokok yang wajib tercantum pula adalah jenis luka, jenis kekerasan dan kualifikasi luka. Kesimpulan menjadi jembatan temuan ilmiah dengan manfaatnya sebagai pendukung penegakan hukum.

(7)

f. Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat Visum et Repertum.

4. Jenis Luka

Dua golongan luka menurut jenisnya, yakni (Idries, 2013):

a. Luka badan jasmani

1) Luka iris, sayat

2) Luka tusuk 3) Luka bacok 4) Luka lecet 5) Luka memar 6) Luka robek 7) Luka bakar 8) Luka tembak 9) Luka bakar

(8)

10) Luka listrik

11) Patah tulang

Istilah luka tangkis sering didapati pada kasus pembunuhan atau penganiayaan. Luka tangkis tersebut dapat terjadi ketika korban mempertahankan diri. Luka iris, sayat, tusuk, bacok, robek, dan luka tembak digolongkan menjadi luka terbuka.

b. Luka jiwa / rohani

Keterkaitan luka jiwa / rohani dalam suatu tindak pidana diatur pada pasal 351 ayat 4 dan 90 KUHP. Pasal 351 ayat 4 menyebutkan bahwa penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan dengan sengaja. Pasal 90 KUHP menyebutkan bahwa salah satu luka berat adalah terganggunya daya pikiran selama empat minggu lebih. Pemeriksaan keadaan kejiwaan mutlak dibutuhkan mengingat implikasi dari sebuah tindak pidana.

5. Kualifikasi Luka

Kualifikasi luka yang tercantum dalam bagian kesimpulan Visum et Repertum dikatakan baik apabila substansinya dapat memenuhi kualifikasi luka sesuai delik rumusan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Rumusan kualifikasi luka sesuai kebutuhan

(9)

hukum tercantum pada Pasal 351, 352, dan 90 KUHP (Herkutanto, 2005). Kualifikasi luka terbagi menjadi tiga, yakni (Idries, 2013):

a. Luka yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan b. Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan

dalam melakukan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu (hari / minggu / bulan)

c. Luka berat yang tercantum pada pasal 90 KUHP, berarti:

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut

2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian

3) Kehilangan salah satu panca indera 4) Mendapat cacat berat

5) Menderita sakit lumpuh

6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

(10)

6. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti Medik

Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah (KUHAP Pasal 184). Kata “bukti” merujuk pada suatu hal atau peristiwa dan sebagainya yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa tersebut (Mulyadi, 2008). Bukti secara terminologi hukum pidana adalah hal yang meunjukkan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan (Hamzah, 2008). Alat bukti adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu perbuatan, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna meyakinkan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa (Sasangka dan Rosita, 2003). Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Budiarto dan Saleh,1981).

Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari seorang ahli (dokter), termasuk alat bukti surat (Idries, 2009). Bagian pemberitaan Visum et Repertum dianggap sebagai pengganti alat bukti. Bagian kesimpulan Visum et Repertum menjembatani kebenaran dari kebisuan badan manusia dengan hukum, sehingga para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut badan manusia (Afandi, 2009).

Perjumpaan medis merupakan momen dimana badan menampakkan suatu tanda bahaya atau tidak. Dalam praktik kedokteran

(11)

perjumpaan terhadap badan ini dilakukan melalui pengecekan fisik, post-mortem, disiplin anatomi, psikiatri, radiologi, institusionalisasi rumah sakit dan dokter dalam praktik yang lazim. Perjumpaan klinis mengungkapkan berbagai rahasia saat dokter memeriksa dan meraba badan pasien. Perjumpaan medis dan perjumpaan klinis ini didapatkan dari badan yang cedera akibat suatu tindak pidana. Seonggok badan manusia mampu mengungkapkan banyak hal dalam berbagai dimensi kehidupannya (Jena, 2014).

Ahli dalam konteks pembuktian adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus mengenai suatu hal yang sedang diperkarakan guna membuat terang suatu peristiwa hukum. Seorang saksi ahli yang menyampaikan keterangan ahli berkedudukan sebagai saksi yang berkualifikasi untuk menjadi ahli dalam bidangnya seperti ilmuan, teknisi, ahli medis, dan ahli khusus lainnya (Gerstenfeld,2008). Dokter sebagai ahli di bidang medis berperan penting sebagai pakar di bidang medis untuk membuat terang perkara yang menyangkut badan manusia. Standar Prosedur Operasional di suatu rumah sakit tentang tatalaksana pengadaan Visum et Repertum mutlak diperlukan (Siswadja, 2004).

Kebutuhan akan keberadaan Visum et Repertum yang mengungkapkan keparahan luka atau berat ringannya suatu luka sangat krusial dan signifikan. Kesalahan dalam pembuatan Visum et Repertum sebagai alat bukti sama halnya dengan mempertaruhkan hak asasi manusia (Sutarno, 2014). Hal ini dikarenakan pembuktian tentang benar

(12)

tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Kesalahan pembuktian sama halnya dengan mempertaruhkan nilai manusiawi badan manusia. Kebenaran semu terlahir akibat kepalsuan Visum et Repertum (Sofyan, 2012).

7. Pemidanaan

Pemidanaan merupakan hasil putusan hakim yang berupa hukuman yang harus dijalankan oleh pelaku tindak pidana sebagai wujud pertanggungjawab pidana terhadap negara dan masyarakat. Hukuman ini didapatkan melalui putusan hakim (Mertokusumo, 2007).

Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim yang dinyatakan di dalam sebuah persidangan dengan tujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak (Nasir, 2003). Pernyataan hakim tersebut diucapkan pada sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Budiato dan Saleh, 1981). Pernyataan putusan yang diucapkan oleh hakim terkadang berbeda dengan apa yang tertulis. Putusan yang sah apabila terjadi perbedaan adalah apa yang diucapkan oleh hakim (Mertokusumo, 2007).

Hakim sebagai pejabat peradilan negara diberi kewenangan untuk mengadili. Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

(13)

pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Proses peradilan yang berbuah putusan bertujuan untuk menegakkan hukum, untuk mencari dan menemukan rasa keadilan. Penegakan hukum, bukan penegakan undang-undang (Taufiq, 2012).

Hukum yang ditegakkan merupakan keseluruhan ide dan nilai yang betujuan untuk menemukan dan memanfaatkan keseimbangan untuk mencapai kebahagiaan bersama (Hartono, 2012). Pihak yang berperkara berharap putusan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi (Makarao, 2004). Putusan yang memberikan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan ini dapat tercapai ketika hakim benar-benar memahami secara penuh perihal perkara, hukum yang mengaturnya baik peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis seperti hukum kebiasaan (Syahrani, 1998). Isi hukum harus benar, tepat dan adil (Manullang, 2007).

Putusan dilakukan oleh hakim ketika hakim memeriksa dan membuktikan bahwa memang benar terjadi tindak pidana. Proses pembuktian didasarkan pada ajaran atau teori sehingga pembuktian itu dapat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pembuktian. Beberapa macam teori pembuktian (Hiariej, 2012):

(14)

a. Conviction intime

Sistem pembuktian conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata. Tidak ada alat bukti yang dianggap kecuali keyakinan hakim itu sendiri. Pertimbangan putusan muncul dari hati nurani hakim.

Konsekuensi dari sistem pembuktian ini adalah tidak membuka kesempatan atau setidaknya menyulitkan terdakwa untuk mengajukan pembelaan sekalipun menyodorkan bukti-bukti sebagai pendukung pembelaannya itu. Sistem ini memungkinkan hakim menjadikan apapun dasar keyakinannya, misalnya keterangan dukun (Prodjodikoro, 1985).

Salah satu negara yang menggunakan sistem ini dalam persidangan perkara pidana adalah Amerika. Hakim merupakan hakim tunggal (unus judex) yang tidak menentukan benar salah seorang terdakwa. Juri yang menentukan.

b. Conviction rasionee

Sistem pembuktian conviction rasionee diartikan sebagai pembuktian yang menggunakan keyakinan hakim, namun dengan alasan-alasan yang rasional.

(15)

Hakim tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan keyakinannya seperti sistem pembuktian conviction intime.

Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).

c. Positief wettelijk bewijstheorie

Sistem pembuktian positief wettelijk bewijstheorie diartikan sebagai teori pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara negatif. Terpenuhinya alat bukti sesuai dengan undang-undang menjadikan hakim cukup alasan untuk menjatuhkan putusan, tanpa perlu timbul keyakinan atas kebenaran alat bukti yang ada.

Teori ini berkebalikan dengan conviction intime. Keyakinan hakim tidak mendapatkan kesempatan dalam menentukan putusan.

d. Negatief wettelijk bewijstheorie

Sistem pembuktian negatief wttelijk bewijstheorie diartikan sebagai teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Pembuktian yang menggunakan keyakinan hakim dan alat bukti yang tertuang dalam undang-undang. Sistem ini merupakan

(16)

gabungan antar sistem pembuktian undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) dan menurut keyakinan (conviction intime). KUHAP menganut sistem ini.

Tertuang pada Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Terlihat di dalam penjelasan undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indoneisa adalah sistem pembuktian undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum (Muhammad, 2011).

8. Bentuk-bentuk Putusan Hakim

Putusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:

a. Putusan pidana (sentencing)

Diri terdakwa dijatuhi hukum yang terbukti secara sah dan meyakinkan, sesuai dengan perkara pidana yang dilakukannya (Harahap, 2012). Sah dan meyakinkan menurut hukum apa yang didakwakan

(17)

oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya itu (Ishaq, 2014). Hakim bebas memilih salah satu atau tiga macam tindakan terhadap terdakwa dibawah 16 tahun, yaitu menjatuhkan pidana, menyerahkan terdakwa kepada orang tuanya / walinya, dan menyerahkan kepada pemerintah agar terdakwa dipelihara dalam tempat pendidikan sampai umur 18 tahun (KUHP Pasal 45). Pidananya berupa pidana pokok dan pidana tambahan (KUHP Pasal 10), yakni (Handayani, 2012): 1) Pidana pokok: a) pidana mati; b) pidana penjara; c) kurungan; d) denda. 2) Pidana tambahan

a) pencabutan hak-hak tertentu; b) perampasan barang-barang tertentu; c) pengumuman putusan hakim. b. Putusan bebas (vryspraak)

Peristiwa pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan sidang

(18)

pengadilan (Harahap, 2012). Terdakwa tidak dijatuhi pidana.

Putusan bebas yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana:

1) Pasal 44: perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan

2) Pasal 45: tindak pidana dilakukan oleh orang yang belum cukup umur 16 tahun

3) Pasal 48: orang melakukan tindak pidana karena pengaruh dayapaksa

4) Pasal 49: pembelaan diri

5) Pasal 50: untuk melaksanakan ketentuan undang-undang

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslog van rechts vervolging)

Perbuatan yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana (Ishaq, 2014).

9. Isi Putusan

Hal-hal yang harus dimuat dalam putusan adalah (Muhammad, 2011):

a. Berkepala: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

(19)

b. Identitas terdakwa c. Dakwaan

d. Pertimbangan yang lengkap e. Tuntutan pidana Penuntut Umum

f. Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah

h. Pernyataan kesalahan terdakwa

i. Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti j. Penjelasan tentang surat palsu

k. Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan

l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, Hakim dan panitera

10. Penganiayaan (mishandeling)

Penganiayaan adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada badan orang lain (Lamintang PAF dan Lamintang T, 2012). Bentuk pokok tindak pidana penganiayaan diatur dalam Bab ke-XX Buku ke-II KUHP Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang dirumuskan dalam bahasa Belanda dan diartikan sebagai berikut:

a. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah (sekarang: empat ribu lima ratus rupiah).

(20)

b. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat pada tubuh, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

c. Jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun

d. Disamakan dengan penganiayaan, yakni kesengajaan merugikan kesehatan.

e. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

Penganiayaan harus didasari opzet atau kesengajaan dari pribadi untuk:

a. menimbulkan rasa sakit pada orang lain, b. menimbulkan luka pada badan orang lain atau, c. merugikan kesehatan orang lain.

Pribadi harus mempunyai opzet yang ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan luka pada badan orang lain ataupun untuk merugikan kesehatan orang lain.

(21)

B. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Keberadaan Visum et Repertum berhubungan positif dengan putusan hakim pada tindak pidana penganiayaan.

Putusan hakim Pidana Pokok Pidana Penjara Bahan pertimbangan putusan Kualifikasi Luka Hakim Minimal 2 alat bukti

yang sah Menangani kasus diluar kompetensi Keterangan ahli Visum et Repertum Sedang Berat Ringan

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun interaksi antara ruang, frekuensi, dan volume penyiraman tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, tetapi dengan uji Tukey (taraf 5%) menunjukkan bahwa pada

Pembelajaran literasi bermuatan anti kekerasan berbasis gender (KBG) berfokus pada dua hal yaitu (1) mengembangkan modul literasi fungsional bermuatan anti kekerasan yang

penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan data-data yang ada yaitu tentang kebijakan pemerintah Indonesia dalam menyikapi tindakan penyadapan oleh Australia

Dari penelitian diperoleh data bahwa pandangan tokoh masyarakat tentang larangan kawin karena hamil di luar nikah ini adalah aturan yang telah disepakati bersama di

Kanazawa et a1 .(1992) mencatat bahwa kandungan vitamin C dihati benih ikan ekor kuning yang diberi pakan dengan suplementasi L-askorbil-2-phosphate magnesium lebih

Bila mencermati upaya pengembangan sarana dan prasarana yang dilakukan di desa lokasi penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya tersebut belum menunjukan hasil

Dikhawatirkan usaha yang ada akan kalah bersaing dengan UKM di daerah lain yang mana pemerintah daerahnya telah memiliki database pusat- pusat informasi

$ahap peren#anaan merupakan suatu tahapan yang penting dalam menentukan keberhasilan tahap selanjutnya karena sangat berguna untuk  menyesuaikan antara kebutuhan