• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pengobatan Sendiri - Evaluasi Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri (Swamedikasi) Di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pengobatan Sendiri - Evaluasi Tingkat Kesalahan Pengobatan Sendiri (Swamedikasi) Di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi Pengobatan Sendiri

Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah

sebagai berikut:

a. Menurut World Health Organization (WHO), pengobatan sendiri

(swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat modern dan obat

tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit.

b. Menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP), pengobatan

sendiri adalah penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seseorang atas

inisiatifnya sendiri.

c. Menurut World Self Medication Industry (WSMI), pengobatan sendiri adalah

pengobatan untuk masalah kesehatan yang umum terjadi menggunakan obat

yang dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan serta aman dan

efektif untuk penggunaan sendiri.

d. Pengobatan sendiri berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan

obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri

tanpa nasehat dokter (Tan dan Rahardja, 1993).

Pengobatan sendiri adalah salah satu elemen dari self-care. Self care adalah

suatu kegiatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk meningkatkan dan

memelihara kesehatan, mencegah dan menghadapi penyakit. Pengobatan sendiri

biasa dilakukan untuk mengatasi penyakit ringan (Depkes RI, 2006). Menurut

Winfield dan Richards (1998), kriteria suatu masalah kesehatan yang termasuk

(2)

mengancam bagi diri pasien. Beberapa penyakit ringan yang banyak dialami

masyarakat, antara lain demam, nyeri, batuk, flu, diare, cacingan dan maag

(Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat dalam

menjaga kesehatan dan menjadi alternatif yang banyak dipilih oleh masyarakat

karena dapat menanggulangi keluhan secara cepat dan efektif. Pengobatan sendiri

merupakan sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah dalam hal

pemeliharaan kesehatan, karena mengurangi beban pelayanan kesehatan serta

meningkatkan keterjangkauan obat oleh masyarakat yang jauh dari pelayanan

kesehatan.

Keuntungan dari pengobatan sendiri adalah aman apabila digunakan sesuai

petunjuk, efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% dari penyakit ringan

bersifat self- limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan,

biaya pembelian obat relatif murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat

waktu karena tidak perlu mengunjungi sarana dan profesi kesehatan serta berperan

aktif dalam pengambilan keputusan terapi untuk diri sendiri (Supardi dan

Notosiswoyo, 2006).

Sebaliknya, pengobatan sendiri yang dilakukan secara tidak tepat

memungkinkan terjadinya kesalahan dalam penggunaan obat dan kurangnya

kontrol pada pelaksanaannya (Association of Real Change, 2006). Dampak

lainnya yaitu dapat menyebabkan bahaya serius terhadap kesehatan, seperti reaksi

obat yang merugikan, perpanjangan masa sakit, resiko kontraindikasi dan

(3)

mempunyai keterampilan untuk mencari informasi obat secara tepat dan benar

perlu dilakukan (Holt, 1986).

2.2 Pengobatan Sendiri yang Sesuai Aturan

Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan

mendukung upaya penggunaan obat yang tepat. Definisi penggunaan obat rasional

menurut hasil konferensi WHO dalam “Conference of Experts on the Rational

Use of Drugs” di Nairobi 1985 adalah penggunaan obat yang sesuai dengan

kebutuhan pasien secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang

cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.

Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan sendiri

yang sesuai aturan. Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4

kriteria antara lain: (a) tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obat

bebas dan obat bebas terbatas, (b) tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat

yang termasuk dalam kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya, (c) tepat dosis

obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai dengan

umur dan (d) tepat lama penggunaan obat, yaitu apabila berlanjut segera

berkonsultasi dengan dokter (Depkes RI, 2006).

2.3Pengobatan Sendiri yang Tidak Sesuai Aturan

Pemakaian obat yang tidak tepat merupakan masalah serius dalam

pelayanan kesehatan yang menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan

(medication error). Kesalahan penggunaan obat dalam pengobatan sendiri

(4)

kesalahan terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan

dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Kesalahan pengobatan (medication error) menurut National Coordinating

Council Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) adalah setiap

kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan

obat yang tidak tepat sehingga membahayakan pasien sementara obat berada

dalam pengawasan tenaga kesehatan, pasien atau konsumen.

Kejadian medication error terdiri dari 4 fase, yaitu:

a. Prescribingphase (fase penulisan resep)

Kesalahan yang terjadi pada fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat

indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat

yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.

b. Trancribingphase (fase pembacaan resep)

Kesalahan yang terjadi fase ini meliputi: kekeliruan saat membaca resep

sehingga berdampak pada kesalahan pada obat yang diberikan, kesalahan pada

pembacaan perintah pada resep yang disengaja atau tidak disengaja dan adanya

perintah pada resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan.

c. Dispensingphase (fase peracikan atau penyiapan resep)

Fase ini meliputi peracikan, penyiapan sampai penyerahan resep kepada pasien

oleh petugas apotek. Kesalahan yang dapat terjadi pada fase ini meliputi:

kesalahan pengambilan obat karena adanya kemiripan nama atau kemiripan

kemasan, kesalahan pemberian obat kepada pasien karena tidak teliti

(5)

cara pakai obat tidak sesuai lagi, kesalahan pada penyampaian informasi obat

kepada pasien.

d. Administrationphase (fase penggunaan)

Kesalahan pada fase ini meliputi: kurangnya kepatuhan pasien terhadap cara

dan aturan pakai obat yang digunakan.

Menurut National Coordinating Council for Medication Error Reporting

and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai

berikut:

Kategori A: Keadaan atau kejadian yang memiliki kapasitas untuk menyebabkan

menyebabkan kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang sebenarnya terjadi.

Kategori B: Terjadi kesalahan tetapi kesalahan tidak mencapai pasien

Kategori C: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien tetapi tidak membahayakan

pasien

Kategori D: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien dan pemantauan yang

diperlukan untuk mengkonfirmasikan bahwa kesalahan tersebut tidak

mengakibatkan kerugian bagi pasien dan/atau intervensi yang diperlukan untuk

mencegah bahaya.

Kategori E: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

kerusakan sementara untuk pasien dan ada intervensi yang diperlukan.

Kategori F: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

kerusakan sementara terhadap pasien dan diperlukan rawat inap berkepanjangan di rumah

sakit.

Kategori G: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

(6)

Kategori H: Terjadi kesalahan dan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan

hidup.

Kategori I: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan

kematian pasien.

Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat

kepada pasien, mulai dari industri, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan,

penyerahan dan monitoring pasien. Setiap tenaga kesehatan dalam rantai ini dapat

memberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cohen, 1991).

Faktor penyebab terjadinya medication error antara lain: a) komunikasi

yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep maupun secara lisan

(antara pasien, dokter dan apoteker), b) sistem distribusi obat yang kurang

mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat), c) sumber daya

manusia (kurangnya pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan), d) kurangnya

edukasi kepada pasien, e) kurangnya peran pasien dan keluarga (Cohen, 1991).

Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan

konsep-konsep human error (Anonim, 2011).

1. Error awareness. Setiap individu harus menyadari bahwa medication error

dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Jika terjadi

medication error maka akibat yang dapat timbul sangat beragam dari yang

ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik

mengenai medication error perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang

langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat,

apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat.

2. Pengamatan Sistematik. Penyebab medication error dapat berasal dari individu

(7)

yang buruk dapat mengawali terjadinya medication error. Selain itu, sistem

yang buruk yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak

dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber

medication error. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan secara

sistematik apakah system tersebut ikut berperan terhadap penyebab terjadinya

medication error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter,

perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab timbulnya medication

error.

3. Evaluasi Kinerja Petugas. Perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang

sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas. Kinerja ini

kemudian dievaluasi secara terus menerus sehingga masing-masing petugas

mengetahui hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.

4. Antisipasi Kesalahan Melalui Sistem Koding dan SOP. Standard Operational

Procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan

administration perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error.

Sebagai contoh, jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi

langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus

dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu

SOP yang baik, tetapi selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek

untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika

terbukti terjadi kekeliruan.

5. Computerised Prescribing. Metode ini telah dilakukan di berbagai rumah sakit

di Amerika, khususnya untuk pasien rawat inap. Penulisan resep oleh dokter

(8)

perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan

mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta

kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh

dokter. Melalui cara ini resiko medication error dapat dikurangi hingga 75%.

2.4 Faktor- Faktor Pengobatan Sendiri

Tindakan pengobatan sendiri cenderung akan meningkat. Faktor- faktor

yang memepengaruhi tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh

masyarakat adalah sebagai berikut: pengetahuan masyarakat tentang penyakit

ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk

mencegah atau mengobati penyakit ringan tersebut, ketersediaan dan kemudahan

mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau obat OTC

(over the counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan

(Supardi, 1997).

Menurut Sukasediati (1996), faktor lain yang berperan pada tindakan

pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat antara lain:

a. Persepsi sakit

Persepsi seseorang mengenai berat ringannya penyakit yang dirasakan dapat

menentukan alternatif pengobatan yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Untuk

penyakit ringan, pasien akan memilih beristirahat saja atau membeli obat ditempat

terdekat sesuai dengan keperluan pengobatan penyakit.

b. Ketersediaan informasi tentang obat

Ketersediaan informasi obat dapat menentukan keputusan pemilihan obat.

Sumber informasi yang sampai ke masyarakat sebagian besar berasal dari media

(9)

c. Ketersediaan obat di masyarakat

Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang

memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat. Obat yang

digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh di apotek, toko obat, warung dan

minimarket.

d. Sumber informasi cara pemakaian obat.

Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari kemasan atau

brosur yang menyertai obat serta dapat menanyakannya langsung kepada petugas

apotek atau penjaga toko.

2.5Obat-Obatan Pada Pengobatan Sendiri

Obat-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri sering disebut

sebagai over the counter drugs (OTC). Bagi sebagian orang, obat-obat OTC dapat

berbahaya ketika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain. Tetapi

bagi sebagian lainnya, obat-obat OTC sangat bermanfaat dalam pengobatan

sendiri untuk mengatasi penyakit ringan hingga sedang (Fleckenstein, 2011).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah

golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes

NO. 2380/1983).

2.5.1 Obat Bebas (OB)

Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: vitamin atau mulitivitamin, dan

beberapa obat analgetik-antipiretik (parasetamol).

(10)

Obat bebas terbatas disebut Daftar W (Waarschuwing = peringatan) masih

termasuk golongan obat keras tetapi dapat dibeli tanpa resep dokter sehingga

penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker

Penanggung Jawab. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru

dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: obat batuk, obat flu, obat penghilang

rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), obat

antimabuk (antimo), klorfeiramin maleat (CTM).

Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Label “P” ada beberapa

macam, yaitu:

a. Tanda peringatan nomor 1 (P1) adalah Awas! Obat Keras. Bacalah aturan

memakainya. Contoh: OBH Combi®, Decolsin® dan Saridon®

b. Tanda peringatan nomor 2 (P2) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur,

jangan ditelan. Contoh: Betadineobat kumur.

c. Tanda peringatan nomor 3 (P3) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian

luar badan. Contoh: Kalpanax®, Daktarin® dan Canesten®

d. Tanda peringatan nomor 4 (P4) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk

dibakar.

e. Tanda peringatan nomor 5 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.

Contoh: Dulcolax®

f. Tanda peringatan nomor 6 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan

ditelan. Contoh: Superhoid®

Semua obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan obat bebas

terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang

(11)

diperlukan. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda

peringatan ‘apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter’ (SK Menkes No.

386/1994).

2.5.3 Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990

Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker

kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Apoteker dalam melayani pasien yang

memerlukan obat diwajibkan untuk:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang termasuk

Obat Wajib Apotek.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek

samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat

diserahkan tanpa resep adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada

kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

(12)

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri

2.5.4 Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan

tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan

pengalaman. Obat tradisonal secara turun-temurun telah digunakan untuk

kesehatan berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat. Obat tradisional banyak

digunakan masyarakat karena mudah didapat, harga terjangkau dan berkhasiat

untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).

Golongan obat yang tidak diperbolehkan penggunaannya pada pengobatan

sendiri adalah golongan obat keras tetapi pada prakteknya golongan obat tersebut

masih banyak digunakan oleh masyarakat. Obat keras adalah obat yang hanya

dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat keras mempunyai tanda khusus

berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K

ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan

ini antara lain: obat jantung, obat antihipertensi, obat antidiabetes, hormon,

antibiotika dan obat ulkus lambung (Ditjen POM, 2008).

2.6 Penyakit dan Pilihan Obat Pada Pengobatan Sendiri

Penyakit-penyakit yang banyak diatasi dengan pengobatan sendiri antara

lain: demam, batuk, flu, nyeri, diare dan maag (Supardi, 2006; Abay, 2010).

(13)

Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau

diatas 37o C dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Demam dapat disebabkan

karena faktor infeksi dan non infeksi.

a. Faktor infeksi antara lain: kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain.

b. Faktor non infeksi antara lain: dehidrasi, alergi, stress, trauma, kelainan kulit

yang luas, penyakit keganasan seperti kanker.

Pada demam karena infeksi kemungkinan dapat disertai menggigil.

Menggigil bukan merupakan suatu gejala infeksi karena menggigil juga dapat

terjadi karena demam yang disebabkan alergi atau penyakit keganasan. Keringat

yang berlebihan umumnya terjadi pada saat temperatur tubuh turun secara

tiba-tiba dan sering terjadi pada dini hari.

Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan

dapat diatasi dengan banyak minum, kompres, alkohol di daerah lipatan tubuh

atau permukaan tubuh atau memakai pakaian yang tipis. Terapi obat yaitu dengan

menggunakan obat penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan

jika dengan cara terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas

(antipiretik) yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal. Kedua obat

ini mempunyai efek penurun panas dan pereda nyeri yang setara.

Dosis pemakaian obat penurun panas untuk dewasa umumnya tiga hingga 4

kali sehari. Batas waktu pemakaian obat penurun panas pada pengobatan sendiri

tidak lebih dari 2 hari. Obat penurun panas tidak boleh diminum bersamaan

dengan obat flu karena umumnya obat flu sudah mengandung bahan obat yang

(14)

setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko

mengiritasi lambung (Depkes RI, 2006).

Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat penurun panas adalah:

a. Obat penurun panas hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati

penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit.

b. Penderita demam harus berkonsultasi dengan dokter atau unit pelayanan

kesehatan bila:

- demam berlanjut lebih dari 2 hari

- demam disertai gejala lain seperti kaku kuduk, pingsan, bintik merah pada

kulit, nyeri hebat, mata kuning, diare hebat, kejang dan menggigil.

2.6.2 Nyeri

Nyeri adalah suatu gejala subyektif yang kompleks berupa emosional yang

tidak menyenangkan dan pengalaman sensoris yang terjadi karena adanya

rangsangan pada ujung-ujung saraf yang sangat peka pada jaringan tubuh. Bila

terjadi rangsangan pada ujung-ujung saraf maka senyawa kimia prostaglandin

akan terbentuk. Zat inilah yang bekerja pada ujung-ujung saraf jaringan yang

rusak dan akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak

sehingga timbul rasa nyeri tersebut (Depkes RI, 1997).

Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf karena

kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain: trauma akibat benda tajam,

benda tumpul, bahan kimia dan juga karena proses infeksi atau peradangan.

Obat nyeri (analgetik) adalah obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa

menghilangkan kesadaran. Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada

(15)

antara lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat

digunakan untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih

tinggi dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek

penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes RI, 2006).

Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.

Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih

dari lima hari (Depkes RI, 2006).

2.6.3 Batuk

Batuk adalah refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari

saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru-paru dari aspirasi yaitu

masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Saluran

pernapasan dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkus, bronkhioli sampai ke

jaringan paru-paru. Penyebab batuk ada dua, yaitu: faktor infeksi oleh bakteri dan

virus, misalnya tuberkulosis, influenza, campak, batuk rejan. Faktor non infeksi

oleh debu, asap, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan (Depkes RI,

2006).

Batuk dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Batuk berdahak, yaitu batuk yang terjadi karena adanya dahak di tenggorokan.

Batuk berdahak lebih sering terjadi pada saluran napas yang peka terhadap

paparan debu dan lembab berlebih.

b. Batuk tak berdahak (batuk kering), yaitu batuk yang terjadi apabila tidak ada

sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan , sehinga timbul rasa sakit.

(16)

a. Sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi

iritasi atau rasa gatal.

b. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang meragsang tenggorokan

dan udara malam hari.

Penanggulangan dengan terapi obat adalah dengan menggunakan obat

batuk. Sesuai dengan jenis batuk, maka obat batuk dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu ekspektoran (pengencer dahak), antitusif (penekan batuk).

Banyak obat batuk dipasaran beredar dalam bentuk kombinasi yang tidak lebih

unggul dari bentuk tunggal.

a. Ekspektoran (Pengencer Dahak)

Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi cairan saluran napas,

sehingga mempermudah perpindahan dahak dan ekspektoransinya

(pengeluarannya). Beberapa ekspektoran yang dapat diperoleh tanpa resep

dokter adalah: gliserilguaiakolat, ammonium klorida, bromheksin, dan succus

liquiritiae.

b. Antitusif (Penekan Batuk)

Obat-obat kelompok ini bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk

dan menaikkan ambang rangsang batuk. Antitusif yang dapat diperoleh tanpa

resep dokter adalah: dekstrometorfan HBr, noskapin dan difenhidramin HCl

Dikenal juga istilah mukolitik, yaitu obat yang dapat mengencerkan sekret

saluran napas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan

mukopolisakarida dari sputum. Beberapa contoh mukolitik yang dapat digunakan

pada pengobatan sendiri antara lain bromheksin dan asetilsistein (Estuningtyas,

(17)

kali sehari. Batas waktu penggunaan obat batuk pada pengobatan sendiri tidak

lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat batuk adalah:

a. Apabila batuk berlangsung lebih dari 3 hari atau setelah pengobatan sendiri

tidak ada perbaikan atau batuk menjadi lebih berat, dahak bercampur darah

atau berwarna hijau/kuning, sesak maka segera konsultasi ke dokter atau unit

pelayanan kesehatan.

b. Obat-obat batuk yang beredar di pasaran dimaksudkan untuk meringankan

gejala batuk (Depkes RI, 1997).

2.6.4 Flu

Flu adalah penyakit yang menyerang bagian hidung, tenggorokan dan

paru-paru yang disebabkan oleh infeksi virus influenza. Penyakit ini dapat menyebar

dengan mudah dari satu orang ke orang lain. Umumnya, penyebaran terjadi

melalui udara, dari batuk atau bersin. Virus flu juga dapat disebarkan melalui

kontak langsung dengan penderita atau kontak dengan benda-benda yang

digunakan oleh penderita (WHO, 2012).

Gejala yang dialami pada saat flu, antara lain demam, menggigil, batuk,

sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi, malaise parah (rasa tidak enak badan),

sakit tenggorokan dan hidung berair. Gejala tersebut dapat sembuh dengan

sendirinya dalam waktu satu minggu tanpa perlu menggunakan obat-obatan. Akan

tetapi, gejala dapat muncul lebih parah pada orang-orang dengan sisitem imun

(18)

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak

dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya

merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:

a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam.

b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat

menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.

c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin,

fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.

d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai

flu.

Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi yang

sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu pada saat

bersamaan. Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas

waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari tiga

hari (Depkes RI, 2006).

2.6.5 Maag

Gastritis adalah radang selaput lendir lambung, dapat disertai tukak

lambung usus 12 jari, atau tanpa tukak dan dikenal juga sebagai sakit maag.

Selain karena infeksi bakteri Helicobacter pylori, gastritis disebabkan oleh

rangsangan kelebihan asam lambung. Adapun kelebihan asam lambung dapat

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

a. Faktor kecemasan, emosi atau stress

(19)

c. Makanan atau minuman yang merangsang produksi asam lambung

Gejala berupa rasa nyeri dan panas pada perut bagian atas atau ulu hati,

mual, muntah dan banyak gas (kembung). Penanggulangan dengan terapi non obat

adalah dengan makan secara teratur, hindari makanan/minuman yang merangsang

lambung dan hindari stress.

Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan

antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam

lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang

beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam

magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain

antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas

yang berlebih di dalam saluran cerna.

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali

sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2

minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh

pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan

b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah

saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam.

c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.

Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.

d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang.

(20)

Diare adalah keadaan dimana terjadi peningkatan frekuensi buang air besar

(BAB) lebih dari biasanya (3 - 4 kali dalam 24 jam) dan terjadi perubahan

konsistensi tinja menjadi melembek sampai mencair. Wujud tinja merupakan

ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi buang air. Meski sering buang air

tapi wujud tinja lunak dan berisi tidak dapat dikatakan diare.

Diare dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: diare akut dan diare kronik.

a. Diare akut (mendadak) adalah diare yang berlangsung kurang dari 2 minggu.

Gejalanya berupa: tinja cair, biasanya terjadi mendadak, disertai rasa lemas,

kadang-kadang demam atau muntah, biasanya berhenti/berakhir dalam

beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat terjadi akibat infeksi

virus, infeksi bakteri, akibat obat-obatan dan makanan tertentu.

b. Diare kronik adalah diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu

lama. Umumnya berlangsung lebih dari 2 minggu atau bahkan beberapa bulan.

Diare merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam

tubuh. Umumnya diare merupakan gejala dari adanya infeksi di saluran cerna

yang disebabkan oleh virus, bakteri dan mikrooganisme parasit lain. Namun

banyaknya cairan tubuh yang dikeluarkan bersama tinja akan mengakibatkan

dehidrasi.

Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan yang dapat

berakibat kematian, utamanya pada anak/bayi bila tidak segera diatasi. Oralit

merupakan satu-satunya obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare karena

kehilangan cairan tubuh. Oralit tidak menghentikan diare, tetapi mengganti cairan

(21)

terjadinya dehidrasi dapat dihindari. Oralit merupakan campuran gula, garam

kalium dan natrium yang tersedia dalam bentuk serbuk untuk dilarutkan.

Pilihan obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi diare pada

pengobatan sendiri adalah karbo adsorben dengan dosis pemakaian untuk dewasa

adalah 3 sampai 4 tablet tiga kali sehari dan juga kombinasi kaolin-pektin

attapulgit dengan dosis pemakaian untuk dewasa satu tablet tiap buang air besar

dan maksimal 12 tablet selama 24 jam (Depkes RI, 2006).

2.7 Pengetahuan dan Sikap Pengobatan Sendiri

Pengetahuan kesehatan merupakan pengetahuan tentang berbagai jenis

penyakit yang dapat disembuhkan dengan penggunaan obat, penyebab penyakit

dan cara menanggulanginya. Peningkatan pengetahuan dari pasien untuk dapat

mendiagnosis dirinya sendiri menjadi bagian yang sangat penting. Pengetahuan

yang dibutuhkan masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar

adalah:

a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya, dalam

hal ini mengetahui bahan aktif yang terdapat dalam obat yang digunakan.

b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat yang digunakan, biasa disebut indikasi.

c. Mengetahui penggunaan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama

pemakaian). Tahu batas kapan mereka harus menghentikan pengobatan sendiri

dan segera meminta pertolongan petugas kesehatan jika penyakit tidak juga

membaik.

d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan

apakah suatu keluhan yang timbul adalah penyakit baru atau efek samping

(22)

e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut, biasa disebut

kontraindikasi.

f. Mengetahui efek penggunaan obat jika diminum bersama dengan obat lain.

Untuk melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif, diperlukan

pengetahuan dan keterampilan dalam memilih obat. Salah satu cara memperoleh

pengetahuan adalah melalui informasi obat. Informasi obat yang paling banyak

dijumpai masyarakat sehari-hari adalah yang berasal dari indusrti farmasi yang

bersifat komersil dalam bentuk iklan (Suryawati, 1997).

Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan, khususnya

dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus didukung dengan sikap

pengobatan sendiri yang baik. Sikap adalah respon atau prilaku seseorang

terhadap tindakan yang akan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan

masyarakat ketika akan melakukan pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008; Atmoko

dan Kurniawati, 2009) adalah:

a. Kenali gejala penyakit atau keluhan kesehatan yang diderita

b. Gunakan obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan

obat wajib apotek

c. Obat dapat diperoleh di apotek atau toko obat berizin

d. Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat, cara pemakaian, tanggal kadaluarsa

pada etiket, brosur dan kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.

e. Tentukan obat yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan yang dialami seperti:

- Pilih obat dengan formula yang paling sederhana dengan memperhatikan

(23)

- Pilih obat yang mengandung dosis efekif, serta mencantumkan komposisi

dan jumlahnya.

- Dianjurkan untuk menggunakan produk generik bila tersedia

- Berhati-hatilah terhadap iklan yang melebihkan efek obat dibanding produk lain yang sejenis.

- Perhatian khusus harus diberikan untuk pemberian pada anak-anak,

terutama mengenai dosis, bentuk sediaan dan rasa.

f. Perhatikan waktu penggunaan obat dengan kesembuhan atau berkurangnya

keluhan penyakit, bila dalam beberapa hari tidak terdapat perubahan sebaiknya

meminta bantuan dokter atau tenaga medis lainnya.

g. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut:

- Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus

- Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur

obat

- Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,

hentikan penggunaan obat dan tanyakan kepada dokter atau apoteker

- Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit sama

- Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap tanyakan

kepada apoteker

h. Gunakan obat tepat waktu sesuai dengan aturan penggunaan

i. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena praktis,

mudah dan aman. Cara terbaik adalah dengan meminum obat dengan segelas

air putih matang.

(24)

- Simpan obat dalam wadah kemasan asli dan tertutup rapat

- Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung

atau seperti yang tertera pada kemasan

- Simpan obat pada tempat yang tidak panas dan tidak lembab karena dapat

merusak obat

- Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak

- Jauhkan dari jangkauan anak-anak

2.8 Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri

Di Indonesia tercatat bahwa ada 30% konsumen yang pernah dan biasa

melakukan pengobatan sendiri dan diantaranya adalah untuk jenis obat-obatan

antibiotik. Dari data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010,

terdapat sekitar 25 ribu orang di Eropa yang meninggal karena infeksi bakteri

yang kebal terhadap antibiotik. Jika dilakukan studi di Indonesia, ada

kemungkinan ditemukan indikasi yang sama karena keberadaan antibiotik yang

selama ini sangat mudah diperoleh sehingga penggunaannya menjadi cenderung

tidak rasional. Antibiotik selama ini dianggap sebagai obat segala penyakit yang

dapat dibeli bebas dengan harga terjangkau (Kartajaya, 2011).

Adapun dalam fenomena pengobatan sendiri, peresepan sendiri (termasuk

pembelian obat tanpa resep) ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,

perkembangan teknologi informasi, dengan semakin berkembangnya teknologi,

masyarakat akan lebih mudah dalam mengakses informasi termasuk didalamnya

informasi mengenai kesehatan. Masyarakat menjadi terbuka dengan adanya

(25)

Masyarakat menjadi lebih berani untuk melakukan pengobatan berdasarkan

informasi yang diperoleh dari internet.

Informasi melalui media cetak dan elektronik juga memudahkan masyarakat

memakai obat seperti analgetik atau antipiretik yang tidak tepat indikasi

pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan

mudah menggunakan analgetik karena merasa sakit kepala ringan. Begitu pula

pada ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila anaknya demam,

maka segera memberikan antipiretik. Hal tersebut tidak semata-mata dapat

menjadi acuan terhadap pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.

Karena dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk mendiagnosa

penyakit agar diperoleh pengobatan yang lebih efektif (Kartajaya, 2011).

Selain itu, banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat

konsumen bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.

Begitu juga dengan maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media

televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi

masyarakat untuk memilih obat tanpa resep (Kartajaya, 2011).

Kemudahan mendapatkan obat juga mendukung peningkatan jumlah

pengobatan sendiri di masyarakat. Kemudahan memperoleh obat secara bebas

dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi

korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari

perkembangan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat. Selain

itu, juga terjadi perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui

apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi

(26)

semacam ini juga mempunya kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya,

2011).

Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung

apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko obat modern seperti

minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat over

the counter (OTC) yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri. Survei yang

dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket dan minimarket

merupakan tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat

(Kartajaya, 2011).

Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek (Keputusan

Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002), salah satu kriteria wajib

pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai

persyaratan wajib, keberadaan apoteker juga menjadi salah satu keunggulan

apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen

untuk pengobatan sendiri. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi

pengobatan sendiri karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal

pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan

pengobatan sendiri yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya

seringkali sebuah apotek tidak memilki apoteker yang selalu siap siaga melayani

konsumen yang membutuhkan (Kartajaya, 2011).

Jika apotek sudah memiliki keunggulan dibandingkan jenis outlet obat lain,

maka apotek juga perlu memiliki keunggulan dibanding apotek lainnya. Dewasa

ini, bisnis apotek tidak hanya dituntut untuk mengedepankan sisi produk saja

(27)

bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi

yang istimewa dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat (Kartajaya,

2011).

Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran

dan tanggung jawab yang besar pada pengobatan sendiri. Peran dan tanggung

jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana

kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi

pada pasien. Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah

mengidentifikasi, memecahkan dan mencegah terjadinya masalah yang

berhubungan dengan obat (drug-related-problem), sehingga dapat tercapai terapi

yang optimal.

Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical

Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP

no.51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani

pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung

tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan

kefarmasian.

Tanggung jawab ini tidak hanya muncul pada pelayanan namun juga pada

pengobatan sendiri. Secara lebih spesifik, tanggung jawab apoteker terhadap

prilaku pengobatan sendiri masyarakat telah dirumuskan oleh FIP dan WSMI

dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa

tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah memberikan saran dan

(28)

muncul pada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan

memberitahu cara penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).

Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam pengobatan

sendiri adalah sebagai komunikator (communicator), penyedia obat yang

berkualitas (quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)

dan promoter kesehatan (health promoter) (WHO, 1998).

a. Komunikator (communicator)

Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan

informasi yang objektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat

menggunakan obat secara rasional. Informasi yang harus diberikan oleh apoteker

meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan,

dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping

yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, kontraindikasi obat,

makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat tersebut dan

penyimpanan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).

b. Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)

Seseorang farmasis harus menjamin bahwa obat yang tersedia berasal dari

sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu

farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik.

c. Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)

Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka

farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru untuk

meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan

(29)

staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Farmasis juga harus

menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf yang bukan farmasis.

d. Kolaborator (collaborator)

Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan

profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi,

pemerintah (Lokal/Nasional), klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya

hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam

pelayanan pengobatan sendiri.

e. Promotor Kesehatan (Health promotor)

Farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan

dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan

Referensi

Dokumen terkait

• Berkelanjutan (sustainable)  mencapai tujuan sosial, dan ekonomi yang sejalan dengan prinsip dasar

Penulisan Ilmiah ini menjelaskan tentang cara pembuatan WAP site Gunadarma dengan menggunakan Wireless Markup Language yang merupakan subset dari eXtensible Markup Language dan

Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta, opini yang menarik. Atau penting, atau keduanya yang dibutuhkan sejumlah orang.. Diklat Dasar Jabatan Fungsional Pranata

Polres Labuhan Batu melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana di wilayah hukum Polres Labuhan Batu dengan menempatkan personil Kepolisian

Dapat diukur dan diamati secara indrawi, Empiris social ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang dialami oleh anak di dalam ataupun

Volcano monitoring system that will be developed in the study completed the doctoral program at UGM is a double systems integration consisting of a seismic sensor and

Augmented Reality Book And Stick Wayang Kulit Panca Pandawa Berbasis Mobile merupakan inovasi baru dalam penerapan teknologi yang berisikan bentuk detail 3D

Future model experiencing transformation model in processing information which allow the process of collaboration between user (community), government application