• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ASAS ETIK (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ASAS ETIK (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, ASAS ETIKA POLITIK

DAN ACUAN KRITIK IDEOLOGI

M. Sastrapratedja*

1. Pengantar

Sebagian besar dari kehidupan kita, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupan politik, kita lewatkan atas dasar “common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai “akal sehat”. “Common sense” adalah pengetahuan sehari-hari, yang tidak kita pertanyakan kebenarannya, tetapi kita andaikan “benar”, taken for granted. Tetapi salah satu ciri khas manusia adalah “mempertanyakan”. Ia tidak puas dengan “common sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang dialami menjadi pertanyaan. Begitu kita mengajukan “pertanyaan”, “interrogating” kita mengatasi “common sense”.

Mempertanyakan, interrogating adalah awal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu pengetahuan mempertanyakan segala sesuatu termasuk manusia sampai batas tertentu atau dalam perspektif tertentu, yaitu perspektif instrumental. Ilmu pemgetahuan mempertanyakan dan mencari jawaban atas pertanyaannya untuk digunakan bagi kepentingan manusia.

(2)

Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari jawaban yang tidak dipertanyakan, yaitu jawaban berdasarkan “common sense” semata, yang diandaikan benar. Dalam setiap pertanyaan kita mengatakan “tunggu sebenar”: ada yang lebih dari ini atau itu. Bahkan ada “ekses” dari realitas, yang tidak tertampung dari suatu konsep yang sekarang kita miliki, “ada yang lebih” yang terbelenggu oleh berbagai struktur yang melilit kita.

2. Tiga Fungsi Filsafat

Ada begitu banyak pengertian mengenai filsafat dan cara berfilsafat serta corak filsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa filsafat itu berkembang dengan “mempertanyakan”, “interrogating”. Dalam kaitan dengan Pancasila, ada sedikitnya tiga fungsi filsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.

1) Pertama filsafat mempertanyakan dan mencari “dasar”. Sejak awal filsafat Yunani telah dipertanyakan apakah “dasar” dari dunia kita, apakah “dasar” dari perubahan, apakah “dasar” dari persamaan dan perbedaan manusia, apakah “dasar” dari kebebasan manusia, apakah “dasar” dari kehidupan suatu “polis”?

2) Kedua, filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari realitas di sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia. Seringkali dikatakan bahwa filsafat mempertanyakan nilai dari suatu realitas dan tindakan manusia. Maka filsafat dapat mencerahi kehidupan manusia.

(3)

3. Pancasila sebagai Dasar Negara

Fungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab “apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat lah tepat pertanyaan yang diajukan oleh Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa “Negara Indonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan pertanyaan itu sebagai berikut: “Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: ‘philosophische grondlsag’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.”1) “Dasar Negara” dapat disebut pula “ ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta: “Pembukaan UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai ideologi Negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik Negara dan perundang-undangan Negara, supaya terdapat Indonesia merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”2)

Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara”., yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar rasional, yang merupakan hasil konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang Negara dan bangsa yang akan dibangun.

Karena masing-masing sila dari Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian diskusi dalam Kongres ini, maka kami hanya akan memberikan catatan kecil saja:

(4)

dan bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun Negara dan bangsa Indonesia

2) Sila “Perikemanusiaan yang adil dan beradab”mengimplikasikan bahwa Negara memperlakukan setiap warganegara atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari martabatnya itu.Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak kekerasan yang dilakukan terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia adalah kebebasan”.3). Kekerasan pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan dengan identitas, religius atau etnik, yang lebih banyak diproduksi daripada direproduksi

3) Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa depan.4). Oleh karena itu harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.

4) Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”, menunjuk kepada pembatasan kekuasaan Negara dengan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem demokratik, apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan tiga prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi, keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan.”5)

5) Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” paling sedikit memuat unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.

4. Pancasila sebagai dasar etika politik

(5)

Ada anggapan negatif dan sikap skeptik serta sinis terhadap politik. Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicattat beberapa hal: pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka Negara dan masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern, seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan suatu model alternatif dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan pilitik bisa diatasi.6)

David Held mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan-kekuatan itu. Oleh karena itu, politik adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.”7)

(6)

kesejahteraan bersama dideliberasikan dan keputusan yang secara kolektif mengikat dibuat. Jadi politik muncul dari tindakan bersama, “sharing of words and deeds”. Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak tidak termasuk dalam warganegara. Ada anggapan pada waktu itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan bersama dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara tidak hanya akan melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme), tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia mendorong, agar Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles, Negara atau polis adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.

Michel Foucault mengatakan bahwa politik pada masa ini ditandai oleh “pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.

(7)

menjadi “sesuatu yang lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah perwujudan kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu dan sarana konkrit apa untuk mencapainya? “Keadilan melekat dalam polis; karena keadilan, yang adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik” (Politics 1.2.66). Agamben menarik perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics 1.2.16: Agar menjadi benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan begitu, ia dapat berbicara. “Mengeluarkan suara berfungsi untuk menunjukkan kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu kemampuan yang dimiliki hewan pada umumnya….. Tetapi bahasa berfungsi untuk…..menyatakan apa yang adil dan tidak adil”. Disini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan biologis semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘ esclusione inclusive). Maksud dari pernyataan itu ialah bahwa kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik juga merupakan perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan tempat dimana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah selesai’

Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.

(8)

melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.10).

5. Pancasila Sebagai Acuan Kritik Ideologi

Agnes Heller membedakan “yang politik” dengan “politik” (politics). Istilah “yang politik” menunjukkan domain, atau lingkup dimana deliberasi terjadi, Sedangkan istilah “politik” (politics), merujuk kepada aktivitas yang terjadi dalam lingkup itu.11) Ini mempunyai implikasi pada masalah sejauh mana ‘ruang lingkup politik” (Apakah batas kekuasaan politik?, Siapa memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan politik itu? Isu-isu apa yang relevan bagi politik Kalau dalam masa Yunani kuno “yang sosial” dan “yang politik” terjadi tumpang tindih, sementara dalam modernitas hal itu tidak terjadi.

(9)

Dinamika Pancasila terletak dalam ketegangan antara “ideologi” dan “utopia”. Pancasila sebagai ideologi memberi arah pembangunan sistem sosial dan politik. Sistem yang dibangun tidak pernah merupakan perwujudan utuh dari Pancasila, maka selalu bisa dikritik. Bisa terjadi juga Pancasila Pancasila sebagai “ideologi” membenarkan dan meneguhkan sistem yang dibangun untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga menjadi mandeg. Maka atas dasar Pancasila itu pula dapat dilakukan kritik. Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini Pancasila merupakan “utopia”. Utopia dapat bersifat “subversif”, menggoncangkan sistem-sistem yang dibangun berdasarkan orientasi ideologi. Utopia dapat menciptakan kreatifitas dengan imaginasi sosialnya. 1)

Sebagai kesimpulan, Pancasila dapat dikembangkan menjadi filsafat dalam tiga arah: 1) Sebagai “Filsafat Pancasila”, yang merupakan refleksi kritis atas dasar hidup

bernegara.

2) Sebagai “Etika Politik” yang merupakan refleksi kritis atas nilai-nilai etis yang terkandung dalam Pancasila.

(10)

Catatan

1. Soekarno, “Lahirnja Pantja Sila” dalam: Tjamkan Pantja Sila. Departemen Penerangan R.I, 1964.

2. Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977, h. 1, sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis “Pancasila, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia, “dalam: Restorasi Pancasila. Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Penyunting, Irfan Nasution dan Ronny Agustinus, Jakarta: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, 2006, h. 332..

3. J.-M. Domenach, “The Ubiquity of Violence,” International Social Science Journal, 30 (1978), h.719..

4. B. R. O’G.,Anderson, “ Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia 67 (April 1999).

5. Alain Touraine, What is Democracy” Boulder, Colorado: Westview Press, 1997, h. 72.

6. David Held, Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998, h. 295-297. 7. David Held, Ibid., 30

8. H. Arend, The Human Condition. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1998, h. 198.

9. Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Standford: Standford University Press,1998. Uraian mengenai pandangan Agamben, kami ambil dari: Andrew Norris, “Giorgio Agamben and the Politics of the Living Dead”, Diacritics, Vol.30, No. 4 (winter, 2000), h. 38-39

10. Lihat mengenai ini: J.M.Balkin, Cultural Software. A Theory of Ideology. New Haven & London: Yale University, 1998.

11. James Martin, “The Social and the Political”, dalam: Fidelma Ashe, et alii, Contemporary Social & Political Theory. Buckingham, Philadelphia: Open University Press, 1999, h.156

12. James Martin, op.cit., h.161-162.

Referensi

Dokumen terkait

 Peserta didik dalam kelompok mengamati benda-benda yang ada di kelompok masing- masing dan memilih benda yang akan dibeli sesuai dengan uang yang tersedia.  Peserta

Menu unit usaha jabon dapat memberikan informasi potensi kayu hasil budidaya jabon yang akan dikembangkan oleh KPH serta informasi volume kayu yang dapat dipanen sesuai

Model komunikasi Gudykunst dan Kim merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya berlainan atau

Berdasarkan hasil penelitian, telah dilakukan identifikasi tingkat kepentingan penumpang terkait dengan pengembangan digitalisasi fasilitas dalam peningkatan passanger

Variabel bebas adalah faktor pasien mencakup usia dan jenis kelamin, intervensi yang diberikan meliputi tindakan pembedahan dan terapi obat, dan faktor pembedahan

Berdasarkan paparan diatas, Kami tim dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang akan melakukan pengadaan kantin kejujuran berbasis

Kotoran luwak digunakan untuk mencegah kemungkinan gagalnya proses degradasi biologis menggunakan mikroorganisme cairan rumen, mengingat bahwa limbah kulit kopi

Mekanisme pemilihan anggota DPD di Pemilu 2004 sebagai berikut: (1) Pemilih mencoblos satu calon anggota DPD yang nama dan fotonya tercantum di ballot ; (2) Empat calon anggota