TUGAS SURVEI KESEHATAN LINGKUNGAN HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN FISIK DAN
SOSIALEKONOMI TERHADAP KEJADIAN ISPA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNG MUNDU
DISUSUN OLEH :
NINA SHOLIHATI 25010113120066
DYAH AYU RIANI 25010113120105
ZAEDATUL FARIDA 25010113120122
NOVI ISNASARI 25010113120135
INTAN AULIA PUTRI 25010113120150
WARDAH 25010113120169
ACHMAD RIZKI AZHARI 25010113140258
GHINA ANISAH R. 25010113140297
LIRIH SETYORINI 25010113140320
BELLA ARIEZA A. P. 25010113130386
AGUSTINA RATRI M. 25010113130416
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ... i
Daftar Tabel ... iii
Daftar Gambar ... iv
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 2
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Pengertian ISPA ... 3
2.2 Patofisiologi ISPA ... 3
2.3 Faktor yang mempengaruhi ISPA ... 4
2.4 Tanda dan Gejala ISPA ... 11
2.5 Pencegahan ISPA... 12
2.6 Pengobatan ISPA ... 13
2.7 Kerangka Teori ... 14
Bab III Metode Survei 3.1 Kerangka Konsep... 16
3.2 Lokasi dan Waktu ... 16
3.3 Desain Penelitian ... 16
3.4 Variabel Penelitan ... 17
3.5 Definisi Operasional ... 19
3.6 Hipotesis ... 23
3.7 Populasi dan Sampel ... 23
ii Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisis Univariat ... 26 4.2 Analisis Bivariat ... 29 Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan ... 40 5.2 Saran ... 41 Daftar Pustaka
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.5.1. Definisi Operasional ISPA ... 19 Tabel 3.5.2. Definisi Operasional Aspek Lingkungan Hidup ... 20 Tabel 3.5.3. Definisi Operasional Aspek Sosial Ekonomi ... 21 Tabel 4.1.5. Analisis Deskriptif Tingkat Pendapatan per Bulan Responden 29 Tabel 4.2.1. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Kepadatan Hunian ... 29 Tabel 4.2.2. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Lantai Rumah Terluas
... 31 Tabel 4.2.3. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Dinding Rumah
Terluas ... 32 Tabel 4.2.4. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Ketersediaan Ventilasi ... 33 Tabel 4.2.5. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Pencahayaan Rumah
Saat Siang Hari ... 35 Tabel 4.2.6. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Pendidikan Terakhir
Responden ... 36 Tabel 4.2.7. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Tingkat Pendapatan
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Teori ... 15
Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 16
Gambar 4.1.1.Tempat Persebaran Responden Penelitian ... 26
Gambar 4.2.1. Karakterikstik Responden Berdasarkan Status ISPA ... 26
Gambar 4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Terluas ... 27
Gambar 4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Terluas ... 27
Gambar 4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ... 28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak dengan keadaan ringan hingga berat.ISPA merupakan kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai daerah lapisan masyarakat dan di berbagai daerah dengan letak geografis yang berbeda.Menurut WHO diperkirakan 10 juta anak meninggal tiap tahunnya.Hal ini disebabkan karena diare, HIV/AIDS, malaria dan ISPA.(1)
ISPA merupakan penyakit yang masih tinggi persebarannya di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi pada bayi dua tahun sebanyak >35%. Jumlah balita dengan ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah 5 per 1000 yang berarti sebanyak 150.000 balita meninggal per tahun atau sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita per jam atau satu orang balita per lima menit.Sehingga dapat disimpulkan prevalensi penderita ISPA di Indonesia sebanyak 9,4%. (2,3)
2 1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui data tentang kejadian ISPA.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA.
c. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang diketahui dengan kejadian ISPA.
1.2.2 Tujuan khusus
Untuk mengetahui adakah hubungan antara faktor lingkungan, ekonomi dan sosial dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu.
1.3 Manfaat
a. Mahasiswa dapat mengetahui besar kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu.
b. Mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA di wilayah kerja Kedungmundu.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian ISPA
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru.(4)
Istilah ISPA diadaptasi dari bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
a. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
b. Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (5)
2.2 Patofisiologi ISPA
4
saluran pernafasan. Kerusakan tersebut menyebabkan peningkatan aktifitas kelenjar mucus sehingga mengeluarkan mukosa yang berlebihan.Rangsangan cairan mukosa tersebut yang akhirnya menyebabkan batuk.Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.(6)
2.3 Faktor yang mempengaruhi ISPA 1. Faktor Ekstrinsik
Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya disebut faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman penyebab,antara lain:
a. Kondisi Fisik Rumah 1. Bahan Bangunan
a) Lantai
Ubin atau semen adalah baik, namun untuk tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang kurang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal.Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan.Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan.Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda yang berat dan dilakukan berkali-kali.Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.
b) Dinding
5
lubang-lubang dari dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi dan dapat merupakan penerangan alamiah.
c) Atap
Genteng adalah umum dipakai di daerah perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genting cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan dapat membuatnya sendiri.Namun demikian banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan.Atap seng atau asbes tidak cocok untuk pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan panas di dalam rumah.
d) Lain-lain (tiang, kaso dan reng)
Kayu atau tiang, bambu untuk kaso dan seng adalah umum di pedesaan.Menurut pengalaman bahan-bahan tahan lama, tetapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus.(7) 2. Kepadatan Hunian
Pemanfaatan atau penggunaan rumah perlu sekali diperhatikan.Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya maka dapat terjadi gangguan kesehatan.Misalnya rumah yangdibangun untuk dihuni oleh empat orang tidak jarang dihuni oleh lebih dari semestinya.Hal ini sering dijumpai karena biasanya pendapatan keluarga itu berbanding terbalik dengan jumlah anak atau anggota keluarga.Dengan demikian keluarga yang besar seringkali hanya mampu membeli rumah yang kecil dan sebaliknya.Hal ini sering tidak mendapat perhatian dan terus membangun rumah menjadi sangat sederhana dan sangat kecil bagi yang kurang mampu.
6
sehingga penularan penyakit infeksi lewat udara sebagian besar terlaksana lewat udara tidak bebas.Untuk rumah sederhana luas minimum 10m2 per orang.Jadi satu keluarga yang terdiri dari empat orang minimal 40m2, sedangkan luas bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila kita dapat menyediakan 2,5-3m2 untuk tiap orang (anggota keluarga). Kepadatan ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari dua orang kecuali anak-anak dibawah lima tahun, dengan ukuran tersebut diperkirakan bila ada mencegah penularan penyakit.(8)
3. Ventilasi
Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus sesuai peraturan bangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut:
a. Luas bersih dari jendela / lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan.
b. Jendela harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95m dari permukaan lantai.
c. Adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai yang bersangkutan.(9) 4. Pencahayaan
7
redup. Menurut Soekidjo Notoatmodjo, cahaya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Cahaya alamiah
Cahaya matahari seperti matahari sangat penting karena membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah.Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuknya jalan cahaya yang cukup.Jalan masuk cahaya alamiah diusahakan melalui jendela atau genting kaca. 2. Cahaya buatan
Cahaya buatan biasanya dari lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Menurut Dinkes Propinsi Jateng (2005:24), pencahayaan di dalam rumah yang kurang dapat menyebabkan:
1) Kelelahan mata bahkan sampai gangguan penglihatan mata. 2) Kecelakaan
3) Penurunan Produktifitas kerja.(7,10) 5. Dinding
Fungsi dari dinding sebagai penyangga atap, juga untuk melindungi ruang rumah dari gangguan hujan atau angin serta melindungi dari panas.Jenis dinding rumah berupa anyaman bambu, papan atau kayu masih dapat ditembus udara sehingga cocok untuk daerah pedesaan, tetapi sulit untuk dijamin kebersihannya dari debu.Jadi apabila terdapat penghuni yang sakit pernapasan, maka kuman patogen mungkin terdapat juga pada dinding yang menempel pada dinding tersebut. Oleh karena itu dinding rumah yang baik adalah dinding yang tahan api, kokoh, permanen, tahan air dan mudah dibersihkan. (11)
6. Cuaca dan Musim
8
masyarakat. Pengaruh geografi dalam hal ini yaitu musim, yang dapat mendorong peningkatan kasus maupun kematian akibat ISPA.(5)
b. Status Ekonomi
Status ekonomi sangat sulit dibatasi.Hubungan dengan kesehatan juga kurang nyata yang jelas bahwa kemiskinan erat kaitanya dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang mana sebab dan mana akibat.Status ekonomi menentukan kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan, tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga, teknologi dll.Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat, membayar transport dll.(8,7) c. Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampun individu yang optimal. Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan penyakit.Dalam Juli Soemirat Slamet (2002:87), dinyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit.(12,8)
d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang.Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan.(7)
9
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga meupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular sperti ISPA.(13)
f. Perilaku
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap kepercayaan, tradisi, dan sebagian dari orang tua tau masyarakat yang bersangkutan.Disamping itu ketersediaan fasilitas kesehatan, sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga dapat memperkuat terbentuknya perilaku.(7)
Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007:137)menyatakan bahwa perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya. (4,13)
2. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor intrinsik tersebut antara lain:
a. Status Gizi
10
morfologis yang terjadi pada jaringan limfoid yang berperan dalam system kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah.Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.(14,15)
b Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA. Campak, pertusis, difteri dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka peningkatan cakupan imunisasi seperti diifteri, pertusis serta campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan penyakit tersebut. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.(16)
c. Riwayat BBLR
11
menurun, maka sistem imun dan antibodi berkurang, sehingga mudah terserang infeksi. Pada anak hal ini dapat mengakibatkan kematian.(17)
d. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari 1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA.Hal ini disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit.Pneumonia pada anak balita sering disebabkan virus pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi yang kurang lengkap, pemberian nutrisi yang kurang baik, tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan terhadap asap dapur, asap rokok, serta penderita pneumonia lainnya. (18)
2.4 Tanda dan Gejala ISPA
Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut: 1. Gejala dari ISPA ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
2. Gejala ISPA sedang
12
a. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai masing-masing kelompok umur.
b. Suhu tubuh lebih dari 39°C c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) 3. Gejala ISPA berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas
e. Nadi cepat atau tidak teraba f. Tenggorokan berwarna merah.
ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea, bronchi, dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain (WHO):
a. Batuk b. Sesak nafas
c. Tenggorokan kering d. Hidung tersumbat.(19)
2.5 Pencegahan ISPA
13
a. Berhati-hati dalam mencuci tangan dengan melakukannya ketika merawatanak yang terinfeksi pernapasan.
b. Anak dan keluarga diajarkan untuk menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup hidung dan mulutnya ketika batuk/bersin.
c. Anak yang sudah terinfeksi pernafasan sebaiknya tidak berbagi cangkir minuman, baju cuci atau handuk.
d. Peringatan perawat: untuk mencegah kontaminasi oleh virus pernapasan,mencuci tangandan jangan menyentuh mata atau hidung. e. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau
anggota keluarga lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan dengan anggota keluarga lain yang sedang sakit ISPA.
f. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan/rumah. g. Hindari anak dari paparan asap rokok.(20)
2.6 Pengobatan ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak adalah anak dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.
b. Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum,kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam atau dingin.Tanda bahayab pada umur 2 bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk.
14
Pada penderita umur < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harussegera dibawah ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam.
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurangdari 5 tahun, meliputi :
1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh.
2) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.
3) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana.
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat segera dikirim ke rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada. Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan.
15 2.7 Kerangka Teori
Adapun kerangka teori penelitian dapat dilihat pada bagan berikut:
Sumber: H.L Blum
Gambar 2.1. Kerangka Teori Kondisi Sosial & Ekonomi
Tingkat pendidikan terakhir Jenis pekerjaan
Penghasilan keluarga tiap bulan
Status kepemilikan rumah
Lingkungan Fisik Rumah
Jenis lantai rumah Kondisi dinding rumah Bahan atap rumah
Ketersediaanplafon/langit-langit
Luas ventilasi rumah
Tingkat kepadatan penghuni Kondisi Pencahayaan
16 BAB III METODE SURVEI 3.1 Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 3.1. Kerangka Konsep 3.2 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian ini di berbagai kelurahan yang merupakan wilayah cakupan kerja Puskesmas Kedungmundu (Kelurahan Kedungmundu, Kelurahan Tandang, Kelurahan Janli, Kelurahan Sendangguwo, Kelurahan Sendangmulyo, Kelurahan sambiroto, Kelurahan Mangunharjo), Semarang dan di laksanakan pada bulan Mei-Juni 2016.
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari
ISPA
Kondisi Lingkungan FisikRumah
Kepadatan Penghuni Jenis Lantai
Jenis Dinding Rumah Ventilasi
Pencahayaan Rumah pada Siang Hari
17
hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada suatu saat atau periode.
3.4 Variabel Penelitan 3.4.1 Variabel Bebas
a. Tingkat kepadatan hunian, didapatkan dari luas lantai dibagi dengan jumlah seluruh penghuni rumah.Dengan kategori:
1) Kepadatan rendah/ideal (≥3,5 m2/orang) 2) Kepadatan tinggi (<3,5 m2/orang) Skala : Ordinal
b. Ventilasi, merupakan lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Dengan kategori :
1) Tidak baik (<10% dari luas lantai) 2) Baik (≥10% dari luas lantai) Skala : Nominal
c. Lantai, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi sebuah rumah. Dengan kategori :
1) Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah) 2) Baik : kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin)
Skala : Nominal
d. Dinding, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori :
1) Tidak baik : semi permanen, bambu dan kayu atau papan. 2) Baik : Permanen atau tembok
Skala : nominal Skala : Ordinal
e. Pencahayaan, merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori :
18
2) Buatan (listrik, patromak, aladin, pelita atau senter Skala : Nominal
f. Tingkat pendidikan terakhir, merupakan tingkat pendidikan yang terakhir yang ditempuh responden. Dengan kategori:
1) Tidak sekolah/tidak tamat SD 2) Tamat SD
3) Tamat SMP 4) Tamat SMA 5) Perguruan Tinggi Skala : nominal
g. Penghasilan keluarga, merupakan pendapatan total (uang) yang didapatkan oleh keluarga responden setiap satu bulan. Dengan kategori: (sesuaikan dengan kuisioner)
1) Kurang: < 1.909.000 2) Cukup: ≥ 1.909.000 Skala: ordinal
3.4.2 Variabel Terikat
Kejadian ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan atas pada segala umur yang di tandai dengan batuk pilek, demam, sakit telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis), yang terjadi pada saat ini atau enam bulan yang lalu dari bulan Desember 2015 – bulan Mei 2016. Dengan kategori :
19 3.5 Definisi Operasional
3.5.1 StatusISPA
Tabel 3.5.1. Definisi Operasional ISPA
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
1. ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeks iringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. (19)
Wawancara Kuesioner 1. Ya 2. Tidak
20 3.5.2 Aspek Lingkungan Fisik
Tabel 3.5.2. Definisi Operasional Aspek Lingkungan Hidup
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
1. Kepadatan Hunian
Luas lantai dibagi dengan jumlah seluruh penghuni rumah.
~ Wawancara Kuesioner 1. Kepadatan tinggi untuk menutupi lantai rumah terluas.
~ Observasi lapangan
~ Wawancara
Kuesioner 1. Batu atau tanah 2. Keramik, marmer,
tegel, plester, kayu / papan
Nominal
3. Jenis dinding rumah
Jenis bahan yang digunakan untuk menutupi dinding rumah terluas. 2. Tembok, setengah
tembok, atau kayu
Nominal
4. Ventilasi dalam rumah
Lubang keluar masuknya udara baik yang bersifat tetap maupun
~ Observasi lapangan
Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat (<10% luas
21
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
sementara (lubang udara kecuali pintu)
~ Wawancara lantai)
2. Memenuhi syarat(≥10%luas lantai)
5. Pencahayaan Penerangan di dalam rumah yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari-hari seperti membaca dan menulis.
~ Observasi lapangan
~ Wawancara
Kuesioner 1. Alamiah (matahari) 2. Buatan (listrik,
patromak, aladin, pelita atau senter
Nominal
3.5.3 Aspek Sosial Ekonomi
Tabel 3.5.3. Definisi Operasional Aspek Sosial Ekonomi
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
1 Pendapatan Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu periode dengan
Wawancara Kuesioner 1. Kurang: < 1.909.000 2. Cukup: ≥ 1.909.000
22
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula.
2 Pendidikan Pembelajaran pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran, pelatihan atau penelitian
Wawancara Kuesioner 1) Tidak sekolah/tidak tamat SD
2) Tamat SD 3) Tamat SMP 4) Tamat SMA 5) Perguruan Tinggi
Interval
3 Pendapatan Keluarga
Besarnya pendapatan rata-rata satu keluarga
Wawancara Kuesioner 1. Kurang: < 1.909.000 2. Cukup: ≥ 1.909.000
23 3.6 Hipotesis
1. Ada hubungan antara faktor kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
2. Ada hubungan antara faktor jenis lantai rumah terluas dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
3. Ada hubungan antara faktor jenis dinding rumah terluas dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
4. Ada hubungan antara faktor ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
5. Ada hubungan antara faktor jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
6. Ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
7. Ada hubungan antara faktor pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
3.7 Populasi dan Sampel 3.7.1 Populasi
24 3.7.2 Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama. Sampel pada penelitian ini adalah 77 orang warga yang bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu.
3.8 Analisis dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dengan wawancara. Data dikumpulkan menggunakan metode survei dengan instrumen kuesioner.Selain data dari responden, informasi juga diperoleh dari Puskesmas. Data kemudian dikumpulkan dan setelah itu dilanjutkan ke langkah berikutnya.
3.8.1 Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data ini bertujuan untukmengubah data mentah dari hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih lanjut. Data hasil penelitian yang sudah dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan data sebagai berikut :
a. Editing
Editing dilakukan dilapangan sesaat setelah selesai melakukan wawancara dan observasi sebelum meninggalkan tempat, hal ini merupakan proses memeriksa data yang dikumpulkan melalui wawancara apabila ada kekurangan jawaban dari responden dapat segera dilengkapi.
b. Coding
Coding merupakan klasifikasi jawaban atau data menurut
25
berbeda.Langkah pemberian kode pada atribut dan variabel ini mempermudah dalam pengolahan dan analisis data.
c. Entry
Entry merupakan tahap memasukkan data yang telah
didapatkan kedalam media komputer dengan bantuan aplikasi lunak.
d. Tabulating
Tabulating merupakan proses pengorganisasian data sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik, sehingga mempermudah mengolah data secara deskriptif.
3.8.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu analisis univariat dan analisis bivariat, sebagai berikut.
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masig-masing variabel dengan tabel distribusi frekuesi disertai penjelasan karena analisis univariat bertujuan untuk mejelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. b. Analisis Bivariat
26 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tempat
Gambar 4.1.1. Tempat Persebaran Responden Penelitian
Responden Penelitian ISPA kami terletak di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu, diantaranya Kelurahan Jangli (2 orang), Kelurahan Tandang (13 orang), Kelurahan Sambiroto (1 orang), Kelurahan Sendangmulyo (6 orang), Kelurahan Kedungmundu (30 orang), dan Kelurahan Sendangguwo (25 orang)
4.2 Analisis Univariat 4.2.1 Status ISPA
27
Berdasarkan Gambar 4.2.1, responden terbanyak pada penelitian ini merupakan adalah responden yang tidak menderita penyakit ISPA dalam kurun waktu 6 bulan sebelum waktu kegiatan pengambilan data (54,55%).
4.2.2 Jenis Lantai Rumah Terluas
Gambar 4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Terluas
Berdasarkan Gambar 4.2.2, responden pada penelitian ini sebagian besar memiliki jenis lantai rumah terluas berupa keramik (40,26%).
4.2.3 Jenis Dinding Rumah Terluas
28
Berdasarkan Gambar 4.2.3. responden pada penelitian ini sebagian besar memiliki jenis dinding rumah terluas berupa tembok (62,34%).
4.2.4 Tingkat Pendidikan
Gambar 4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
Berdasarkan Gambar 4.2.4, Tingkat pendidikan terbanyak yang ditempuh responden pada penelitian ini yaitu tamat SD atau sederajat (28,57%) .
4.2.5 Tingkat Pendapatan
Gambar 4.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan
29
pendapatan responden lebih kecil (<) Rp 1.909.000. Berikut ini merupakan table yang menyajikan analisis deskriptif terkait variable tingkat pendapatan per bulan responden:
Tabel 4.2.5. Analisis Deskriptif Tingkat Pendapatan per Bulan Responden
Jumlah Responden
Rata-Rata
Pendapatan Minimum Maksimum Median Modus
Standar
4.3.1 Hubunganantara Kepadatan Hunian dan Kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.3.1. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Kepadatan Hunian
Kepadatan Hunian
30
2,778 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang memiliki kepadatan hunian rendah/ideal.
Tingkat kepadatan tempat tinggal yang tinggi dapat menyebabkan tingginya tingkat pencemaran lingkungan.Sehingga angka kesakitan semakin meningkat. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angka kesakitan di daerah perkotaan lebih tinggi daripada angka kesakitan di pedesaan karena tingkat kepadatan penduduk dan pencemaran lingkungan di kota lebih tinggi daripada di desa.(21)
Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan
adalah penurunan kualitas udara dalam rumah. (22)
Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan rumah, makapenularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat. Rumah yangpadat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak baik, pertukaran oksigenkurang sempurna dan diperburuk apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat.Hal ini sangat berbahaya apabila ada anggota keluarga yang menderita gangguanpernafasaan yang disebabkan oleh virus, akan cepat menyerang anggota keluargalain akibat menghirup udara yang sama dan sudah tercemar. Semakin padatpenghuni dalam rumah maka akan semakin mudah penularan penyakit terutama penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran udara seperti gangguanpernafasan atau ISPA.(23)
4.3.2 Hubungan Jenis Lantai Terluas Rumah Responden dengan Status ISPA
31
Tabel 4.3.2. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Lantai Rumah Terluas
Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor jenis lantai rumah terluas dengan kejadian ISPA (p = 0,445; RR= 0,606; 95% CI= 0,081-2,469) pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh deflyn 2015 dengan hasil penelitian diperoleh antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA nilai p = 0,072, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA, Disebabkan karena lantai rumah yang berada di kelurahan malalayang 1 banyak menggunakan jenis lantai tehel/keramik. Hal ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Keman dan Safitri (2008) tentang hubungan tingkat kesehatan rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Labuan Kecamatan Labuan Badas Kabupaten Sumbawa yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA.
32
Km/jiwa. Hasilnya adalah terdapat 33 rumah (53,2%) lantai rumah responden yang tidak memenuhi syarat, dengan kriteria tidak baik adalah menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah) dan responden yang memenuhi syarat sebanyak 29 rumah (46,8%) dengan kriteria kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin).
Selain itu hal ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Toanabun (2003) yang mengadakan penelitian di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah rata-rata di Desa Tual memakai jenis lantai semen dan tanah. Responden yang terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 13 rumah (21%) dan lantai rumah 43 yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah (38,7%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 16 rumah (25,8%) dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 9 rumah (14,5%).(24)
4.3.3 Hubungan Jenis Dinding Rumah Terluas dengan Status ISPA Hasil analisis hubungan antara jenis dinding rumah terluas dengankejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
33
Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor jenis dinding rumah terluas dengan kejadian ISPA (p = 0,274; RR= 0,717; 95% CI= 0,209-1,353) pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raja (2014). Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, diperoleh nilai p > 0,05 (0,073) dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini dapat terjadi karena meskipun terdapat perbedaan jumlah rumah yang memiliki jenis dinding yang memenuhi syarat antara kelompok kasus maupun kelompok kontrol, namun kedua kelompok belum memiliki perbedaan yang cukup kuat untuk menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian ISPA pada balita.Sama halnya dengan penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013), juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita.Dan hal yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita adalah kebersihan dinding dan kerapatan dinding.Dinding yang kurang rapat dapat menyebabkan penumpukan debu.(25)
4.3.4 Hubungan antara Ketersediaan Ventilasi dengan Kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara ketersediaan ventilasi dengan
kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.3.4. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Ketersediaan Ventilasi
34
Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p = 0,000). Nilai RR= 3,108 (95% CI: 4,418-101,504) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang tidak terdapat ventilasi rumah memiliki risiko terkena penyakit ISPA 3,108 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang memiliki ventilasi rumah.
Ventilasi ruangan adalah proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan. Tujuan ventilasi adalah mempertahankan kualitas udara dalam ruang yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam ruang aman untuk keperluan pernapasan.(19)
Ventilasi berfungsi untuk memberikan memberikan udara segar dan sehat bagi balita dan penghuninya. Ventilasi juga dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri pathogen karena dengan adanya ventilasi, udara bertukar secara terus menerus. Berdasarkan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa setiap rumah ada yang memiliki ventilasi dan juga ada yang tidak memiliki. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang berbeda-beda dan tingkat kepadatan hunian dari setiap responden.(26)
35
4.3.5 Hubungan Jenis Pencahayaan Rumah saat Siang Hari dengan Kejadian ISPA
Hasil analisis hubungan antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.3.5. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Jenis Pencahayaan Rumah Saat Siang Hari
Jenis Pencahayaan
Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengankejadian penyakit ISPA (p = 0,000). Nilai RR= 2,692 (95% CI: 3,188-47,288) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang menggunakan jenis pencahayaan rumah buatan saat siang hari memiliki risiko terkena penyakit ISPA 2,692 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang menggunakan pencahayaan alami saat siang hari.
Hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square untuk hubungan antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian ISPA pada warga wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu didapatkan nilai p (0,000) lebih kecil dari nilai α(0.05), dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara penchayaan rumah dengan kejadian ISPA.
36
masyarakat yang menggunakan pencahayaan buatan pada saat siang hari memiliki resiko terkena penyait ISPA 12,278 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang menggunakan pencahayaan alami saat siang hari. Responden yang terkena ISPA dengan rumah menggunakan pencahayaan buatan saat siang hari sejumlah 17 dengan presentase 85%.Respnden yang tidak terkena ISPA dengan rumah menggunakan pencahayaan buatan saat siang hari sejumlah 3 dengan presentase 15%. Sedangkan dari hasil uji didapatkan juga responden yang terkena penyakit ISPA dengan rumah menggunakan pencahayaan alami sebanyak 18 dengan presentasi 31,6% dan responden yang tidak terkena ISPA dengan rumah menggunakan pencahayaan alami sejumlah 39 dengan presentase 68,4%. Hal ini membuktikan bahwa cahaya matahari penting bagi kesehatan manusia termasuk hubungannya dengan ISPA.
4.3.6 Pengaruh antara Pendidikan Akhir dan Kejadian ISPA Hasil analisis pengaruh antara jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
37
Berdasarkan uji regresi logistik, pendidikan tamat SMP atau sederajat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu (p = 0,042). Nilai RR= 12,150 (95%CI= 1,080-138,988) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan tamat SMP atau sederajat memiliki risiko terkena penyakit ISPA 12,150 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya.
Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena factor kurangnya kesadaran dan pengetahuan terkait penyakit ISPA yang dimiliki oleh masyarakat dengan pendidikan tamat SMP atau sederajat. Sekalipun masih ada tingkat pendidikan yang ada di bawahnya namun resiko terjangkit ISPA terhadap masyarakat pendidikan tamat SMP atau sederajat lebih tinggi. Karena pengetahuan dapat bersumber bukan hanya melalui pendidikan formal namun juga informal dan nonformal.Sedangkan kesadaran berasal dari diri masing-masing individu untuk bertindak.
38
dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya. Sedangkan untuk tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi tidak berisiko terhadap penyakit ISPA.
4.3.7 Hubungan Kategori Pendapatan per Bulan dengan Status ISPA Hasil analisis hubungan antara tingkat pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian penyakit ISPA dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.3.7. Distribusi Penyakit ISPA Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga per Bulan
Berdasarkan hasil Uji Chi-Square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian ISPA (p=0,060; RR=1,778; 95% CI=1,062-7,118) pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
Hasil penelitian antara status penyakit ISPA dengan faktor pendapatan perbulan untuk melihat segi ekonomi sampel maka dari 77 sampel yang diteliti, 25 orang (55,6%) dengan pendapatan keluarga rendah mengalami ISPA dan 20 0rang (44,4%) tidak mengalami ISPA. Dapat dilihat pula untuk keluarga dengan penghasilan cukup 10 orang ( 31,3 %) mengalami ISPA dan 22 orang (68,8%) tidak mengalami ISPA.
39
40 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Dari data kasus ISPA di wilayah cakupan kerja Puskesmas Kedungmundu, Semarang (Kelurahan Kedungmundu, Kelurahan Tandang, Kelurahan Jangli, Kelurahan Sendangguwo, Kelurahan Sendangmulyo, Kelurahan Sambiroto, Kelurahan Mangunharjo), diketahui jumlah penderita ISPA periodeDesember 2015 – Mei 2016diwilayah cakupan kerja Puskesmas Kedungmundu, Semarang adalah sebanyak 2108orang.
Beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA diantaranya: (1) Faktor lingkungan fisik (Kepadatan hunian, Jenis dinding rumah, jenis lantai rumah, keberadaan ventilasi, pencahayaan dalam rumah saat siang hari) dan (2) Faktor sosial ekonomi (Tingkat pendidikan dan pendapatan).
Berdasarkan analisis univariat yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dari 77 orang responden 45,45% responden adalah penderita ISPA, sebanyak 40,26% responden memiliki jenis lantai rumah terluas berupa keramik, sebanyak 62,34% responden memiliki jenis dinding rumah terluas berupa tembok, sebanyak 28,57% responden merupakan tamatan SD, dan sebanyak 58,44% responden berpendapatan rendah(<Rp 1.909.000).
Berdasarkan analisis bivariat yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ada hubungan antara faktor kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
41
3. Tidak ada hubungan antara faktor jenis dinding rumah terluas dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
4. Ada hubungan antara faktor ketersediaan ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
5. Ada hubungan antara faktor jenis pencahayaan rumah saat siang hari dengan kejadian penyakit ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
6. Ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
7. Tidak ada hubungan antara faktor pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian ISPA pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2006. Jakarta, 2007.
2. Noer PE, dkk. Penyakit ISPA Hasil RISKESDAS di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Biomedis dan Farmasi, 2008.
3. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta, 2012.
4. Hood A, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, 2006.
5. Depkes RI. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes RI, 2002.
6. Mandal BK, dkk. Penyakit Infeksi. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga,2008.
7. Soekidjo N.Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. 8. Juli SS. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Press, 2000.
9. Mukono HJ. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga, 2000.
10. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat untuk Puskesmas. Jakarta: Dinas Propinsi Jawa Tengah, 2005.
11. Retno W, dkk. Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasaan Akut (ISPA) pada Balita DI Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen. Vol. 3 : (2), hal 33-37, 2004.
12. Achmad M, dkk. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNESPress, 2004.
13. DepkesRI. Profil kesehatan Indonesia 2001 Menuju IndonesiaSehat.Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2010.
14. Soekidjo N. Ilmu dan Seni kesehatan Masyarakat.Jakarta : Rineka Cipta, 2007.
15. SjahmienM. Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Papas Sinar Sinanti,2003.
16. Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional.Jakarta: Depkes RI, 2009. 17. Sunita A. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia, 2004.
19. World Health Organization. Pedoman Interim WHO Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pandemi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: WHO, 2007.
20. Dwi RH. Gangguan Pernafasan pada Anak ISPA.Yogyakarta: Nuha Medika, 2012.
21. Widoyono. Penyakit Tropis “Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya”, Semarang: Erlangga, 2008.
22. Nur YA dan Lilis. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1: (2), Hal. 110-119, 2005.
23. Umar FA. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2008.
24. Deflyn, dkk. Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) pada Balita di Kelurahan Malalayang 1 Kota Manado. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi, 2015. Tersedia di
http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/JURNAL-Deflyn-Soolani-101511003.pdfdiakses pada 7 Juni 2016
25. Raja,dkk. Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Dalam Keluarga Perokok Di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014, 2014. Tersedia di file:///C:/Users/user/Downloads/8411-31351-1-PB.pdf diakses pada 7 Juni 2016
26. Rahmayatul F.Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap Ispa Pada Balita Di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013.
LAMPIRAN
Output SPSS:
1) Kepadatan Hunian dan Status ISPA Crosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:17:36
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none> Weight <none> Split File <none>
N of Rows in
Missing User-defined missing values are treated as missing. Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with
valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Kepadatan BY ISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.03
Elapsed Time 00:00:00.13
Dimensions
Requested 2
Case Processing Summary
Kepadatan Hunian Responden * Status ISPA Responden Crosstabulation
Status ISPA
Kepadatan Tinggi ( < 3,5 m^2/org)
Count 21 6 27
% within Status
ISPA Responden 60.0% 14.3% 35.1%
Kepadatan
Rendah/Ideal ( >= 3,5 m^2/org)
Continuity Correctionb 15.572 1 .000
Likelihood Ratio 18.208 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 17.294 1 .000
N of Valid Cases 77
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kepadatan Hunian Responden (Kepadatan Tinggi ( < 3,5 m^2/org) / Kepadatan Rendah/Ideal ( >= 3,5 m^2/org))
9.000 3.004 26.967
For cohort Status ISPA
Responden = Ya 2.778 1.705 4.525
For cohort Status ISPA
Responden = Tidak .309 .149 .638
2)
Jenis Lantai Rumah Terluas dan Status ISPACrosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:32:50
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Jenis_Lantai BY ISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.05
Elapsed Time 00:00:00.16
Dimensions Requested 2
Cells Available 524245
Jenis Lantai Terluas Rumah Responden * Status ISPA Responden Crosstabulation
Continuity Correctionb .295 1 .587
Likelihood Ratio .920 1 .338
Fisher's Exact Test .445 .298
Linear-by-Linear
Association .874 1 .350
N of Valid Cases 77
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Lantai Terluas Rumah Responden (Batu, tanah / Keramik, marmer, tegel, plester, kayu/papan)
.448 .081 2.469
For cohort Status ISPA
Responden = Ya .606 .183 2.007
For cohort Status ISPA
Responden = Tidak 1.351 .805 2.269
3) Jenis Dinding Rumah Terluas dan Status ISPA
Crosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:40:31
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling
Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Rincian_Jenis_Dinding BY ISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.06
Elapsed Time 00:00:00.05
Dimensions Requested 2
Case Processing Summary
Deskripsi Jenis Dinding * Status ISPA Responden Crosstabulation
Status ISPA
Continuity Correctionb 1.199 1 .274
Likelihood Ratio 1.772 1 .183
Fisher's Exact Test .239 .137
Linear-by-Linear
Association 1.749 1 .186
N of Valid Cases 77
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Deskripsi Jenis Dinding (Tembok / Setengah tembok)
.532 .209 1.353
For cohort Status ISPA
Responden = Ya .717 .444 1.159
For cohort Status ISPA
Responden = Tidak 1.348 .847 2.144
4)
Ketersediaan Ventilasi dan Kejadian ISPACrosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:44:22
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Ventilasi BY ISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.05
Elapsed Time 00:00:00.06
Dimensions Requested 2
Cells Available 524245
Ketersediaan Ventilasi Rumah Responden * Status ISPA Responden Crosstabulation
Continuity Correctionb 19.264 1 .000
Likelihood Ratio 23.636 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 21.342 1 .000
N of Valid Cases 77
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.09. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
For cohort Status ISPA
Responden = Ya 3.018 1.974 4.612
For cohort Status ISPA
Responden = Tidak .143 .038 .536
5) Jenis Pencahayaan Rumah Saat Siang Hari dan Status ISPA
Crosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:48:34
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Pencahayaan BY ISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.03
Elapsed Time 00:00:00.03
Dimensions Requested 2
Cells Available 524245
Case Processing Summary Ketika Siang Hari * Status ISPA Responden
6) Tingkat Pendidikan Responden dan Status ISPA
Logistic Regression
Notes
Output Created 13-JUN-2016 11:55:21
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing
Syntax LOGISTIC REGRESSION
VARIABLES Status_ISPA_Log
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Resources Processor Time 00:00:00.02
Elapsed Time 00:00:00.03
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 77 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 77 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 77 100.0
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Tidak Sakit 0
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Status Regresi L Percentage
Correct Tidak Sakit Sakit
Step 0 Status Regresi L Tidak Sakit 42 0 100.0
Sakit 35 0 .0
Overall Percentage 54.5
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Pendidikan_Terakhir 5.128 4 .274
Pendidikan_Terakhir(1) .196 1 .658
Pendidikan_Terakhir(2) .000 1 1.000
Pendidikan_Terakhir(3) 1.711 1 .191
Pendidikan_Terakhir(4) .010 1 .922
Overall Statistics 5.128 4 .274
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 5.658 4 .226
Block 5.658 4 .226
Model 5.658 4 .226
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 100.449a .071 .095
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
Status Regresi L Percentage
Correct Tidak Sakit Sakit
Step 1 Status Regresi L Tidak Sakit 29 13 69.0
Sakit 19 16 45.7
Overall Percentage 58.4
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
Pendidikan_Terakhir 4.225 4 .376
Pendidikan_Terakhir(1) 1.946 1.168 2.774 1 .096 7.000 .709 69.121
Pendidikan_Terakhir(2) 1.764 1.152 2.345 1 .126 5.833 .610 55.740
Pendidikan_Terakhir(3) 2.506 1.239 4.088 1 .043 12.250 1.080 138.988
Pendidikan_Terakhir(4) 1.723 1.170 2.170 1 .141 5.600 .566 55.426
Constant
-1.946 1.069 3.313 1 .069 .143
7) Tingkat Pendapatan Keluarga dan Status ISPA
Crosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2016 12:03:57
Comments
Input Data C:\Users\Acer\Documents\Survey
KL\Kelompok_1.sav Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none> N of Rows in Working
Data File 77
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all
variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Tingkat_Pendapatan
BY ISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.00
Elapsed Time 00:00:00.03
Dimensions Requested 2
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kategori Pendapatan per Bulan * Status ISPA Responden
77 100.0% 0 0.0% 77 100.0%
Kategori Pendapatan per Bulan * Status ISPA Responden Crosstabulation
Status ISPA
Continuity Correctionb 3.530 1 .060
Likelihood Ratio 4.531 1 .033
Fisher's Exact Test .040 .030
Linear-by-Linear
Association 4.398 1 .036
N of Valid Cases 77
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kategori Pendapatan per Bulan (Rendah / Cukup)
2.750 1.062 7.118
For cohort Status ISPA
Responden = Ya 1.778 .999 3.164
For cohort Status ISPA
Responden = Tidak .646 .433 .966
Dokumentasi Lapangan: