5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi, sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan kimia tumbuhan, serta penggunaan tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan jambu mete menurut Putra (2013): Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Anacardium
Spesies : Anacardium occidentale L. 2.1.2 Nama daerah
6 2.1.3 Morfologi tumbuhan
Pohon tinggi 8-12 m, memiliki cabang dan ranting yang banyak. Batang melengkung, berkayu, bergetah, percabangan mulai dari bagian pangkalnya. Daun tunggal, bertangkai, panjang 4-22,5 cm, lebar 2,5-15 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur sungsang, tepi rata, pangkal runcing, ujung rompang dengan lekukan kecil di bagian tengah, pertulangan menyirip, berwarna hijau (Dalimartha, 2000).
Bunga majemuk, terletak di ketiak daun dan di ujung cabang, mempunyai daun pelindung berbentuk bulat telur dengan panjang 4-55 mm dan berwarna hijau muda. Mahkota bunga berbentuk runcing, saat masih muda berwarna putih setelah tua berwarna merah. Bunga berumah satu memiliki bunga betina dan bunga jantan (Dalimartha, 2000).
Buahnya buah batu, keras, melengkung. Tangkai buahnya lama kelamaan akan menggelembung menjadi buah semu yang lunak, seperti buah peer, berwarna kuning, kadang-kadang bernoda merah rasanya manis agak sepat, banyak mengandung air, dan berserat. Biji bulat panjang, melengkung, pipih, warnanya coklat tua. Akarnya berupa akar tunggang dan berwarna cokelat (Dalimartha, 2000).
2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan
7 2.1.5 Penggunaan tumbuhan
Kulit batang jambu mete bisa digunakan sebagai obat penyembuh sariawan (Kusrini dan Ismardiyanto, 2003). Daun berkhasiat antiradang dan penurun kadar glukosa darah (Dalimartha, 2000), sebagai obat untuk diare, psoriasis, dyspepsia, batuk (Doss dan Thangavel, 2011), selain itu daun jambu mete mengandung fenol dimana fenol dapat dimanfaatkan sebagai antijamur (Sulistyawati dan Mulyati, 2009). Biji dapat digunakan sebagai penawar racun gigitan ular, kulit biji mengandung asam anakardat yang telah digunakan secara luas untuk mengobati pembengkakan gusi yang disebabkan oleh bakteri gram positif (Dahake, dkk., 2009).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut menggunakan pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Mengetahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara yang tepat (Ditjen POM, 2000).
8 2.2.1 Metode ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin
Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan.
2. Cara panas
Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks
9
Soxletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
d. Dekok
Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.
Menurut Syamsuni (2006), infusa adalah ekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit.
2.3 Gel
Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel yang mempunyai massa terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Gel sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit) (Ditjen POM, 1995).
2.3.1 Keuntungan sediaan gel
Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut: - Kemampuan penyebarannya baik pada kulit
10
- Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis - Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
- Pelepasan obatnya baik
2.3.2 Komponen dalam sediaan gel
Kandungan sediaan gel yang digunakan yaitu: 2.3.2.1 Aqupec HV-505
Aqupec HV-505 merupakan golongan karbomer yang digunakan sebagai gelling agent. Aqupec HV-505 berbentuk serbuk berwarna putih, bersifat
higroskopis, tidak berbau dan tidak berasa. Konsentrasi yang digunakan sebagai gelling agent yaitu 0,5 – 2,0% (Rowe, dkk., 2009).
2.3.2.2Trietanolamin
Trietanolamin merupakan cairan kental yang bening, tidak berwarna sampai kuning pucat dan memiliki bau amoniak yang lemah, bersifat sangat higroskopis, dan pH 10,5. Kelarutannya yaitu mudah larut dalam air, metanol, dan aseton. Trietanolamin digunakan sebagai bahan pengemulsi dengan konsentrasi 2% - 4%, menambah kebasaan, dan sebagai humektan (Rowe, dkk., 2009). 2.3.2.3 Gliserin
Gliserin pada umumnya digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin memiliki ciri-ciri: larutan jernih, tidak bewarna, tidak berbau, kental, mempunyai rasa manis. Gliserin digunakan sebagai pembawa gel 5 – 15%, sebagai humektan < 30% (Rowe, dkk., 2009).
2.3.2.4 Propilen glikol
11
berwarna, manis, kental dan hampir tidak berbau. Propilen glikol larut dalam gliserin, air, alkohol, aseton, klorofom. Propilen glikol digunakan sebagai humektan ≈15% (Rowe, dkk., 2009).
2.3.2.5Metil paraben
Metil paraben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih; tidak berbau dan berasa sedikit terbakar. Kelarutannya yaitu sukar larut dalam air, dalam benzen dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam eter; larut dalam air 80°C. Penggunaan dalam sediaan topikal sebanyak 0,02% - 0,3% sebagai antimikroba, efektif pada pH 4 - 8 (Rowe, dkk., 2009).
2.4 Jamur
2.4.1 Uraian jamur
Jamur merupakan suatu mikroorganisme eukariotik yang mempunyai ciri-ciri spesifik yaitu mempunyai inti sel, memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil, dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual, beberapa jamur mempunyai bagian-bagian tubuh berbentuk filamen-filamen dan sebagian lagi bersifat uniseluler (Fardiaz, 1992).
12
Lingkungan yang hangat dan lembab mempercepat pertumbuhan jamur. Jamur tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan yang mengandung banyak gula dengan tekanan osmotik tinggi dan kondisi asam yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri. Jamur tumbuh dalam kisaran temperatur yang luas, dengan temperatur optimal berkisar antara 22–30oC. Spesies jamur patogenik mempunyai temperatur pertumbuhan optimal lebih tinggi, yaitu berkisar antara 30–37oC. Beberapa jamur mampu hidup pada temperatur 0oC sehingga menyebabkan kerusakan produk yang disimpan pada penyimpanan dingin (Pratiwi, 2008).
2.4.2 Reproduksi jamur
Jamur terdiri dari thallus yang tersusun dari filamen bercabang yang disebut hifa dan kumpulan dari hifa disebut miselium. Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ yang akan tumbuh terus membentuk filament yang panjang dan bercabang, kemudian seterusnya akan membentuk masa hifa yang disebut miselium (Pratiwi, 2008).
13
dengan induknya. Spora seksual dihasilkan dari dua inti dengan tipe seks yang berlawanan dari satu spesies jamur yang sama (Pratiwi, 2008).
2.4.3 Sistematika Microsporum canis
Sistematika Microsporum canis menurut Berman (2012): Filum : Ascomycota
Kelas : Euteromycota Ordo
Famili Genus : Microsporum Jenis : Microsporum canis
Microsporum canis memiliki makrokonidia yang besar dan berdinding
kasar. Spesies ini membentuk banyak makrokonidia yang terdiri dari 8-15 sel, berdinding tebal dan sering kali mempunyai ujung-ujung yang melengkung atau kail berduri. Microsporum canis merupakan penyebab penyakit Tinea kapitis. (Jawetz, dkk., 2007).
2.4.4 Sistematika Trichophyton sp
Sistematika Trichophyton sp menurut Berman (2012): Filum : Ascomycota
Kelas : Euteromycota
Ordo
14
Trichophyton sp memiliki makronidia yang berdinding halus dan
mikronidia yang berkarakteristik. Trichophyton sp dapat menginfeksi rambut, kulit, dan kuku. Penyakit yang disebabkan Trichophyton sp antara lain Tinea pedis yang berlokasi di antara jari-jari kaki, Tinea cruris yang berlokasi di lipatan
paha, Tinea barbae yang berlokasi di rambut janggut, dan Tinea unguium yang berlokasi di kuku tangan maupun kaki (Jawetz, dkk., 2007).
2.5 Media Pertumbuhan Organisme
Pembiakan mikroorganisme dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi mikroorganisme.
Menurut Lay (1996), media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Secara kimiawi, media biakan dibagi menjadi:
1. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat dan magnesium sulfat.
2. Media non-sintetik yaitu media yang menggunakan bahan yang terdapat di alam, bahan-bahan ini biasanya tidak diketahui kandungan kimia secara rinci. Contohnya: ekstrak daging, pepton dan kaldu daging.
b. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi:
15
2. Media diferensial adalah media yang digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme tertentu yang tumbuh pada media biakan. Bila mikroorganisme tumbuh pada media diferensial, maka dapat dibedakan kelompok mikroorganisme berdasarkan perubahan pada media biakan atau penampilan koloninya. Contohnya: Blue Lactose agar.
2.6 Uji Aktivitas Antimikroba
Pengukuran aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode difusi atau dengan metode dilusi.
a. Cara difusi
Metode yang digunakan adalah cakram kertas, silinder gelas/logam dan pencetak lubang yang diletakkan pada media agar padat yang telah dicampurkan dengan mikroba uji dan zat yang bersifat antimikroba diteteskan ke dalam pencadang kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 – 24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih di sekitar pencadang yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen, dkk., 2003).
b. Cara dilusi