• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MANHAJ AL-MUFASSIRI<N; TINJAUAN UMUM DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA. Kata manhaj merupakan salah satu bentukan kata dari akar kata nahaja yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MANHAJ AL-MUFASSIRI<N; TINJAUAN UMUM DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA. Kata manhaj merupakan salah satu bentukan kata dari akar kata nahaja yang"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net30 BAB II

MANHAJ AL-MUFASSIRI<N;TINJAUAN UMUM DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

A. PengertianManhaj al-Mufassiri>n

Kata manhaj merupakan salah satu bentukan kata dari akar kata nahaja yang berarti jalan yang terang. Sehingga kalimatintahaja al-t}ari>q diartikan dengan “mengikuti atau melalui”, yang memberikan indikasi bahwa sudah ada petunjuk atau rambu-rambu mengenai jalan yang dilalui itu. Karena itulah katamanhaj lebih dimaknai sebagai cara dan metode.

Pengertian secara bahasa ini tidak jauh berbeda dengan makna kata metode itu sendiri. Sebab kata tersebut disadur dari bahasa Inggris yaitu method, di mana kata methode ini tersusun dari kata Latin meta dan hodos. Masing-masing, meta berarti sesudah (مات ) atau jalan; sedangkan katahodosberarti petunjuk ( هدى ). Gabungan kedua kata tersebut membentuk kata majemuk methodos yang berarti suatu cara mengerjakan sesuatu obyek.

Adapun kata al-mufassiri>n, ia merupakan ism al-fa>‘il dari akar kata fassara-yufassiru-tafsi>ran yang berarti menyingkapkan maksud suatu lafal yang musyki>l dan pelik atau memberikan penjelasan. Sebab kata al-fasr itu sendiri berarti menyingkap yang tertutup, keadaan nyata dan jelas. Hanya saja kata tafsi>r dalam

(2)

kebanyakan penggunaan kesehariannya dan itulah yang dimaksud dalam makalah ini adalah memberikan penjelasan atau upaya memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Mufassi>r adalah orang yang melakukan upaya untuk memahami Al-Qur’an (tadabbur) atau orang yang berupaya menjelaskan makna dan kandungannya.

Berdasarkan pengertian kedua kata di atas, maka manhaj al-mufassiri>n diartikan sebagai cara kerja atau metode yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Namun sebelum lebih jauh melihat apa dan bagaimana manhaj al-mufassiri>n itu, alangkah baiknya bila kata ini saling diperhadapkan dengan kata manhaj al-tafsi>r atau metodologi tafsir. Sebab keduanya saling terkait bahkan sulit untuk dipisahkan karena metodologi tafsir itulah yang menjadi cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hanya saja metodologi tafsir merupakan suatu sistem pengetahuan tentang cara menafsirkan Al-Qur’an, baik dari segi makna-makna, hukum-hukum, dan hikmah-hikmah yang dikandungnya. Di antara metodologi tafsir ini yaitu metode pendekatan, metode pengumpulan data, analisis data, tehnik interpretasi, dan kesimpulan. Sementara manhaj al-mufassiri>n lebih ditekankan pada cara dan metode yang dipergunakan seorang mufasir sejak Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah swt.

(3)

Kata "model" sebenarnya berasal dari bahasa Italia, modello, yang berarti cara, sifat, bentuk. Dari makna tersebut sehingga arti kata "model" dapat dirinci –paling tidak- ke dalam tiga defenisi, yaitu; 1) suatu tipe atau desain, 2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati, 3) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat aslinya.

Berdasarkan pengertian di atas, penulis melihat bahwa kata "model" di sini secara umum –sekalipun secara sadar penulis mengakui sulit menarik sebuah kesimpulan pasti tentang maksud dari kata tersebut- berarti bentuk-bentuk penafsiran seorang mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Mengenai model atau bentuk metode para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an –bagi penulis- sangat erat kaitannya dengan sumber tafsir itu sendiri, bahkan penulisan, pembahasan, dan corak penafsiran juga termasuk di dalamnya. Oleh karena itu metode penafsiran yang ditempuh oleh seorang mufassir dapat diklasifikasi ke dalam empat model, yaitu;

1. Ditinjau dari segi sumbernya

Sumber tafsir yang dimaksud di sini adalah faktor yang dijadikan sebagai pegangan dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur'an. Dan berbicara mengenai hal itu, maka semestinya penelitian tersebut harus merujuk kepada cara nabi dalam menafsirkan

(4)

penuh untuk menjelaskan Al-Qur'an. Dan di sana ditemukan bahwa Rasulullah saw dalam menafsirkan Al-Qur’an terkadang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, wahyu (petunjuk Allah tapi bukan dengan Al-Qur’an), atau dengan pengetahuan bahasa.

Dari data tersebut dapat dikemukakan bahwa sumber-sumber tafsir pada masa Rasulullah adalahriwa>yat dandira>yat. Ini berimplikasi bahwa untuk pengembangan metodologi tafsir tidaklah beralasan membatasi diri pada satu sumber saja, riwayatatau dirayat, tetapi hendaknya kedua unsur tersebut dipergunakan bersama. Bahkan sebagian ulama menambahkan satu sumber tafsir yaitu tafsir sufi atautafsi>r isya>ri>.

Bila sumber penafsiran ini diartikan umum maka kita akan melihat bahwa ada tafsir yang bersumber melalui periwayatan (tafsi>r bi al-ma's\u>r), ada juga yang bersumber melalui akal atau pemikiran (tafsi>r bi al-ra'yi) atau dalam istilah Muin Salim yaitu tafsir berdasarkandira>yat(pengetahuan), ada pula yang memasukkan jenis yang ketiga yaitu tafsir bi al-isya>ri>atau penafsiran yang didasari oleh isyarat-isyarat atau intuisi spiritual.

Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategoritafsi>r bi al-ma’s\u>r, yaitu; a. Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, karya Muh}ammad ibn Jari>r

al-T{abari> (w. 310 H). Terkenal dengan namaTafsi>r al-T{abari>.

b. Bah}r al-‘Ulu>m, karya Nas}r ibn Muh}ammad al-Samarqandi> (w. 373 H). Terkenal dengan namaTafsi>r al-Samarqandi>.

c. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, karya Isma>‘i>l ibn ’Umar al-Dimasyqi> (w. 774 H). Terkenal dengan namaTafsi>r Ibn Kas}i>r.

(5)

Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategoritafsi>r bi al-ra’yi, yaitu; a. Mafa>tih} al-Gai>b, karya Muh}ammad ibn ‘Umar ibn al-H{usain al-Ra>zi> (w.

606 H). Terkenal dengan namaTafsi>r al-Ra>zi>.

b. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l, karya ‘Abdulla>h ibn ‘Umar al-Baid}a>wi> (w. 685 H). Terkenal dengan namaTafsi>r al-Baid}a>wi>. c. Ru>h} al-Ma‘a>ni>, karya Syiha>b al-Di>n Muh}ammad al-Alu>si>

al-Bagda>di> (w. 1270 H). Terkenal dengan namaTafsi>r al-Alu>si>.

Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategoritafsi>r bi al-isya>ri>, yaitu; a. H{aqa>iq al-Tafsi>r, karya Muh}ammad ibn al-H{usain ibn Musa al-Azadi>

al-Sulami> (330-412 H).

b. ’Ara>is al-Baya>n fi> H{aqa>iq al-Qur’a>n, karya Abu> Muh}ammad al-Syaira>zi> (w. 666 H).

c. Al-Ta’wi>la>t al-Najmiyah, karya Najm al-Di>n Da>ya al-Ra>zi> (w. 654 H). 2. Ditinjau dari segi penulisannya

Sebagaimana telah diketahui bahwa keberadaan tafsir bersamaan dengan keberadaan Al-Qur’an. Sebab Rasulullah yang menerima Al-Qur’an sekaligus beliau menjadi penafsir pertama. Hanya saja, Rasulullah saw dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak disertai dengan tulisan tetapi secara lisan semata.

Karena itu, berbicara mengenai model penafsiran dari segi penulisannya atau kodifikasinya maka dapat dilihat dalam tiga periode. Periode I, yaitu masa Rasulullah saw.,

(6)

sahabat, dan permulaan masa tabi‘in. Di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd. Al-‘Azi>z (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis nabi, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis umumnya adalahtafsi>r bi al-ma’s\u>r. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra> (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudulMa‘a>ni al-Qur’a>n.

Hanya saja, penulisan kitab tafsir sejak awal periode III itu tidak sama, dengan kata lain, model penulisan kitab tafsir beraneka ragam. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa model penulisan tersebut dapat diklasifikasi dalam tiga bagian, yaitu;

a. Kitab tafsir yang disusun secaraijma>li>

Sesuai dengan namanya ijma>li>, maka model penulisan yang dimaksud adalah tafsir Al-Qur’an secara global dengan tidak menuliskan seluruh ayat Al-Qur’an sesuai dengan susunannya tetapi yang ditafsirkan atau yang ditulis hanyalah beberapa ayat tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka tentang ayat tersebut, baik dari segi ilmu bahasa Arab maupun wawasan keilmuan lainnya.

Termasuk dalam kategori kitab tafsir yang disusun secara ijma>li> adalah kitab tafsir karangan Sufya>n al-S|auri> (97-161 H). Ma>ni‘ ‘Abd al-H{ali>m mengakui bahwa Sufya>n al-S|auri> tidak mempunyai kitab tafsir yang terkenal. Ulama yang menyandarkan

(7)

tafsir kepadanya hanya mengambil nukilan-nukilan dari penafsirannya yang terdapat di beberapa kitab.

Namun seiring perjalanan waktu dan penelitian yang lebih jauh, Prof. Imtiya>z ‘Ali Irsyi>, Kepala Perpustakaan Ridha di kota Rambor India berhasil menemukan tafsir Al-Qur’an karangan Sufya>n al-S|auri>, bahkan ia –Imtiya>z ‘Ali Irsyi>- telah meneliti dan mengoreksi serta mensahihkan riwayat dari al-S|auri> tersebut.

b. Kitab tafsir yang disusun secaratah}li>li>

Pada dasarnya, kata tah}li>li> diidentikkan dengan metode yang dipergunakan dalam pembahasan atau memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an dan hadis Nabi, sehingga lahirlah istilahtafsi>r tah}li>li>danh}adi>s\ tah}li>li>. Namun karena model penulisannya yang disusun ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf. Dan model tafsir seperti ini cukup banyak, di antaranya Ja>mi‘ al-Baya>n fi> al-Tafsi>r al-Qur’a>n karangan Ibnu Jari>r al-T{abari> (225-310 H), Tafsi>r al-Mara>gi>karangan Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>gi> (1298-1364 H), dan Mafa>tih al-Gai>b karya al-Fakhr al-Ra>zi> (544-605 H).

c. Kitab tafsir yang disusun secaramaud}u>’i>

Model penulisan tafsir yang seperti ini tergolong sebagai sebuah terobosan baru karena sejak periode III dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para mufasir menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf sebagaimana yang disebutkan di atas dengan model penulisantah}li>li>.

(8)

Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mah}mu>d Syalt}u>t} menyusun kitab tafsirnya, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, di mana ia tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.

Namun apa yang ditempuh oleh Syalt}u>t} belum bisa memaparkan petunjuk Al-Qur’an secara utuh, karena seperti diketahui bahwa satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkannya antara satu dengan yang lain, lalu menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh.

Di antara karya tafsir yang penulisannya menggunakan metode ini, yaitu;al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n karya ‘Abba>s Mah}mu>d al-’Aqqa>d, al-Riba> fi> al-Qur’a>n karya Abu> al-A‘la> al-Maudu>di>, dan al-‘Aqi>dah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muh}ammad Abu> Zahra, dll.

3. Ditinjau dari segi pembahasannya

Metode pembahasan yang dimaksud di sini adalah cara dan bentuk pemaparan seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tentunya dengan keanekaragaman latar belakang dan sudut pandang seorang mufasir sehingga pembahasan sebuah kitab tafsir berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, modelmanhaj al-mufassiri>n ditinjau dari segi pembahasannya merupakan sistem pemaparan seorang mufasir dalam kitabnya.

(9)

Untuk itu, sepertinya akan lebih mudah dan efisien, bila kajian ini bertitik tolak dari pandangan al-Farma>wi> yang membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu tah}lili>, ijma>li>, muqa>ran, danmaud}u>’i>.

Oleh karenanya, penulis melihat bahwa model pemaparan mufasir dalam kitab tafsirnya dapat diklasifikasi menjadi empat bagian, yaitu;

a. ModelIjma>li> (Global).

Secara etimologi, kata al-ijma>li> berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Sehingga yang dimaksud dengan metode ijma>li> adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan kandungannya secara ringkas tapi meyeluruh, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.

Dengan kata lain, pembahasan tafsirijma>li> hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Termasuk dalam karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsi>r al-Fari>d li al-Qur’a>n al-Maji>d karya Dr. Muh}ammad ‘Abd al-Mun‘i>m yang hanya mengedapankan arti kata-kata (al-mufradah), asba>b al-nuzu>l dan penjelasan singkatnya. Begitu juga tafsi>r Jala>lain karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> dan Jala>l al-Di>n al-Mah}alli>, serta Fath} al-Baya>n fi> Maqa>s}id al-Qur’a>n karya S{iddiq H{asan Kha>n.

(10)

Secara etimologi, model atau metodetah}li>li> adalah suatu cara menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung pada ayat-ayat yang ditafsirkan sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Dalam metode ini, mufasir menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan runtutannya dalam mushaf utsmani. Dimulai dengan menganalisis ayat dengan mengemukakan arti kosa kata (mufradat), ungkapan dan konotasi kalimatnya. Selanjutnya menerangkan arti yang dikehendaki ayat dan sasaran yang dituju ayat tersebut. Menjelaskan apa yang dapat diistimbatkan dari ayat tersebut, berikut kolerasi antara ayat-ayat dan hubungannya dengan surah sebelum dan sesudahnya.

Penafsir juga merujuk pada asba>b al-nuzu>l untuk sampai pada pesan yang dimaksud, tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang berkenaan dengan ayat-ayat tersebut. Baik itu yang berasal dari Nabi, sahabat para tabi‘in maupun ahli tafsir lainnya.

Aplikasi metode ini dapat dilihat dalam berbagai karya tafsir diantaranya : Ja>mi‘ al Baya>n fi> at-Tafsi>r al-Qur’a>n karangan imam Ibnu Jari>r at-T{abari>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Ibnu Kasi>r, Mafa>tih} al-Gai>b karya al-Fakhr al-Ra>zi> dan lain sebagainya.

(11)

Model atau metode muqa>ran yang dimaksud di sini adalah metode yang menggunakan pendekatan perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Pengertian ini bisa dipahami dalam beberapa bentuk, yaitu :

Pertama, metodemuqa>ran bisa diartikan sebagai metode yang digunakan dengan cara membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kemiripan redaksi tetapi maksudnya berbeda, atau memiliki redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama.

Kedua, membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan. Ketiga, membandingkan berbagai pendapat para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan mereka yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an.

Di antara kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Rawa>’i al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Ah}ka>m karya ‘Ali al-S}abu>ni> dan al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n karya Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakar al-Qurt}u>bi>.

d. ModelMaud}u>’i>

Perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan manusia menuntut adanya metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang memproduksi penafsiran yang dapat menjadi solusi bagi tiap permasalahan tersebut. Salah satunya adalah metode maud}u>’i> (tematik).

(12)

Metode ini berarti menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah atau tema yang bertujuan sama untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara dan syarat tertentu untuk menerangkan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan antara yang satu dan yang lainnya dengan kolerasi yang bersifat komprehensif.

Kajian tafsir maud}u>’i> dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu : pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskanmuna>sabah antara ayat dalam surat tersebut sehingga surat itu tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Kedua, menghimpun ayat-ayat dari keseluruhan Al-Qur’an di bawah satu tema yang sama.

Dengan metodemaud}u>’i>, selain mufasir mencoba mengkaji Al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus, mufasir juga dapat mengarahkan pandangannya pada problem baru dan berusaha memberikan solusi melalui petunjuk Al-Qur’an sambil memperhatikan hasil pemikiran dan penemuan manusia, sehingga muncul karya ilmiah menurut topik tertentu dalam prespektif Al-Qur’an, misalnya :al-Insa>n fi> Al-Qur’a>n, al-Mar’ah fi>> al-Qur’a>n dan lain sebagainya.

Jika dilihat dari sejarahnya, Tafsir Maud}u>’i> bukanlah merupakan fenomena baru. Menurut Al-Farma>wi>, benih penafsiran seperti ini sudah ada sejak zaman Nabi

(13)

saw. sebab penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menurutnya merupakan embrio bagi munculnya tafsirmaud}u>’i> selain merupakantafsi>r bi al-ma’s\u>r.

Akan tetapi, istilah tafsir al-maud}u>’i> itu sendiri diperkirakan baru lahir pada sekitar abad empat belas hijrah (19 M), ketika metode tafsir ini ditetapkan sebagai matakuliah di jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin di Ja>mi‘ah al-Azhar yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Ah}mad Sayyid al-Ku>mi> dan Abd. Al-H{ayy al-Farma>wi>. Adapun di Indonesia, tafsir dengan metode ini diprakarsai oleh M. Quraish Shihab. yang bisa dilihat dalam karya tafsirnya, khususnya Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.

4. Ditinjau dari segi coraknya

Model penafsiran ditinjau dari segi coraknya dikenal dengan istilah alwa>n al-tafsi>r atau dalam istilah yang lain disebut denganal-ittija>h al-fikri> atau pola pikir yang dipergunakan untuk membahas suatu masalah. Pola pikir seperti ini disebut juga dengan pendekatan, di mana pendekatan itu bisa saja berbeda sesuai dengan perbedaan jurusan dan keahlian seorang mufasir, apatah lagi Al-Qur’an memiliki obyek formal tafsir yang beraneka ragam. Tidak hanya mencakup masalah kepercayaan, hukum, dan akhlak, tetapi juga masalah-masalah kemasyarakatan, masalah futurologi, masalah kefilsafatan, bahkan pengetahuan alam seperti falak dan pengobatan.

(14)

Oleh karena itu, Quraish Shihab menyebutkan beberapa alwa>n al-tafsi>r atau corak tafsir yang dikenal dan berkembang dalam dunia penafsiran. Di antaranya;

a. Corak sastra bahasa

Corak ini lahir akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini. Di antara kitab tafsir yang menggunakan corak seperti ini adalahal-Kasysya>f ’an H{aqa>iq Hawa>mid al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l karya Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsyari> (476-538 H).

b. Corak filsafat dan teologi

Corak ini lahir akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi semua pihak, serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah al-S{a>fi> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya Muh}ammad ibn al-Syah Murtad}a> (w. 1090 H) yang merupakan salah satu kitab yang bernuansa Syi’ah.

c. Corak penafsiran ilmiah

Corak ini lahir akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan perkembangan ilmu pengetahuan. Di antara kitab

(15)

tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>mkarya Syaikh T{ant{a>wi> Jauha>ri> (1287-1358 H).

d. Corak fiqih atau hukum

Corak ini lahir akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka tentang ayat-ayat hukum. Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n karya Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakar al-Qurt}u>bi>.

e. Corak tasawuf

Corak ini muncul akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderugan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah H{aqa>iq al-Tafsi>r, karya Muh}ammad ibn al-H{usain ibn Mu>sa> al-Azadi> al-Sulami> (330-412 H).

f. Corak sastra budaya kemasyarakatan.

Corak ini mulai muncul pada masa Muh}ammad ’Abduh (1849-1905 M) yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar. Di

(16)

antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m atau Tafsi>r al-Mana>r karya Muh}ammad ’Abduh dan Muh{ammad Rasyi>d Rid}a> (w. 1354 H).

C. Sejarah perkembanganManhaj al-Mufassiri>n

Mengenai sejarah perkembanganmanhaj al-mufassiri>n, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dengan sejarah perkembangan tafsir, bahkan lebih dari itu sejarah perkembangan manhaj al-mufassiri>n juga erat kaitannya dengan model-model penafsiran yang telah disebutkan di atas.

Sebab sejak Rasulullah, dikenal dua cara penafsiran Al-Qur’an. Pertama, penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra’yi. Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an di samping ayat Al-Qur’an sendiri, juga riwayat dari nabi dan ijtihad mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Bahkan lahir pula istilah tafsi>r isya>ri>yang lebih menitikberatkan pada intuisi dan pemahaman spiritual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Oleh karena itu, mengenai sejarah perkembangan ini, penulis mencoba mengklasifikasinya dalam dua bagian, yaitu:

(17)

1. Dilihat dari aspek pembahasannya.

Pada zaman Nabi dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asba>b al-nuzu>l), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak begitu membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijma>l). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan metode global dalam penafsiran Al-Qur’an pada abad-abad pertama.

Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam; berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.

Kondisi seperti yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tah}li>li>), sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsirtah}li>li>, sepertiTafsi>r al-T{abari> dan lain-lain. Metode penafsiran

(18)

serupa terasa lebih cocok di saat itu karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, umat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an di dalam kitab tersebut. Kemudian metode penafsiran serupa itu diikuti oleh ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’s\u>r dan al-ra’yi> dengan berbagai corak yang dihasilkannya, sepertifiqh, tasawuf, falsafi>, ‘ilmi>, adabi ijtima>’i>dan lain-lain.

Dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran tersebut dengan berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal ia membawa pengertian yang berbeda. Demikian ditemukannya hadis-hadis yang secara lahiriyah ada yang tampak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, padahal secara teoritis hal itu tak mungkin terjadi karena keduanya pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama, yakni Allah.

Kenyataan sebagaimana yang digambarkan itu mendorong para ulama untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah diberikan oleh para ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqa>ran) seperti yang diterapkan oleh al-Iska>fi> di dalam kitabnya Durra>t al-Tanzi>l wa Gurra>t

(19)

al-Ta’wi>l, dan oleh al-Karma>ni> di dalam kitabnya al-Burha>n fi> Tauji>h Mutasya>bah al-Qur’a>n, dan lain-lain.

Permasalahan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik secara individual maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi terasa seakan-akan tak punya waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar-besar sebagaimana telah disebutkan tadi. Padahal untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur’an umat dituntut membaca kitab-kitab tafsir tersebut.

Untuk menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maud}u>’i>).

Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam kitab tafsir itu.

2. Dilihat dari aspek penyajiannya

Bila yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan tafsir atau manhaj al-mufassiri>n dari segi pembahasannya, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi penyajiannya. Di sini penulis menggunakan kata “penyajian” untuk tidak membatasi makna

(20)

yang diinginkan sebab bila yang dipergunakan kata “penulisan” maka sepertinya penafsiran di zaman Nabi, sahabat, dan tabi’in sulit terwakili karena di sana penafsiran secara umum dilakukan secara lisan.

Oleh karena itu, al-Z|ahabi> dalam kitabnya al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n mengklasifikasi sejarah perkembangan ini ke dalam beberapa fase, yaitu:

a. Fase Nabi dan para sahabatnya, pada fase ini Al-Qur’an ditafsirkan tidak secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja. Dengan kata lain, penjelasan yang diberikan hanya bersifat global disebabkan kemampuan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an tidak diragukan sekalipun kualitas kecerdasan mereka berbeda-beda. Dan juga secara umum penafsiran tersebut belum ditulis karena penulisan itu baru terjadi pada abad ke-II Hijriah. Di antara mufasir dari kalangan sahabat di antaranya Ibn ‘Abba>s, ‘Abdulla>h ibn Mas‘u>d, Ubay ibn Ka‘ab, dll. b. Fase para tabi‘in. Tatkala daerah Islam telah berkembang luas, maka ulama-ulama

tafsir (sahabat-sahabat Nabi) banyak yang pindah ke daerah-daerah tertentu. Di sanalah mereka membentuk madrasah-madrasah di beberapa kota, antara lain di Makkah al-Mukarramah terdapat Madrasah Ibn ‘Abba>s. Di sana ia mempunyai banyak murid termasuk Sa‘i>d bin Jubai>r, Muja>hid, dan Ikri>mah. Sementara di Kota Madinah terdapat Madrasah Ubay ibn Ka‘ab. Di sana Ubay memiliki murid, di antaranya Za’i>d ibn Aslam, Abu> ‘Aliyah, Muh}ammad ibn Ka‘ab al-Qurdi>. Demikian pula di Iraq terdapat Madrasah Ibn Mas‘u>d. Murid-muridnya dari

(21)

kalangan tabi‘in yang banyak meriwayatkan tafsir darinya adalah Alqa>mah ibn Qais, Masru>q, al-H{{}asan al-Bas}ri>, dan Qata>dah ibn Di’a>mah al-Sadu>si>.

Pada dasarnya fase tabi’in ini tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya (para sahabat). Hanya saja di sana lahir terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan pada fase yang pertama. Termasuk di antaranya, cara dan sumber penafsirannya. Sebab para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an lebih menitikberatkan pada pemahaman bahasa Arab mereka serta pengetahuannya mengenai asba>b al-nuzu>l-nya sebuah ayat. Dan bila terjadi perbedaan pemahaman di antara mereka maka rujukan utamanya adalah kembali bertanya kepada nabi. Sedangkan tabi’in karena tidak sempat bertemu dengan nabi maka secara otomatis mereka berupaya memperoleh banyak penjelasan dari para sahabat sehingga muncullah madrasah-madrasah tafsir sebagaimana yang telah disebutkan. Dan mereka “dipaksa” untuk menguras pikiran serta wawasannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

c. Fase penulisan tafsir. Mengenai penulisan tafsir ini, setidaknya manhaj al-mufassiri>n terbagi dua, yaitu;pertama, tafsir masih ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis nabi, dengan kata lain karya untuk tafsir belum berdiri sendiri dan itu dimulai sejak pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z. Di antara ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah Yazi>d ibn Ha>run al-Sulami> (w. 117 H),

(22)

Syu‘bah ibn al-H{ajja>j (w. 160 H), Wa>ki’ ibn al-Jarra>h (w. 197 H), dan Sufya>n ibn ‘Uyainah (w. 198 H).

Dan setelah kodifikasi ini, lahirlah bentuk kodifikasi/penulisan yang kedua, yaitu tafsir Al-Qur’an dipisahkan dari kitab hadis sehingga ia sudah berdiri sendiri. Dan susunannya disesuaikan dengan susunan mushaf Al-Qur’an. Di antara ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah Ibn Ma>jah (w. 373 H), Ibn Jari>r al-T{abari> (w. 310 H), Abu> Bakar ibn al-Munzir al-Naisabu>ri> (w. 318 H), Ibn Abi> H{a>tim (w. 327 H), dll.

Pada awalnya kitab-kitab tafsir yang ditulis merupakan tafsir periwayatan yang disandarkan kepada nabi, sahabat, tabi‘in, dan tabi‘ tabi‘in. namun karena perkembangan situasi dan kondisi serta semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi umat manusia sehingga model penulisannya pun bukan hanya terbatas pada aspek periwayatan namun sudah mulai masuk pada hasil olah pikiran masing-masing mufasir.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai pembandingan antara beton normal dengan beton campuran serat daun nanas, sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh penambahan serat daun nanas pada beton serat

yaitu menyesuaikan dengan alam sekitar, hal ini bertujuan agar pembudidayaan tanaman herbal dengan baik dan menghasilkan kualitas tanaman herbal yang baik pula. Dalam desain bangunan

41 sampel yang mengalami wheezing pada saat terkena infeksi rhinovirus saat mereka bayi( 54%) mempunyai diagnosa sakit asma oleh pada umur 6 tahun dibandingkan dengan 23% dari

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produksi bahan kering dan kualitas nutrisi hijauan padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten

Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dilakukan di lokasi rencana program ini akan dilaksanakan, diperoleh kesimpulan bahwa ada seperangkat permasalahan yang

Secara umum menurut al-Farmawi dalam bukunya al- Bidāyah fi al-Tafsīr al-Maudhu‟i Dirasah Manhajiyyah Maudhu‟iyyah, para mufassir dalam menjelaskan al-Qur‟an

Kalimat yang demikian itulah yang dimaksud dengan ukara ora ganep artinya ada unsur kalimat yang tidak dikatakan, sebab memang tidak perlu karena orang yang diajak biara