• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam,

baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak

saja kaya tetapi juga mempunyai keunikan tertentu. Sumber daya alam tersebut

mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan

secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat

Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini

maupun masa depan.1

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan

sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan bagi bangsa

Indonesia yang tidak dapat terhitung jumlahnya. Salah satu kekayaan alam yang

dimiliki oleh Indonesia adalah berbagai macam satwa, yang tersebar di seluruh

pulau-pulau yang ada di Indonesia. Tidak kurang 10 persen makhluk hidup di

dunia jenisnya ditemukan di Indonesia, Centre on Biological Biodiversity (CBD)

mencatat bahwa 12% mamalia, dan 16% reptil di dunia berada di indonesia.

Kemudian terdapat 1.592 spesies burung dan setidaknya 270 spesies ampibhi

hidup di Indonesia.2

1

Bagian Menimbang Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah cirisuatu

(2)

pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di dalamnya mendukung

akan perkembangbiakan satwa tersebut di Indonesia sendiri.3

Tetapi pada kenyataannya satwa-satwa tersebut sudah sangat sulit

dijumpai di habitat aslinya. Satwa-satwa yang dilindungi tersebut diantaranya

yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak

bercula satu, aNomora, burung cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, dan

masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang

terancam punah. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa tersebut selama Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya disebutkan :

“Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa feNomormena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.”

Pentingnya peranan setiap unsur dalam pembentukan lingkungan bersifat

mutlak serta tak tergantikan. Jadi dapat dipahami jika satwa juga merupakan unsur

yang bersifat mutlak serta tidak dapat digantikan dalam pembentukan lingkungan

hidup. Adanya gangguan yang dialami salah satu unsur berarti terganggu seluruh

ekosistem sehingga kelestarian pemanfaatan dikhawatirkan terganggu pula.

Sehingga pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan

tanggung jawab bersama masyarakat serta pemerintah.

3

(3)

inibanyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagi ulah sekelompok

manusia yang tidak bertanggung jawab.4

Ancaman terbesar terhadap kelestarian satwa-satwa tersebut adalah

aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan

seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan

pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat,

berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan satwa,

sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir

dengan tersingkirnya satwa tersebut dari habitatnya. Bentuk lain aktivitas manusia

yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa tersebut dari habitat

alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal satwa dan produk

turunannya. Tingginya permintaan komersial dari produk-produk ilegal satwa

mulai dari kulit, tulang, taring, serta daging mendorong meningkatnya perburuan

satwa tersebut.5

4

Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta, 2007, hlm.3.

5

Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017, Jakarta, 2007, hlm.1.

Perdagangan satwa liar beserta bagian-bagian tubuh dan produk

olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus

penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies satwa liar secara rutin telah

ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Pemanen

besar-besaran, terutama untuk tujuan komersial, merupakan penyebab utama langkanya

berbagai spesies. Pada awalnya pemanen satwa liar hanya ditujukan untuk

kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya kegiatan pemanen ini kemudian berubah

(4)

lain.6Perilaku masyarakat yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka

yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan

populasinya di habitat asalnya.7

Kasus demi kasus pun mencuat terkait dengan kegiatan penangkapan,

perdagangan sampai pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi. Pada Tahun

2009 Bali memunculkan isu yang kontroversial yaitu tentang pengajuan Gubernur

Bali mengenai kuota 1000 ekor penyu untuk keperluan adat dan upacara agama.

Pengajuan kuota pemanfaatan penyu tersebut sangat ironis sekali di tengah

pencitraan Bali sebagai daerah wisata yang ramah lingkungan. Antara bulan

September 2010 dan April 2011 dua peneliti bernama Daniel Natusch dan Jessica

Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey

terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan

Papua. Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak

diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen

(Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura

Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides),

katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus

sp.) Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil

ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau

tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini

ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam

6

Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES Di Indonesia, [Jakarta : Japan International Cooperation Agency (JICA), 2003], hlm.9.

7

(5)

CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

Fauna.8Tidak cukup hanya itu saja, seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi perdagangan satwa pun dilakukan melalui internet

atau via online. Para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencari

keuntungan diri sendiri pun memperdagangkan satwa-satwa tersebut melalui iklan

di media sosial. Sepanjang Tahun 2014 lalu tercatat ada sedikitnya 3.640 iklan di

media sosial yang menawaarkan satwa liar berbagai jenis. Sejak Tahun 2011

hingga Maret 2013, sebanyak 18 kasus perdagangan online terungkap, 10 di

antaranya adalah perdagangan harimau sumatera. Jual beli satwa langka itu bukan

hanya untuk konsumsi domestik, namun juga diselundupkan ke luar negeri.

Tercatat ada beberapa Negara yang jadi sasaran penyelundupan satwa asal

Indonesia itu, antara lain Hongkong, Kuwait, Cina, Taiwan dan Perancis.

Maraknya perdagangan satwa liar ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian

satwa liar di alam, karena sebagian besar yang diperdagangkan adalah hasil

tangkapan dari alam.9

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam Pasal 33 ayat (3)

meyebutkan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Satwa merupakan kekayaan alam Indonesia sehingga sesuai

dengan Pasal 33 ayat (3) tersebut maka seharusnya satwa yang dilindungi adalah

milik negara secara mutlak. Sehingga kegiatan yang berkaitan dengan berusaha

(6)

untuk memiliki, memperdagangkan, ataupun menyeludukan segala jenis satwa

yang dilindungi harus diberantas. Sebagai upaya pemberantasan tersebut

pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait

dengan perlindungan satwa dan telah membuat berbagai peraturan yang mengatur

mengenai kegiatan perlindungan satwa tersebut. Mengenai kegiatan pelarangan

tersebut, Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons dari hasil penelitian yang

telah mereka lakukan tentang kegiatan perdagangan dan eksploitasi satwa jenis

amphibi dan reptil di Papua Nugini, menyatakan bahwa :

“Indonesia became a party to CITES in 1979, meaning that the trade in Indonesian CITES listed wildlife is internationally monitored and regulated. Harvests of CITES-listed species are regulated by quotas set by the Nomorminated CITES Scientific Authority, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), and implemented by the Nomorminated CITES Management Authority, the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA). A small number (31) of Indonesian amphibian and reptile species are fully protected under national legislation and canNomort be harvested from the wild (Dilindungi PP Nomor 7/1999). For traded species that are Nomorn-protected, quotas are set on an annual basis via a meeting of various stakeholders including PHKA, LIPI, relevant Nomorn-government organizations and licensed wildlife traders (PP Nomor 8/1999). Hunters and traders require permits for capturing, transporting and selling wildlife within Indonesia (Decree of the Ministry of Forestry Nomor 447/Kpts-11/2003) and must be registered with regional offices of the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA), responsible for the regulation of wildlife trade at the provincial level. Only those species that have an allotted harvest quota can be harvested from the wild for local sale or export, and these quotas only allow harvest from each designated province.”10

Terjemahan bebas :

10

(7)

Pada Tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES

(Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And

Flora) dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978

yang berarti bahwa segala kegiatan perdagangan satwa liar yang terdaftar di

Indonesia secara internasional telah dimonitor dan diatur. Indonesia juga telah

membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan

satwa yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Haayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Sejumlah kecil yaitu 31 jenis amphibi

dan reptil di Indonesia sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nasional dan

tidak dapat di tangkap dari alam. Meskipun telah adaperaturan dan

pedomandiIndonesia yang mengatur tentangperdagangansatwa liar, ada beberapa

pihak yang tidakmematuhi peraturantersebut. Hal itu disebabkan karena masih

banyakspesiesyangkurang dikenalolehpihak yang berwenang di Indonesia,mereka

dapatdengan mudahsalah memberikan nama terhadap satwa tersebut yang

seharusnya satwa tersebut dilindungi dapat diperdagangkan dengan mudah

dansecara terbuka.

Bagaimanapun kegiatan perdagangan satwa yang dilindungi tersebut

apabila tidak segera ditangani tetunya akan mengakibatkaan permasalahan yang

cukup serius di kemudian hari, antara lain kepunahan populasi yang ada di alam,

(8)

bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada

dan pada akhirnya membawa dampak buruk yang sangat vital bagi

keberlansungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi.

Hukum merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan

kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup karena fungsi

hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan

masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan

khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar di dalamnya diharapkan

dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah

dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.11

11

Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES...,Op.Cit.,hlm.6.

Pedagangan dan perniagaan satwa liar atau satwa yang dilindungi telah terjadi di

seluruh daaerah di Indonesia, untuk itu pelakunya haruslah di kenakan

pertanggung jawaban pidana untuk memberikan efek jera kepada pelakunya

sekaligus untuk mencegah terjadinya praktek perniagaan satwa yaung dilindungi.

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Skripsi ini akan

menganalisis mengenai penjatuhan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku

yang memperniagakan satwa yang dilindungi yang dikaji secara teoritis

berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya serta Peraaturan

Perundang-Undaangan Lainnya yang berkaitan dengan perlindungan satwa,

termasuk juga penerapannya melalui putusan Pengadilan Negeri Medan, dengan

(9)

dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan

Negeri Medan dengan register Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana regulasi peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang

memperniagakan satwa yang dilindungi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan yang terkait dengan Tindak Pidana

Perniagaan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan

Ekosistemnya

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

yang memperniagakan satwa yang dilindungi.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1) Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan

pengetahuan, khasanah, dan wawasan tentang kasus tindak pidana

memperniagakan satwa yang dilindungi.

(10)

a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam melakukan

penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana perniagaan

satwa yang dilindungi.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa

yang dilindungi serta dampaknya terhadap pelestarian

lingkungan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan

bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam hal dipidananya seseorang

tidaklah bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana yang

dibuatnya. Persoalan seseorang dapat dipidana tergantung pada apakah

orang tersebut dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan

atau

tidak.Sistempertanggungjawabanpidanadalamhukumpidanapositifsaatini

menganut asaskesalahan sebagai salah satu asas disampingasaslegalitas.

Pertanggung jawaban pidana erat kaitannya dengan unsur kesalahan yang

dilakukan oleh seseorang. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana

itu memang mempunyai kesalahan, maka tentunya dia akan dipidana.

(11)

perbuatan yaang terlarang dan tercela maka ia tidak akan dipidana.12 Sebab

asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus Nomorn

facit reum nisi mens sist rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis

tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia

berlaku.13

“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

Unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan

seseorang. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat

disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana

disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Mengenai hubungan

pertanggungjawaban pidana dan kesalahan tersebut telah dipertegas oleh

Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan

Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum

Pidana meyatakan bahwa:

14

Seseorang tidak mungkin dapat dipidana apabila ia tidak melakukan

perbuatan pidana, tetapi tidak selalu orang yang melakukan perbuatan

pidana tersebut dapat dipidana tergantung kepada ada atau tidaknya unsur

12

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.75.

13

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008) hlm.59.

14

(12)

kesalahan dari orang tersebut. Dikatakan kesalahan berarti perbuatan yang

dilakukan orang tersebut adalah perbuatan yang dicela atau oleh

masyarakat perbuatan tersebut tidak disukai. Ia masih memiliki pilihan

untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Perbedaan mendasar dari delik pidana dan pertanggungjawaban

pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur-unsur daari tiap delik

berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu :

a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif

b. Akibat yang ditimbulkan

c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil

d. Tidak adanya alasan pembenar

Dapat disimpulkan bahwa batasan delik pada umumnya adalah

Suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil diisyaratkan

terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan,

yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak adanya dasar yang

membenarkan perbuatan itu.

Sedangkan adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah

sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab

b. Kesalahan pembuat

c. Tak adanya dasar pemaaf15

15

(13)

2. Pengertian Pelaku

Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang telah

memenuhi unsur suatu perbuatan pidana, dalam arti orang yang dengan

suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan

oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak

dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur

subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah

keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya

sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga dan kepadanya dapat

dijatuhkan sanksi atau hukuman.16Istilah pelaku merupakan terjemahan

dari istilah “Dader” yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan

perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang

disebut dalam perumusan peristiwa tindak pidana.17

16

Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm.37.

17

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalmia Indonesia, 1983), hlm.31.

Dalam delik formil

terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik material terlihat

apabila seorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam

dengan pidana oleh undang-undang.

Dalam KUHP yang dapat dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak

pidana, sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 55 KUHP, bahwa pelaku

(14)

1) Orang yang Melakukan Sendiri Tindak Pidana (pleger)

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan

praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai

yang melakukan (pleger) atau pembuat pelaksana tindak pidana

secara penyertaan adalah 2 kriteria :

1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan

terwujudnya tindak pidana,

2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak

pidana

2) Orang Yang Menyuruh Orang Lain untuk Menentukan Tindak Pidana (doen pleger)

Doenpleger ialah seseorang yang menyuruh orang lain

untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis, ini

merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak

mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang

disuruh seolah-olah hanya menjadi alat ilmu hukum pidana disebut

manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra.

Tanggung jawab orang yang menyuruh itu sama dengan tanggung

jawab dari pembujuk (uitlokker) yaitu :

Pertama, tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang

(15)

menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua, tanggung jawab tidak

melebihi dari apa yang dikehendakinya.

3) Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (mendepleger)

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja

yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal

ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak

pidana harus memenuhi dua syarat :

a. Harus adanya kerjasama fisik

b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama laain

bekerjasama untuk melakukan tindak pidana

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan oleh

Memorie van Toelichting (MvT) dijelaskan bahwa yang turut serta

malakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet)

dalam melakukan suatu tindak pidana.

4) Orang Yang Membujuk (uitlokker)

Seperti halnya doenpleger maka uitlokker juga memakai

seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya

melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering

disebut “intellectueel dader” atau “uitlokker” sedang orang yang

dibujuk disebut “uitgelokte”. Selain itu untuk dapat dikatakan

uitlokker, si pembujuk harus menggunakan daya upaya

(16)

1 sub 2 KUHP. Tanggungjawab uitlokker diatur dalam Pasal 55

ayat 2 KUHP. Pasal inni mengatur bahwa uitlokker hanya

bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan daripada uitgelokte

yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada

pihak lain, tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya ia

juga bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan

uitgelokte.18

3. Pengertian Satwa Yang Dilindungi

Pengertian satwa menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 adalah “semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang

hidup di darat maupun air”. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian

“satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, daan/atau di air

dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yag hidup

bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Dalam Penjelasan Pasal 1

butir 7 memuat pembatasan mengenai defenisi satwa liar tersebut, sebagai

berikut “ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar,

tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. Hal yang sangat erat

hubungannya dengan “satwa” adalah “habitat”. Pengertian habitat menurut

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah “Lingkungan

tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami”.19

diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pukul 22:44

19

(17)

Dahulu perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu diatur

pada Dierenbeschermings Ordonantie 1931 dan Dierenbescharmings

Verordening 1931 berdasarkan peraturan tersebut, Menteri Pertanian telah

menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan

keputusan-keputusan berikut :

a. Nomor : 421/Ktps/Um/8/1970

b. Nomor : 327/Ktps/Um/7/1972

c. Nomor : 66/Ktps/Um/2/1972

Ketiga keputusan tersebut telah menentukan perlindungan satwa

yang terdiri dari :

a. Mamalia : 95 jenis

b. Aves : 372 jenis

c. Reptilia : 28 jenis

d. Pisces : 20 jenis20

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa membedakan jenis tumbuhan dan

satwa atas dasar golongan, sebagai berikut :

a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi

b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi

Kriteria tumbuhan dan satwa yang tergolong dilindungi haruslah

memenuhi kriteria :

a. Mempunyai populasi kecil;

20

(18)

b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di

alam;

c. Daerah penyebarannya terbatas (endemik).21

Dapat disimpulkan bahwa satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang

hanya mempunyai populasi yang sedikit atau hampir punah dan habitatnya

hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja.

Satwa liar memiliki peran yang sangat penting terhadap tanah dan

vegetasi dan memegang peran kunci dalam penyebaran, pertumbuhan

tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian

organisme mati menjadi zat organik yang lebih berguna bagi kehidupan

tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan dan tanah.

Satwa liar juga berperan dalam perekoNomormian lokal dan nasional, nilai

ekoNomormi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah

tropik, terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang

layak dipertimbangkan. Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada

beberapa macam, antara lain :

a. Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan

oleh suku -suku pedalaman

b. Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan

sebagai bahan pembuat tas, baju/hiasan lain oleh penduduk

asli

c. Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar

21

(19)

d. Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging,

kulit, ranggah, cula dan gading

e. Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan (trophy)

atau untuk olahraga wisatawan

f. Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi

untuk wisatawan yang harus membayar bila akan melihat,

meneliti, memotret atau mendekatinya.22

Mengenai jenis satwa yang dilindungi diatur secara langsung

dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999

tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah :

(1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan

adalah penelitian hukum yang Yuridis Nomorrmatif dinamakan

juga dengan penelitian hukum Nomorrmatif atau penelitian hukum

doktrinal, yang mengacu pada Nomorrma-Nomorrma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan

serta Nomorrma hukum yang ada dalam masyarakat.

(2) Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang bertujuan

untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai pendapat

22

(20)

yang berkembang serta proses yang sedang berlangsung mengenai

hal yang sedang diteliti yang dalam skripsi ini yang diteliti adalah

pertanggung jawaban pidana erhadap pelaku yang

memperniagakan satwa liar.

(3) Jenis Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa dokumen peraturan yang

mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang,

yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya,

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis

Tumbuhan Dan Satwa Liar, Keputusan Presiden Nomor 43

Tahun 1978 tentang Convention On International Traade In

Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa dokumen yang

merupakan hasil kajian tentang pertanggung jawaban

hukum terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan

satwa yang dilindungi meliputi Putusan Pengadilan Negeri

Medan dengan Nomor Register 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn,

(21)

sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas di dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa dokumen yang berisi

konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti

kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

(4) Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang

berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui

penelitian literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis

ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap

substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian

terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri

Medan. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini

adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan

perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun

bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi

ini.

(5) Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui

data yang diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan

(22)

sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam

skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis

terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai

“Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa

Yang Dilindungi Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Studi Putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)” belum pernah

dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang

dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara

komperhensif dalam suatu penelitian sehingga penelitian ini merupakan suatu

yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif

dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan

maupun kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab di bagi

menjadi beberapa sub-bab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun

tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang

(23)

Bab I merupakan bab Pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penelitian

Bab II akan dibahas mengenai berbagai pengaturan yang berkaitan dengan

pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana

memperniagakan satwa yang dilindungi.

Bab III terdiri dari dua sub-bab yang mana sub-bab pertama akan dibahas

mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak

pidana beserta unsur-unsur dari pertanggung jawaban pidana tersebut secara

umum. Serta pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai aplikasi dari

pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana peniagaan satwa

secara khusus.

Bab IV yaitu bab Penutup yang membaahas mengenai Kesimpulan dan

Saran. Berdasarkan uraian-uraian dalam Bab II dan Bab III di atas tentang

jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara Dengan Ustadz Sanusi Selaku Pendidik Mata Pelajaran Hadits di SMP Islam Ar Ra’is Kecapi Jepara, Pada Hari Rabu, Tanggal :11 Nopember 2015, Jam : 10.00 WIB-Sampai

Dalam penelitian ini faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi kegiatan SPP adalah umur, besarnya pinjaman, pengalaman usaha, pendidikan formal, jumlah

Untuk mengetahui penerapan strategi Synergetic Teaching dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Simple Present Tense siswa kelas V B MI Islamiyah

1. Loyalitas advokasi, merupakan sikap pelanggan untuk memberikan rekomendasi kepada orang lain untuk melakukan pembelian ulang terhadap produk atau jasa. Loyalitas advokasi

Pasien ini didiagnosis dengan insufisiensi adrenal primer diduga akibat tuberkulosis adrenal. Pasien telah diterapi dengan metilprednisolon oral 1x6 mg selama lima bulan, dalam

Program peningkatan kapasitas penegak hukum dan pengarusutamaan Hak Asasi Manusia di Papua ini, telah dilakukan sejak tahun 2010, dengan berbagai aktivitas kegiatan turunan

Maka dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini berpengaruh secara positif, artinya semakin tinggi pengalaman kerja yang dimiliki oleh seorang auditor, maka

Tampak pada tabel tersebut bahwa komposisi fasa-123 di dalam ring-s /PVA hasil proses pelelehan dan ring-s /rusak (patah) relatif sama. Data ini sesuai