BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi Pengobatan Sendiri
Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah
sebagai berikut:
a. Menurut World Health Organization (WHO), pengobatan sendiri
(swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat modern dan obat
tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit.
b. Menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP), pengobatan
sendiri adalah penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seseorang atas
inisiatifnya sendiri.
c. Menurut World Self Medication Industry (WSMI), pengobatan sendiri adalah
pengobatan untuk masalah kesehatan yang umum terjadi menggunakan obat
yang dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan serta aman dan
efektif untuk penggunaan sendiri.
d. Pengobatan sendiri berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan
obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri
tanpa nasehat dokter (Tan dan Rahardja, 1993).
Pengobatan sendiri adalah salah satu elemen dari self-care. Self care adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, mencegah dan menghadapi penyakit. Pengobatan sendiri
biasa dilakukan untuk mengatasi penyakit ringan (Depkes RI, 2006). Menurut
Winfield dan Richards (1998), kriteria suatu masalah kesehatan yang termasuk
mengancam bagi diri pasien. Beberapa penyakit ringan yang banyak dialami
masyarakat, antara lain demam, nyeri, batuk, flu, diare, cacingan dan maag
(Depkes RI, 2006).
Pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat dalam
menjaga kesehatan dan menjadi alternatif yang banyak dipilih oleh masyarakat
karena dapat menanggulangi keluhan secara cepat dan efektif. Pengobatan sendiri
merupakan sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah dalam hal
pemeliharaan kesehatan, karena mengurangi beban pelayanan kesehatan serta
meningkatkan keterjangkauan obat oleh masyarakat yang jauh dari pelayanan
kesehatan.
Keuntungan dari pengobatan sendiri adalah aman apabila digunakan sesuai
petunjuk, efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% dari penyakit ringan
bersifat self- limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan,
biaya pembelian obat relatif murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat
waktu karena tidak perlu mengunjungi sarana dan profesi kesehatan serta berperan
aktif dalam pengambilan keputusan terapi untuk diri sendiri (Supardi dan
Notosiswoyo, 2006).
Sebaliknya, pengobatan sendiri yang dilakukan secara tidak tepat
memungkinkan terjadinya kesalahan dalam penggunaan obat dan kurangnya
kontrol pada pelaksanaannya (Association of Real Change, 2006). Dampak
lainnya yaitu dapat menyebabkan bahaya serius terhadap kesehatan, seperti reaksi
obat yang merugikan, perpanjangan masa sakit, resiko kontraindikasi dan
mempunyai keterampilan untuk mencari informasi obat secara tepat dan benar
perlu dilakukan (Holt, 1986).
2.2 Pengobatan Sendiri yang Sesuai Aturan
Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan
mendukung upaya penggunaan obat yang tepat. Definisi penggunaan obat rasional
menurut hasil konferensi WHO dalam “Conference of Experts on the Rational
Use of Drugs” di Nairobi 1985 adalah penggunaan obat yang sesuai dengan
kebutuhan pasien secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang
cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Depkes RI, 2006).
Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan sendiri
yang sesuai aturan. Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4
kriteria antara lain: (a) tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obat
bebas dan obat bebas terbatas, (b) tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat
yang termasuk dalam kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya, (c) tepat dosis
obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai dengan
umur dan (d) tepat lama penggunaan obat, yaitu apabila berlanjut segera
berkonsultasi dengan dokter (Depkes RI, 2006).
2.3Pengobatan Sendiri yang Tidak Sesuai Aturan
Pemakaian obat yang tidak tepat merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan yang menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error). Kesalahan penggunaan obat dalam pengobatan sendiri
kesalahan terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan
dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).
Kesalahan pengobatan (medication error) menurut National Coordinating
Council Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) adalah setiap
kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan
obat yang tidak tepat sehingga membahayakan pasien sementara obat berada
dalam pengawasan tenaga kesehatan, pasien atau konsumen.
Kejadian medication error terdiri dari 4 fase, yaitu:
a. Prescribingphase (fase penulisan resep)
Kesalahan yang terjadi pada fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat
indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat
yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.
b. Trancribingphase (fase pembacaan resep)
Kesalahan yang terjadi fase ini meliputi: kekeliruan saat membaca resep
sehingga berdampak pada kesalahan pada obat yang diberikan, kesalahan pada
pembacaan perintah pada resep yang disengaja atau tidak disengaja dan adanya
perintah pada resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan.
c. Dispensingphase (fase peracikan atau penyiapan resep)
Fase ini meliputi peracikan, penyiapan sampai penyerahan resep kepada pasien
oleh petugas apotek. Kesalahan yang dapat terjadi pada fase ini meliputi:
kesalahan pengambilan obat karena adanya kemiripan nama atau kemiripan
kemasan, kesalahan pemberian obat kepada pasien karena tidak teliti
cara pakai obat tidak sesuai lagi, kesalahan pada penyampaian informasi obat
kepada pasien.
d. Administrationphase (fase penggunaan)
Kesalahan pada fase ini meliputi: kurangnya kepatuhan pasien terhadap cara
dan aturan pakai obat yang digunakan.
Menurut National Coordinating Council for Medication Error Reporting
and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai
berikut:
Kategori A: Keadaan atau kejadian yang memiliki kapasitas untuk menyebabkan
menyebabkan kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang sebenarnya terjadi.
Kategori B: Terjadi kesalahan tetapi kesalahan tidak mencapai pasien
Kategori C: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien tetapi tidak membahayakan
pasien
Kategori D: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien dan pemantauan yang
diperlukan untuk mengkonfirmasikan bahwa kesalahan tersebut tidak
mengakibatkan kerugian bagi pasien dan/atau intervensi yang diperlukan untuk
mencegah bahaya.
Kategori E: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan
kerusakan sementara untuk pasien dan ada intervensi yang diperlukan.
Kategori F: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan
kerusakan sementara terhadap pasien dan diperlukan rawat inap berkepanjangan di rumah
sakit.
Kategori G: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan
Kategori H: Terjadi kesalahan dan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan
hidup.
Kategori I: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan
kematian pasien.
Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat
kepada pasien, mulai dari industri, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan,
penyerahan dan monitoring pasien. Setiap tenaga kesehatan dalam rantai ini dapat
memberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cohen, 1991).
Faktor penyebab terjadinya medication error antara lain: a) komunikasi
yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep maupun secara lisan
(antara pasien, dokter dan apoteker), b) sistem distribusi obat yang kurang
mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat), c) sumber daya
manusia (kurangnya pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan), d) kurangnya
edukasi kepada pasien, e) kurangnya peran pasien dan keluarga (Cohen, 1991).
Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan
konsep-konsep human error (Anonim, 2011).
1. Error awareness. Setiap individu harus menyadari bahwa medication error
dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Jika terjadi
medication error maka akibat yang dapat timbul sangat beragam dari yang
ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik
mengenai medication error perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang
langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat,
apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat.
2. Pengamatan Sistematik. Penyebab medication error dapat berasal dari individu
yang buruk dapat mengawali terjadinya medication error. Selain itu, sistem
yang buruk yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak
dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber
medication error. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan secara
sistematik apakah system tersebut ikut berperan terhadap penyebab terjadinya
medication error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter,
perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab timbulnya medication
error.
3. Evaluasi Kinerja Petugas. Perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang
sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas. Kinerja ini
kemudian dievaluasi secara terus menerus sehingga masing-masing petugas
mengetahui hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.
4. Antisipasi Kesalahan Melalui Sistem Koding dan SOP. Standard Operational
Procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan
administration perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error.
Sebagai contoh, jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi
langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus
dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu
SOP yang baik, tetapi selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek
untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika
terbukti terjadi kekeliruan.
5. Computerised Prescribing. Metode ini telah dilakukan di berbagai rumah sakit
di Amerika, khususnya untuk pasien rawat inap. Penulisan resep oleh dokter
perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan
mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta
kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh
dokter. Melalui cara ini resiko medication error dapat dikurangi hingga 75%.
2.4 Faktor- Faktor Pengobatan Sendiri
Tindakan pengobatan sendiri cenderung akan meningkat. Faktor- faktor
yang memepengaruhi tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat adalah sebagai berikut: pengetahuan masyarakat tentang penyakit
ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk
mencegah atau mengobati penyakit ringan tersebut, ketersediaan dan kemudahan
mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau obat OTC
(over the counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan
(Supardi, 1997).
Menurut Sukasediati (1996), faktor lain yang berperan pada tindakan
pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat antara lain:
a. Persepsi sakit
Persepsi seseorang mengenai berat ringannya penyakit yang dirasakan dapat
menentukan alternatif pengobatan yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Untuk
penyakit ringan, pasien akan memilih beristirahat saja atau membeli obat ditempat
terdekat sesuai dengan keperluan pengobatan penyakit.
b. Ketersediaan informasi tentang obat
Ketersediaan informasi obat dapat menentukan keputusan pemilihan obat.
Sumber informasi yang sampai ke masyarakat sebagian besar berasal dari media
c. Ketersediaan obat di masyarakat
Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang
memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat. Obat yang
digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh di apotek, toko obat, warung dan
minimarket.
d. Sumber informasi cara pemakaian obat.
Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari kemasan atau
brosur yang menyertai obat serta dapat menanyakannya langsung kepada petugas
apotek atau penjaga toko.
2.5Obat-Obatan Pada Pengobatan Sendiri
Obat-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri sering disebut
sebagai over the counter drugs (OTC). Bagi sebagian orang, obat-obat OTC dapat
berbahaya ketika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain. Tetapi
bagi sebagian lainnya, obat-obat OTC sangat bermanfaat dalam pengobatan
sendiri untuk mengatasi penyakit ringan hingga sedang (Fleckenstein, 2011).
Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes
NO. 2380/1983).
2.5.1 Obat Bebas (OB)
Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna
hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: vitamin atau mulitivitamin, dan
beberapa obat analgetik-antipiretik (parasetamol).
Obat bebas terbatas disebut Daftar W (Waarschuwing = peringatan) masih
termasuk golongan obat keras tetapi dapat dibeli tanpa resep dokter sehingga
penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker
Penanggung Jawab. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru
dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: obat batuk, obat flu, obat penghilang
rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), obat
antimabuk (antimo), klorfeiramin maleat (CTM).
Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Label “P” ada beberapa
macam, yaitu:
a. Tanda peringatan nomor 1 (P1) adalah Awas! Obat Keras. Bacalah aturan
memakainya. Contoh: OBH Combi®, Decolsin® dan Saridon®
b. Tanda peringatan nomor 2 (P2) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur,
jangan ditelan. Contoh: Betadineobat kumur.
c. Tanda peringatan nomor 3 (P3) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian
luar badan. Contoh: Kalpanax®, Daktarin® dan Canesten®
d. Tanda peringatan nomor 4 (P4) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk
dibakar.
e. Tanda peringatan nomor 5 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.
Contoh: Dulcolax®
f. Tanda peringatan nomor 6 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan
ditelan. Contoh: Superhoid®
Semua obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan obat bebas
terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang
diperlukan. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda
peringatan ‘apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter’ (SK Menkes No.
386/1994).
2.5.3 Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990
Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker
kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Apoteker dalam melayani pasien yang
memerlukan obat diwajibkan untuk:
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang termasuk
Obat Wajib Apotek.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberikan informasi meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek
samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat
diserahkan tanpa resep adalah:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
2.5.4 Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Obat tradisonal secara turun-temurun telah digunakan untuk
kesehatan berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat. Obat tradisional banyak
digunakan masyarakat karena mudah didapat, harga terjangkau dan berkhasiat
untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).
Golongan obat yang tidak diperbolehkan penggunaannya pada pengobatan
sendiri adalah golongan obat keras tetapi pada prakteknya golongan obat tersebut
masih banyak digunakan oleh masyarakat. Obat keras adalah obat yang hanya
dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat keras mempunyai tanda khusus
berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K
ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain: obat jantung, obat antihipertensi, obat antidiabetes, hormon,
antibiotika dan obat ulkus lambung (Ditjen POM, 2008).
2.6 Penyakit dan Pilihan Obat Pada Pengobatan Sendiri
Penyakit-penyakit yang banyak diatasi dengan pengobatan sendiri antara
lain: demam, batuk, flu, nyeri, diare dan maag (Supardi, 2006; Abay, 2010).
Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau
diatas 37o C dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Demam dapat disebabkan
karena faktor infeksi dan non infeksi.
a. Faktor infeksi antara lain: kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain.
b. Faktor non infeksi antara lain: dehidrasi, alergi, stress, trauma, kelainan kulit
yang luas, penyakit keganasan seperti kanker.
Pada demam karena infeksi kemungkinan dapat disertai menggigil.
Menggigil bukan merupakan suatu gejala infeksi karena menggigil juga dapat
terjadi karena demam yang disebabkan alergi atau penyakit keganasan. Keringat
yang berlebihan umumnya terjadi pada saat temperatur tubuh turun secara
tiba-tiba dan sering terjadi pada dini hari.
Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan
dapat diatasi dengan banyak minum, kompres, alkohol di daerah lipatan tubuh
atau permukaan tubuh atau memakai pakaian yang tipis. Terapi obat yaitu dengan
menggunakan obat penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan
jika dengan cara terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas
(antipiretik) yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal. Kedua obat
ini mempunyai efek penurun panas dan pereda nyeri yang setara.
Dosis pemakaian obat penurun panas untuk dewasa umumnya tiga hingga 4
kali sehari. Batas waktu pemakaian obat penurun panas pada pengobatan sendiri
tidak lebih dari 2 hari. Obat penurun panas tidak boleh diminum bersamaan
dengan obat flu karena umumnya obat flu sudah mengandung bahan obat yang
setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko
mengiritasi lambung (Depkes RI, 2006).
Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat penurun panas adalah:
a. Obat penurun panas hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati
penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit.
b. Penderita demam harus berkonsultasi dengan dokter atau unit pelayanan
kesehatan bila:
- demam berlanjut lebih dari 2 hari
- demam disertai gejala lain seperti kaku kuduk, pingsan, bintik merah pada
kulit, nyeri hebat, mata kuning, diare hebat, kejang dan menggigil.
2.6.2 Nyeri
Nyeri adalah suatu gejala subyektif yang kompleks berupa emosional yang
tidak menyenangkan dan pengalaman sensoris yang terjadi karena adanya
rangsangan pada ujung-ujung saraf yang sangat peka pada jaringan tubuh. Bila
terjadi rangsangan pada ujung-ujung saraf maka senyawa kimia prostaglandin
akan terbentuk. Zat inilah yang bekerja pada ujung-ujung saraf jaringan yang
rusak dan akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak
sehingga timbul rasa nyeri tersebut (Depkes RI, 1997).
Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf karena
kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain: trauma akibat benda tajam,
benda tumpul, bahan kimia dan juga karena proses infeksi atau peradangan.
Obat nyeri (analgetik) adalah obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada
antara lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat
digunakan untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih
tinggi dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek
penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes RI, 2006).
Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.
Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih
dari lima hari (Depkes RI, 2006).
2.6.3 Batuk
Batuk adalah refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari
saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru-paru dari aspirasi yaitu
masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Saluran
pernapasan dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkus, bronkhioli sampai ke
jaringan paru-paru. Penyebab batuk ada dua, yaitu: faktor infeksi oleh bakteri dan
virus, misalnya tuberkulosis, influenza, campak, batuk rejan. Faktor non infeksi
oleh debu, asap, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan (Depkes RI,
2006).
Batuk dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Batuk berdahak, yaitu batuk yang terjadi karena adanya dahak di tenggorokan.
Batuk berdahak lebih sering terjadi pada saluran napas yang peka terhadap
paparan debu dan lembab berlebih.
b. Batuk tak berdahak (batuk kering), yaitu batuk yang terjadi apabila tidak ada
sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan , sehinga timbul rasa sakit.
a. Sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi
iritasi atau rasa gatal.
b. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang meragsang tenggorokan
dan udara malam hari.
Penanggulangan dengan terapi obat adalah dengan menggunakan obat
batuk. Sesuai dengan jenis batuk, maka obat batuk dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu ekspektoran (pengencer dahak), antitusif (penekan batuk).
Banyak obat batuk dipasaran beredar dalam bentuk kombinasi yang tidak lebih
unggul dari bentuk tunggal.
a. Ekspektoran (Pengencer Dahak)
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi cairan saluran napas,
sehingga mempermudah perpindahan dahak dan ekspektoransinya
(pengeluarannya). Beberapa ekspektoran yang dapat diperoleh tanpa resep
dokter adalah: gliserilguaiakolat, ammonium klorida, bromheksin, dan succus
liquiritiae.
b. Antitusif (Penekan Batuk)
Obat-obat kelompok ini bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk
dan menaikkan ambang rangsang batuk. Antitusif yang dapat diperoleh tanpa
resep dokter adalah: dekstrometorfan HBr, noskapin dan difenhidramin HCl
Dikenal juga istilah mukolitik, yaitu obat yang dapat mengencerkan sekret
saluran napas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum. Beberapa contoh mukolitik yang dapat digunakan
pada pengobatan sendiri antara lain bromheksin dan asetilsistein (Estuningtyas,
kali sehari. Batas waktu penggunaan obat batuk pada pengobatan sendiri tidak
lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat batuk adalah:
a. Apabila batuk berlangsung lebih dari 3 hari atau setelah pengobatan sendiri
tidak ada perbaikan atau batuk menjadi lebih berat, dahak bercampur darah
atau berwarna hijau/kuning, sesak maka segera konsultasi ke dokter atau unit
pelayanan kesehatan.
b. Obat-obat batuk yang beredar di pasaran dimaksudkan untuk meringankan
gejala batuk (Depkes RI, 1997).
2.6.4 Flu
Flu adalah penyakit yang menyerang bagian hidung, tenggorokan dan
paru-paru yang disebabkan oleh infeksi virus influenza. Penyakit ini dapat menyebar
dengan mudah dari satu orang ke orang lain. Umumnya, penyebaran terjadi
melalui udara, dari batuk atau bersin. Virus flu juga dapat disebarkan melalui
kontak langsung dengan penderita atau kontak dengan benda-benda yang
digunakan oleh penderita (WHO, 2012).
Gejala yang dialami pada saat flu, antara lain demam, menggigil, batuk,
sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi, malaise parah (rasa tidak enak badan),
sakit tenggorokan dan hidung berair. Gejala tersebut dapat sembuh dengan
sendirinya dalam waktu satu minggu tanpa perlu menggunakan obat-obatan. Akan
tetapi, gejala dapat muncul lebih parah pada orang-orang dengan sisitem imun
Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak
dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya
merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:
a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam.
b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi
lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat
menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.
c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin,
fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.
d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai
flu.
Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi yang
sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu pada saat
bersamaan. Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas
waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari tiga
hari (Depkes RI, 2006).
2.6.5 Maag
Gastritis adalah radang selaput lendir lambung, dapat disertai tukak
lambung usus 12 jari, atau tanpa tukak dan dikenal juga sebagai sakit maag.
Selain karena infeksi bakteri Helicobacter pylori, gastritis disebabkan oleh
rangsangan kelebihan asam lambung. Adapun kelebihan asam lambung dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Faktor kecemasan, emosi atau stress
c. Makanan atau minuman yang merangsang produksi asam lambung
Gejala berupa rasa nyeri dan panas pada perut bagian atas atau ulu hati,
mual, muntah dan banyak gas (kembung). Penanggulangan dengan terapi non obat
adalah dengan makan secara teratur, hindari makanan/minuman yang merangsang
lambung dan hindari stress.
Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan
antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam
lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang
beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam
magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain
antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas
yang berlebih di dalam saluran cerna.
Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali
sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2
minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pasien pada penggunaan antasida, antara lain:
a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan
b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah
saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam.
c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.
Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.
d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang.
Diare adalah keadaan dimana terjadi peningkatan frekuensi buang air besar
(BAB) lebih dari biasanya (3 - 4 kali dalam 24 jam) dan terjadi perubahan
konsistensi tinja menjadi melembek sampai mencair. Wujud tinja merupakan
ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi buang air. Meski sering buang air
tapi wujud tinja lunak dan berisi tidak dapat dikatakan diare.
Diare dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: diare akut dan diare kronik.
a. Diare akut (mendadak) adalah diare yang berlangsung kurang dari 2 minggu.
Gejalanya berupa: tinja cair, biasanya terjadi mendadak, disertai rasa lemas,
kadang-kadang demam atau muntah, biasanya berhenti/berakhir dalam
beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat terjadi akibat infeksi
virus, infeksi bakteri, akibat obat-obatan dan makanan tertentu.
b. Diare kronik adalah diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu
lama. Umumnya berlangsung lebih dari 2 minggu atau bahkan beberapa bulan.
Diare merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam
tubuh. Umumnya diare merupakan gejala dari adanya infeksi di saluran cerna
yang disebabkan oleh virus, bakteri dan mikrooganisme parasit lain. Namun
banyaknya cairan tubuh yang dikeluarkan bersama tinja akan mengakibatkan
dehidrasi.
Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan yang dapat
berakibat kematian, utamanya pada anak/bayi bila tidak segera diatasi. Oralit
merupakan satu-satunya obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare karena
kehilangan cairan tubuh. Oralit tidak menghentikan diare, tetapi mengganti cairan
terjadinya dehidrasi dapat dihindari. Oralit merupakan campuran gula, garam
kalium dan natrium yang tersedia dalam bentuk serbuk untuk dilarutkan.
Pilihan obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi diare pada
pengobatan sendiri adalah karbo adsorben dengan dosis pemakaian untuk dewasa
adalah 3 sampai 4 tablet tiga kali sehari dan juga kombinasi kaolin-pektin
attapulgit dengan dosis pemakaian untuk dewasa satu tablet tiap buang air besar
dan maksimal 12 tablet selama 24 jam (Depkes RI, 2006).
2.7 Pengetahuan dan Sikap Pengobatan Sendiri
Pengetahuan kesehatan merupakan pengetahuan tentang berbagai jenis
penyakit yang dapat disembuhkan dengan penggunaan obat, penyebab penyakit
dan cara menanggulanginya. Peningkatan pengetahuan dari pasien untuk dapat
mendiagnosis dirinya sendiri menjadi bagian yang sangat penting. Pengetahuan
yang dibutuhkan masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar
adalah:
a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya, dalam
hal ini mengetahui bahan aktif yang terdapat dalam obat yang digunakan.
b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat yang digunakan, biasa disebut indikasi.
c. Mengetahui penggunaan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama
pemakaian). Tahu batas kapan mereka harus menghentikan pengobatan sendiri
dan segera meminta pertolongan petugas kesehatan jika penyakit tidak juga
membaik.
d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan
apakah suatu keluhan yang timbul adalah penyakit baru atau efek samping
e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut, biasa disebut
kontraindikasi.
f. Mengetahui efek penggunaan obat jika diminum bersama dengan obat lain.
Untuk melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif, diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam memilih obat. Salah satu cara memperoleh
pengetahuan adalah melalui informasi obat. Informasi obat yang paling banyak
dijumpai masyarakat sehari-hari adalah yang berasal dari indusrti farmasi yang
bersifat komersil dalam bentuk iklan (Suryawati, 1997).
Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan, khususnya
dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus didukung dengan sikap
pengobatan sendiri yang baik. Sikap adalah respon atau prilaku seseorang
terhadap tindakan yang akan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
masyarakat ketika akan melakukan pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008; Atmoko
dan Kurniawati, 2009) adalah:
a. Kenali gejala penyakit atau keluhan kesehatan yang diderita
b. Gunakan obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan
obat wajib apotek
c. Obat dapat diperoleh di apotek atau toko obat berizin
d. Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat, cara pemakaian, tanggal kadaluarsa
pada etiket, brosur dan kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.
e. Tentukan obat yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan yang dialami seperti:
- Pilih obat dengan formula yang paling sederhana dengan memperhatikan
- Pilih obat yang mengandung dosis efekif, serta mencantumkan komposisi
dan jumlahnya.
- Dianjurkan untuk menggunakan produk generik bila tersedia
- Berhati-hatilah terhadap iklan yang melebihkan efek obat dibanding produk lain yang sejenis.
- Perhatian khusus harus diberikan untuk pemberian pada anak-anak,
terutama mengenai dosis, bentuk sediaan dan rasa.
f. Perhatikan waktu penggunaan obat dengan kesembuhan atau berkurangnya
keluhan penyakit, bila dalam beberapa hari tidak terdapat perubahan sebaiknya
meminta bantuan dokter atau tenaga medis lainnya.
g. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus
- Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur
obat
- Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
hentikan penggunaan obat dan tanyakan kepada dokter atau apoteker
- Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit sama
- Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap tanyakan
kepada apoteker
h. Gunakan obat tepat waktu sesuai dengan aturan penggunaan
i. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena praktis,
mudah dan aman. Cara terbaik adalah dengan meminum obat dengan segelas
air putih matang.
- Simpan obat dalam wadah kemasan asli dan tertutup rapat
- Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung
atau seperti yang tertera pada kemasan
- Simpan obat pada tempat yang tidak panas dan tidak lembab karena dapat
merusak obat
- Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak
- Jauhkan dari jangkauan anak-anak
2.8 Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri
Di Indonesia tercatat bahwa ada 30% konsumen yang pernah dan biasa
melakukan pengobatan sendiri dan diantaranya adalah untuk jenis obat-obatan
antibiotik. Dari data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010,
terdapat sekitar 25 ribu orang di Eropa yang meninggal karena infeksi bakteri
yang kebal terhadap antibiotik. Jika dilakukan studi di Indonesia, ada
kemungkinan ditemukan indikasi yang sama karena keberadaan antibiotik yang
selama ini sangat mudah diperoleh sehingga penggunaannya menjadi cenderung
tidak rasional. Antibiotik selama ini dianggap sebagai obat segala penyakit yang
dapat dibeli bebas dengan harga terjangkau (Kartajaya, 2011).
Adapun dalam fenomena pengobatan sendiri, peresepan sendiri (termasuk
pembelian obat tanpa resep) ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
perkembangan teknologi informasi, dengan semakin berkembangnya teknologi,
masyarakat akan lebih mudah dalam mengakses informasi termasuk didalamnya
informasi mengenai kesehatan. Masyarakat menjadi terbuka dengan adanya
Masyarakat menjadi lebih berani untuk melakukan pengobatan berdasarkan
informasi yang diperoleh dari internet.
Informasi melalui media cetak dan elektronik juga memudahkan masyarakat
memakai obat seperti analgetik atau antipiretik yang tidak tepat indikasi
pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan
mudah menggunakan analgetik karena merasa sakit kepala ringan. Begitu pula
pada ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila anaknya demam,
maka segera memberikan antipiretik. Hal tersebut tidak semata-mata dapat
menjadi acuan terhadap pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.
Karena dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk mendiagnosa
penyakit agar diperoleh pengobatan yang lebih efektif (Kartajaya, 2011).
Selain itu, banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat
konsumen bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
Begitu juga dengan maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media
televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi
masyarakat untuk memilih obat tanpa resep (Kartajaya, 2011).
Kemudahan mendapatkan obat juga mendukung peningkatan jumlah
pengobatan sendiri di masyarakat. Kemudahan memperoleh obat secara bebas
dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi
korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari
perkembangan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat. Selain
itu, juga terjadi perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui
apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi
semacam ini juga mempunya kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya,
2011).
Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung
apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko obat modern seperti
minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat over
the counter (OTC) yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri. Survei yang
dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket dan minimarket
merupakan tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat
(Kartajaya, 2011).
Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek (Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002), salah satu kriteria wajib
pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai
persyaratan wajib, keberadaan apoteker juga menjadi salah satu keunggulan
apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen
untuk pengobatan sendiri. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi
pengobatan sendiri karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal
pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan
pengobatan sendiri yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya
seringkali sebuah apotek tidak memilki apoteker yang selalu siap siaga melayani
konsumen yang membutuhkan (Kartajaya, 2011).
Jika apotek sudah memiliki keunggulan dibandingkan jenis outlet obat lain,
maka apotek juga perlu memiliki keunggulan dibanding apotek lainnya. Dewasa
ini, bisnis apotek tidak hanya dituntut untuk mengedepankan sisi produk saja
bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi
yang istimewa dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat (Kartajaya,
2011).
Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran
dan tanggung jawab yang besar pada pengobatan sendiri. Peran dan tanggung
jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana
kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi
pada pasien. Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah
mengidentifikasi, memecahkan dan mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat (drug-related-problem), sehingga dapat tercapai terapi
yang optimal.
Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical
Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP
no.51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani
pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung
tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan
kefarmasian.
Tanggung jawab ini tidak hanya muncul pada pelayanan namun juga pada
pengobatan sendiri. Secara lebih spesifik, tanggung jawab apoteker terhadap
prilaku pengobatan sendiri masyarakat telah dirumuskan oleh FIP dan WSMI
dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa
tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah memberikan saran dan
muncul pada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan
memberitahu cara penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).
Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam pengobatan
sendiri adalah sebagai komunikator (communicator), penyedia obat yang
berkualitas (quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)
dan promoter kesehatan (health promoter) (WHO, 1998).
a. Komunikator (communicator)
Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan
informasi yang objektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat
menggunakan obat secara rasional. Informasi yang harus diberikan oleh apoteker
meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan,
dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping
yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, kontraindikasi obat,
makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat tersebut dan
penyimpanan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).
b. Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)
Seseorang farmasis harus menjamin bahwa obat yang tersedia berasal dari
sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu
farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik.
c. Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)
Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka
farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru untuk
meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan
staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Farmasis juga harus
menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf yang bukan farmasis.
d. Kolaborator (collaborator)
Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan
profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi,
pemerintah (Lokal/Nasional), klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya
hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam
pelayanan pengobatan sendiri.
e. Promotor Kesehatan (Health promotor)
Farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan
dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan