• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Jazz Yogyakarta Dari Hibrid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Transformasi Jazz Yogyakarta Dari Hibrid"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dari Hibriditas menjadi Komoditas

O k i R a h a d i a n t o S u t o p o

Sosiologi Fisipol Universitas Gajah Mada Sekretaris dan Peneliti pada Youth Studies Centre

Email: oki.rahadianto@gmail.co.id

Abstract

This article tries to show the transformation of jazz music as a cultural product in Yogyakarta. This transformation is, according to Baumann, fluid, contradictory, and ambivalent. In the origin, this music became a symbol of resistance by the lower class, whereas in Indonesia jazz became the upper middle class consumption. However, in its development, some jazz musicians try to restore the original meaning by combining local elements and bring a hybrid genre of jazz, although this was not last long. The traditional elements can not survive to bring the spirit of resistance because this new genre of jazz eventually entered the music industry as a pop culture. Local elements in the end are commodified. The impact is then the reduction of the meaning of jazz and locality itself.

(3)

PE N DA H U LUA N

Jazz sebagai sebuah produk budaya mengalami transformasi yang kompleks dalam sejarah musik Indonesia. Ini artinya jazz tidak berkembang dalam sebuah ruang hampa, namun terkait erat dengan aspek ekonomi, politik, teknologi, sosial, maupun budaya. Transformasi makna simbolis jazz tidaklah kemudian terjadi secara evolusioner, namun justru makna jazz dalam sejarah musik

Indonesia—mengutip Bauman (2001)—cenderung cair (fluid),

kontradiktif, dan bahkan ambivalen. Sebagai sebuah musik yang didatangkan dari luar (Barat/Utara/metropole), jazz pada awalnya merupakan musik yang digunakan sebagai pembeda (distinction)— mengutip Bourdieu (1981)—oleh lapisan elite baik kolonial Belanda maupun elite pribumi. Hal ini terus direproduksi hingga pada masa Orde Baru dan pasca reformasi. Studi yang dilakukan oleh Irawati (1992) dan Sudrajat (2003) misalnya, menegaskan bahwa jazz lebih banyak dikonsumsi oleh lapisan menengah dan atas, berbeda dengan dangdut yang lebih banyak dinikmati oleh lapisan bawah di Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, transformasi makna jazz bersifat cair, misalnya pada era Orde Lama jazz pernah masuk dalam diskursus politik. Musik jazz diperdebatkan apakah termasuk budaya

Barat dan masuk dalam kategori ngak ngik ngok ataukah karena

lahir dari perlawanan kulit hitam di Amerika, justru relevan dengan agenda revolusi yang belum selesai sebagaimana didengungkan oleh Soekarno (Mulyadi 1999). Terlepas dari perdebatan tersebut, jazz dapat dimainkan di US Embassy Jakarta di tengah pelarangan film dan musik Barat pada waktu itu (ibid). Ketidakteraturan pemaknaan jazz juga terjadi dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1960-an, saat jazz oleh group Indonesian Allstars menjadi alat untuk memperkenalkan apa yang dinamakan sebagai jazz Indonesia.

Mereka bahkan melakukan tour di Eropa dan bermain di festival

jazz internasional Berlin. Bahkan mereka merilis album dengan judul

Jazz Meets Asia dengan repertoar antara lain: lagu Djanger Bali,

Ilir-Ilir, Gambang Suling, dan Burung Kakatua.

(4)

individu dengan masyarakat. Apabila kita lacak pada negara yang mengklaim sebagai asal musik jazz (Amerika), jazz justru bukan menjadi musiknya para kaum elite sebelum tahun 1920-an atau

apa yang disebut sebagai roaring twenties, namun lebih merupakan

musik perlawanan dari kaum Afro-Amerika (Rahadianto 2010). Yang menarik kemudian, jazz saat dibawa ke belahan dunia selatan/

southern mengutip Connell (2007), justru menjadi musik kaum elite,

sehingga spirit/makna dari negara asalnya tereduksi. Jazz di Indonesia pada berbagai rezim baik kolonial, Orde Lama ataupun Orde Baru terus direproduksi menjadi musiknya lapisan atas/elite atau Baulch

(2011) menyebutnya sebagai musiknya orang gedongan.

Transformasi yang berbeda terjadi pada masa setelah era reformasi saat peran negara semakin melemah, kontrol terhadap aspek-aspek kebudayaan pun jauh berkurang dibandingkan era Soeharto. Perayaan akan kelokalan pun muncul dalam berbagai genre musik. Dangdut menurut Weintraub (2011) memunculkan apa yang dinamakan

dangdut lokal (dangdut koplo) pantura. Musik tradisi (Barrendreght

and Zanten 2002) maupun musik trash/death metal di Bali (Baulch

2002) juga semakin bercorak lokal. Fenomena yang sama terjadi pada musik jazz; unsur lokal juga mulai muncul dalam aransemen musikal, misalnya dalam album Globalism dari Balawan gitaris Bali, kelompok musik Krakatau dari Bandung, album solo Dewa Budjana, serta dua warna kolaborasi Aminoto Kosin dan Djadug Ferianto. Tidak hanya dari segi musikal, justru yang lebih massif dari munculnya kelokalan ini adalah dari aspek pertunjukan, di antaranya muncul Bandung Jazz Festival, Malacca Jazz, Solo Jazz, serta Ngayogjazz Festival. Pertunjukan jazz pasca reformasi ini pun tidak hanya didominasi oleh Peter. F Gontha dengan Java Jazz Festival namun menjadi lebih beragam.

Berdasarkan narasi mengenai transformasi jazz pada level pusat di atas, artikel ini mencoba menunjukkan transformasi jazz yang terjadi pada level lokal terutama pada ranah jazz Yogyakarta. Yang terjadi adalah narasi lokal muncul dengan cerita-ceritanya sendiri, walaupun jika kita tarik kepada level global maupun nasional tentu

saja terdapat linkage meskipun hanya bersifat abstract linkage. Asumsi

(5)

Kedua, mengaitkan wacana globalisasi yang sudah ada sama saja melegitimasi narasi-narasi dari teoritikus negara utara/metropole dan hanya mengekalkan struktur antinomies yang sengaja dikonstruksikan

guna mempertahankan dominasi teoritikus metropole. Imperatif dari

Connell (2007) justru mendorong ilmuwan sosial dari negara-negara selatan untuk memunculkan narasi alternatif. Mengikuti imbauan dari Connell (2007), penulis mencoba memulai pada kasus ranah jazz Yogyakarta

Pada saat berbagai daerah mulai memunculkan aspek lokal dalam musik maupun pertunjukannya, hal sebaliknya terjadi pada jazz Yogyakarta. Jazz standar ala Amerika, jazz sebagai musik sekolahan, dan jazz sebagai musik gedongan justru masih mendominasi hingga pertengahan 2007. Momentum perubahan terjadi secara revolusioner, yang pada akhir 2007 muncullah Festival Ngayogjazz dengan menyertakan unsur-unsur lokal atas andil salah satu seniman tradisi, mengakar-rumputkan jazz kembali ke tradisi agraris sesuai konteks Yogyakarta. Namun, hanya dalam jangka waktu dua tahun setelahnya, kelokalan tersebut justru berubah menjadi sekadar komoditas tontonan. Bagaimana menjelaskan transformasi

singkat tersebut? Apakah teori-teori besar dari teoritikus metropole

cukup tajam untuk membantu menjelaskan? Ataukah perlu ikhtiar serta keberanian untuk memunculkan penjelasan/narasi alternatif? Dalam artikel ini penulis menggunakan pendekatan sejarah sosial, terutama dengan memunculkan narasi orang-orang biasa (musisi jazz Yogyakarta) sebagai sumber infomasi utama sekaligus sebagai titik masuk untuk didialogkan dengan teori-teori yang sudah ada. Sebagaimana dalam Purwanto dan Nordholt (2007), kesakralan narasi-narasi besar dalam penelitian sosial justru kontraproduktif dalam pencarian kebenaran karena teori tersebut berkecenderungan menenggelamkan “suara” para pelaku (orang-orang biasa).

T R A NSFOR M A SI J A Z Z DI I N D ON E SI A

Kajian mengenai jazz di Amerika pada awalnya bias terhadap

kepentingan orang kulit putih (Anderson 2004). Berbagai counter

dilakukan terhadap dominasi produksi pengetahuan yang bias kulit putih, misalnya pembahasan dari Vincent (1992) mengenai peranan

komunitas kulit hitam di Chicago bagi kesuksesan jazz era roaring

(6)

petinju kulit hitam yang ikut membangun club tempat dimainkannya musik jazz. Atas perannya bagi komunitas kulit hitam, Miles Davis

(pioner jazz fusion) meluncurkan album A Tribute to Jack Johnson

pada tahun 1971. Meskipun muncul berbagai narasi tandingan, Deveaux (1991) menjelaskan bahwa kebanyakan sejarah jazz yang ada hanya menceritakan versi resminya saja. Varian-varian jazz seperti bebop, hardbop, cool, dan swing mempunyai narasi sendiri mengenai proses kemunculannya di Amerika (Wheaton 1994).

Narasi jazz di Amerika berbeda dengan yang terjadi saat jazz dimunculkan di Indonesia. Sejak pertama kali dimainkan oleh

band Black and White yang dimotori Eduard Tombajong alias ‘Edo

Kento’ pada 1902 (Adriaan 2007), jazz muncul sebagai produk

budaya metropole khususnya Belanda dan Amerika yang masuk

dalam dunia kebudayaan di Indonesia. Titik awal masuknya jazz di Indonesia pada masa penjajahan adalah masyarakat dari lapisan atas/elite. Sebagaimana dijelaskan oleh Sudibyo (2001), Nugroho (2003), dan Sutopo (2010) jazz dibawa oleh Belanda, dimainkan di Istana (Gedung Societet), serta dimainkan oleh orang-orang yang dekat dengan Belanda. Sebagaimana dijelaskan oleh Sudibyo (2001) :

“Ada seorang musisi dari Belanda yang setelah lama di Amerika, dia juga pemain saksofon, datang ke Indonesia dengan kawan-kawannya dan membuat band. Pada waktu itu dianggap sebagai jazz band yang pertama di Indonesia. Dan saya perhatikan sejarahnya selama itu yang main adalah orang Indo-Belanda yang hampir 80% barangkali sedangkan yang pribumi sedikit sekali yang bermain musik jazz”

Pada masa penjajahan, Belanda menerapkan politik yang cenderung mempertajam sekat-sekat antar lapisan sosial sehingga sangat logis jika kemudian jazz sebagai produk budaya metropole hanya dinikmati oleh lapisan elite serta lapisan di bawahnya yang mendapatkan akses khusus pada bidang ekonomi, politik, maupun pergaulan sosial. Jazz

pada waktu itu diperdengarkan melalui grammaphone yang juga

(7)

anggota antar bangsa, yaitu Maxie Karindang dan Jan Luntungan. Saat itu juga mulai muncul vokalis-vokalis indo dan Ambonees yang hadir di Jakarta antara lain: Rosa Snijders, miss Wiltjenoya dan miss Juu Itje Carr. Selain itu, pada tahun 1930-an juga mulai mewabah

band jazz campuran Indonesia-Belanda seperti Sugar Brown Babies

serta Demusketers of Swing (Adriaan 2007).

Kebijakan kolonial yang membagi masyarakat dalam sekat-sekat golongan, pada perkembangannya berdampak pada ruang berkembangnya jazz sebagai produk budaya. Jazz lebih banyak berkembang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makasar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, band-band jazz pun banyak bermunculan dari kota besar, meskipun hal ini juga tidak terlepas dari arus migrasi besar-besaran musisi jazz dari daerah. Misalnya para musisi jazz dari Indonesia Timur, Sumatera dan berbagai daerah di Jawa Tengah muncul karena pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jakarta. Terkait dengan ini maka penikmat jazz juga akhirnya tereproduksi pada lapisan elite/atas.

Pasca kemerdekaan, jazz tidak banyak diketahui perkembangannya. Namun, satu hal yang selalu ditonjolkan dalam perkembangan jazz Indonesia adalah munculnya Indonesian Allstars yang sukses

berkeliling untuk tour di Eropa, merilis album dengan corak jazz

Indonesia dan juga tidak terlepas dari gonjang-ganjing politik masa Orde Lama. Fenomena ini memunculkan nama-nama seperti Jack Lesmana, Bubi Chen, dan Maryono yang pada perkembangannya diagungkan sebagai legenda jazz Indonesia.

Konstelasi politik pada waktu Orde Lama terutama mengenai kebudayaan nasional banyak memunculkan banyak ambigu, Soekarno

misalnya melarang berbagai produk Barat seperti The Beatles, rock

n roll, celana cut brei, film, dan majalah. Begitu juga terkait dengan

(8)

jazz pada masa Nazi di Jerman, Claire Wallace, dan Raimund Alt

dalam artikelnya Youth Culture under The Authoritarian Regimes:

The Case of the Swings against the Nazis (2001) menjelaskan bahwa para pemuda yang menolak menuruti doktrin nilai-nilai versi Nazi,

mendapatkan tempat aktualisasi dalam Hamburg Swings sebagai

budaya tandingan. Melalui Hamburg Swings ini para pemuda dapat

berdansa, mendengarkan musik, menggunakan intonasi tertentu dalam berpidato, serta mengonstruksi cara berjalan dan cara berpakaian sendiri. Namun menurut rezim Nazi, kegiatan ini terlalu condong ke nilai-nilai Amerika serta dianggap terlalu hedonistik.

Hasilnya adalah banyak anggota dari Hamburg Swings ini dihukum,

bahkan beberapa dari mereka dimasukkan ke kamp konsentrasi Nazi. Pada masa Orde Baru, jazz masih menjadi musik lapisan atas. Mulai munculnya televisi nasional seperti TVRI tidak serta-merta membuat jazz menjadi populer. Pada masa awal, jazz hanya mendapat satu ruang di TVRI dengan pengasuhnya yaitu Jack Lesmana (Mulyadi 1999). Dalam kehidupan sehari-hari, jazz juga hanya dimainkan di tempat yang eskslusif seperti hotel berbintang ataupun

resto. Namun, titik kejayaan mulai muncul saat booming genre jazz

fusion pada era 1980–90. Krakatau, Karimata, Bhaskara, Emerald mulai mengisi layar kaca TVRI dan kecenderungan ini semakin meningkat seiring mulai munculnya televisi swasta. Artis jazz mulai divisualisasikan melalui video klip yang kemudian ditayangkan secara teratur di stasiun televisi baik swasta maupun nasional. Kejayaan jazz ini juga ditunjang dengan festival jazz yang mulai digelar dari kampus ke kampus. Beberapa kampus besar seperti UI, UGM, dan ITB secara rutin memanggungkan jazz sebagai ruang untuk mereproduksi citra terdidik sekaligus meraup popularitas secara massal. Meskipun dianggap sebagai masa kejayaan tahap I dari jazz, namun gejala

menjamurnya jazz fusion tersebut dijelaskan oleh Nugroho (2003)

(9)

T R A NSFOR M A SI J A Z Z DI YO G YA K A RTA

Perubahan makna jazz bersifat cair dan terkadang tidak secara langsung terkait dengan perkembangan global maupun nasional, walaupun ada beberapa fragmen yang saling terkait misalnya pada masa awal formasi pembentukan jazz. Pada masa kolonial, jazz di Yogyakarta juga tidak terlepas dari bias elite. Menurut Mundiarso (wawancara 2010), jazz dimainkan disela-sela perang gerilya, di hotel berbintang serta gedung societet. Mundiarso menceritakan pada penulis mengenai gedung bunder, bangunan lama di Yogyakarta yang sering menjadi ruang dimainkannya musik jazz. Begitu juga Wartono seorang praktisi sekaligus pengamat jazz

(2009) menceritakan mengenai rekaman konser jazz di pasar gedhe,

walaupun masih dalam bentuk audio. Informan yang lain yaitu Doni dan BJ (2010) menceritakan mengenai jazz pada pasca kemerdekaan mulai mendapat tempat di radio, terutama Radio Republik Indonesia (RRI) bahkan terdapat band jazz yang menggelar pentas langsung yang disiarkan melalui radio. Selain itu, jazz juga masuk ke radio swasta pada era 80-an saat booming fusion melanda scene jazz nasional. Dalam perkembangannya, jazz kemudian lebih banyak dimainkan di kampus dan mengalami reproduksi sosial bagi kesinambungan lapisan elite. Di bawah ini penulis akan menjelaskan transformasi yang terjadi pada ranah jazz Yogyakarta serta keterkaitannya dengan proses komodifikasi yang semakin massif akhir-akhir ini.

D a r i Ja z z F u si on k e Ja z z S t a n d a r

Diceritakan oleh BJ, musisi sekaligus pelaku sejarah pada era 1980-an, jazz tidak banyak mendapatkan tempat di dalam ranah musik secara umum di Yogyakarta. Meskipun di tingkat nasional

terjadi booming jazz fusion, namun di Yogyakarta tidak serta merta

menjamur band-band fusion, kecuali beberapa misalnya Sweeteners

(10)

menarik mencermati bagaimana fenomena ini tidak berpengaruh secara signifikan dalam ranah jazz Yogyakarta. Menurut Nugroho (2003) jazz fusion yang easy listening merupakan instrumen yang seksi untuk dikomodifikasi menjadi profit. Di Yogyakarta menurut BJ (2010), jazz tidak dilirik sebagai komoditas yang layak untuk dijual. Pada masa itu, musisi jazz Yogyakarta berjuang untuk mendapatkan tempat dalam ranah musik yang lebih luas. Terlepas dari belum diliriknya jazz, di antara para musisi sudah terjadi kontestasi yang

panjang mengenai dikotomi jazz fusion dengan jazz standar. Pada

akhir 1990-an, genre yang lebih mendominasi adalah fusion, dengan

Sweteners band sebagai pionernya, sedangkan jazz standar hanya menjelma menjadi perlawanan-perlawanan kecil (Sutopo 2010).

Pengalaman yang diceritakan oleh BJ, menunjukkan mengenai belum terinstitusionalisasinya jazz di Yogyakarta. Formasi kapital yang mendukung jazz terutama dari resto hotel hanya menjadikan jazz sebagai musik selingan di antara musik pop yang masih mendominasi. Lebih lanjut BJ menjelaskan bagaimana jazz hanya

dimainkan di sela-sela break band top 40 dan tidak pernah

mendapatkan waktu khusus untuk pertunjukan mereka sendiri. Baru pada era 1990-an, jazz mulai mendapatkan tempat di ranah

musik Yogyakarta. Hal ini terutama sejak genre jazz fusion mulai

terinternalisasi secara lebih mendalam dalam ranah jazz. Fusion mulai

dimainkan secara massif dalam festival di kampus-kampus, hotel, dan restoran sebagai penanda eksisnya lapisan elite terutama dari kalangan terdidik dan pengusaha. Bukan rahasia lagi, musisi jazz harus mempunyai patron sebagai penyandang dana pertunjukan-pertunjukannya.

Namun demikian, masa keemasan jazz fusion ternyata tidak

berlangsung lama. Setelah vakumnya Sweteners band, perkembangan fusion jazz menjadi lesu, meskipun masih saja terdapat pecahan-pecahan band yang memainkan fusion. Yang terjadi selanjutnya adalah dominasi diambil alih oleh genre jazz standar dengan repertoar jazz

yang dimainkan berasal dari Real Book, sebuah kitab yang menurut

Dempsey (2008) merupakan hasil kompilasi mahasiswa di sekolah musik Berkeley pada tahun 1970-an. Munculnya jazz standar tidak terlepas dari peran para musisi jazz dari Tuty and Friends band yang kemudian mereproduksi wacana jazz standar melalui komunitas jazz yaitu Yogyakarta Jazz Club. Mekanisme reproduksi melalui apa yang

(11)

restoran elite di Yogyakarta serta festival jazz tahunan bernama Jazz Gayeng (Sutopo 2010). Aktor-aktor yang mereproduksi wacana ini mayoritas dari kalangan akademisi dengan argumen bahwa jazz yang ”benar” adalah jazz yang sesuai bahasa ibunya, atau dengan kata lain jazz dalam berbagai aspeknya harus sama dengan jazz Amerika. Meskipun dimainkan di Yogyakarta misalnya, jazz seharusnya tetap sama dengan tata cara di negara Amerika. Dalam bahasa yang lebih ekstrem, terjadi ”purifikasi” musik jazz dalam ranah jazz Yogyakarta (Sutopo 2012). Dominasi ini terus berlangsung hingga 2007 dan terjadilah pergantian dominasi ke jazz hibrid.

R e l a si d e n ga n Pe m o d a l s e r t a Me d i a Info r m a si pa d a E r a Ja z z S t a n d a r

Dalam ranah musik jazz Yogyakarta, keberadaan pemodal (pemilik café/resto) merupakan agen yang berpengaruh pada dinamika komunitas, terutama dalam menyediakan ruang serta

kapital ekonomi (upah). Bourdieu dalam The Field of Cultural

Production (1993) menjelaskan dalam konteks ranah seni di Prancis, seniman adalah agen yang kaya akan kapital budaya, namun kurang dalam kapital ekonomi. Dalam ranah jazz di Yogyakarta juga terjadi hal yang serupa, para musisi jazz yang berkuasa saat itu mengonversi kapital simbolik (terutama gelar serta prestasi bermusik) pada saat didirikannya komunitas jazz yang pertama yaitu Yogyakarta Jazz Club. Konversi dilakukan bersama Restoran Gadjah Wong yang menyediakan ruang secara reguler.

Selain menyediakan ruang untuk mendirikan komunitas pertama, pihak pemodal yang dalam hal ini adalah café /resto juga berperan

dalam keberlangsungan kegiatan jam session dari tahun ke tahun.

Beberapa di antaranya adalah Gadjah Wong, Shaker, Backyard, Big Belly hingga D’click. Konversi dilakukan dengan berbagai variasi. Dalam kasus Gadjah Wong misalnya, kapital simbolik komunitas

yang dominan ditukarkan dengan ruang jam session. Hal ini

menunjukkan bahwa komunitas jazz melakukan konversi kapital dengan para pemodal untuk menyediakan ruang bagi mereka

untuk eksis. Dalam kasus jam session menurut peneliti, relasi yang

(12)

dukungan, sedangkan café/resto membutuhkan penonton untuk mempromosikan barang dagangannya.

Selain itu, kehidupan para musisi juga tergantung pada banyaknya café-café atau resto yang menyediakan pekerjaan reguler musik jazz. Secara ekonomi mereka tidak dapat mengandalkan acara yang hanya setahun sekali di Yogyakarta seperti Festival Kesenian Yogyakarta,

Jazz Gayeng, ataupun Ngayogjazz. Para musisi harus survive dalam

kehidupan sehari-hari dengan mendapatkan pekerjaan sebanyak mungkin. Dalam aspek ekonomi, peneliti melihat relasi yang terjadi antara pemodal dengan musisi cenderung tidak setara; dalam arti pemodal mendominasi musisi. Konversi kapital budaya yang dimiliki tidak sepadan dengan kapital ekonomi yang didapatkan. Dalam kasus yang ekstrem sampai saat ini masih ada musisi jazz yang dibayar hanya sebesar tiga puluh ribu rupiah dengan alokasi waktu bermusik selama tiga jam.

Dalam acara tahunan Jazz Gayeng juga tidak terlepas dari intervensi para pemodal sebagai sponsor. Sebagai pihak yang dominan pada saat itu, Tuti n Friends band menggunakan kapital

simboliknya untuk mengajak kerjasama Lembaga Indonesia Prancis

(LIP) serta pihak media, yaitu koran Bernas Yogyakarta. Pada saat itu, LIP menyediakan auditoriumnya sebagai tempat bagi terselenggaranya acara ini, sedangkan Bernas sebagai media promosi bagi acara Jazz Gayeng I. Pada acara Jazz Gayeng II, Tuti n friends band telah membangun hubungan dengan media informasi yaitu Wartajazz. Mereka kemudian mampu memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, tidak hanya dengan LIP namun juga dengan Kartapustaka, Jaran Production, perusahaan rokok Sampoerna, serta Hotel Santika sebagai penyelenggara. Acara Jazz Gayeng berikutnya juga menyertakan pemodal dalam penyelenggaraannya.

(13)

Penulis mendapatkan informasi bahwa Wartajazz selalu meliput setiap kegiatan yang dilakukan Tuti n Friends sebagai pihak yang dominan saat itu, baik saat workshop, pentas di luar Yogyakarta, Jazz Gayeng, dan bahkan profil para anggota Tuti n Friends (wartajazz.com 2009). Keberadaan Wartajazz selain sebagai media promosi juga mempunyai peran dalam melakukan dokumentasi baik tulis maupun foto mengenai komunitas jazz Yogyakarta. Hal ini sangat bermanfaat jika melihat jarangnya dokumentasi mengenai komunitas jazz Yogyakarta. Pada era jazz standar, pemerintah tidak banyak berperan. Hubungan yang dijalin lebih banyak dengan media informasi dan pemodal terutama dalam penyediaan ruang, penyediaan kapital ekonomi (sponsor) serta sarana publikasi mengenai kegiatan komunitas jazz Yogyakarta.

D a r i Ja z z Hy b r i d k e Ja z z Ton t on a n

Dominasi jazz standar memunculkan perlawanan dari genre fusion yang kali ini membawa unsur lokal sebagai penanda mereka. Dalam terminologi Bourdieu (1992), heterodoxa muncul dengan

membawa apa yang dinamakan sebagai jazz hybrid. Semangat yang

dimunculkan adalah mengontekstualisasi jazz sesuai dengan situasi sosial budaya Yogyakarta, terutama desa dengan tradisi agraris sebagai akarnya. Jazz dalam uraian yang selalu diwacanakan oleh pengikut

jazz hybrid, harus dikembalikan ke akarnya. Dengan kata lain, jazz

harus merakyat. Wacana tandingan ini didukung oleh komunitas jazz yang sebelumnya berada dalam posisi subordinat.

Wacana tandingan dimunculkan melalui jam session tandingan;

pemilihan tempat juga tidak mengulang apa yang dilakukan oleh

komunitas dominan sebelumnya. Jam session dilakukan di pinggir

jalan (Jazz Sobo Ndalan) dan resto berbasis komunitas. Repertoar

tidak menggunakan Real Book dan bebas menginterpretasi dengan

konteks lokal. Momentum pergantian kekuasaan terjadi pada saat

Ngayogjazz I digelar di Bantul dan juga direproduksi dalam jam

(14)

Tidak hanya itu, segmen penikmat jazz pun diperlebar. Warga desa tempat Ngayogjazz diadakan juga turut berpartisipasi. Warga desa yang memakai sarung dan menghisap rokok kretek bersama-sama menyaksikan musik jazz dengan anak muda perkotaan

berambut mohawk, perempuan menjinjing louis vitton, juga turis

luar negeri yang berambut pirang. Dari segi musikal, jazz mulai dipadukan dengan alat musik tradisional seperti gamelan, seruling, lagu-lagu jawa kemudian dimainkan dan diaransemen secara hibrid misalnya terkait tangga nada penggabungan antara diatonik dengan pentatonik. Bahkan diluncurkan album Ngayogjazz sebagai penguat legitimasi unsur hibrid tersebut.

Setelah Ngayogjazz, proses reproduksi wacana dan massa jazz

dilanjutkan dengan jam session mingguan yang dinamakan Jazz

Mben Senen, bertempat di Bentara Budaya Kompas Yogjakarta. Pada awalnya, Jazz Mben Senen dilandasi oleh spirit ideologis terutama perlawanan akan dominasi jazz standar ala Amerika. Djadug Ferianto, misalnya, menyebarkan virus mengenai jazz dengan warna lokal. Secara praktis hal tersebut dimanifestasikan dalam kolaborasi antara seni tradisi dengan musik jazz. Pengejewantahannya menjadi bermacam-macam, dapat berupa perpaduan dalam hal nada diatonik-pentatonik, perpaduan instrumen musik tradisi dengan modern,

hingga dalam hal pertunjukan (Rahadianto 2010).

Namun demikian, spirit idealisme atas nama perlawanan lokal terhadap global dalam Jazz Mben Senen ternyata tidak berlangsung lama. Dalam perkembangannya, acara jazz ini kemudian menjadi “pop”. Spirit perlawanan itu memudar dan tergantikan oleh logika jazz sebagai tontonan atau spectacle mengutip Debord (1995). Dengan menggunakan Baudrillard (Ritzer 2004) misalnya, unsur kelokalan seperti angkringan, panggung, bahasa hanya menjadi citraan. Jazz Mben Senen hanya mereproduksi citraan-citraan setiap minggunya. Tidak hanya itu, realitas semu yang ada dalam tayangan televisi kemudian juga direproduksi ulang dalam Jazz Mben Senen. Ini misalnya dapat dilihat pada MC yang berperan seolah-olah sebagai

sosok Choky Sitohang dengan menirukan cara bicara, gesture, serta

cara bercanda ala Opera van Java, hingga tari-tarian pop layaknya

pada acara televisi Dahsyat, bercampur aduk dalam acara tersebut. Selain itu, dalam hal musik tren pop seperti You Know Me So Well

dari Boys Band Smash, Mau di Bawa Kemana dari Armada, Keong

(15)

Ayu Ting Ting juga dihadirkan dalam Jazz Mben Senen. Acara ini kemudian menjajakan apa saja ibarat “toko kelontong” asalkan dapat menghadirkan massa terutama dari kalangan remaja. “Sing penting rame, akeh sing nonton! (yang penting ramai, banyak yang nonton!)”

ujar salah satu penggerak jam session Jazz Mben Senen.

Ini kemudian membuat jazz Yogyakarta mengalami perluasan segmen, terutama menarik minat kalangan remaja. Hal ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Dalam segi pemasaran, tentu saja ini merupakan perkembangan yang positif karena jazz di Yogyakarta tidak pernah sepopuler ini sebelumnya. Ruang yang diciptakan Jazz Mben Senen memang kemudian penuh sesak dengan penonton, namun mereka tidak ingin melihat musik jazz tapi hanya ingin

mengonsumsi citraan seolah-olah nge-jazz supaya menjadi “Anak Gaul

Yogjakarta”. Bahkan muncul sentilan kalau “Nggak Ngejazz Nggak

Gaul”. Dari segi subtansi, tidak ada nilai-nilai yang ditawarkan

sebagaimana spirit perlawanan dari musik jazz tersebut, yang direproduksi hanya citraan-citraan, jazz hanya direproduksi sebagai tontonan!

Jazz Standar Jazz Hibrid Jazz Tontonan

Bagan 1. Transformasi Jazz Yogyakarta

R e l a si d e n ga n Pe m o d a l , Me d i a Ma ssa , d a n Pe m e r in t a h D a e r a h

(16)

Pada acara Ngayogjazz, peran sponsor sangat penting karena acara tersebut tidak memungut bayaran pada pengunjung yang datang. Peran pemodal terutama perusahaan rokok Djarum sangat besar bahkan sebagai sponsor utama. Hal ini telah berlangsung selama tiga kali penyelenggaraan Ngayogjazz. Koneksi antara salah satu perusahaan rokok dengan Djadug sudah terbangun sejak lama; kedua pihak telah sama-sama mengetahui ide masing-masing dan saling menguntungkan saat bekerjasama. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Djadug:

”Kita udah dekat bukan hanya Ngayogjazz, mbangunnetworking-nya lama. Mereka pernah melihat apa yang saya kerjakan sebelumnya, sudah paham kepentingan, ada nilai tambahnya” (wawancara 2010)

(17)

oleh media massa umumnya menonjolkan keunikan acara Ngayogjazz antara lain: dimainkan di desa, gratis, terbuka, serta menggabungkan seni tradisi.

Lalu bagaimana peran pemerintah? Pemerintah baru campur tangan sebagai sponsor saat acara tahunan Ngayogjazz mendapatkan banyak publikasi. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul, misalnya, bersedia menjadi sponsor dan memberikan tempat di pasar seni gabusan sebagai sentra industri kreatif. Pada acara ini, Pemkab Bantul berkepentingan untuk mengklaim Ngayogjazz sebagai salah satu produk kreatif di daerahnya, sekaligus mempromosikan industri kreatif yang ada di pasar seni gabusan. Setelah dilakukan penggalian informasi yang lebih dalam, tujuan utama dalam pemberian sponsor oleh Pemkab Bantul adalah sebagai alat politik untuk memperkuat legitimasi bupati sebelumnya dalam ranah politik Yogyakarta (Wawancara Djadug 2010). Klaim-klaim mengenai peran pemerintah dalam industri kreatif kemudian dimunculkan dalam wacana publik. Namun, saat melakukan observasi di pasar seni gabusan penulis mendapati bahwa program pengembangan industri kreatif dari pemda Bantul ini tidak sustainable. Hal ini dapat dilihat setelah acara Ngayogjazz III keberadaan pasar seni gabusan Bantul juga masih sepi pengunjung dan terkesan mati suri. Selain itu, belum pasti apakah tahun berikutnya pemerintah daerah Bantul juga akan menjadi sponsor (ibid). Dijelaskan lebih lanjut oleh Djadug bahwa tidak ada masalah jika misalnya pemerintah daerah Bantul melakukan klaim terhadap Ngayogjazz. Pemkab hanya ditempatkan sebagai pihak yang mempunyai kapital ekonomi (uang) saja. Menurut Djadug, yang penting adalah “peristiwa” Ngayogjazz tersebut terlaksana (ibid).

Selain dalam Ngayogjazz, Djadug juga mengonversi kapitalnya untuk kegiatan jam session bagi komunitas jazz Yogyakarta. Konversi

dilakukan pada saat jam session dilakukan di D’click café, yang

pemiliknya, Elvis Sadad, merupakan salah satu relasi dekat Djadug.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Djadug saat memindahkan jam

(18)

Sebagai ruang seni, Bentara Budaya kemudian menjadi ruang untuk melakukan dialog antar berbagai bentuk kesenian, sebagaimana

yang terjadi pada Jazz Mben Senen jam session dilakukan antara

musik jazz dengan dangdut, reggae, tradisi, maupun dengan seni

rupa. Berbagai simbol inilah yang kemudian banyak mendapatkan publikasi dari media massa terutama Harian Kompas. Relasi antara kapital simbolik dalam hal ini Djadug yang mewakili komunitas jazz dominan dengan media massa ataupun Bentara Budaya sama-sama menguntungkan. Di satu pihak komunitas jazz banyak mendapat publikasi, sedangkan pihak media mendapatkan berita yang dapat dijual karena Jazz Mben Senen menawarkan keunikan.

Infiltrasi kapital yang semakin massif dalam ranah jazz Yogjakarta pada prosesnya membuat wacana hibrid yang dimunculkan menjadi tereduksi. Inkonsistensi akan konsep awal itu juga muncul saat festival Ngayogjazz 2011. Kala itu, ruang petunjukan berpindah ke Kota Gedhe, daerah yang sama sekali tidak menunjukkan unsur grassroots. Unsur lokal hanya dijadikan sebagai komoditas untuk ditonton karena ternyata perpaduan yang lokal dengan yang global adalah nilai jual tersendiri untuk dieksploitasi untuk mendatangkan profit lebih. Komodifikasi ini terlihat pula dalam penyajian festival Ngayogjazz yang dari tahun ke tahun cenderung menerapkan strategi yang sama terutama penonjolan aspek lokal yang ternyata setelah ditilik lebih jauh hanya sebagai pemanis dalam meraup massa dari kalangan yang lebih luas. Yang lokal menjadi populer dalam kenyataan yang terjadi dalam ranah jazz Yogyakarta sekarang ini.

(19)

PE N U T U P

Tulisan ini menjelaskan mengenai transformasi yang terjadi dalam ranah jazz Yogyakarta dengan menggunakan cerita baik dari musisi, pengamat, praktisi, maupun penikmat jazz. Cerita-cerita tersebut kemudian dirangkai menjadi narasi mengenai transformasi jazz Yogyakarta. Berangkat dari usulan yang dimunculkan oleh Connell (2007), tulisan ini berupaya memunculkan narasi yang tidak terjebak

pada kerangkeng konsep teoritis dari tradisi ilmu sosial metropole.

Transformasi ini bersifat cair dan bahkan fragmented, secara tidak

langsung terdapat kesamaan dengan narasi dari pusat (nasional),

namun selanjutnya transformasi bersifat fragmented. Persamaan

misalnya pada aspek elitisme dari jazz; bagaimana jazz direproduksi sebagai budaya elite. Namun, narasi mengenai jazz hibrid misalnya, berbeda dengan fenomena umum yang terjadi dalam tingkat nasional yang telah terjadi komodifikasi besar-besaran terhadap jazz. Dalam perkembangannya, jazz Yogyakarta juga tereduksi menjadi jazz tontonan, dan menjadi komoditas yang strategis untuk meraup profit. Transformasi dalam ranah jazz Yogyakarta menunjukkan bagaimana kapital mampu merasuk hingga aspek yang paling esensial yaitu pemaknaan akan sebuah produk budaya. Lokalitas yang dianggap akan mendatangkan makna justru menjadi komoditas yang semakin dijauhkan dari makna subtansialnya. Lokalitas kemudian direproduksi terus-menerus dan justru semakin mendangkalkan makna lokal itu sendiri. Hal ini juga berimplikasi pada tereduksinya semangat jazz sebagaimana tujuan awalnya yaitu sebagai musik pembebasan dari ketertindasan. Yang terjadi sekarang jazz justru menjadi salah satu instrumen untuk menindas akal budi serta esensi manusia yang selalu membutuhkan makna. Jazz dan lokalitas justru takluk di tangan modal yang tidak lain tujuannya hanya pada profit semata.

DA F TA R PUS TA K A

Adriaan, Josias T. 2007. Penggabungan Idiom-idiom Gamelan ke

(20)

Seni Rupa. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Berger, Peter L and Thomas Luckman. 1966. The Social Construction of Reality. England: Penguin Books.

Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London and New

York: Routledge.

Baulch, Emma. 2003. “Gesturing Elswhere: The Identity Politcs of

Balinese Death Metal/Thrash Metal Scene.” Popular Music Vol.

22 No 2. USA.

Bauman, Zygmunt. 2001. The Individualized Society. UK: Polity

Press.

Bourdieu, Pierre and Louic Wacquant. 1992. An Invitation to

Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction. London: Routledge and Keegan

Paul.

Connell, Raewyn. 2007. “The Northern Theory of Globalization.” Sociological Theory, Vol. 25, No 4. American Sociological Association.

Dempsey, Nicholas. 2008. The Coordination of Action: Non Verbal

Cooperation in Jazz Jam Sessions. Disertasi. Chicago: Department of Sociology, University of Chicago.

Irawati, Indera Ratna. 1992. “Musik Jazz dan Dangdut dalam Analisa

Stratifikasi.” Jurnal Sosiologi Masyarakat Universitas Indonesia, No.

1 tahun 1992.

Sudrajat, Iwan Yanwar. 2003. Menguak Segmen Penggemar Musik

Jazz. Tesis. Jakarta: Jurusan Manajemen Universitas Indonesia. Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari ed.

2008. Perspektif penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: KITLV Press.

Nugroho, Heru. 2003. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Mulyadi, R. Muhammad. 1999. Industri Musik Nasional (Pop, Rock

dan Jazz). Tesis. Jakarta: Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia.

R itzer, George. 2004. The Postmodern Social Theory. USA:

(21)

Sutopo, Oki Rahadianto. 2010. “Dinamika Kekuasaan dalam

Komunitas Jazz Yogyakarta 2002-2010.” Jurnal Sosial Politik

(JSP) Vol. 14 No 1, Juli. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Weintraub, Andrew. 2011. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya

Indonesia. Jakarta: KPG Gramedia.

Wheaton, Jack. 1994. All that Jazz. University of San Diego. New

Referensi

Dokumen terkait

Struktur memandang suatu tari dari sisi bentuk atau teks. Berbicara tentang struktur selalu berhubungan dengan tata hubungan yang ada dalam sajian pertunjukan, diawali dari

a. Dalam hal tanah dimiliki oleh pemerintah, namun dikuasai dan/atau digunakan oleh pihak lain, maka tanah tersebut tetap harus dicatat dan disajikan sebagai aset

menggunakan definisi integral tertentu sebagai limit dari penjumlahan Riemann (lihat bagian atas), kita dapat menggunakan teorema dasar kalkulus dalam menghitung nilai

(d) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama

Makalah ini dilatarbelakangi dengan adanya diskusi di lapangan terkait mutu pendidikan, terkhu- susnya pendidikan agama Kristen. Hal pertama yang menjadi isu adalah kurangnya

Untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih representatif, sebaiknya digunakan range data yang lebih panjang, sehingga diketahui pengaruh MJO terhadap curah hujan

Untuk menjadi anggota MABOSA dibatasi hanya kelas X dan XI dan jika ada anggota MABOSA yang naik kelas ke kelas XII harus mengundurkan diri dan diganti dengan anggota baru dari

 biasa dikatakan dikatakan adanya adanya peningkatan peningkatan volume darah pada jaringan atau bagian volume darah pada jaringan atau bagian tubuh yang mengalami