BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam,
baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak
saja kaya tetapi juga mempunyai keunikan tertentu. Sumber daya alam tersebut
mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan
secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat
Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini
maupun masa depan.1
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan
sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan bagi bangsa
Indonesia yang tidak dapat terhitung jumlahnya. Salah satu kekayaan alam yang
dimiliki oleh Indonesia adalah berbagai macam satwa, yang tersebar di seluruh
pulau-pulau yang ada di Indonesia. Tidak kurang 10 persen makhluk hidup di
dunia jenisnya ditemukan di Indonesia, Centre on Biological Biodiversity (CBD)
mencatat bahwa 12% mamalia, dan 16% reptil di dunia berada di indonesia.
Kemudian terdapat 1.592 spesies burung dan setidaknya 270 spesies ampibhi
hidup di Indonesia.2
1
Bagian Menimbang Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah cirisuatu
pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di dalamnya mendukung
akan perkembangbiakan satwa tersebut di Indonesia sendiri.3
Tetapi pada kenyataannya satwa-satwa tersebut sudah sangat sulit
dijumpai di habitat aslinya. Satwa-satwa yang dilindungi tersebut diantaranya
yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak
bercula satu, aNomora, burung cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, dan
masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang
terancam punah. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa tersebut selama Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya disebutkan :
“Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa feNomormena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.”
Pentingnya peranan setiap unsur dalam pembentukan lingkungan bersifat
mutlak serta tak tergantikan. Jadi dapat dipahami jika satwa juga merupakan unsur
yang bersifat mutlak serta tidak dapat digantikan dalam pembentukan lingkungan
hidup. Adanya gangguan yang dialami salah satu unsur berarti terganggu seluruh
ekosistem sehingga kelestarian pemanfaatan dikhawatirkan terganggu pula.
Sehingga pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab bersama masyarakat serta pemerintah.
3
inibanyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagi ulah sekelompok
manusia yang tidak bertanggung jawab.4
Ancaman terbesar terhadap kelestarian satwa-satwa tersebut adalah
aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan
seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan
pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat,
berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan satwa,
sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir
dengan tersingkirnya satwa tersebut dari habitatnya. Bentuk lain aktivitas manusia
yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa tersebut dari habitat
alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal satwa dan produk
turunannya. Tingginya permintaan komersial dari produk-produk ilegal satwa
mulai dari kulit, tulang, taring, serta daging mendorong meningkatnya perburuan
satwa tersebut.5
4
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta, 2007, hlm.3.
5
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017, Jakarta, 2007, hlm.1.
Perdagangan satwa liar beserta bagian-bagian tubuh dan produk
olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus
penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies satwa liar secara rutin telah
ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Pemanen
besar-besaran, terutama untuk tujuan komersial, merupakan penyebab utama langkanya
berbagai spesies. Pada awalnya pemanen satwa liar hanya ditujukan untuk
kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya kegiatan pemanen ini kemudian berubah
lain.6Perilaku masyarakat yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka
yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan
populasinya di habitat asalnya.7
Kasus demi kasus pun mencuat terkait dengan kegiatan penangkapan,
perdagangan sampai pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi. Pada Tahun
2009 Bali memunculkan isu yang kontroversial yaitu tentang pengajuan Gubernur
Bali mengenai kuota 1000 ekor penyu untuk keperluan adat dan upacara agama.
Pengajuan kuota pemanfaatan penyu tersebut sangat ironis sekali di tengah
pencitraan Bali sebagai daerah wisata yang ramah lingkungan. Antara bulan
September 2010 dan April 2011 dua peneliti bernama Daniel Natusch dan Jessica
Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey
terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan
Papua. Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak
diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen
(Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura
Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides),
katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus
sp.) Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil
ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau
tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini
ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam
6
Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES Di Indonesia, [Jakarta : Japan International Cooperation Agency (JICA), 2003], hlm.9.
7
CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna.8Tidak cukup hanya itu saja, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi perdagangan satwa pun dilakukan melalui internet
atau via online. Para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencari
keuntungan diri sendiri pun memperdagangkan satwa-satwa tersebut melalui iklan
di media sosial. Sepanjang Tahun 2014 lalu tercatat ada sedikitnya 3.640 iklan di
media sosial yang menawaarkan satwa liar berbagai jenis. Sejak Tahun 2011
hingga Maret 2013, sebanyak 18 kasus perdagangan online terungkap, 10 di
antaranya adalah perdagangan harimau sumatera. Jual beli satwa langka itu bukan
hanya untuk konsumsi domestik, namun juga diselundupkan ke luar negeri.
Tercatat ada beberapa Negara yang jadi sasaran penyelundupan satwa asal
Indonesia itu, antara lain Hongkong, Kuwait, Cina, Taiwan dan Perancis.
Maraknya perdagangan satwa liar ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian
satwa liar di alam, karena sebagian besar yang diperdagangkan adalah hasil
tangkapan dari alam.9
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam Pasal 33 ayat (3)
meyebutkan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Satwa merupakan kekayaan alam Indonesia sehingga sesuai
dengan Pasal 33 ayat (3) tersebut maka seharusnya satwa yang dilindungi adalah
milik negara secara mutlak. Sehingga kegiatan yang berkaitan dengan berusaha
untuk memiliki, memperdagangkan, ataupun menyeludukan segala jenis satwa
yang dilindungi harus diberantas. Sebagai upaya pemberantasan tersebut
pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait
dengan perlindungan satwa dan telah membuat berbagai peraturan yang mengatur
mengenai kegiatan perlindungan satwa tersebut. Mengenai kegiatan pelarangan
tersebut, Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons dari hasil penelitian yang
telah mereka lakukan tentang kegiatan perdagangan dan eksploitasi satwa jenis
amphibi dan reptil di Papua Nugini, menyatakan bahwa :
“Indonesia became a party to CITES in 1979, meaning that the trade in Indonesian CITES listed wildlife is internationally monitored and regulated. Harvests of CITES-listed species are regulated by quotas set by the Nomorminated CITES Scientific Authority, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), and implemented by the Nomorminated CITES Management Authority, the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA). A small number (31) of Indonesian amphibian and reptile species are fully protected under national legislation and canNomort be harvested from the wild (Dilindungi PP Nomor 7/1999). For traded species that are Nomorn-protected, quotas are set on an annual basis via a meeting of various stakeholders including PHKA, LIPI, relevant Nomorn-government organizations and licensed wildlife traders (PP Nomor 8/1999). Hunters and traders require permits for capturing, transporting and selling wildlife within Indonesia (Decree of the Ministry of Forestry Nomor 447/Kpts-11/2003) and must be registered with regional offices of the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA), responsible for the regulation of wildlife trade at the provincial level. Only those species that have an allotted harvest quota can be harvested from the wild for local sale or export, and these quotas only allow harvest from each designated province.”10
Terjemahan bebas :
10
Pada Tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES
(Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora) dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978
yang berarti bahwa segala kegiatan perdagangan satwa liar yang terdaftar di
Indonesia secara internasional telah dimonitor dan diatur. Indonesia juga telah
membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
satwa yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Haayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Sejumlah kecil yaitu 31 jenis amphibi
dan reptil di Indonesia sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nasional dan
tidak dapat di tangkap dari alam. Meskipun telah adaperaturan dan
pedomandiIndonesia yang mengatur tentangperdagangansatwa liar, ada beberapa
pihak yang tidakmematuhi peraturantersebut. Hal itu disebabkan karena masih
banyakspesiesyangkurang dikenalolehpihak yang berwenang di Indonesia,mereka
dapatdengan mudahsalah memberikan nama terhadap satwa tersebut yang
seharusnya satwa tersebut dilindungi dapat diperdagangkan dengan mudah
dansecara terbuka.
Bagaimanapun kegiatan perdagangan satwa yang dilindungi tersebut
apabila tidak segera ditangani tetunya akan mengakibatkaan permasalahan yang
cukup serius di kemudian hari, antara lain kepunahan populasi yang ada di alam,
bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada
dan pada akhirnya membawa dampak buruk yang sangat vital bagi
keberlansungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi.
Hukum merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan
kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup karena fungsi
hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan
masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan
khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar di dalamnya diharapkan
dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah
dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.11
11
Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES...,Op.Cit.,hlm.6.
Pedagangan dan perniagaan satwa liar atau satwa yang dilindungi telah terjadi di
seluruh daaerah di Indonesia, untuk itu pelakunya haruslah di kenakan
pertanggung jawaban pidana untuk memberikan efek jera kepada pelakunya
sekaligus untuk mencegah terjadinya praktek perniagaan satwa yaung dilindungi.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Skripsi ini akan
menganalisis mengenai penjatuhan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku
yang memperniagakan satwa yang dilindungi yang dikaji secara teoritis
berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya serta Peraaturan
Perundang-Undaangan Lainnya yang berkaitan dengan perlindungan satwa,
termasuk juga penerapannya melalui putusan Pengadilan Negeri Medan, dengan
dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan
Negeri Medan dengan register Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana regulasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi?
2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang
memperniagakan satwa yang dilindungi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan yang terkait dengan Tindak Pidana
Perniagaan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
yang memperniagakan satwa yang dilindungi.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1) Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan
pengetahuan, khasanah, dan wawasan tentang kasus tindak pidana
memperniagakan satwa yang dilindungi.
a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam melakukan
penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana perniagaan
satwa yang dilindungi.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa
yang dilindungi serta dampaknya terhadap pelestarian
lingkungan.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan
bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam hal dipidananya seseorang
tidaklah bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana yang
dibuatnya. Persoalan seseorang dapat dipidana tergantung pada apakah
orang tersebut dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan
atau
tidak.Sistempertanggungjawabanpidanadalamhukumpidanapositifsaatini
menganut asaskesalahan sebagai salah satu asas disampingasaslegalitas.
Pertanggung jawaban pidana erat kaitannya dengan unsur kesalahan yang
dilakukan oleh seseorang. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana
itu memang mempunyai kesalahan, maka tentunya dia akan dipidana.
perbuatan yaang terlarang dan tercela maka ia tidak akan dipidana.12 Sebab
asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus Nomorn
facit reum nisi mens sist rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis
tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia
berlaku.13
“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
Unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan
seseorang. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat
disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana
disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Mengenai hubungan
pertanggungjawaban pidana dan kesalahan tersebut telah dipertegas oleh
Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan
Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum
Pidana meyatakan bahwa:
14
Seseorang tidak mungkin dapat dipidana apabila ia tidak melakukan
perbuatan pidana, tetapi tidak selalu orang yang melakukan perbuatan
pidana tersebut dapat dipidana tergantung kepada ada atau tidaknya unsur
12
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.75.
13
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008) hlm.59.
14
kesalahan dari orang tersebut. Dikatakan kesalahan berarti perbuatan yang
dilakukan orang tersebut adalah perbuatan yang dicela atau oleh
masyarakat perbuatan tersebut tidak disukai. Ia masih memiliki pilihan
untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.
Perbedaan mendasar dari delik pidana dan pertanggungjawaban
pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur-unsur daari tiap delik
berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu :
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif
b. Akibat yang ditimbulkan
c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil
d. Tidak adanya alasan pembenar
Dapat disimpulkan bahwa batasan delik pada umumnya adalah
Suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil diisyaratkan
terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan,
yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak adanya dasar yang
membenarkan perbuatan itu.
Sedangkan adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah
sebagai berikut:
a. Kemampuan bertanggungjawab
b. Kesalahan pembuat
c. Tak adanya dasar pemaaf15
15
2. Pengertian Pelaku
Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang telah
memenuhi unsur suatu perbuatan pidana, dalam arti orang yang dengan
suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan
oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak
dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur
subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah
keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya
sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga dan kepadanya dapat
dijatuhkan sanksi atau hukuman.16Istilah pelaku merupakan terjemahan
dari istilah “Dader” yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan
perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang
disebut dalam perumusan peristiwa tindak pidana.17
16
Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm.37.
17
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalmia Indonesia, 1983), hlm.31.
Dalam delik formil
terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik material terlihat
apabila seorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang.
Dalam KUHP yang dapat dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak
pidana, sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 55 KUHP, bahwa pelaku
1) Orang yang Melakukan Sendiri Tindak Pidana (pleger)
Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan
praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai
yang melakukan (pleger) atau pembuat pelaksana tindak pidana
secara penyertaan adalah 2 kriteria :
1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan
terwujudnya tindak pidana,
2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak
pidana
2) Orang Yang Menyuruh Orang Lain untuk Menentukan Tindak Pidana (doen pleger)
Doenpleger ialah seseorang yang menyuruh orang lain
untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis, ini
merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak
mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang
disuruh seolah-olah hanya menjadi alat ilmu hukum pidana disebut
manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra.
Tanggung jawab orang yang menyuruh itu sama dengan tanggung
jawab dari pembujuk (uitlokker) yaitu :
Pertama, tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang
menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua, tanggung jawab tidak
melebihi dari apa yang dikehendakinya.
3) Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (mendepleger)
KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja
yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal
ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak
pidana harus memenuhi dua syarat :
a. Harus adanya kerjasama fisik
b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama laain
bekerjasama untuk melakukan tindak pidana
Yang dimaksud dengan turut serta melakukan oleh
Memorie van Toelichting (MvT) dijelaskan bahwa yang turut serta
malakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet)
dalam melakukan suatu tindak pidana.
4) Orang Yang Membujuk (uitlokker)
Seperti halnya doenpleger maka uitlokker juga memakai
seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya
melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering
disebut “intellectueel dader” atau “uitlokker” sedang orang yang
dibujuk disebut “uitgelokte”. Selain itu untuk dapat dikatakan
uitlokker, si pembujuk harus menggunakan daya upaya
1 sub 2 KUHP. Tanggungjawab uitlokker diatur dalam Pasal 55
ayat 2 KUHP. Pasal inni mengatur bahwa uitlokker hanya
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan daripada uitgelokte
yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada
pihak lain, tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya ia
juga bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan
uitgelokte.18
3. Pengertian Satwa Yang Dilindungi
Pengertian satwa menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 adalah “semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang
hidup di darat maupun air”. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian
“satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, daan/atau di air
dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yag hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Dalam Penjelasan Pasal 1
butir 7 memuat pembatasan mengenai defenisi satwa liar tersebut, sebagai
berikut “ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar,
tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. Hal yang sangat erat
hubungannya dengan “satwa” adalah “habitat”. Pengertian habitat menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah “Lingkungan
tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami”.19
diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pukul 22:44
19
Dahulu perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu diatur
pada Dierenbeschermings Ordonantie 1931 dan Dierenbescharmings
Verordening 1931 berdasarkan peraturan tersebut, Menteri Pertanian telah
menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan
keputusan-keputusan berikut :
a. Nomor : 421/Ktps/Um/8/1970
b. Nomor : 327/Ktps/Um/7/1972
c. Nomor : 66/Ktps/Um/2/1972
Ketiga keputusan tersebut telah menentukan perlindungan satwa
yang terdiri dari :
a. Mamalia : 95 jenis
b. Aves : 372 jenis
c. Reptilia : 28 jenis
d. Pisces : 20 jenis20
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa membedakan jenis tumbuhan dan
satwa atas dasar golongan, sebagai berikut :
a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi
b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi
Kriteria tumbuhan dan satwa yang tergolong dilindungi haruslah
memenuhi kriteria :
a. Mempunyai populasi kecil;
20
b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di
alam;
c. Daerah penyebarannya terbatas (endemik).21
Dapat disimpulkan bahwa satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang
hanya mempunyai populasi yang sedikit atau hampir punah dan habitatnya
hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja.
Satwa liar memiliki peran yang sangat penting terhadap tanah dan
vegetasi dan memegang peran kunci dalam penyebaran, pertumbuhan
tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian
organisme mati menjadi zat organik yang lebih berguna bagi kehidupan
tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan dan tanah.
Satwa liar juga berperan dalam perekoNomormian lokal dan nasional, nilai
ekoNomormi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah
tropik, terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang
layak dipertimbangkan. Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada
beberapa macam, antara lain :
a. Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan
oleh suku -suku pedalaman
b. Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan
sebagai bahan pembuat tas, baju/hiasan lain oleh penduduk
asli
c. Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar
21
d. Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging,
kulit, ranggah, cula dan gading
e. Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan (trophy)
atau untuk olahraga wisatawan
f. Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi
untuk wisatawan yang harus membayar bila akan melihat,
meneliti, memotret atau mendekatinya.22
Mengenai jenis satwa yang dilindungi diatur secara langsung
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah :
(1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
adalah penelitian hukum yang Yuridis Nomorrmatif dinamakan
juga dengan penelitian hukum Nomorrmatif atau penelitian hukum
doktrinal, yang mengacu pada Nomorrma-Nomorrma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan
serta Nomorrma hukum yang ada dalam masyarakat.
(2) Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai pendapat
22
yang berkembang serta proses yang sedang berlangsung mengenai
hal yang sedang diteliti yang dalam skripsi ini yang diteliti adalah
pertanggung jawaban pidana erhadap pelaku yang
memperniagakan satwa liar.
(3) Jenis Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa dokumen peraturan yang
mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang,
yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya,
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar, Keputusan Presiden Nomor 43
Tahun 1978 tentang Convention On International Traade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa dokumen yang
merupakan hasil kajian tentang pertanggung jawaban
hukum terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan
satwa yang dilindungi meliputi Putusan Pengadilan Negeri
Medan dengan Nomor Register 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn,
sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas di dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa dokumen yang berisi
konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti
kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
(4) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang
berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui
penelitian literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis
ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap
substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian
terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri
Medan. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini
adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun
bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi
ini.
(5) Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui
data yang diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan
sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam
skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis
terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai
“Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa
Yang Dilindungi Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)” belum pernah
dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang
dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara
komperhensif dalam suatu penelitian sehingga penelitian ini merupakan suatu
yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif
dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan
maupun kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab di bagi
menjadi beberapa sub-bab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun
tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang
Bab I merupakan bab Pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penelitian
Bab II akan dibahas mengenai berbagai pengaturan yang berkaitan dengan
pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana
memperniagakan satwa yang dilindungi.
Bab III terdiri dari dua sub-bab yang mana sub-bab pertama akan dibahas
mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak
pidana beserta unsur-unsur dari pertanggung jawaban pidana tersebut secara
umum. Serta pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai aplikasi dari
pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana peniagaan satwa
secara khusus.
Bab IV yaitu bab Penutup yang membaahas mengenai Kesimpulan dan
Saran. Berdasarkan uraian-uraian dalam Bab II dan Bab III di atas tentang
jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya