• Tidak ada hasil yang ditemukan

GN: Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1, Juni 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GN: Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1, Juni 2011"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Editorial

Dédé Oetomo

4

Artikel

Ari Setyorini

Performativitas Identitas Gender dan 7

Seksualitas

pada

Weblog Lesbian di

Indonesia

Ben Murtagh

Coklat Stroberi: Sebuah Roman Indonesia 45

dalam

Tiga

Rasa

Irwan M. Hidayana Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan 73

Pasangan

Seksualnya

Iskandar P. Nugraha Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok 99

& Maimunah Munir LSL di Jayapura Papua

Ngerumpi

Maimunah Munir & Ahmad Zainul Hamdi

125

Resensi

Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early

139

Modern Times

Kathleen Azali

(4)
(5)

Dédé Oetomo

Pemimpin Redaksi

Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1 ini pun tampil di hadapan anda peminat dan pengaji studi gender dan seksualitas. Permintaan maaf sedalam-dalamnya saya ajukan atas kevakuman itu. Kami tim pengelola jurnal ini berusaha hal ini tidak akan terjadi lagi, sesuatu yang akan menjadi lebih mudah kalau anda menyumbangkan tulisan bijak bestari anda untuk nomor-nomor jurnal ini berikutnya.

Dalam menyiapkan volume kedua ini, pekerjaan awalnya dipimpin oleh Soe Tjen Marching, namun karena alasan pribadi maupun kelembagaan kemudian oleh Dewan Pengurus Yayasan GAYa NUSANTARA, rumah penerbitan ini, diputuskan sayalah yang meneruskan pekerjaan itu. Kepada Soe Tjen diucapkan banyak terima kasih atas rintisannya yang telah mendobrakkan jurnal pertama dalam sejarah negeri ini yang secara khusus membahas studi gender dan seksualitas dalam segenap keanekaragamannya dan dengan pendekatan yang membebaskan dan menyetarakan.

Dalam nomor ini ada dua artikel yang membahas representasi seksualitas dalam dua jenis media, yakni blog dan fi lm. Ari Setyorini membahas performativitas lesbian dalam blog, sementara Ben Murtagh membahas fi lm “Coklat Stroberi” (2007), yang menampilkan kompleksitas homoseksualitas masa kini.

(6)

kian mendalam mengaji fenomena waria dan trans* lainnya.

Seksualitas laki-laki dibahas dalam artikel Irwan Hidayana mengenai pekerja seks laki-laki, dan dalam artikel kolaborasi Iskandar Nugraha dan Maimunah Munir tentang laki-laki di Papua.

Yang tak kalah penting untuk disimak adalah resensi Kahtleen Azali atas buku Michael Peletz , Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times, yang kiranya akan mengusik rasa ingin tahu dan kecendekiaan anda untuk menelaah bukunya yang merupakan karya mumpuni tentang kemajemukan gender di Asia Tenggara.

(7)

pada

Weblog

Lesbian di Indonesia

Ari Setyorini

(8)

Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan internet ten-gah dirayakan banyak orang. Penyebabnya adalah karena media baru ini memiliki kemampuan memunculkan sebuah bentuk ko-munikasi baru, di mana seseorang tidak lagi harus berkoko-munikasi secara face to face pada satu tempat yang sama, namun dapat dilaku-kan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya sangat berjau-han. Terlebih dengan penawaran akan anonimitas, sehingga iden-titas pengguna dapat disembunyikan karena dimensi tubuh tidak lagi dibutuhkan. Sebagaimana yang diungkapan Rheingold (1994), people in virtual communities do just about everything people do in real life, but we leave our bodies behind. Dengan kata lain, komunikasi hadir melalui tulisan, gambar, suara, video dalam layar komputer, dalam dunia virtual. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak heran jika kemudian ada ungkapan yang mengatakan “on the internet, no one knows if you are a dog.”

Penawaran akan disembodied performativity ini kemudian di-manfaatkan oleh individu dan komunitas marjnal untuk menyuara-kan kepentingan mereka yang selama ini tidak mampu diekspresi-kan secara bebas di dunia nyata. Dengan tidak hadirnya tubuh, individu dapat menampilkan identitas yang berbeda dari identitas mereka di dunia nyata.

Dipahami bahwa selama ini kelompok termarjinalkan, utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana heteroseks. Di Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan yang dilanggengkan oleh rezim kebenaran, misalnya oleh negara, agama, kedokteran, bahkan oleh keluarga. Media pun tak luput dari perpanjangan tangan rezim kebenaran untuk membentuk stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan terlarang. Alimi (2004) dalam bukunya, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama, menyimpulkan bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang dikonstruksi oleh media mainstream.

(9)

di Indonesia

telah banyak media yang menggulirkan wacana tandingan atas citra negatif lesbian ini, namun senyatanya masyarakat masih memberi citra negatif bagi lesbian. Tingginya jumlah penonton fi lm dan pembaca novel bertema lesbian, ternyata belum juga memberikan pengaruh yang cukup signifi kan terhadap perubahan citra negatif mereka. Ini tampak dari MUI yang beberapa kali harus memberikan larangan terhadap beberapa fi lm bertema (homo) seksual, serta peran lembaga sensor fi lm yang berhak memotong mana yang dianggap boleh ditayangkan (bermoral) dan mana yang harus dibuang (tak bermoral).

Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa LGBT masih dianggap sebagai hal yang melenceng di Indonesia. Akibatnya, banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka dalam dunia nyata. Kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan ketertindasan LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, atau sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu, pergeseran posisi subyek dalam kacamata postmodernitas, di mana subyek-subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa, memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka.

(10)

dan ketertindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Gauntlett (2002) juga menjelaskan mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan weblog–pen.) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan dan laki-laki.

Terdapat dua blog yang dikaji, yaitu Fried Durian (htt p:// frieddurian.blogspot.com) dan Rahasia Bulan (htt p://rahasiabulan. blogspot.com). Fried Durian (FD) adalah blog milik sepasang partner lesbian bernama Lushka dan Mithya (selanjutnya disingkat L dan M). Blog FD ini mulai dijalankan sejak Juni 2007. Rahasia Bulan (selanjutnya disingkat RB) adalah jurnal pribadi milik seorang lesbian dengan nama virtual Alex (selanjutnya disingkat A). Blog ini cukup dikenal dalam komunitas lesbian karena latar belakang pemilik blog sebagai founder sebuah majalah online lesbian, sepocikopi. com. RB mulai ada dalam blogsphere sejak tahun 2006. Kedua blog tersebut, menurut peneliti, mampu menjadi objek kajian yang representatif untuk mewakili bagaimana blogger lesbian Indonesia menampilkan identitas gender dan seksualitas mereka dalam ruang virtual. Anggapan peneliti ini didasarkan pada keragaman diskursus offl ine yang mengelilingi blogger di kedua blog tersebut yang memengaruhi cara bagaimana mereka menggambarkan identitas gender dan seksualitas yang tampak melalui tampilan tema, bahasa, maupun gambar pada blog tersebut.

Pembahasan

A. Weblog Fried Durian

(11)

di Indonesia

A.1 Perbincangan Mengenai Identifi kasi Femme, Butch,

Andro, dan No Label

Weblog FD ini menarik karena dari awal L-M tidak menempatkan identitas mereka ke dalam kategorisasi identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas normatif lain. Identifi kasi identitas L-M pada FD ini pertama kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul weblog mereka, yakni “Bisexual is an overstatement. Lesbian is an understatement. We just know how to enjoy live by being in each other arms [ibid]. This is our fun queer story from Indonesia.” Melalui deskripsi ini, L-M menggambarkan queer-itas identitas mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement (sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang berlebihan. Sementara, identifi kasi sebagai lesbian, bagi L-M, terlalu menyempitkan dan kurang cukup mewakili kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan koheren. Inkoherensi tampak pada identifi kasi L-M terhadap seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian (homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer, di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah kecairan. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena L-M menempatkannya sebagai yang dapat diubah, sebuah proses criss-crossing (Sedgwick via Beasley 2005, 108).

Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post-ing L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifi kasi dirinya (“Don’t Label Yourself,” Senin, 8 Desember 2008),

(12)

relationship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga. Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan ber-wajah lutcu….

M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah “mengelaborasi (identitas)” mendeskripsikan tindakan untuk memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat diubah atau diuraikan—pendeknya berada dalam sebuah proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi femme, butch, atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan pada laki-laki (secara boduly sex). Namun, hal tersebut tidak menjadikan M termasuk dalam kategori perempuan biseksual. M (“Film Twilight + Chauvinis Mithya,” Senin, 7 Desember 2008) mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik dengan cowok lain (especially gay man).”

(13)

maskulini-di Indonesia

tas laki-laki. Sebaliknya, diksi “lucu” acapkali diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak maskulin (feminin). Berwajah lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, innocent, dan menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan atribut diri bisa diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikom-binasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa dikategorikan sebagai lesbian (homoseks) seutuhnya, bukan juga sebagai heteroseks. M melakukan kombinasi-kombinasi terhadap identitas-identitas gender dan seksual.

Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya sebagai “lesbian yang bersyarat”. Maksudnya adalah part-nership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki ke-mungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki. Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya –ga ngeklaim diri kita murni lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua dalam hubungan sesama jenis” (“Tobat Jadi Lesbian?,” htt p:// www.narth,com, Selasa, 14 Juli 2009).

Lesbian juga ditampilkan melalui pilihan nama virtual mereka, Lushka dan Mithya. Nama ini diambil dari nama pasangan lesbian dari Inggris, Violet Trefusis dan Vita Sack-ville-West. Kisah cinta kedua perempuan tersebut diabadikan oleh Virginial Woolf dalam novel yang berjudul Orlando: A Biography. Kisah cinta kedua perempuan tersebut dikenal sebagai skandal percintaan Inggris. Disebut sebagai skandal karena pada masa tersebut (mereka hidup pada saat Inggris di bawah otoritas ratu Victoria), homoseksual (gay) dianggap sebagai sebuah kriminalitas. Sementara lesbian, belum men-jadi isu yang diungkap karena anggapan pada masa tersebut bahwa perempuan tidak selayaknya mengurusi seksualitas mereka. Pasangan ini saling memanggil satu dengan lain dengan nama Lushka (Violet) dan Mithya (Vita)1. Nama ini kemudian dipakai sebagai nama virtual mereka.

Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan ambiguitas L-M dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini

(14)

tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambi-guitas tersebut menurut Butler (1993, 29) justru merupakan sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai identitas center-margin. Normativitas masyarakat mengang-gap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar jika identitas gender yang mereka tampilkan sesuai dengan boduly sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain, jika individu memiliki boduly sex sebagai perempuan, maka gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M ini justru mensubyektifk an identitas tersebut dan menunjuk-kan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformativi-taskan atau diperagakan. Hal ini akan nampak pada perilaku-perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang dibahas dalam subjudul selanjutnya.

Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya, senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain, yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch, dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a set identity adalah identitas itu sendiri (Ibid.). Melalui no label, L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender dan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble.

A. 1. 1 Performativitas Penampilan dan Fisik

(15)

di Indonesia

2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampi-lan “kelaki-lakian”. Hal ini tampak dari pertanyaan re-toris L terhadap penampilannya yang cenderung dia-sumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy2. L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gam-baran sisi “keperempuanan” L-M yang tampak dalam kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fi sik. M memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang “lazim-nya” dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L, bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya,

Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya ‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia, ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus dirapiin lagi helmnya. (Ibid.)

Pada post ini, L menjelaskan perbandingan pe-nampilan antara dirinya dengan partner-nya, M. Dalam konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam penampilan yang lebih dominan daripada L. M memili-ki kecenderungan berperilaku womanly, yang “khawat-ir” dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi penanda penting bagi perempuan dalam normativitas masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan bahwa rambut adalah mahkota perempuan. Lebih lan-jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran berdandan sebagaimana normativitas perempuan da-lam masyarakat. Misalnya, M memiliki “ritual” menyi-sir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, me-nyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai

(16)

lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil. M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir, bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebu-tan “perlengkapan cewek” di sini menegaskan bahwa kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender perempuan.

Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular un-tuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L, “ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib, yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang, gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan ngelenong” (Ibid.). L mengumpamakan peralatan ko-smetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang meli-batkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya yang berdandan menggunakan perlengkapan kosme-tik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah kara-kter lain yang berbeda dengan karakara-kter mereka sebe-narnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk menampilkan sebuah karakter fi ktif, karakter rekaan yang berbeda dengan dirinya “sebenarnya”.

(17)

diskursus budaya dan gender berlaku padanya3. Bordo (via Davis 1995, 155) menilai bahwa mela-lui kontrol terhadap tubuh, perempuan tidak melulu menjadi korban atas tekanan “collective cultural fantasy” namun justru dapat membebaskan perempuan untuk memperoleh male-power. Sebagaimana penilaian Bor-do, dalam konteks lesbian dengan mengikuti kontrol atas tubuh L-M justru dapat dengan bebas memakai topeng femininitas untuk menutupi identitas lesbian mereka. L-M justru memperoleh tidak hanya male-pow-er namun heteronormatif-power untuk mengelabuhi nor-matif masyarakat atas feminintas yang mereka tunjuk-kan melalui pendisiplinan tubuh.

Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan. L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam penampilan fi sik mereka sebagai bentuk instabilitas gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan pakaian, aksesoris, dan sepatu. Beda halnya ketika L yang merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan. Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak “perempuan” ketika berurusan dengan busana, sepatu, dan aksesoris. L menjelaskan, “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. … Mithya sekarang baru belajar pake sepatu-sepatu cewek. Untuk harian dia masih setia ama Converse-nya” (Ibid.). Pakaian berbentuk rok, bagi masyarakat, adalah pakaian bagi perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Seragam sekolah hingga baju bekerja perempuan hampir semua memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok sebagai identifi kasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia

3 “… the female body as a kind of text which can be “read as a cultural statement, a statement about gender.” (Lihat Bordo 1989, 16).

(18)

hanya menggunakan rok jika menghadiri acara resmi, misalnya resepsi pernikahan.

Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyu-kai menggunakan Converse, merk sepatu jenis kasual yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Masku-linitas M ditegaskan L dalam post-nya yang lain, “Have I told you that Mithya is very handsome” (“Mamerin Pacar Ah…,” Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan “hand-some” menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip laki-laki secara fi sik. Lebih lanjut, L menjelaskan pe-nampilan M yang maskulin membuat beberapa teman L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam ang-gapan mereka M adalah laki-laki.

Penggambaran-penggambaran tersebut menun-jukkan nonkonformitas M dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual berdandan M menandakan gender femininitas dirinya, namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly. Nonkonformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di sisi lain M juga melakukan ritual-ritual yang menanda-kan identitas keperempuannya.

Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai “a refusal of a set identity” atau no label, namun dari peng-gambaran penampilan fi sik, L-M cenderung menunjuk-kan penampilan androgini dalam hubungan lesbian. Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap be-berapa identitas feminin yang kemudian dikombinasi-kan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya criss-crossing identitas tersebut membentuk identitas lain yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat, identitas androgini.

(19)

berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh L-M memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka harus menerima “hukuman” dari orang-orang di sekeliling mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan tidak sesuai dengan “lazimnya”. Misalnya ketika M menceritakan bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif masyarakat. Diceritakan M (“I Hate Wedding Reception,” Senin, 12 Oktober 2009),

… gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan. Gue kayak alergi dengan baju-baju pesta perempuan. Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak napas dan mulai banjir keringat karena canggung. Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full make up dan dress cantik. … a lot of people said that I am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju feminin. But it’s just not me.

M harus menampilkan pilihan-pilihan gender yang selaras sebagaimana normativitas masyarakat jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M mencerita-kan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan tidak seperti normativitas gender perempuan ketika menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal terse-but dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal yang tidak lazim, M “ditegur” karena penampilannya tersebut. Pada akhirnya, M harus “tunduk” terhadap normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan tubuhnya dengan gender. “Akhirnya gue harus menerima norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dan-danan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di sekitarnya” (Ibid.).

(20)

antara penampilan dan identitas ini, sebenarnya M telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk peniruan. M meniru tampilan gender perempuan dengan mengikuti normatif masyarakat akan “kepantasan”, yakni berdandan dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal seperti resepsi pernikahan, meskipun sebenarnya diri M merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun, justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat. Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas asli, yang ada hanya bentuk-bentuk peniruan yang diulang-ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai larangan, penyebutan atas tabu (Butler 1993, 95) atau apa yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas.

Pada konteks identitas lesbian sebagai Butch-femme-andro-no label, penampilan acapkali menjadi identifi kasi atas kategori tersebut. Butch biasanya ber-penampilan kelaki-lakian, femme tampak feminin se-bagaimana normativitas perempuan. Dikotomi butch-femme, yang kerap kali dikritik dalam partnership lesbian karena seolah-olah “meniru” dikotomi atas perempuan-laki-laki, tampaknya tidak berlaku bagi L-M. Selain menyebut diri mereka sebagai no label, performativitas yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka bisa berpenampilan sebagaimana butch maupun femme. A. 1. 2 Perilaku dan Peran

(21)

perilaku mereka yang gampang mewek (menangis) se-bagai sisi femininitas utama mereka. Beberapa perilaku yang kerap diidentikkan dengan perempuan tampak pada perilaku L yang lebih mendahulukan emosi. Sena-da dengan L, M pun memiliki perilaku yang menampil-kan sisi femininitas. Digambarmenampil-kan L, “Mithya suka ama boneka-boneka lucu, sedangkan gue tidak terlalu. Dia bisa menarik-narik gue di depan toko mainan terus dengan suara imut bilang, ‘aa, ayang lucu banget yaa…’ sambil peluk-peluk bonekanya” (Ibid.). M yang sedari awal mengidentifi kasi bahwa soul dirinya sebenarnya adalah laki-laki, namun dengan menunjukkan kegemarannya terhadap boneka –yang identik dengan mainan anak perempuan, sekali lagi menunjukkan ambiguitas identitas gender M.

Partnership yang dijalankan oleh L-M menunjuk-kan bahwa mereka bisa berperan sebagai siapa pun da-lam hubungan tersebut. Maksudnya, tidak ada aturan sebagaimana normativitas masyarakat yang mengung-gulkan peran maskulin daripada feminin. Misalnya, gender maskulin “diharuskan” mengurusi urusan pub-lik, menjadi kepala rumah tangga, sementara gender feminin memiliki peran domestik rumah tangga (Fakih 1996, 10-1). Konstruksi peran gender dalam masyarakat tersebut tidak berlaku dalam partnership L-M. Peran bagi L-M digambarkan M ketika dirinya sedang berangan-angan membayangkan bagaimana nantinya jika mereka berdua hidup serumah.

… Kalo aku udah kerja sih kayaknya aku yang baka-lan tukang pulang malem atau mepet pagi, hehehe.. It’s nice kalo di YM kita nanya, ‘Makan malem apa?’, ‘Makan di rumah ngga?’… atau kalo pu-lang kantor, aku uda siapin air anget buat kamu mandi…. (“Waiting for Your Call,” Jumat, 8 Juni 2007).

Penyebutan M akan tukang pulang malam (pagi) bagi kontruksi masyarakat biasa dilekatkan pada laki-la-ki. Bahkan jika perilaku tersebut dilakukan oleh perem-puan, maka perempuan tersebut akan dinilai sebagai

(22)

perempuan yang “tidak benar” atau nakal. Namun, bagi M sebutan tersebut diberikan kepada dirinya send-iri untuk menunjukkan bahwa peran dsend-irinya di ranah publik, yang memungkinkan dirinya untuk kembali ke rumah lebih larut daripada L. Akan tetapi, angan-angan M selanjutnya menggambarkan peran-peran dirinya da-lam wilayah domestik, misalnya, menyiapkan makanan bagi mereka. Bahkan, M menggambarkan dirinya dan L memiliki peran yang sama yakni di wilayah domes-tik sekaligus publik. Hal ini tampak dari bagaimana M membayangkan jika L-M sedang berkomunikasi mela-lui Yahoo Messenger! mereka akan saling menanyakan persoalan domestik, misalnya mengenai menu maka-nan, yang identik dengan peran perempuan.

Wacana-wacana tersebut secara tidak langsung menjadi counter wacana bagi konstruksi masyarakat tentang keharusan keselarasan antara boduly sex dan gender. Keharusan bahwa perempuan wajib berting-kah laku feminin dan berperan dalam ruang domestik, tampaknya telah menjadi sesuatu yang old-fashioned. Performativitas-performativitas yang ditampilkan oleh L-M mempertegas bahwa identitas adalah sesuatu yang dapat diubah, dapat di-mix-match-kan. Individu dapat menjadi sosok feminin dan maskulin sekaligus. Indi-vidu tidak dapat dibatasi hanya dengan role tertentu yang ajeg.

(23)

A. 2 Aktivitas Seksual

Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan ak-tivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misal-nya diceritakan oleh M (“While You Sleep…,” Kamis, 7 Juni 2007),

I spread kissess along your lips, neck, then to your breast where I lingered, gently squeezing every each one of them. … my lips eagerly returned to you back, your neck, and my hand cupped each and one of your breast. … my hand be-tween your thigh, touching you. Your legs opened for me, and I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I make love to you, your breathing became frantic. … suddenly you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me as well….

Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual mereka, mulai dari foreplay hingga “aktivitas utama.” Yang menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks mereka, bukan sebagai foreplay. “I slip between them, thrusting deeply as I can into you” menggambarkan aktivitas seksual oral yang M dan L lakukan. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemana-san, atau foreplay. Hal ini tampak dari pilihan kata “make love”4 yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif, namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama mereka, seks oral.

Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses orgasme, “…you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me

4 Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’. Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual nonpenetratif, salah satunya adalah seks oral (Lihat Encarta Dictionary 2008).

(24)

as well…” (Ibid.). “The right spot” digunakan untuk menggam-barkan G-Spot. Persoalan seksualitas bagi L-M adalah perso-alan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat dilakukan baik itu dengan sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin. Di sini, karena perkara seksualitas bukan lagi perka-ra penetperka-rasi penis, karenanya fungsi dari penis digantikan dengan anggota tubuh lainnya. Penggunaan kata “touched” (sentuh) menunjukkan aktivitas tangan, sebagaimana fungsi tangan untuk menyentuh. Selanjutnya, my hand between your thigh, touching you, semakin menegas aktivitas seksual non-penetratif. Penggunaan “between you thigh” (di antara paha-mu) menunjukkan letak pleasure perempuan, yakni klitoris yang ada di vagina. Leksikon ini menggambarkan aktivitas masturbasi mutual, di mana (M) melakukan stimulasi seksual klitoris kepada pasangannya.

Seksualitas sebagai bentuk kesenangan juga digam-barkan oleh L-M melalui post “Our Own Made Drama.” L menceritakan aktivitas seksual yang biasa mereka lakukan di toilet umum mall. Sebelum melakukan aktivitas seksual, L-M biasanya melakukan “drama” agar keduanya dapat berada di dalam toilet yang sama untuk melakukan aktivitas seksual. Diceritakan L, mula-mula salah satu dari mereka akan masuk ke dalam toilet, kemudian pura-pura sakit dan meminta part-ner yang lainnya untuk masuk ke dalam toilet juga untuk membantunya. Ketika keduanya berada di dalam toilet itu-lah, mereka melakukan aktivitas seksual. L menggunakan is-tilah plop-plop (“Our Own Made Drama,” Rabu, 13 Mei 2009) untuk menjelaskan aktivitas seksual masturbasi (handjob) yang mereka lakukan di dalam toilet. Plop-plop sendiri meru-juk pada suara yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang melibatkan tangan. L-M menentang apa yang dianggap tabu dalam masyarakat. Aktivitas seksual di tempat umum, seper-ti toilet mall, bagi masyarakat seringkali dianggap bukan ak-tivitas seksual yang benar. Karenanya, L-M harus melakukan “drama” terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas seksual “tabu” tersebut.

(25)

oleh L dan partnernya. Aktivitas ini biasa disebut dengan tribadisme, pasangan lesbian saling menggesekkan vagina mereka. Aktivitas seksual ini menggantikan fungsi penis sebagai alat penetratif karena vagina “dilawankan” dengan vagina. Variasi aktivitas seksual, seperti hand-job, seks oral, dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena hasrat seksual itu sendiri.

Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombi-nasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak men-jalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat, sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990, 36-37) sebagai pastiche. L-M melakukan perpaduan terhadap identitas gen-der feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki-laki. Melalui cara ini L-M, melakukan mockering terhadap apa yang disebut oleh masyarakat sebagai normativitas gender dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah per-soalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal-haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri.

A. 3 Pernikahan

Pernikahan bisa disebut sebagai hal termewah bagi part-ner lesbian. Beberapa post menjelaskan angan-angan L-M akan pernikahan sejenis, namun dengan segera mereka menyadari bahwa angan-angan tersebut merupakan hal yang utopis be-laka. “… tunggu kita selesai kuliah, terus … nikah deh … hehehe (gila agaknya … kekekeek)” (Lushka, Selasa, 12 Juni 2007). Ini-lah saIni-lah satu keinginan yang sebenarnya bisa dibilang kon-servatif. Mereka yang tampak no label, ternyata masih juga memerlukan suatu “status” yang lebih diamini masyarakat heteroseksual, sehingga L kerap kali membayangkan pernika-han sebagai ujung dari partnership mereka. Mungkin ini bisa dianggap sebagai pengaruh dari idealisme pernikahan dalam dunia heteroseksual.

Namun, sanggahan yang muncul segera setelah men-gangankan pernikahan, “gila agaknya”, menegaskan bahwa bagi masyarakat adalah hal yang gila jika sepasang lesbian melakukannya. Hal tersebut disadari benar oleh L-M, seperti yang tampak pada post L selanjutnya,

(26)

maunya kalo nikah itu harus sah, legal dan halal. Which mean, harus siap, ikhlas, sesuai dengan agama yang kita anut, legal di mata hukum negara dan restu orang tua. MANTAB. Masalahnyaaaaaa! … gue berdua untuk dapat nikah dengan kondisi tersebut di atas, harus memiliki syarat sebagai berikut: 1). Ikhlas/ Siap  … siap banget dah, 2). Restu orang tua nyokap Mithya klik banget ama gue.. hihihi. Mithya kayanya juga bisa get along dengan baik ama keluarga gue, 3). Beda Kelamin… errrr, 4). Beragama sama … errrr. Itu dia masalahnya pemirsa! Gue berdua udah sama kelaminnya, eeehhh ditambah pake beda agama! (“Ayo Pilih Mana,” Rabu, 13 Mei 2009). L menggambarkan hal-hal yang harus dipenuhi jika mereka akan melakukan pernikahan. Pertama dan mendasar adalah persyaratan akan perbedaan kelamin dalam sebuah pernikahan. Selanjutnya adalah persamaan agama atau ke-percayaan. Kedua masalah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh L-M karena mereka sama-sama perempuan, namun berbeda agama (Lushka beragama Katholik, Mithya beragama Islam). Bagi pasangan lesbian, hal yang kerap mereka temui adalah keterpaksaan mereka untuk menikah dengan laki-laki demi atribut sosial yang nantinya akan melekat pada mereka. L-M menceritakan bahwa banyak lajang lesbian yang dijodoh-kan oleh orang tua mereka. Sebagaimana digambardijodoh-kan L,

…para lajang yang dijodohkan oleh orang tua untuk para Queer, punya masalah apa ya? Apakah homo? Psycho? Kuper? Jelek? Terlalu sibuk? Terlalu pintar? Tidak percaya dengan pernikahan? Sakit keras? Punya masa lalu yang buruk? Why?! Kenapa para ‘calon korban pengorbanan’ lesbian ini sampai perlu dijodohkan? (Lushka, Selasa, 22 Desember 2009).

(27)

dengan pernikahan, sakit keras, punya masa lalu yang buruk terhadap laki-laki yang dijodohkan dengan lesbian.

L juga menilai bahwa yang bermasalah bukanlah lesbian tersebut, tapi justru laki-laki yang mau “dikorbankan” sebagai jodoh lesbian. L melakukan redefi nisi bahwa yang “bersalah” jika terjadi perjodohan antara lesbian dengan laki-laki straight adalah justru si laki-laki tersebut. Orang biasanya berpikir bahwa perjodohan antara lesbian dan laki-laki straight akan “menyembuhkan” lesbian. Pada konteks ini, laki-laki yang dijodohkan tersebut seringkali dianggap sebagai hero bagi masyarakat, namun nyatanya bagi L, laki-laki tersebut tak ubahnya sebagai “korban” yang terpaksa menuruti sistem budaya. Hingga akhirnya, mereka mau saja dijodohkan dengan lesbian karena asas heteronormativitas.

B. Weblog Rahasia Bulan (RB)

Weblog ini adalah milik seorang lesbian bernama virtual Alex (A). Blog ini cukup dikenal oleh komunitas lesbian karena A meru-pakan pengelola salah satu majalah lesbian online, sepocikopi.com. Struktur blog ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagi pertama adalah judul weblog, yakni Rahasia Bulan. Bagian selanjutnya adalah post, bagian ini merupakan inti dari weblog tersebut karena memuat tu-lisan A dan juga komentar-komentar blogger atas post yang dilaku-kan A. Bagian terakhir berisi deskripsi blog, twitt er, tagline, arsip blog, kategori post, web hit counter, dsb.

B. 1 Perbincangan Mengenai Identi kasi Femme, Butch,

Andro, dan No Label

Berbeda dengan weblog milik L-M, yang dengan gamb-lang menjelaskan bahwa mereka adalah no label, A tidak secara gamblang menjelaskan identitas dirinya dalam kategorisasi femme-butch-andro maupun no label. Identifi kasi tampak per-tama kali melalui pemilihan nama virtual yakni “Alex”. Nama “Alex” merupakan kependekan dari Alexander atau Alexan-dria, berasal dari bahasa Yunani yang biasanya dihubungkan dengan Hera, istri Zeus. Nama ini juga kerap dihubungkan dengan Alexander the Great dan kerap dikaitkan dengan ke-beranian dan kekuatan fi sik. “Alex” merupakan nama untuk unisex yang umum dipakai baik bagi laki-laki maupun perem-puan (htt p://www.wikipedia.org). Nama ini kemudian

(28)

jadi penanda akan identifi kasi Alex sebagai “in-betweeness”’. Perempuan (yang disimbolkan melalui Hera) yang memiliki sifat maskulin sebagaimana Alexander the Great.

Pada beberapa post, dia menggambarkan isu identifi kasi lesbian ini, namun tidak mengategorikan dirinya ke dalam salah satunya. Alex menyoroti identifi kasi tersebut melalui sosok idola yang dinilainya mewakili ketertarikan dia terhadap perempuan yang maskulin. Misalnya, ketika dia menggambarkan artis-artis perempuan yang berperan sebagai jagoan, dan dinilainya sebagai sosok perempuan yang menarik. Dia menulis, “… temukan perempuan-perempuan jagoan ini, lalu nikmati pesta mata bersama mereka. Perempuan-perempuan cantik, berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan.” (“10 Cewek /Jagoan dalam Film Sci-Fi/ Fantasi,” 2008).

Hal menarik untuk dicermati adalah pilihan kategori terhadap perempuan idola bagi A adalah cantik, berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan. Kategori perempuan idola ini menunjukkan perpaduan antara maskulinitas dan feminitas dalam sosok perempuan. Cantik merupakan kata sifat yang lekat dengan femininitas perempuan. Sementara, diksi berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan adalah penanda bagi maskulinitas. Perempuan yang menarik bagi A adalah perpaduan antara feminin dan maskulin. Bahkan A kemudian menyebut beberapa karakter perempuan jagoan yang merupakan idola dirinya, misalnya, Lara Croft (karakter yang diperankan oleh Angelina Jolie dalam fi lm Tomb Rider), Trinity (karakter yang diperankan oleh Carrie Anne Moss dalam The Matrix), Keira Knightley (karakter yang diperankan oleh Elizabeth Swann dalam Pirates of Carribean), Mystique (karakter yang diperankan oleh Rebecca Rojimn dalam X-men), Alice (karakter yang diperankan oleh Milla Jovovitch dalam Resident Evil), Sarah Connor (karakter yang diperankan oleh Linda Hamilton dalam Terminator), dan Princess Leila Organa (karakter dalam Star Wars).

(29)

pemandangan mengasyikan tersendiri” (Ibid.). Pada konteks ini, pendapat Alex menyerupai male-gaze karena melihat sosok Lara Croft berdasarkan tubuhnya yang menarik secara sek-sual.

Karakter Knightley diidolakan oleh Alex karena “… cantik, cerdas, jagoan, dan tidak menye-menye atau manja.” Me-narik ketika A menjelaskan karakter jagoan yang disebutnya adalaha cantik (penanda bagi femininitas), akan tetapi sekali-gus dengan karakter tidak menye-menye atau manja. Kata sifat menye-menye atau manja biasanya dilekatkan sebagai peri-laku perempuan. A menolak karakter tersebut sebagai karak-ter jagoan perempuan. A melakukan pemilihan atas penanda femininitas. Penanda mana yang harus dimiliki sebagai jago-an perempujago-an yjago-ang diidolakjago-annya, serta penjago-anda feminini-tas mana yang seharusnya tidak dilekatkan pada sosok idola tersebut.

A juga menggambarkan beberapa adegan yang diper-ankan oleh karakter tersebut yang sedikit banyak meng-gambarkan identifi kasi dirinya. Dia menyukai adegan yang dilakukan oleh Sarah Connor (Linda Hamilton) ketika menem-bakkan senapan. Dia menjelaskan bahwa tampilan Connor saat itu sangatlah andro. Andro merupakan identifi kasi yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada lesbian. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani. Dalam konteks identitas gender, androgini adalah orang yang tidak sepenuhnya cocok den-gan peranan gender maskulin dan feminin yang tipikal da-lam masyarakat. Mereka menggambarkan dirinya di antara laki-laki dan perempuan atau sama sekali tidak bergender (Serean, 2005).

Identifi kasi identitas memang tak begitu tampak da-lam weblog RB ini. Hanya saja, A kerap kali mengambarkan ketidaktertarikannya terhadap femme. Seperti dijelaskannya,

Aku ingin perempuan yang bisa membaca peta, karena aku bisa membuatmu tersesat. Aku bisa menunjukkan jalan padamu, tapi kamu yang harus menyetiriku sepa-njang jalan. Dan di saat-saat tegang, aku nggak mau perempuan femme kelemer-kelemer pemarah... aku mau kamu, “my butch”, yg tegas dan berwibawa, hahaha. :)

(30)

(“Pasangan yang Sempurna,” 2008)

“Membaca peta”, “menyetir”, serta “tegas dan ber-wibawa” adalah penanda bagi maskulinitas, atau dalam identifi kasi lesbian merupakan penanda bagi butch. Hal ini, pada satu sisi dapat diartikan bahwa A adalah seorang femme (karena memiliki ketertarikan pada butch). Akan tetapi, se-baliknya, hal tersebut juga dapat diartikan bahwa A adalah seorang butch, karena tidak menyukai identifi kasi femme. Ba-gaimanapun juga, hal ini menjelaskan bahwa persoalan iden-titas adalah persoalan yang tidak akan pernah pasti.

Kecairan identitas A, bagi sebagian orang, membuat-nya dikategorikan sebagai andro. Akan tetapi, A sendiri justru tidak dengan jelas menyebut dirinya sebagai androgini. Pada konteks ini, sebagai lesbian yang merupakan negasi dari hete-ro, A telah menunjukkan instabilitas atas heteronormativitas. Sementara dalam dunia lesbian sendiri, A juga menunjuk-kan bahwa identifi kasi atas butch-femme-andro-no label justru hanya akan mereduksi instabilitas gender dan seksualitas itu sendiri. Tak ada identifi kasi yang pasti atas identitas gender dan seksualitas individu. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan dalam subjudul berikut.

B. 1. 1 Performansi Penampilan dan Fisik

A adalah lesbian yang telah out of the closet baik pada keluarganya maupun pada teman-temannya. Meski demikian, bagi sebagian temannya, penampilan sebagai penanda identitas A tidak menunjukkan identi-fi kasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan A,

Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-ba-pak”, demikian teman-teman straight saya sering menyebut mereka yang “butch”, …karena menu-rut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menya-mar” di antara manusia hetero (“Opini: To Out or Not to Out,” 2006).

(31)

pe-nampilan A adalah tidak maskulin seperti butch. Hal ini menegaskan kembali bahwa apa yang disebut gen-der adalah performativitas. Ketika lesbian, bagi teman-teman hetero A, diidentifi kasi melalui penampilan dengan tipe “bapak-bapak”, justru hal tersebut tidak tampak pada A. Ketika perfomativitas A “hanya” se-bagaimana perempuan hetero lainnya, maka identitas yang melekat padanya tak ubahnya seperti perempuan lain, perempuan “normal”. Penampilan A sebagaimana perempuan hetero lainnya membuatnya dapat “me-nyamar” sebagai manusia hetero (namun senyatanya A lebih memilih untuk out). “Menyamar” merupakan aksi menyaru, mengubah rupa (tidak memperlihatkan keadaan yang sebenarnya) (htt p://www.artikata.com). Aksi ini menurut Foucault menjadi sebuah teknologi diri, sebuah strategi untuk memproduksi diri sesuai dengan pengetahuan kita akan diri kita sendiri, strategi yang memungkinkan kita untuk memilih bagaimana kita hendak menampilkan diri di antara berbagai pili-han. Karenanya, seseorang bisa saja menampilkan diri mereka tidak sesuai dengan kenyataannya. Pemakaian kata “menyamar” menunjukkan bagaimana sebenarnya individu “hanya” teridentifi kasi melalui tampilan-tampilan yang tampak pada tubuh sehingga memung-kinkan individu untuk memperformatifk an penampi-lan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya” (Gauntlet 2002, 128).

Penampilan sebagai penanda gender juga dipertanyakan oleh A ketika membandingkan identitas perempuan tomboy dengan lesbian. A menulis, “… perempuan yang mengenakan kemeja, jins, rambut cepak paling-paling hanya dibilang tomboi, tidak langsung dicap lesbian” ( “Opini: Watch Your Step, How Far Can You Go?” 2006). Penanda identitas melalui penampilan adalah hal yang dapat dimanipulasi. Jika perempuan berdandan a la laki-laki dengan mengenakan kemeja, jeans, dan berpotongan rambut cepak, maka tidak lantas perempuan tersebut disebut butch atau lesbian. Identifikasi atas perempuan tersebut hanyalah disebut sebagai perempuan tomboy, tentunya dengan

(32)

menempatkan identitas seksual mereka sebagai heteroseksual. Identifi kasi gender dan seksualitas ini, sekali lagi, hanya merupakan persoalan performativitas melalui appearance of substance (Butler 1990, 141). Bedanya, jika lesbian memparodikan apa yang dianggap normativitas atas gender dan seksualitas, sebaliknya, perempuan heteroseksual menampilkan identitas mereka sesuai dengan normativitas yang telah ada. Sebagaimana yang ditegaskan Butler (Ibid.),

That gender reality is created through sustained social performances means the very notions of an essential sex and a true or abiding masculinity and femininity are also constituted as part of the strategy that conceals gender performative’s character and the performative possibilities for proliferating gender confi gurations outside the restricting frames of masculinist domina-tion and compulsory of heterosexuality.

(33)

B. 1. 2 Perilaku dan Peran

Tampilan tubuh memang kerap kali menjadi pen-anda identitas gender seseorang. Diceritakan bagaima-na gesture tubuh menjadi pebagaima-nanda identitas individu,

“Kenapa sih kamu kalau berdiri mengangkang begitu? Apa itu ciri khas lesbi? Jadi inget si xxx, yang kalau jalan keliatan lesbi banget ya? Dia keliatan lesbi dari cara jalannya... sama kaya si xyz” … cara jalan saya tidak bergaya “lesbi”. Tapi cara berdirinya, iya. Waks, pikir saya, lebih parah lagi dong. Belum jalan aja, udah ketauan. … partner saya menjelaskan lagi tentang cara berjalan “mengayun” ala lesbian. Dan dia menambahkan gerakan-gerakan seperti menyilangkan tangan di depan dada atau memasukkan tangan ke saku celana yang sering dilakukan lesbian. ... Ayunan langkah, bahasa tubuh, serta gerakan-gerakan tanpa sadar yang mereka lakukan (“Opini: To Out or Not to Out,” 2006).

A menceritakan kometar Laksmi, partnernya, mengenai “ciri khas” lesbian yang tampak dari gesture mereka. “Berdiri ngangkang” adalah gesture yang bagi Laksmi sering dilakukan oleh lesbian. Berdiri dengan cara seperti ini biasanya dilakukan untuk menunjukkan maskulinitas. Selanjutnya, dijelaskan oleh A pandangan Laksmi mengenai cara berjalan lesbian yang “mengayun” sembari “menyilangkan tangan di depan dada” atau “memasukkan tangan ke saku celana”. Cara jalan tersebut tidak menunjukkan femininitas perempuan. “Menyilangkan tangan di depan dada” seolah-olah menutupi bagian tubuh penanda perempuan, yakni payudara. Leksikon “dada” lebih dipilih daripada “payudara” karena menunjukkan netralitas. Maksudnya, leksikon “payudara” memang selalu diidentikkan dengan perempuan, karena selain sebagai simbol seksualitas juga merupakan simbol kewanitaan (perempuan menyusui bayi melalui

(34)

payudara). Namun, dengan menggunakan “dada”, A menunjukkan netralitas atas makna bagian depan tubuh perempuan ini. Dada memiliki makna unisex. Setiap anatomi tubuh manusia memiliki bagian yang disebut dada.

Akan tetapi pada konteks ini, diksi dada terkait dengan sesuatu yang ingin ditutupi. Ini kemudian menjadi sebuah ironi karena dalam rangkaian kata-kata tersebut terdapat ambiguitas. Kalimat tersebut tidak hendak menunjukkan netralitas. Cara jalan— menyilangkan tangan di depan dada, menggambarkan ketidaknyamaan terhadap nonkonfromitas gender dan seksualitas lesbian atas penanda-penanda tubuh yang melekat pada diri mereka, yakni seksualitas dan wom-anhood yang ingin ditutupi oleh perempuan tersebut. Perilaku ini kerap dilakukan oleh lesbian karena non-konformitas tersebut adalah patologi bagi budaya het-eronormativitas. Perilaku-perilaku tersebut, kemudian bagi Laksmi banyak ditampilkan oleh lesbian.

Anggapan Laksmi tersebut membuat A memikirkan apakah ketidaksesuaian penampilan perempuan terhadap normativitas femininitas serta-merta menunjukkan identitas perempuan sebagai lesbian? A menulis,

(35)

mencon-tohkan bergandengan tangan atau berpelukan antar perempuan adalah wajar. Beda halnya jika hal tersebut dilakukan oleh laki-laki, serta-merta laki-laki tersebut dianggap gay atau banci, atau singkatnya, tidak menun-jukkan maskulinitas.

Sebagaimana L-M pada weblog FD, peran yang berlaku dalam partnership A dan Laksmi tidak menun-jukkan pembagian peran yang kaku sebagaimana ang-gapan mengenai butch-femme. Identifi kasi peran antara butch dan femme biasanya memisahkan keduanya dalam lingkup dikotomis. Butch cenderung dianggap memiliki peran aktif dan publik, sementara femme sebaliknya. A, Laksmi dan kedua anak biologis Laksmi hidup bersama seatap. Baik A maupun Laksmi sama-sama memiliki peran ganda, sebagai ibu sekaligus ayah. Jika Laksmi, sebagai ibu biologis, dipanggil dengan sebutan mami, maka A dipanggil sebagai tante mami. Keduanya sa-ma-sama berperan dalam mengasuh anak, memasak, mengurus rumah, sebagaimana peran sosial yang oleh masyarakat dilekatkan pada perempuan; juga berperan mencari nafk ah untuk kehidupan mereka bersama. Na-mun, tak dipungkiri sisi femininitas A dan Laksmi lebih dominan dalam partnership yang mereka jalani. Diceri-takan A (“Hari Minggu,” 2009),

Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-duanya cenderung menjadi cerewet. Suara femi-nin yang khas memenuhi udara sampai-sampai aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu kelu-arga.

Kalimat “…harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan”. Kata “seper-ti” menunjukkan perbandingan langsung (simile) antara perilaku dan peran “bapak” dan “ibu”. Menariknya, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi

(36)

bapak-ibu, maskulin-feminin “hanya” merupakan aksi tiru, di mana A dan Laksmi dapat saja meniru perilaku sebagaimananya fi gur “bapak” yang maskulin. Dengan demikian, perkara gender dalam pembagian rumah tangga merupakan perkara performativitas.

B. 2 Aktivitas Seksual

A hidup seatap dengan partnernya, Laksmi. Hal tersebut sedikit banyak berengaruh terhadap performativitas aktivitas seksual mereka di weblog. Hal ini tampak dari sedikitnya narasi mengenai aktivitas seksual mereka di weblog (jika dibandingkan dengan narasi aktivitas seksual L-M). Ini dapat dimaknai bahwa jarak menjadi salah satu penentu dalam hubungan seksualitas lesbian. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut tetap menunjukkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan A dan Laksmi sebagai partner lesbian, di mana dikotomisasi penis-vagina tidak melulu menjadi standar akan seksualitas karena melalui aktivitas seksual lesbian, apa yang dianggap maskulin (agresif) dan feminin (pasif) menjadi sebuah permainan seksualitas belaka. Seperti yang ditampilkan berikut,

Aku berguling di ranjang sementara jari-jari halusmu menjelajahi pundak telanjangku. Kau mendesakku – kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak da-lam pelukanmu (“Tanda,” 2009).

Kutipan post tersebut menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh A dan partnernya. Kalimat “kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak dalam pelukanmu” menggambarkan aktivitas seksual lesbian, di mana leksikon “kelembutan” digabungkan dengan “penuh tenaga,” feminin digabungkan dengan maskulin. Post ini selanjutnya menceritakan,

(37)

mem-beri komentar isengnya. .… Komentar yang sudah pasti akan mengantarkanku sebagai si tertuduh dengan rasa yang menyenangkan bagi kita berdua (Ibid.).

Lipstik merupakan penanda bagi femininitas perempuan. Namun dalam konteks ini, lipstik digabungkan dengan kata “noda” yang memiliki makna negatif. “Noda lipstik” kemudian menjadi penjelas bagi aktivitas seksual A yang dilakukan dengan partner-nya. A mengharapkan noda lipstik tersebut dilihat oleh teman-teman partner A. Ini menunjukkan bahwa bagi A, aktivitas seksual lesbian yang dilakukannya dengan partner-nya adalah tidak tabu untuk ditutup-tutupi. Ia bahkan mengharapkan komentar orang lain atas aktivitas seksual mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan budaya dominan, di mana seksualitas adalah hal yang tersembunyi dan ditutup-tutupi.

Selanjutnya, A menceritakan mengenai hobinya terhadap fi lm bertema seksualitas. Diceritakannya mengenai pendapatnya terhadap fi lm jenis ini, “Sejatinya lm semacam ini harus diperlakukan sama seperti jenis hiburan lain yang nggak boleh dibuat asal-asalan dan harus digarap dengan serius” (“Menonton Film Dewasa,” 2009). Pada titik ini, A menilai bahwa fi lm seksual ini seharusnya tidak hanya diperlakukan sebagai fi lm kacangan. Tidak hanya sebagai lm kacangan, lm seksual ini juga kerap dilekati dengan penanda negatif, ini tampak pada berbagai penyebutan terhadap fi lm seksual ini pada post A, misalnya, bokep, lm porno atau fi lm dewasa. Pilihan kata terakhir lebih menunjukkan denotatif, yakni menunjukkan segmentasi terhadap fi lm tersebut. Sementara bokep merupakan kata gaul yang berasal dari blue fi lm (htt p://www.kamusgaul.com/). Blue dalam blue fi lm diartikan sebagai suggestive of sexual improperty. Istilah ini dianggap senada dengan penyebutan fi lm porno (Encarta Dictionary. 2008), di mana makna yang diciptakan cenderung berkonotasi negatif. Porno berasal dari kata porn yang merupakan kependekan dari pornography yang berarti “(dissaproving) videos that describe or show naked people and sexual acts in order to make people feel sexually excited, especially in a way that many other people fi nd off ensive” (Welhmeier, Sally (ed.) 2010). Ini berarti fi lm porno dikaitkan dengan perilaku yang “menyimpang” karena melalui fi lm tersebut selain

(38)

bertujuan sebagai hiburan (to make people sexually excited) juga sekaligus membuat orang lain terganggu karena tayangan tersebut yang dianggap menjijikkan (off ensive). Pornografi sendiri oleh Undang-Undang Pornografi dide nisikan sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengekspolitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika.

Seksualitas memang dibingkai menjadi sebuah hal ter-tutup oleh normativitas, bukan menjadi tontonan sebagaima-na fi lm. Akibatnya, orang yang menonton jenis lm ini akan merasa bersalah sebagaimana diceritakan oleh A yang “pernah gara-gara berusaha “insaf” akibat memandang fi lm porno secara salah”. Penggunaan kata insaf menegaskan bagaimana fi lm seksualitas ini dianggap sebagai hal buruk yang jika orang menontonnya dianggap melakukan sebuah dosa.

B. 3. Pernikahan

A menceritakan bahwa ia dan partnernya, Laksmi, hidup bersama. Partner A, Laksmi, adalah perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya dan memiliki 2 orang anak dari pernikahan heteroseksual yang dijalani sebelumnya. Seba-gaimana partnership lesbian, pernikahan secara hukum meru-pakan sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di Indonesia. Dituliskan oleh A (“Opini: Happy Ending = Utopia?,” 2009)

(39)

kalimat syarat, “dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama jenis”, untuk menjelaskan bahwa A cukup terbuka untuk sebuah hubungan hidup bersama tanpa adanya syarat pernikahan sekalipun. Inti dari yang hendak disampaikan oleh A adalah bahwa setiap individu, mengesampingkan jenis kelamin mereka, berhak untuk hidup bersama di bawah pernikahan maupun tanpa pernikahan. A menjelaskan institusi yang menentukan norma-norma di mana pernikahan dianggap sah dilakukan atau tidak sah dilakukan, yakni institusi agama dan keluarga.

Selanjutnya diceritakan A,

Kebanyakan perempuan (lesbian) memutuskan menikah karena tidak tahan atas desakan orangtua. Mungkin 9 dari 10 lesbian yang menikah dengan laki2 melakukannya karena merasa terdesak ...Menikah adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari orangtua. Melepaskan diri dari tekanan/ocehan/desakan dari orangtua yang bertanya-tanya kenapa dia tidak menikah/kapan akan menikah dst,dsb. Tapi apakah menikah dengan laki2 adalah solusinya? Mungkin jawabannya ya, untuk sebagian perempuan. Atau ini justru lolos dari mulut singa masuk ke mulut buaya? (Ibid.).

A mengasumsikan bahwa sembilan dari sepuluh lesbian menikah karena terpaksa, tidak tahan akan desakan keluarga yang bertanya mengenai rencana pernikahan. Pernikahan dengan laki-laki bagi lesbian diumpamakan oleh A seperti “lolos dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Maksudnya, lesbian tersebut lolos dari desakan menikah atau bahkan lolos dari pencitraan sebagai “perawan tua”, tapi pada saat yang sama mereka justru mengalami subordinasi dari pernikahan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya”. Akibatnya, perempuan seolah-olah memang wajib menikah (tentunya secara heteroseksual). Lesbian pada konteks ini tetap saja menerima beban tubuh sosial perempuan.

Cyberlesbian sebagai Diskursus Kreatif dan Media Trans-formasi atas Heteronormativitas

Weblog memberikan sebuah dunia baru bagi lesbian untuk memperformativisasi identitas mereka melalui narasi

(40)

diri. Media ini memberikan keleluasaan bagi lesbian untuk mempermainkan kuasa atas pengetahuan yang dimilikinya untuk membentuk counter wacana tanpa takut identitas off line mereka diketahui oleh masyarakat online.

Dalam konteks L-M dan A, mereka mereproduksi iden-titas diri mereka menjadi dua ideniden-titas yang berbeda sesuai dengan space yang mereka hadapi, atau mempresentasikan ilusi untuk memberikan impresi identitas yang benar terhadap audience tertentu jika menyitir pendapat Erving Goff man (via Gauntlett 2002). Identitas ganda yang mereka tampilkan berdasarkan impresi identitas “benar” yang diharapkan audi-ence, membuat L-M menampilkan identitas ilusi dalam dunia off line agar tidak dianggap liyan oleh masyarakat heterosek-sual. Sementara, mereka menampilkan identitas lain sebagai lesbian pada dunia online karena anonimitas yang diberikan oleh dunia tersebut membuat mereka leluasa menarasikan diri dengan mereproduksi identitas ilusi di dunia off line dan membentuk identitas baru di dunia anonimitas.

Hal ini sejalan dengan ide Foucault (1990 dan 1986) atas teknologi diri, di mana dijelaskannya bagaimana diri bertin-dak terhadap praktik ethics –standar yang menjadikan diri sebagai sosok tertentu guna digambarkan kepada khalayak. Narasi diri sebagai lesbian pada weblog ini sebagai teknologi berstrategi yang memungkinkan subyek untuk memilih ba-gaimana hendak menampilkan diri mereka, berbeda dengan narasi yang diproduksi oleh diskursus heteroseksual. Di sini diketahui bahwa subyek adalah aktif, tidak sebagaimana kon-sep Althusser mengenai agen yang hanya berperan sebagai wayang yang menerima perannya karena tekanan dari apar-tus-aparatus.

(41)

agen memang dapat melakukan reproduksi identitas yang berbeda dari diskursus dominan, tapi yang patut diingat ada-lah bawa normativitas tersebut tetap ada. Beberapa narasi mereka masih menunjukkan betapa hegemoni heteroseksual patriarki masih mempengaruhi perilaku mereka.

Bagaimanapun juga, L-M dan A merupakan produser kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi dan mengombinasikan wacana heteronormativitas, hingga wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana domi-nan dalam weblog. Diskursus lesbian yang distereotipkan oleh rezim kuasa ditransformasikan oleh L-M melalui sebuah ide bahwa perkara gender dan seksualitas hanyalah bagaimana perkara aksi performatif antara tubuh, penampilan, seksu-alitas, dan identitas-identitas lainnya. Karena aksi tersebut performatif, maka identitas bukanlah hal yang tetap. Pada akhirnya, heteronormativitas juga merupakan bentuk dari performativitas saja. Dua identitas yang mereka ciptakan merupakan sebuah aksi mockering akan anggapan adanya satu identitas tunggal.

Narasi diri pada weblog merupakan sebuah “pengakuan dosa”, sebagaimana diceritakan Foucault dalam History of Sexuality bagaimana gereja memberlakukan pengakuan dosa akan seksualitas individu. Namun, berbeda dengan Foucault yang menilai pengakuan dosa tersebut sebagai sebuah hal negatif, narasi diri pada weblog ini malahan menunjukkan ba-gaimana aagen dapat mentranformasikan identitas gen-der lesbian sebagai identitas yang berbeda dari anggapan nor-matif. Berbeda dengan konsep agen Althusser di mana tiap agen seolah-olah hanya melakoni perannya sebagai wayang dari aparatus-aparatus ideologi dominan, Foucault mela-lui teknologi diri dan perfomativitas Butler menyebut agen memiliki kemampuan untuk melakukan “speaking back” ini sebagai strategi. Agen memiliki kemampuan untuk melaku-kan tindamelaku-kan yang dilingkupi dengan pengetahuan. L-M dan A memiliki kuasa untuk mereproduksi narasi diri mereka melalui “pengakuan dosa”, yang justru melawan anggapan negatif atas diskursus heteroseksual. Melalui FD dan RB, L-M dan A sebagai agen tahu dengan benar apa yang mereka lakukan, juga paham benar bagaimana normativitas sosial masyarakat dan aturan main di mana mereka dapat

(42)

kan confession dengan keluar dari kloset di weblog, speaking back terhadap homofobia dengan mereproduksi diskursus normatif.

Resistensi atas kuasa/pengetahuan dominan begitu didukung dalam karakteristik weblog, di mana blogger dimung-kinkan melakukan navigasi atas pengetahuan apa yang hen-dak dimunculkan atau pengetahuan mana yang henhen-dak dis-embunyikan. Ini sebagaimana fungsi censorship yang dimiliki oleh rezim kebenaran atas diskursus normatif. Misalnya tam-pak pada kemungkinan bagi L-M dan A untuk memilih ko-mentar apa yang akan dimunculkan atas post dalam narasi mereka. Ini merupakan bentuk empowerment karena mereka dapat menampilkan identitas mereka di luar kontrol media konvensional, yang hampir dapat dipastikan penuh dengan editing dan censoring dari media dan rezim kebenaran lainnya. Inilah alasan mengapa weblog sebagai ruang dalam proses membentuk identitas baru yang berbeda dari identitas sebel-umnya menjadi penting.

ARI SETYORINI: Alumni Kajian Budaya dan Media, Pasca-Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dosen Muda di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

RUJUKAN

Alimi, M. Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKiS.

Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation).” dalam Douglass Kellner. (ed.) 2006. Media and Cultural Studies. Cornwall: Blackwell Publishing Ltd. Arimbi, Indriaswari D. S dan Sri Sulistyani (eds.). 1998. Perempuan

dan Politik Tubuh Fantastis. Jogjakarta: Kanisius.

Beasley, Chris. 2005. Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers. London: Sage Publication.

Bell, David dan Barbara M. Kennedy (eds.). 2000. The Cybercultures Reader. London dan New York: Routledge.

(43)

Cambridge: Cambridge University Press.

Buletin GN 31/ Tahun 04. 2009. Lesbian Housewife. Surabaya: GAYa NUSANTARA.

Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. London dan New York: Routledge.

______________. 1993. Bodies That Matt er. New York: Routledge. ______________. 1993. “Critically Queer” dalam GLQ: A Journal of

Lesbian and Gay Studies . 1.

Bryson, Mary. 2004. When Jill Jack in Queer Women and the Net. Feminist Media Studies (Vol. 4, No. 3). New York: Routledge.

Davis, Kathy. 1995. Reshaping the Female Body: the Dilemma of Cosmetic Surgery. London dan New York: Routledge.

Fairclough, Norman, 1989. Language and Power. London & New York: Longman.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: Volume1 An Intorduction (terjemahan dari Histoire de la Sexualite). New York: Random House Inc.

______________. 1990. The Use of Pleasure: Volume 2 of the History of Sexuality. New York: Vintage Books.

______________. 1986. The Care of The Self: Volume 3 of the History of Sexuality. New York: Pantheon Books.

Gauntlett, David. 2002. Media, Gender and Identity. New York: Rountledge.

Hall, Stuart dan Paul du Gay (eds.) 1996. Question of Cultural Identity. London dan New Delhi: Sage Publication.

Holliday, Ruth. “Performances, Confession, and Identities.” dalam Gregory C. Stanzak (ed.). 2007. Visual Research Methods: Image, Society, and Representation. London: Sage Publication.

Jeumpa, Bunga dan Ulil. “Quo Vadis Lesbian Indonesia.” dalam Inside Indonesia 66. Juni-Juli 2001.

(44)

Press.

Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin. Jogjakarta: Insist Press.

Kellner, David. 1995. Media Culture. New York: Routledge.

Mann, Chris dan Fiona Steward. 2000. Internet Communication and Qualitative Research. London: Sage Publication.

Mills, Sarah. 2003. Michel Foucault. London dan New York: Routledge. Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global.

Yogkayakarta: LKiS.

Noviani, Ratna. 2009. “Performativitas Gender dalam Iklan Kontak Jodoh.” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Pus-taka Marwa.

Rabinow, Paul. Foucault: The Reader. New York: Pantheon Books. Rubin, Gayle. 1984. “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the

Politics of Sexuality.” dalam C.Vance (ed.) Pleasure and Dan-ger—Exploring Female Sexuality. Boston: Routledge & Kegan Paul.

Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas.

Salih, Sarah. 2002. Judith Butler. London dan New York: Routledge. Serean, Antok. “Androgini sebagai Identitas” dalam Buletin GN

no.41/ tahun 05.

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga pelayanan kesehatan yang diperlukan pada saat operasional haji di Arab Saudi terdiri dari tenaga kesehatan haji indonesia (TKHI), panitia penyelenggara ibadah haji

Implikasi penelitian: 1) Upaya meningkatkan Penguasaan Konsep Matematika melalui Kecerdasan Emosional, guru perlu mengetahui kestabilan emosional siswa

Untuk kota medan sendiri, besar indeks polusi cahaya di kota medan yang diamati dari OIF UMSU adalah sebesar 16,42 MPASS, sedangkan langit paling gelap di kota Medan adalah pada

Kajian Numerikal Dengan Program Abaqus peredam leleh baja (yielding steel damper) sebanyak empat kajian (HSD 1, HSD 2, HSD 3, HSD 4) yang menjadi perwakilaan dari

Surveillance Audit terhadap Sertifikat ISO 9001:2008 Sistem Manajemen Mutu untuk Produk Manufacture of Speciality Kraft and Bleached Market Pulp pada tanggal 31 Agustus - 2

Berdasarkan hasil suervey lapangan penulis mendapatkan bahwa sebagian besar penghuni asrama adalah pasangan usia subur, dari 35 ibu hamil yang ada rata-rata pendidikan SMA, belum

Dana hasil penerbitan Obligasi akan dipakai untuk mendanai pembiayaan WOMF Finance yang ditargetkan dapat menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 6 triliun hingga akhir tahun 2014..

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start Free Trial