• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh aspek kehidupan termasuk diantaranya ada proses pendidikan. Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama, oleh karena itu keterlambatan melakukan koreksi terutama pada anak usia sekolah akan sangat mempengaruhi kemampuan menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi untuk meningkatkan kecerdasan (Depkes RI, 2009), meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering kali kesehatan mata kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit yang menyerang mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan (kelainan refraksi) sampai kebutaan. Untuk itu kita harus ingat kepada Allah SWT yang menciptakan kita sebagai manusia, karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat An-Nahlayat 78 :

َﻊْﻤﱠﺴﻟﺍ ُﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟَﻭ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﺗﺎَﻬﱠﻣُﺃ ِﻥﻮُﻄُﺑ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﺟَﺮ ْﺧَﺃ ُ ﱠﷲَﻭ ) َﻥﻭُﺮُﻜْﺸَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ َﺓَﺪِﺌْﻓﻷﺍَﻭ َﺭﺎَﺼْﺑﻷﺍَﻭ

٧٨ ( Artinya:

Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kalian bersyukur (Q.S. an-Nahl/16:78)

(2)

Mata merupakan jalur informasi utama dari panca indera. Adanya kelainan refraksi akan menurunkan produktifitas dan menimbulkan keluhan seperti sakit kepala dan menghambat kelancaran aktifitas sehari-hari. Kelainan refraksi khususnya myopia hampir menjadi epidemik di negara Asia. Penelitian di Australia menunjukkan prevalensi kelainan refraksi terjadi pada usia yang lebih rendah dibandingkan di Negara Eropa dan Amerika (Saw et al. 2004; Huynh, 2007). Di Indonesia gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi sebesar 22,1 %, sementara angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5 % dari kebutuhan (Ilyas, 2007).

Telah lama diamati di beberapa Negara seperti Israel, Amerika, dan New Zealand bahwa myopia sering terjadi pada anak yang mempunyai Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi (Saw et al, 2004). Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa anak-anak yang sering menggunakan mata untuk melihat dalam jarak dekat lebih sering menderita myopia. Waktu belajar yang lama di sekolah-sekolah terbukti mempertinggi angka myopia di Asia, rendahnya aktifitas fisik dan lebih menyukai menonton televisi juga mempengaruhi terjadinya kelainan refraksi (Mutti, 2002).

Kelainan refraksi menunjukkan angka kejadian (0,14%) dan glaucoma menunjukkan angka kejadian (0,20%). Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan yang mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi dengan pemberian kacamata, namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah serius jika tidak cepat ditanggulangi. Sekitar 10% dari anak usia sekolah (5-19 tahun)

(3)

menderita kelainan refraksi dan angka pemakaian kacamata koreksi sampai saat ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan.

Progam penanggulangan masalah kesehatan mata sudah berjalan cukup lama yaitu sejak tahun 1975, namun sampai saat ini pemerintah belum memberikan prioritas yang cukup untuk kesehatan mata. Kelainan refraksi masih mempunyai prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan penyakit menular.

Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk myopia, hypermetropia, dan astigmatisma (Ilyas, 2006).

World Health Organization (WHO), 2009, menyatakan terdapat 45 juta orang yang mengalami buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Setiap tahun tidak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan, setiap 5 menit sekali ada satu penduduk bumi menjadi buta dan setiap 12 menit sekali terdapat satu anak mengalami kebutaan. Sekitar 90 % penderita kebutaan dan gangguan penglihatan ini hidup di negara-negara miskin dan terbelakang (Tsan, 2010).

Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus (Ilyas, 2004). Kelainan refraksi biasa disebabkan oleh adanya faktor kebiasaan membaca terlalu dekat sehingga menyebabkan kelelahan pada mata (astenopia) dan radiasi cahaya yang berlebihan yang diterima mata, diantaranya adalah radiasi cahaya komputer dan televisi (Gondhowiharjo, 2009). Pada

(4)

gangguan yang disebabkan komputer, hal ini akan menyebabkan terjadinya Computer Vision Syndrome (CVS). Situasi tersebut menyebabkan otot yang membuat akomdasi pada mata akan bekerja semua (Gondhowiharjo, 2009).

Myopia adalah ketidakmampuan untuk melihat objek pada jarak jauh dengan jelas. Pada orang dengan myopia, bola mata akan lebih panjang dari normal sehingga sinar yang datang dari objek yang jauh difokuskan di depan retina. Myopia dapat diklasifikasikan menjadi myopia simpleks (myopia yang fisiologik) dan myopia degeneratif (myopia patologik). Mata dengan myopia simpleks mempunyai kelainan refraksi kurang dari 6 Dioptri dan tidak terdapat perubahan patologis sedangkan mata dengan myopia degeneratif mempunyai kelainan refraksi paling sedikit 6 Dioptri dan berhubungan dengan perubahan degeneratif terutama di segmen posterior bola mata (Rizki, 2011).

Myopia merupakan kelainan optik yang sering dijumpai. Pada fisiologi myopia, kekuatan lensa kurang dari -6 D, hal ini dianggap variasi biologi yang normal. Keadaan mata yang ”error” yaitu dengan kekuatan lensa lebih dari – 6 D disebut sebagai myopia tinggi. Dimana pada keadaan ini, panjang aksial myopia tersebut tidak dapat stabil selama dewasa muda. Patofisiologi dari progresivitas kelainan ini sebagai bentuk degeneratif myopia yang tidak diketahui. Berikut ini bisa kita lihat perbedaan bola mata normal dan myopia (Rizki, 2011).

Keterlambatan melakukan koreksi refraksi terutama pada anak usia sekolah akan sangat mempengaruhi kemampuan menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi untuk meningkatkan kecerdasan karena 30% informasi diserap dengan melihat dan mendengar (Direktorat PLB, 2004). Orang dengan

(5)

myopia cenderung mempunyai IQ nonverbal yang lebih tinggi (saw, 2004). Hal yang sama juga didapatkan oleh peneliti-peneliti lain. Peneliti pada anak-anak myopia di London, menunjukkan bahwa mereka belajar lebih keras dan lebih memperhatikan pelajaran di kelas, mempunyai banyak hobi akademik. Hasil temuan ini sangat berhubungan dengan usia awal ketika miopia dan lingkungan di sekitar rumah (Douglas, 1967).

Intelligence Quotient (IQ) merupakan istilah dari pengelompokan

kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari prancis pada awal abad ke-20. Kemudaian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya tes IQ tersebut dikenal sebagai Tes Stanford-Binet. Pada masanya Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut (Goleman, 1995).

(6)

Intelligence Quotient (IQ) diyakini menjadi sebuah ukuran standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak orang tua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ di atas 130. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang mempunyai IQ lebih dari 160 (Goleman, 1995).

Namun dalam perjalanan berikutnya orang tua mengamati, dan pengalaman memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang penting untuk menapak tangga karier. Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorangbisa bekerja dalam tim, seberapa bisa menenggang perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang lain. Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan (Goleman, 1995).

Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola. Ada juga yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan

(7)

menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan seterusnya (Goleman, 1995).

Kemudian dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dibanding Intelligence Quotient (IQ). Intelligence Quotient (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hampir seluruhnya terbukti) menghantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Disinilah kecerdasan emosi atau emotional quotient (EQ) membuktikan eksistensinya (Goleman, 1995).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka peneliti mencoba merumuskan suatu masalah yaitu " Adakah hubungan kelainan refraksi terhadap prestasi akademik khususnya siswa SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta".

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

(8)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan kelainan refraksi terhadap prestasi akademik siswa SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta.

b. Mengetahui tingkat kelainan refraksi terhadap prestasi akademik siswa SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan serta wawasan baru tentang kelainan refraksi khususnya cara deteksi dini kelainan refraksi anak di usia sekolah.

2. Bagi Profesi Dokter dan Praktisi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai informasi bagi peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

3. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pembelajaran serta dijadikan salah satu program sekolah untuk mendetaksi dini kelainan refraksi pada siswa sekolah.

4. Bagi Puskesmas atau Rumah Sakit

Diharapkan Puskesmas akan lebih meningkatkan pemeriksaan kesehatan atau skrining di sekolah agar bisa mendeteksi masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah.

(9)

Peneliti ini diharapkan menjadi bahan bacaan dan referensi serta sebagai acuan dalam pembuatan penelitian selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

· Elda Nazriati dan Chandra Wijaya tahun 2004, mengadakan penelitian yang berkaitan tentang hubungan kelainan refraksi dengan prestasi akademik dan pola kebiasaan membaca pada mahasiswa. Populasi penelitian ini meliputi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau angkatan 2007, 2006, 2005 yang tercatat sebagai mahasiswa aktif dan bersedia mengisi kuisioner. Sampel penelitian sebanyak 242 orang yang menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang memiliki IPK baik dan menderita kelainan refraksi 45 orang (53,57%), sedangkan yang mempunyai IPK baik tetapi tidak menderita kelainan refraksi berjumlah 39 orang (46,43%). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai prestasi akademik baik memiliki kecenderungan lebih besar untuk menderita kelainan refraksi.

· R.A Fabiola Meirnayati Trihandini, SPsi tahun 2005, mengadakan penelitian yang berkaitan tentang analisis pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan. Populasi penelitian ini meliputi karyawan Hotel Horizon Semarang. Terdapat 95 responden yang telah dipilih sebagai sampel dengan menggunakan teknik pengambilan sampel berupa

(10)

random sampling. Metode pengambilan data menggunakan kuisioner dan tes IQ. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar adalah keerdasan emosi. Namun kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama penting baik secara individu atau secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan.

· Elda Nazriati dan Chandra Wijaya tahun 2013, mengadakan penelitian yang berkaitan tentang analisis faktor risiko myopia pada murid sekolah dasar. Populasi penelitian meliputi beberapa sekolah dasar negeri di Pekanbaru. Metode pengambilan sampel data dengan menggunakan kuisioner dengan bantuan orang tuanya. Sampel penelitian terdapat 64 murid SD yang menderita myopia. Kemudian 64 orang menjadi kelompok kontrol. Karakteristik myopia pada responden penelitian adalah lebih banyak pada wanita (78%), sebagian besar (83%) berupa myopia ringan dan mulai terjadi peningkatan drastis pemakaian kacamata koreksi terbanyak pada usia 9 tahun. Hal ini akan mempengaruhi prestasi belajar dan aktifitas fisik terutama pada anak-anak.

Dari penelitian di atas menyatakan bahwa penelitian tentang Hubungan Kelainan Refraksi dengan Prestasi Akademik SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta belum pernah diteliti sebelumnya.

Gambar

Gambar 1. Perbedaan bola mata normal dan myopia

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum dengan penggunaan kos- metika anti aging wajah berpengaruh terhadap perubahan tekstur, yaitu Permukaan kulit (dapat dilihat dan diraba) permukaan pada kulit yang

Setelah melewati tahapan pertama dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni tahapan searching atau pencarian bahan-bahan atau referensi yang berkaitan dengan permasalahan

setelah menganalisis video pembelajaran, siswa dapat mengaitkan hubungan antara informasi yang didapat dari video tersebut dengan penerapan nilai-nilai Pancasila sila ke-1 dan

Pada kategori kualitas lingkungan, kata kunci ruang terbuka hijau merupakan kata kunci terbanyak yang diuraikan oleh responden de- ngan jumlah 17 atau 85% dari

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K – Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram, dapat

(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing- masing dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pengendalian

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar

Penelitian ini yang bertujuan untuk menelaah pengaruh dosis biochar dan pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays L. saccharata Sturt.)