BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang
pemborongan dan bangunan umurnya setua peradaban manusia.
Jika bangunan tersebut dibangun oleh orang lain maka prinsip-prinsip dasar hukum,
pemborongan dan bangunan sudah mulai diterapkan walaupun masih dalam bentuk yang sangat
sederhana.
Perkembangan kontrak tentang pemborongan bangunan sangat pesat dan kompleks,
sehingga hukum tentang pemborongan berkembang terus sepanjang zaman sampai dengan saat
ini. Khusus di Indonesia peraturan yang masih berlaku sampai sekarang adalah dalam KUH.
Perdata dan peraturan standard AV 1941.
Dalam Buku III KUH. Perdata diatur bermacam-macam perjanjian yang pada umumnya
merupakan perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir dari kontrak atau persetujuan.
Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, ada perundingan atau penawaran sebagai
tindakan mendahului tercapainya persetujuan yang tetap, tawaran pihak yang satu diterima oleh
pihak lainnya, tercapainya kata sepakat tentang pokok perjanjian. Suatu perjanjian mempunyai
kekuatan hukum, artinya mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian itu dibuat
secara sah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.
KUH. Perdata tidak banyak mengatur tentang kontrak pemborongan pekerjaan, yaitu
hanya terdapat dalam 14 pasal saja, yaitu mulai dari Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617.
apakah besifat memaksa atau hanya hukum mengatur, tetapi kebanyakan ketentuan tentang
hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur, jadi umumnya dapat dikesampingkan
para pihak”.1
Pengaturan yang dianut Buku III KUH. Perdata adalah sistem terbuka, artinya bahwa orang/para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja baik isi, tujuan dan bentuknya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Bahkan orang boleh mengesampingkan peraturan-peraturan dari hukum perjanjian yang dimuat dalam Buku III KUH. Perdata, karena Buku III KUH. Perdata ini hanya berfungsi sebagai pelengkap saja, hanya melengkapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang telah ada.
2
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa “perjanjian merupakan suatu hubungan hukum
kekayaan atau harta benda antar dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasi”.
Dalam Pasal 1313 KUH. Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Perumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak.
3
Untuk proyek pemerintah peerjanjian pemborongan dibuat secara tertulis dengan
perjanjian baku. Arti perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan
standard. Adapun standard untuk perjanjian pemborongan adalah AV 1941 (Algemene
Dari rumusan perjanjian tersebut di atas, maka pengertiannya menjadi luas, tidak hanya
mengenai perjanjian sepihak saja tetapi juga meliputi perjanjian timbal balik dimana dalam
hubungan tersebut ada hak dan kewajiban pada masing-masing pihak seperti misalnya perjanjian
pekerjaan pemborongan.
1
Munir Fuady., Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hal.26 2
J. Satrio., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal.128 3
Voorwarden Voor de uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia), yaitu
syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.
Peraturan standard dalam perjanjian selain menyangkut persyaratan teknisnya juga mengatur persyaratan administratifnya, yaitu ketentuan yuridisnya. Peraturan standard tersebut selain berlaku bagi perjanjian pemborongan bangunan mengenai pekerjaan umum yang diborongkan oleh pemerintah, juga dinyatakan berlaku untuk pemborongan bangunan oleh pihak swasta.4
Mengenai bentuk perjanjian pemborongan bangunan pada asasnya adalah dibuat secara
tertulis, karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa
perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang
menyangkut keselamatan umum dan tertib bangunan. “Perjanjian tersebut juga didasarkan pada
peraturan standard yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam
rumusan kontrak”.5
Dalam praktek lazim ditempuh jalan bahwa sebelum kontraknya jadi, maka demi
pelaksanaan pekerjaan yang cepat sesuai dengan jangka waktu yang diberikan didahului dengan
membuat surat penunjukkan/surat perintah kerja. “Surat penunjukan sebagai dasar kesepakatan
untuk dapat dimulainya penggarapan suatu pekerjaan. Surat penunjukan hanya sebagai
penunjukan untuk pelaksanaan dari suatu pekerjaan atau merupakan surat pernyataan dari suatu
perusahaan untuk menyatakan pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan”.6
Menurut ketentuan Kepres No. 16 Tahun 1994 Pasal 21 ayat 7 huruf c dan d
menyebutkan bahwa, pekerjaan pemborongan yang nilainya di atas Rp.15.000.000,- (lima belas
juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) berdasarkan pemilihan
langsung dengan kontrak atau cukup dengan surat perintah kerja atau surat penunjukan, yang
4
Sri Soedewi Maschjun Sofwan., Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan. Liberty, Yogyakarta, 1982, hal.5
5
Ibid., hal.55. 6
dilakukan dengan membandingkan sekurang-kurangnya tiga penawar yang tercatat dalam Daftar
Rekanan Mampu (DRM) dan melakukan negoisasi, baik teknis maupun harga, sehingga dapat
diperoleh harga yang wajar dan yang secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan
untuk pekerjaan pemborongan yang nilainya lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
harus dilaksanakan atas surat perjanjian/surat kontrak berdasarkan pelelangan umum atau
pelelangan terbatas.
Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) sebagai
pemberi proyek dan PT. Bersaudara Simalungun Energi sebagai kontraktor, dimana dalam
perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian
tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak, surat kontrak
merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut
kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya,
karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dahulu ditandatangani
surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam
penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan
2. Bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian
pemborongan.
3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam
penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan.
b. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam
perjanjian pemborongan.
c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan
PLTM Silau 2 Simalungun.
2. Manfaat Penulisan
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis
maupun secara praktis.
a. Secara teoretis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan
wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan
memperdalam tentang masalah perjanjian pemborongan.
b. Secara Praktis :
1) Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya
memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian pemborongan.
2) Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2
Simalungun Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)”.
Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan, baik melalui literatur yang diperoleh dari
perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan
penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul
skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain
dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya
sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjian itu
adalah "suatu perbuatan hukum seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain
atau lebih".7
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian
diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.8
7
Sri Soedewi Maschoen Sofwan., Op.Cit, hal.7. 8
Selanjutnya menurut pendapat R. Subekti bahwa perjanjian adalah "suatu peristiwa
di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal".9
Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah perikatan.
Jadi kedua istilah tersebut adalah sama artinya, tetapi menurut pendapat R. Wirjono
Prodjodikoro bahwa :
10
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian
itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu atau
diantara para pihak yang bersepakat di dalam perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan Dari kedua definisi yang dikemukakan oleh R. Subekti dan R. Wirjono
Prodjodikoro di atas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Adanya perbedaan
tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan
pengertiannya saja. Yang pasti dari peristiwa perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu
hubungan antara kedua orang atau kedua pihak tersebut.
Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan diantara kedua orang atau kedua pihak yang
membuatnya itu. Menampakkan atau mewujudkan bentuknya, perjanjian dapat berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
dituliskan.
9
R. Subekti., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, h.1.
10
salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber perikatan lainnya. Perjanjian disebut
sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentu menyetujui
atau menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perikatan adalah suatu pengertian yang
abstrak, sedangkan perjanjian adalah merupakan hal yang nyata atau suatu peristiwa kongkrit.
Sebab perikatan tidak dapat terlihat secara nyata melainkan hanya dapat dibayangkan, sedangkan
perjanjian pada umumnya terlihat jika itu dalam bentuk tertulis dan jika hanya lisan saja,
maka perjanjian dapat didengar isinya atau perkataan-perkataan yang mengandung janji
tersebut.
Pemborongan pekerjaan adalah merupakan bagian tersendiri dalam KUH. Perdata yaitu
yang diatur dalam pasal-pasal 1601 b dan Pasal 1604 s/d 1616 tentang persetujuan tertentu pada
Buku III, bab 7 A bagian ke – 6.
Pengertian perjanjian pemborongan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu
yaitu si pemborong mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak
yang lain yaitu pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Demikian bunyi Pasal 1901 b KUH. Perdata. Maksud perjanjian pemborongan tersebut di atas
dimana pihak yang satu dalam hal ini si pemborong berjanji kepada pihak yang memborongkan
akan meyelenggarakan pekerjaan tertentu dan dengan mendapat upah tertentu.
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan itu selain untuk membangun juga dikenal
perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyediakan barang-barang. Dalam pembahasan ini
hanya akan membicarakan sekitar tentang masalah persetujuan pemborongan bangunan.
Pasal 1338 ayat (2) KUH.Perdata mengatakan, bahwa persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikat baik. Namun dalam prakteknya para pihak sering tidak konsekuen
diselesaikan di Pengadilan yang banyak memakan biaya dan waktu. Dalam hal ini perjanjian
dibuat secara lisan akan mengalami kesulitan pembuktian di Pengadilan.
Perjanjian pemborongan yang dibuat para pihak akan memuat panjang lebar tentang
luasnya pekerjaan, urutan tentang pekerjaan dan syarat yang disertai dengan bestek, persyaratan
bahan material, tentang harga tertentu, jangka waktu penyelesaian, resiko dan lain-lain yang
tersebut di atas dirumuskan secara terperinci.
Di dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan terdapat para pihak yang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan perjanjian yang mereka buat tersebut. Adapun pihak
tersebut adalah pihak yang memborongkan yang memberi pekerjaan dan pihak yang memborong
(yang mengerjakan) biasa disebut pihak kontraktor. Namun hal itu tidaklah sesederhana hal
tersebut mungkin lebih dari dua pihak.
Pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian bangunan adalah :
a. Pemberi Pekerjaan
Pemberi pekerjaan dalam hal ini adalah pemerintah yang memprakarsai dan
merencanakan pembangunan sesuai dengan bangunan Daftar Isian Proyek (DIP) dari
masing-masing departemen. Dalam melakukan pembangunan fisik sangat erat hubungannya dengan
Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemberi pekerjaan, karena untuk proyek-proyek yang
menyangkut kepentingan (kesejahteraan umum), misalnya jalan raya, jembatan dan lain-lain,
tidak bisa terlepas dari tugas Departemen PU yang mengurus kepentingan umum.
Setiap pembangunan yang menyangkut kepentingan umum maka yang bertindak
sebagai pemberi pekerjaan (mewakili pemerintah) adalah Departemen PU. Hubungan antara
pemerintah sebagai pemberi pekerjaan dengan pemborong dari pihak swasta dituangkan
dalam surat perjanjian pemborongan atau Surat Perintah Kerja (SPK).
Perencana adalah pihak yang menyusun rencana bangunan memuat arsitek sesuai
dengan kehendak pemberi pekerjaan. Tugas perencanaan dalam pemborongan dilakukan oleh
orang-orang dan ahli, yaitu arsitek atau insinyur.
c. Pemborong .
Pemborong adalah pihak yang bertindak sebagai pelaksana pembangunan sesuai
dengan isi perjanjian. Pemborong ini bisa perseorangan, badan hukum swasta maupun
pemerintah.
Dalam melaksanakan pekerjaan, pemborong yang memenangkan lelang (tender)
sering bekerjasama dengan pemborong yang lain yang biasa disebut sub kontraktor.
Pekerjaan tidak boleh diserahkan kepada sub kontraktor secara keseluruhan, hanya boleh
untuk sebahagian pekerjaan yang biasanya tidak menjadi keahlian pemborong setelah
sebelumnya sub kontraktor ini diusulkan oleh pemborong dan dapat izin secara tertulis dari
pemberi tugas.
Dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka
dikatakan wanprestasi. Dengan terjadinya wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat
meminta atau menuntut ganti rugi dan juga dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Hal
ini ditentukan dalam Pasal 1266 KUH. Perdata ayat (1) yang menyebutkan bahwa syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan “dalam hal
yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan pada
hakim”.
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan empiris yaitu dengan mengemukakan kasus yang
berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini..
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai
dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan analisis
kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian
dikaji sebagai suatui kesatuan yang utuh.
5. Analisis Data.
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data
secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus
statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai perjanjian pemborongan
pekerjaan.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :
BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan,
BAB II : Perjanjian Pada Umumnya meliputi : Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur
Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Asas-Asas Dalam Perjanjian, Wanprestasi dan Akibat
Hukumnya.
BAB III Tinjauan Tentang Perjanjian Pemborongan Bangunan meliputi : Pengertian dan
Pengaturan Perjanjian Pemborongan, Jenis Perjanjian Pemborongan, Isi Perjanjian
Pemborongan, Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan, Prakualifikasi, Kualifikasi dan
Klasifikasi Pemborong..
BAB IV Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun
Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi meliputi : Kasus
Putusan Mahkamah Agung RI No.146 K/PDT.SUS/2012, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum
Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan
Pekerjaan, Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian
Pemborongan
BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam
penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan
masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula