1
A. Konteks Penelitian
Peserta didik merupakan sosok yang memiliki potensi yang kompleks.
Kaitannya dengan pendidikan agama Islam, salah satu potensi peserta didik
ialah fitrah. Fitrahnya dalam beragama dan bertuhan. Fitrah tersebut Allah
tanamkan pada diri manusia sejak masih dalam kandungan. Fitrah di atas, perlu
dikembangkan melalui pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam (PAI).
Namun berbagai permasalahan masih saja menjadi kendala dalam rangka
mencapai tujuan tersebut. Ketercapaian tujuan Pendidikan agama Islam
khususnya di sekolah masih jauh panggang dari api.
Pendidikan Agama Islam di sekolah atau di madrasah, dalam
pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan. Proses pembelajaran
Pendidikan Agama Islam terkadang hanya dilakukan sebatas sebagai proses
penyampaian “pengetahuan tentang Agama Islam”. Mayoritas metode pembelajaran agama Islam yang selama ini lebih ditekankan pada hafalan,
akibatnya siswa kurang memahami kegunaan dan manfaat dari apa yang telah
dipelajari dalam materi Pendidikan Agama Islam yang menyebabkan tidak
adanya motivasi peserta didik untuk belajar materi Pendidikan Agama Islam.
Disamping itu penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah
sekolah hanya 2 atau 3 jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka
peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 atau 3 jam pelajaran. Jika sebatas
hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek
kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan
pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan
keterampilan, guru akan mengalami kesulitan.
Kemampuan guru dalam menerjemahkan dan kemudian menyusun
indikator ketercapaian pembelajaran pada silabus sejauh ini hanya
mengedepnakan aspek kognitif dan psikomotorik saja. Sedangkan aspek afektif
nyaris tidak tersentuh.Secara gamblang, dapat kita lihat dari ketercapaian yang
diperoleh peserta didik misalnya pada materi shalat, masih sebatas pengetahuan
tantang tata cara shalat yang benar serta bagaimana mempraktekkannya. Esensi
serta hikmah shalat masih belum menancap kuat pada sanubari peserta didik,
dan belum terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sebagaimana tersebut diatas, diantara kritik yang patut dicermati adalah
sebagai berikut, 1). Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih terkonsentrasi pada
persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta
amalan-amalan ibadah praktis, dan lebih berorientasi pada belajar tentang
agama, kurang koncern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang kognitif menjadi „makna dan ‚“nilai“ yang perlu diinternalisasikan
dalam diri siswa, 2). Metodologi PAI tidak kunjung berubah, ia berjalan secara
konvensional-tradisional dan monoton,3). Kegiatan PAI kebanyakan bersifat
periferal, 4). Pendekatan PAI cenderung normatif, tanpa ilustrasi konteks sosial
budaya, 5). Guru PAI terlalu terpaku pada GBPP mata pelajaran PAI, 6). Guru
PAI lebih bernuansa guru spiritual/moral, dan kurang diimbangi dengan nuansa
intelektual dan profesional, dan suasana hubungan antara GPAI dan siswa lebih
berperspektif doktriner, kurang tercipta suasana hubungan kritis-dinamis yang
dapat berimplikasi dan berkonsekuensi pada peningkatan daya kreativitas, etos
ilmu dan etos kerja/amal.Berbagai kritik tersebut bukanlah bertendensi untuk
mendeskreditkan PAI di sekolah umum, tetapi lebih berperspektif ke depan
untuk peningktan dan pengembangannya karena bagaimanapun PAI dirasakan
sangat urgen dan mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan keimanan
dan ketaqwaan para siswa.1
Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut perlu diterapkan suatu
cara alternatif mempelajari Pendidikan Agama Islam yang kondusif dengan
suasana yang cenderung rekreatif sehingga memotivasi siswa untuk
mengembangkan potensi kreativitasnya. Salah satu alternatif yang bisa
digunakan adalah dengan penerapan pembelajaran kontekstual. Hal ini dapat kita lihat penerapannya di dua sekolah ditingkat SLTA yakni SMAN 1
Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung dimana di dua
sekolah ini ditengah krisis kepercayaan terhadap proses pembelajaran yang
konvensional namun mampu menerapkan pembelajaran yang penuh makna,
melatih kemandirian siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti dan
menyenangkan. Berbagai fasilitas pembelajaran disediakan oleh pihak sekolah
1
dalam rangka menunjang keberhasilan proses belajar mengajar bagi peserta
didik, disamping itu para guru senantiasa menumbuhkan kreatifitasnya dalam
memberikan pengajaran. Pembelajaran ini biasa disebut dengan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran kontekstual menurut Komalasari adalah pendekatan
pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan
nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat
maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut
bagi kehidupannya.2 Dari sini dapat kita pahami bahwa proses pembelajaran
kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan,
artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung
dengan kondisi terdekat peserta didik. Orientasi proses belajar ini, tidak hanya
bertujuan siswa menerima pelajaran, akan tetapi lebih menitikberatkan pada
proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Dengan mengadakan
pendekatan lansung dengan ligkungan sekitar dan fenomena atau peristiwa
alam, dengan cara mengkontruksi pengetahuan sebelumnya dengan
pengetahuan yang baru.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berdasarkan pendekatan
kontekstual mengasumsikan bahwa laboratorium Pendidikan Agama Islam
adalah kehidupan itu sendiri atau peristiwa hidup dan kehidupan yang berada
dalam alam semesta ini. Termasuk dalam arena keluarga, sosioal, politik,
2
ekonami, budaya, IPTEK dan lingkungan sekitar.3 Dengan demikian pada
dasarnya Pendidikan Agama Islam merupakan upaya normatif untuk
membantu seseorang atau peserta didik dalam mengembangkan pandangan
hidup islami (bagaimana akan menalani hidup dan memanfaatkan hidup dan
kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai islam, sikap hidup islami yang
memanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Berangkat dari adanya realita-realita yang ada diatas dan masih banyak
lagi adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, maka peneliti
sangat tertarik untuk mengangkat permasalahan tentang bagimana
pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual dalam membentuk
kepribadian muslim peserta didik. Disini penulis tertarik pada Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), yakni SMAN 1 Kedungwaru kabupaten
Tulungagung dan SMAN 1 Boyolangu kabupaten Tulungagung. Dalam usaha
keras untuk mencapai kesuksesan dalam bidang akademik, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi siswa siswi di kedua sekolah ini aktif dalam
menerapakan kegiatan keagamaan baik kegiatan ibadah ataupun aksi social di
masyarakat. Seperti halnya di SMAN 1 Kedungwaru, dalam pembelajaran PAI
peserta didik unggul dalam nilai akademik namun mereka juga unggul dalam
mengaitkan materi PAI dengan kehidupan sehari-hari ini terlihat dalam
kegiatan keagamaan di sekolah sebagaimana Istiqomah mengungkapkan :
Di sekolah ini selalu menekankan sholat berjama’ah, membaca
AlQur’an, disamping itu juga ada kegiatan santunan anak yatim piatu,
3
bhakti sosial dan pada jam istirahat masjid tidak pernah sepi dari anak
yang melakukan sholat sunat dhuha atas kesadaran mereka sendiri.4
Begitu juga di SMAN 1 Boyolangu merupakan sekolah yang mempunyai
banyak media pembelajaran yang mendukung dalam penyampaian materi PAI.
Menurut Wildan Hansen salah seorang guru PAI di SMAN 1 Boyolangu
mengatakan ;
Di sekolah ini juga mengembangkan bakat dan minat peserta didik dalam
bidang kesenian Islam seperti Qori’ah dan seni Hadrah dalam rangka syi’ar agama Islam. Di samping itu juga ada kegiatan social terutama di
HUT Sekolah yaitu setiap memperingati Hari Ulang Tahun Sekolah
peserta didik mengadakan kegiatan sepeda sehat dan pemberian santunan
kepada siapa saja yang tidak mampu yang ditemui ketika melakukan
aktivitas bersepeda tersebut”.5
Kegiatan-kegitan semacam ini merupakan isi dari materi PAI yang
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga mereka menjadi peserta didik
yang yang memiliki kepribadian muslim. Peserta didik di kedua sekolah ini
menjadi peserta didik yang unggul tidak hanya dalam bidang penguasaan
materi namun juga unggul dalam menerapkan dan mengaitkan materi yang
dipelajari dengan kehidupan sehari-hari. Dengan pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual ini Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Kedungwaru
kabupaten Tulungagung dan SMAN 1 Boyolangu kabupaten Tulungagung ini
diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang tangguh, kompetitif,
4
W. IQ.GPAI, SMAN 1 Ked., 20-2-2015 5
berakhlak mulia, toleran, gotong royong, berjiwa patiotik, dinamis, melek iptek
yang dijiwai iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
Pancasila.Maka dari itu penulis sangat tertarik untuk menyusun sebuah karya
ilmiah yakni tesis dengan judul “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Pendekatan Kontekstual dalam Membentuk Kepribadian Muslim
Peserta Didik”
B.Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian
1. Berdasarkan dari konteks penelitian diatas, maka focus dalam penelitian ini
adalah penerapan pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual dalam
membentuk kepribadian muslim peserta didik SMAN 1 Kedungwaru
kabupaten Tulungagung dan SMAN 1 Boyolangu kabupaten Tulungagung.
2. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran PAI dengan pendekatan
kontekstual dalam membentuk kepribadian muslim peserta didik di
SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten
Tulungagung ?
b. Bagaimana implikasi pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual
dalam membentuk kepribadian muslim peserta didik di SMAN 1
Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung?
c. Apa alasan penerapan pembelajaran PAI dengan pendekatan
kontekstual di SMAN 1 Kedungwaru Kabupaten Tulungagung dan
C.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran PAI dengan pendekatan
kontekstual di SMAN 1 Kedungwaru Kabupaten Tulungagung dan SMAN 1
Boyolangu Kabupaten Tulungagung.
2. Untuk mengetahui implikasi pembelajaran PAI dengan pendekatan
kontekstual SMAN 1 Kedungwaru Kabupaten Tulungagung dan SMAN 1
Boyolangu Kabupaten Tulungagung.
3. Untuk mengetahui alasan penerapan pembelajaran PAI dengan pendekatan
kontekstual dalam membentuk kepribadian muslim peserta didik di SMAN
1 Kedungwaru Kabupaten Tulungagung dan SMAN 1 Boyolangu
Kabupaten Tulungagung.
D.Kagunaan Penelitian
Adapun dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi
dan manfaat, antara lain:
1. Secara Teoritis
Dengan adanya penelitian, diharapkan dapat memperkaya keilmuan
khususnya yang berkaitan dengan penerapan pembelajaran PAI dengan
2. Secara Praktis
Secara praktis, peneliti berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat
bagi:
a. Kepala Sekolah dan Guru
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga yang
diteliti diantaranya motivasi bagi kepala sekolah dan guru-guru PAI di
SMAN 1 Kedungwaru Kabupaten Tulungagung dan SMAN 1
Boyolangu Kabupaten Tulungagung yang menjadi objek penelitian
untuk lebih meningkatkan kualitas dalam melaksanakan tugasnya
kepada peserta didik.
b. Bagi Peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi
peneliti berikutnya yang ingin mengkaji lebih dalam tentang topik ini
serta mengembangkannya kedalam fokus lain untuk memperkaya
temuan penelitian yang lain.
c. Bagi Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Tulungagung
Dapat dijadikan pijakan dalam desain penelitian yang lebih mendalam
dan komprehensif khususnya berkenaan dengan penelitian penerapan
pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual.
E.Penegasan Istilah
Para pembaca diharapkan dapat secara jelas memperoleh kesamaan
Pendidikan Agama Islam dengan Pendekatan Kontekstual dalam Membentuk
Kepribadian Muslim Peserta Didik” (Studi Multisitus di SMAN 1
Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu Kabupaten Tulungagung)”, sehingga
diantara pembaca tidak ada yang memberikan makna yang berberda pada judul
ini. Untuk itu peneliti perlu memaparkan penegasa istilah baik secara
konseptual maupun secara operasional sebagai berikut:
1. Secara Konseptual
a. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Upaya membuat peserta didik mampu belajar, terdorong belajar, mau
belajar dan tertarik untuk terus menerus mempelajari apa yang
teraktualisasikan dalam kurikulum agama Islam sebagai kebutuhan
peserta didik secara menyeluruh yang mengakibatkan beberapa
perubahan yang relatif tetap dalam tingkah laku seseorang baik dalam
kognitif, afektif dan psikomotorik.
b. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual berarti suatu proses pembelajaran holistik yang
bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan
ajar secara bermakna yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata,
baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi
maupun kultural.6
6
c. Kepribadian Muslim
Kepribadian muslim adalah kepribadian yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau
berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti rasul, yaitu menjadi abdi masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad Saw. (mengikuti sunnah Nabi), mampu
berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama
atau menegakkan Islam dan kejayaan ummat ditengah-tengah masyarakat
(‘Izz al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.7
d. Penggunaan Contextual Teaching Learning (CTL) ini diharapkan agar materi pelajaran Pendidikan Agama Islam dapat mudah dipahami dan
dapat meningkatkan motivasi serta prestasi belajar peserta didik terhadap
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari sehingga kepribadian muslim dapat
terbentuk.
2. Secara Operasional
Pembelajaran PAI harus mampu menanamkan nilai kepada peserta
didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad,
serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia. Karena itu perlu
diterapkannya pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual
7
merupakan konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan
setiap materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari, sehingga dapat
merasakan makna dari setiap materi pelajaran yang diterimanya dengan
menggunakan 8 komponen pendekatan kontekstual diantaranya (1)
membuat keterkaitan yang bermakna, (2) pembelajaran mandiri (3)
melakukan pekerjaan yang berarti, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan
kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7)
mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik
sehingga membentuk kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan menguasai ilmu
pengetahuan.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat melakukan pembahasan yang sistematis, maka peneliti
menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bagian awal berisi sampul, halaman judul, halaman persetujuan, halaman
pengesahan, pernyataan keaslian, motto, persembahan, prakata, daftar tabel,
daftar gambar, daftar lampiran, pedoman transliterasi, abstrak, dan daftar isi.
Penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab pertama berisi pendahuluan.
Pada bab pendahuluan, pertama-tama dipaparkan konteks penelitian yang
mengungkapkan berbagai permasalahan yang diteliti di lapangan sehingga
diketahui hal-hal yang melandasi munculnya fokus penelitian yang akan
Dalam bab ini, tujuan merupakan arah yang akan dituju dalam penelitian
kemudian dilanjutkan kegunaan penelitian yang menjelaskan kontribusi apa
yang akan diberikan setelah selesai penelitian baik secara teoritis maupun
praktis, penegasan istilah dan sistematika pembahasan tesis ini.
Bab kedua berisi tentang kajian teori yang berkenaan pembahasan
teori-teori yang digunakan untuk mengkaji “Pembelajaran PAI dengan Pendekatan
Kontekstual dalam Membentuk Kepribadian Muslim Peserta Didik”.
Bab ketiga berisi metode yang akan digunakan dalam penelitian dimana
pembahasannya meliputi rancangan penelitian berisi jenis dan pendekatan
penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan
tahap-tahap penelitian.
Bab keempat berisi tentang hasil penelitian yang akan membahas
paparan data dan menuliskan tentang temuan-temuan dan sekaligus analisis
data sehingga ditemukan hasil
Bab kelima berisi tentang pembahasan hasil temuan akan dilanjutkan
dalam bab ini secara mendalam sehingga hasil temuan akan benar-benar
mencapai hasil yang maksimal.
Bab keenam adalah penutup yang berisi kesimpulan yang
menampakkan konsistensi terkait dengan fokus penelitian, tujuan penelitian,
penyajian dan analisis data, implikasi baik secara teoritis maupun secara
praktis, saran terkait dengan pokok masalah yang diteliti dan harus memiliki
Bagian akhir memuat daftar rujukan yang merupakan daftar buku yang
menjadi referensi oleh peneliti. Kemudian, diberikan juga lampiran-lampiran
yang memuat dokumen-dokumen terkait penelitian. Pada bagian paling akhir
15
A.Pendekatan Contekstual Teaching and Learning (CTL)
1. Pengertian Pendekatan Kontekstual atau CTL
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL) menurut Masnur Muslich adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata
siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari8.
Lebih lanjut Komalasari menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang
dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan
tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.9
Sedangkan Elaine B. Johnson mengungkapkan sebagai berikut:
The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their personal, social and cultural circumstance.10
8
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengurus Sekolah. (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), 41.
9
Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual; Konsep dan Aplikasi (Bandung : Refika Aditama, 2010), 7.
10
Artinya adalah System Contekstual Teaching And Learning
merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa
melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari yaitu
dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya dan kultur
kesehariannya. Kutipan diatas menegaskan hakikat CTL yang dapat
diringkas dalam tiga kata, yaitu makna, bermakna dan dibermaknakan. Dengan merujuk pada kerangka teaching, learning, instruction, dan curriculum sebagaimana didefinisikan sebelumnya, dalam CTL guru berperan sebagai fasilitator tanpa henti (reinforcing), yakni membantu siswa menemukan makna (pengetahuan). Peserta didik memiliki response potentiality yang bersifat kodrati. Keinginan untuk menemukan makna adalah sangat mendasar bagi manusia. Tugas utama pendidik adalah
memberdayakan potensi kodrati ini sehingga siswa terlatih menangkap
makna dari materi yang diajarkan.11
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu
pendidik mengaitkan setiap materi yang dipelajari oleh peserta didik
dengan kehidupan sehari-hari atau bidang-bidang tertentu, sehingga
peserta didik dapat merasakan makna dari setiap materi pelajaran yang
diterimanya dan mengimplementasikannya dalam berbagai aspek
kehidupan. Peserta didik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dari
11
konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi
sendiri, sehingga belajar akan bermakna.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu
siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan
dengan trategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru
bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered
daripada teacher centered.
Pendekatan Kontekstual menurut pengertian diatas merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dalam
konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam
status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan
menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya
nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri
yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan
siswa akan berusaha untuk meggapainya.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya bersumber pada
pendekatan kontruktivisme, yang bermakna proses mengkontruksi
pengetahuan baru secara bermakna melalui pengalaman nyata, melalui
secara kontekstual.12Sedangkan pendekatan kontekstual sendiri berarti
suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan
peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna yang dikaitkan
dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan
pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural.13 Sehingga peserta didik
dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta bentuk
pemahaman yang dapat diaplikasikan kemudian ditransfer dari konteks
permasalahan yang satu dengan permasalahan yang lainya.
2. Prinsip Ilmiah dalam CTL
a. Prinsip Kesaling bergantungan
Prinsip kesaling bergantungan mengajak para pendidik untuk
mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik yang lainnya, dengan
siswa-siswa mereka, dengan masyarakat dan dengan bumi. Prinsip itu
meminta mereka membangun hubungan dalam semua yang mereka
lakukan.14 Prinsip ini menunjukkan bahwa sekolah adalah sebuah
system kehidupan, dan bagian-bagian dari sistem itu meliputi peserta
didik, para guru, tukang kebun, tukang sapu, pegawai tata usaha, dan
masyarakat yang berada di dalam sebuah jaringan hubungan yang
menciptakan lingkungan belajar. Di dalam sebuah lingkungan belajar,
dimana orang-orang menyadari keterhubungan mereka, maka system
CTL dapat berkembang.
12
Cucu Sahana Hanafiah, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: Refika Aditama, 2009, 67.
13 Ibid
. , 73. 14
b. Prinsip Differensiasi
Prinsip diferensiasi akan terus menerus menciptakan perbedaan dan
keragaman, menghasilkan keragaman yang tak terbatas, keunikan yang
tak terbatas, dan penggabungan-penggabungan yang sangat banyak
antara entitas-entitas yang berbeda.Secara alami CTL juga memajukan
kreativitas, keragaman, keunikan dan kerjasama. 15 Prinsip ini
menekankan bahwa setiap manusia dilahirkan di bumi ini dalam wujud
yang berbeda begitupun peserta didik dengan berbagai karakteristiknya
dan wataknya mereka memiliki keunikan masing-masing. Dari
keunikan ini akan menumbuhkan keragaman yang perlu dihubungkan
untuk saling bekerjasama.
c. Prinsip pengaturan Diri
Prinsip pengaturan diri meminta para pendidik untuk mendorong
setiap siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Untuk
menyesuaikan dengan prinsip ini sasaran utama system CTL adalah
menolong para siswa mencapai keunggulan akademik, memperoleh
keterampilan karier dan mengembangkan karakter dengan cara
menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta pengetahuan
pribadinya.16 Dari prinsip ini seorang pendidik harus berupaya terus
menggali potensi peserta didik secara menyeluruh baik dalam hal
akademik, ketampilan (skill) dan pembetukan karakter agar menjadi pribadi yang unggul. Ketiga kemampuan ini dapat dikembangkan
15Ibid
, 79. 16
dengan senantiasa menghubungkan setiap materi pembelajaran dengan
kehidupan pribadi peserta didik di lingkungan rumah dan
masyarakatnya.
3. Karakteristik CTL
Menurut Wina Sanjaya terdapat lima karakteristik penting dalam
proses pembelajaran kontekstual,17 yaitu :
a) Dalam Contekstual Teaching And Learning pembelajaran adalah proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, yang artinya apa yang sudah
dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan
demikian pengetahuan yang diperoleh siswa,adalah pengetahuan yang
utuh yang mempunyai keterkaitan satu sama lain.
b) Pembelajaran kontekstual adalah belajar dengan memperoleh dan
menambah pengetahuan baru, yang diperoleh dengan cara deduktif,
yang artinya pembelajaran dimulai dengan cara mempelajari secara
keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
c) Pemahaman pengetahuan yang artinya pengetahuan yang diperoleh
bukan untuk dihafal akan tetapi untuk difahami dan diyakini, misalnya
dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan
yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru
pengetahuan itu dikembangkan.
17
d) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut yang artinya
pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat di
aplikasikan dalam kehidupan siswa.
e) Melakuakan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal
ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan
penyempurnaan strategi.
Dari penjabaran diatas dapat dipahami bahwa karakteristik
pembelajaran kontekstual adalah membangun pengetahuan yang
sebenarnya sudah dimiliki oleh peserta didik sehingga pengetahuan itu
menjadi berhubungan satu sama lainnya dan itu dapat dilakukan dengan
cara saling memberikan informasi baru antara peserta didik lainnya
kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata sehingga
membentuk sebuah pembelajaran yang bermakna.
4. Komponen CTL
Menurut Johnson CTL terdiri dari delapan komponen, yaitu (1) membuat keterkaitan yang bermakna, (2) pembelajaran mandiri (3)
melakukan pekerjaan yang berarti, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan
kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7)
mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik.18
Sedang menurut Wina Sanjaya sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran CTL memiliki 7 asas yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekata CTL. Asas ini sering juga
18
disebut dengan Komponen pembelajaran 19 yang meliputi: (1)
Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan
membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada
pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara
tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan
dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau
mengingat pengetahuan.(2) Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan
tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan
guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, sedangkan
pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan
guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. (3) Inkuiri,
merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang
bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis,
kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi;
observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data,
kemudian disimpulkan. (4) Komunitas belajar, adalah kelompok belajar
atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi
pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan
kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas,
19
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkata Satuan Pendidikan
bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, bekerja
dengan masyarakat. (5) Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan
mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau
melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi
model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya
model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan
elektronik. (6) Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu
kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi
hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat
dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah;
pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan
dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran
pada hari itu, diskusi dan hasil karya. (7) Penilaian otentik, prosedur
penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan
sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada;
pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari
sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan
belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan
berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
5. Pendekatan dan Strategi Kontekstual dalam Pembelajaran PAI
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, penguasaan guru
akan materi dan pemahaman mereka dalam memilih metode yang
pencapaian tujuan pembelajaran. Salah satu metode yang saat ini
dianggap tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah
melalui pendekatan kontekstual. Salah satu unsur terpenting dalam
penerapan pendekatan kontekstual adalah pemahaman guru untuk
menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan
tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru guru
PAI mengenai strategi ini.20 Karena belum menggunakan pendekatan
dan strategi yang yang mudah difahami dalam pembelajaran PAI, maka
minat dan motivasi peserta didik terhadap PAI dapat menurun.Karena itu
diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan oleh para guru
Pendidikan Agama Islam di dalam kelas secara sederhana.
Hasil penelitian John Dewey dalam Badruzaman yang menjadi
dasar pembelajaran kontekstual menyimpulkan bahwa peserta didik akan
belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah
diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di
sekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang
tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis
data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu
maupun kelompok.21
20
Asmaun Sahlan, Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Pendekatan Kontekstual
(Malang : Jurnal el-Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Malang), 224. 21
Guru PAI dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual
dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu: a)
memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan
individual siswa; b) lebih mengaktifkan siswa dan guru; c) mendorong
berkembangnya kemampuan baru; d) menimbulkan jalinan kegiatan
belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat.22 Melalui
pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan
pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki
motivasi tinggi untuk belajar. Beberapa hal yang harus diperhatikan
para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan
pendekatan kontestual: Pembelajaran berbasis masalah, memanfaatkan
lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar, memberikan
aktivitas kelompok, membuat aktivitas belajar mandiri, dan menyusun
refleksi.Selanjutnya seorang guru pendidikan agama Islam memahami
betul strategi strategi yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas.
Strategi pembelajaran PAI kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran efektif, sebagai berikut;23
22
Mochamad Jawahir, Teknik dan Strategi Pembelajaran. (Bandung : Cendekia Press, 2005) 41.
23
Pertama, konstruktivistik (constructivism) yaitu membangun pengetahuan dengan cara sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas
melalui konteks terbatas.
Kedua, menemukan (inquiry), yaitu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan
sendiri, siklus inquiry adalah observasi (pengalaman), mengajukan
dugaan (hipotesis), pengumpulan data (data gathering), dan
menyimpulkan.
Ketiga, bertanya (questioning), yaitu bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan memiliki
kemampuan berfikir siswa, sedang bagi siswa kegiatan bertanya untuk
menggali informasi, mengkomformasikan apa yang sudah diketahui dan
menyerahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya
dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan
siswa, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas.
Keempat, masyarakat belajar (learning community), konsep ini menyarakn agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan
orang lain Untuk itu guru disarankan selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok -kelompok belajar.
Kelima, pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru memberi model
model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga
mendatangkan seorang tokoh yang berpengaruh.
Keenam, refleksi (reflection) adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang
sudah dilakukan yang kemudian kuncinya adalah bagaimana
pengetahuan itu mengendap di benak siswa.
Ketujuh, penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) adalah proses pengumpulan sebagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar
memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar
mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode
pembelajaran. Yamin mengatakan bahwa kemajuan belajar dinilai dari
proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara tes hanya
merupakan salah satu cara penilaian. Itulah hakikat penilaian yang
sebenarnya.24
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pengajaran yang
bertujuan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang
mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana berikut ini: 25
Pertama, membuat hubungan yang bermakna (making meaningful
24
Martinis Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik: Implementasi KTSP & UU. No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),10-20.
25
connections), yaitu membuat hubungan antara subjek dengan pengalaman atau antara pembelajaran dengan kehidupan nyata siswa sehingga
hasilnya akan bermakna dan makna ini akan memberi alasan untuk
belajar.Kedua, melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant), yaitu dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. Ketiga,
melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self regulated learning) yaitu; 1) siswa belajar melalui tatanan atau cara yang berbeda-beda bukan hanya
satu, mereka mempunyai keterkaitan dan talenta (bakat) yang berbeda,
2) membebaskan siswa menggunakan gaya belajar mereka sendiri,
memproses dalam cara mereka mengeksplorasi ketertarikan
masing-masing dan mengembangkan bakat mereka dengan intelegensi yang
beragam sesuai selera mereka, 3) proses pembelajaran yang melibatkan
siswa dalam aksi yang bebas, mencakup kadang-kadang satu orang,
biasanya satu kelompok. Aksi bebas ini dirancang untuk
menghubungkan pengetahuan akademik dengan konteks kehidupan
sehari-hari siswa dalam mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini dapat
berupa hasil yang terlihat maupun yang tidak. Keempat, bekerjasama
(collaborating), yaitu proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam satu kelompok. Dan yang kelima, berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
B.Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian Pembelajaran
Makna pembelajaran menurut Corey sebagaimana yang dikutip
oleh Syaiful Sagala adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang
secara disengaja dikelola untuk memungkinkan dia turut serta dalam
tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan
respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset
khusus dari pendidikan. 26 Definisi lain menyebutkan bahwa
pembelajaran merupakan aktualisasi dari kurikulum yang menuntut
guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik
sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.27
Dari uraian-uraian yang dikemukakan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang dilakukan
oleh seorang pendidik sebagai penyampaian dan peserta didik sebagai
penerima sehingga terjadi interaksi antara keduanya dan peserta didik
mampu menguasai pelajaran yang disajikan. Atau dengan kata lain
pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain
instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif dengan
memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki agar memperoleh
sesuatu yang bermakna dan produktif.
b. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan adalah suatu aktifitas untuk mengembangkan seluruh
aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata
26
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung, Alfabeta, 2003), 61. 27
lain pendidikan bukan hanya berlangsung di dalam kelas tetapi
berlangsung pula diluar kelas. Secara substansial, pendidikan tidak
sebatas pengembangan intelektualitas manusia, melainkan
mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia. Pendidikan
merupakan sarana utama untuk mengembangkan kepribadian
manusia.28
Lebih umum disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan BAB I pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan
dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik
dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan. Selanjutnya, pada ayat 2 disebutkan bahwa
pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama
dan mengamalkan ajaran agamanya.29
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,
sehingga mengimani ajaran agama Islam, diimbangi dengan tuntunan
untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
28
Hasan Basri, Filsafat pendidikan Islam, (Bandung: pustaka setia, Cet. I, 2009), 53.
29
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan kesatuan
bangsa.30 Majid dan Dian berpendapat bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka
mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.31 Sedangkan menurut Zakiah Darajat pendidikan agama
Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik
agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu
menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta
menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.32
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan agama Islam adalah sebuah sistem pendidikan yang
mengupayakan terbentuknya akhlak mulia peserta didik serta memiliki
kecakapan hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Karena pendidikan
agama Islam mencakup dua hal, (a) mendidik peserta didik untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam, (b) mendidik
peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam yang sekaligus
menjadi pengetahuan tentang ajaran Islam itu sendiri. Karena
pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem pendidikan
nasional, maka di dalamnya terdapat komponen-komponen yang antara
30
Masnur Muslich, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),(Jakarta : PT Bumi Aksara,Cet III,2008), 3.
31
Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004) (Bandung : Cet. III, PT. Remaja Risdakarya, 2006),132.
32
satu dengan lainnya saling memiliki keterkaitan dan hubungan yang tak
bisa dipisahkan. Komponen tersebut antara lain, kurikulum, pendidik,
sarana dan prasarana pendidikan dan lingkungan belajar. Hal ini
sekaligus menjadi faktor pendidikan yang mendukung tercapainya
tujuan pendidikan baik pendidikan secara umum maupun pendidikan
Islam secara khusus.
Selanjutnya pendidikan baik yang berlangsung secara formal di
sekolah maupun berlangsung secara informal di lingkungan keluarga
memiliki peran penting dalam mengenbangkan psikososial peserta
didik. Perkembangan psikososial peserta didik atau perkembangan
sosial peserta didik adalah proses perkembangan kepribadian peserta
didik selaku anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain.
Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayatnya.
Perkembangan sosial merupakan proses pembentukan social-self
(pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya,
bangsa, dan seterusnya.33Seperti dalam proses perkembangan lainnya,
proses perkembangan sosial dan moral peserta didik juga selau
berkaitan dengan proses belajar. Ini bermakna bahwa proses belajar itu
amat menentukan kemampuan peserta didik dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral
tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam
masyarakat peserta didik yang bersangkutan.
33
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu upaya
membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar,
mau belajar, dan tertarik untuk terus menerus mempelajari agama
Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama
yang benar maupum mempelajari Islam sebagai pengetahuan.34 Istilah
pembelajaran lebih tepat digunakan karena ia menggambarkan upaya
untuk membangkitkan prakarsa belajar seseorang.
2. Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam di SMA
a. Fungsi Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk
meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, serta sebagai
wahana pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan apa
yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Zakiah Daradjad berpendapat dalam bukunya Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam bahwa, Sebagai sebuah bidang studi di
sekolah, pengajaran agama Islam mempunyai tiga fungsi, yaitu:
pertama, menanamtumbuhkan rasa keimanan yang kuat, kedua,
menanamkembangkan kebiasaan (habit vorming) dalam melakukan amal ibadah, amal saleh dan akhlak yang mulia, dan ketiga, menumbuh
kembangkan semangat untuk mengolah alam sekitar sebagai anugerah
Allah SWT kepada manusia.35
34Ibid.
35
Dari pendapat diatas dapat diambil beberapa hal tentang fungsi dari
Pendidikan Agama Islam yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
siswa kepada Allah SWT yang ditanamkan dalam lingkup
pendidikan keluarga.
2) Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan
yang fungsional
3) Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat ber
sosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
4) Pembiasaan, yaitu melatih siswa untuk selalu mengamalkan ajaran
Islam, menjalankan ibadah dan berbuat baik.
Disamping fungsi-fungsi yang tersebut diatas, hal yang sangat
perlu di ingatkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sumber
nilai, yaitu memberikan pedoman hidup bagi peserta didik untuk
mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat.
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam.
Zakiah Daradjad dalam Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam
mendefinisikan tujuan Pendidikan Agama Islam sebagai berikut :
Tujuan Pendidikan Agama Islam yaitu membina manusia beragama berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan dunia dan akhirat. Yang dapat dibina melalui pengajaran agama yang intensif dan efektif.36
36
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan
Agama Islam adalah sebagai usaha untuk mengarahkan dan
membimbing manusia, dalam hal ini peserta didik agar mereka mampu
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta
meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mengenai
Agama Islam, sehingga menjadi manusia Muslim, berakhlak mulia
dalam kehidupan baik secara pribadi, bermasyarakat dan berbangsa dan
menjadi insan yang beriman hingga mati dalam keadaan Islam,
sebagaimana Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat
102 yaitu ;
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan beragama Islam”.37
Dari ayat diatas dapat kita fahami bahwa tujuan Pendidikan Agama
Islam identik dengan tujuan agama Islam, karena tujuan agama adalah
agar manusia memiliki keyakinan yang kuat dan dapat dijadikan
sebagai pedoman hidupnya yaitu untuk menumbuhkan pola kepribadian
yang bulat dan melalui berbagai proses usaha yang dilakukan. Dengan
demikian tujuan Pendidikan Agama Islam adalah suatu harapan yang
diinginkan oleh pendidik Islam itu sendiri.
37
c. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Dalam Permendikbud RI No 64 Tahun 2013 Ruang lingkup PAI
SMA meliputi Al-Qur’an dan Hadits, Aqidah, Akhlak dan Budi Pekerti, Fiqih, Tarikh/Sejarah Peradaban Islam.38
Dilihat dari sudut ruang lingkup pembahasannya, pendidikan
agama Islam sebagai mata pelajaran yang umum dilaksanakan di
sekolah menengah di antaranya:
1) Pengajaran keimanan
Aqidah Islam berawal dari keyakinan kepada Dzat Mutlak yang
Maha Esa yaitu Allah beserta sifat dan wujud-Nya yang sering
disebut dengan tauhid. Tauhid menjadi rukun iman dan prima causa
seluruh keyakinan Islam.39 Keimanan merupakan akar suatu pokok
agama, pengajaran keimanan berarti proses belajar mengajar tentang
berbagai aspek kepercayaan.
2) Pengajaran akhlak
Kata akhlak berawal dari bahasa Arab yang berarti bentuk kejadian
dalam hal ini bentuk batin atau psikis manusia. Akhlak merupakan
aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia sebagai sistem
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Manusia dan
lainnya yang dilandasi oleh aqidah yang kokoh. 40 Dalam
pelaksanaannya pengajaran ini berarti proses kegiatan belajar
38
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
39
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: cet. 3Raja Grafindo Persada, 2000), 199-200.
40
mengajar dalam mencapai tujuan supaya yang diajar berakhlak
baik.41
3) Pengajaran ibadah
Ibadah menurut bahasa artinya, taat, tunduk, turut, ikut dan doa.42
Dalam pengertian yang khusus ibadah adalah segala bentuk
pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam baik
bentuknya, caranya, waktunya serta syarat dan rukunnya seperti
shalat, puasa, zakat dan lain-lain.43 Pengajaran ibadah ini tidak hanya
memberikan pengetahuan tentang ibadah tetapi juga menciptakan
suasana yang menyenangkan, sehingga situasi proses belajar
mengajar dapat berjalan dengan baik.
4) Pengajaran al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber ajaran agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah.44 Pada tingkatan ini peserta didik memahami dan
menghayati pokok-pokok al-Qur’an dan menarik hikmah yang terkandung di dalamnya secara keseluruhan dalam setiap aspek
kehidupan.
5) Pengajaran muamalah
Muamalah merupakan sikap hidup dan kepribadian hidup manusia
dalam menjalankan sistem kehidupannya yang dilandasi dengan
41
Zakiah Daradjat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 70. 42
Daud Ali, Pendidikan Agama…, 244. 43
Daradjat, Metode Khusus…, 73. 44
keimanan yang kokoh.45Sebagaimana yang diungkapkan Thoha
Husein bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memecahkan
peradaban. 46 Setiap proses kehidupan seharusnya mengandung
berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga out put pendidikan
sanggup memetakan sekaligus masalah yang sedang dihadapi
masyarakat.
6) Pengajaran syari’ah
Bidang studi syari’ah merupakan pengajaran dan bimbingan untuk
mengetahui syariah Islam yang di dalamnya mengandung perintah
agama yang harus diamalkan dan larangan agama yang harus
ditinggalkan. Pelaksanaan pengajaran syari’at ini ditujukan agar norma-norma hukum, nilai-nilai dan sikap-sikap yang menjadi dasar
pandangan hidup seseorang muslim, siswa dapat mematuhi dan
melaksanakannya sebagai pribadi, anggota keluarga dan masyarakat
lingkungan.
7) Pengajaran tarikh atau sejarah Peradaban Islam
Tarikh merupakan suatu bidang studi yang memberikan pengetahuan
tentang sejarah dan kebudayaan Islam meliputi masa sebelum
kelahiran Islam, masa nabi dan sesudahnya baik pada daulah
Islamiah maupun pada negara-negara lainnya di dunia, khususnya
45
Muhaimin, Paradigma Pendidikan…, 78. 46
perkembangan agama Islam di tanah air.47 Pelaksanaan pengajaran
tarikh ini diharapkan mampu membantu peningkatan iman siswa
dalam rangka pembentukan pribadi muslim disamping memupuk
rasa kecintaan dan kekaguman terhadap Islam dan kebudayaannya,
memberikan bekal kepada siswa dalam melanjutkan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi atau untuk menjalani kehidupan pribadi
mereka bila putus sekolah, mendukung perkembangan Islam masa
kini dan mendatang. Di samping meluaskan cakrawala pandangan
terhadap makna Islam bagi kepentingan umat Islam.
3. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah mempunyai dasar
yang kuat, dasar tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
a. Dasar Yuridis/ Hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari
perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar
yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam :
1). Dasar ideal, yaitu falsafah negara Republik Indonesia, pada sila
pertama Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa
2). Dasar Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dalam Bab
XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : a) Negara berdasarkan
47
atas Ketuhanan yang Maha Esa; b) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
b). Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius agama dalam uraian ini,
adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama di SMA yang bersumber
dari ajaran agama, dalam hal ini ajaran agama Islam. Berkaitan
dengan dasar agama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam,
maka dasar pertama dan utama ialah Al-Qur’an yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, karena di dalam Al-Qur’an sudah tercakup segala masalah hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan
dasar yang kedua adalah Hadist Rasulullah.
Dalam ayat Al-Qur’an petunjuk tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam antara lain:
1) Dalam surah At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi :
yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.48
2) Dalam surah Ali Imran (3) ayat 104 yang berbunyi :
Terjemahnya: Dan hendaknya di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menerus kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar: merekalah orang-orang yang beruntung. 49
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ayat seperti yang di
sebutkan di atas, memberikan pengertian bahwa dalam ajaran agama
Islam memang adalah perintah untuk melaksanakan pendidikan
agama.
c). Dasar Psikologis
Yang dimaksud dengan dasar psikologis di sini adalah dasar yang
berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat.
Filosofisnya bahwa manusia, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial, dihadapkan pada hal-hal yang membuat
hatinya tidak tenang dan tenteram sehingga memerlukan adanya
pegangan hidup. Pegangan hidup yang dimaksud adalah suatu
ideologi yang menjadi tumpuan harapan ketika berhadapan dengan
berbagai persoalan. Masalah-masalah yang mengitari kehidupan
manusia sungguh beragam dan bermacam-macam. Oleh karena itulah,
48
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah…, 560.
49
posisi agama sebagai pandangan hidup sangat strategis dalam
mengantarkan manusia keluar dari permasalahan, termasuk yang
berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam paradigma Islam, untuk
menjadikan hati menjadi tenang dan tenteram adalah dengan jalan
mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt. dalam surah Al Ra’du (13) ayat 28 :
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanyadengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.50
C.Membentuk Kepribadian Muslim
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian Muslim berasal dari dua kata yaitu kepribadian dan
muslim. Menurut asal katanya, kepribadian (personality) berasal dari bahsa Latin personare, yang berarti mengeluarkan suara (to sound trough). Istilah ini digunakan untuk menunjukkan suara dari percakapan seorang pemain sandiwara melalui topeng yang dipakainya. Pada
mulanya istilah persona berarti topeng yang dipakai oleh pemain sandiwara, di mana suara pemain sandiwara itu diproyeksikan. Kemudian
kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri.51
50
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah…, 252.
51
Kepribadian mengandung pengertian yang sangat kompleks.
Kepribadian mencakup berbagai aspek dan sifat-sifat fisis maupun psikis
dari seorang individu. Oleh karena itu sukar bagi para ahli psikologi
untuk merumuskan batasan/definisi tentang kepribadian secara tepat,
jelas, dan mudah dimengerti.
Beberapa ahli mengemukakan definisinya sebagaimana :
a. Allport dalam Jalaluddin menjelaskan beberapa sifat kepribadian
dapat dibatasi sebagai cara bereaksi yang khas dari seseorang
individu terhadap perangsang sosial dan kualitas penyesuaian diri
yang dilakukannya terhadap segi sosial dari lingkungannya.52
b. Mark A May menjelaskan dalam Jalauddin bahwa apa yang
memungkinkan seseorang berbuat efektif atau memungkinkan
seseorang mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Dengan kata
lain, kepribadian adalah nilai perangsang sosial seseorang.53
c. Usman Najati, kepribadian adalah organisasi dinamis dari peralatan
fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk karakternya
yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungannya.54
d. Menurut Sigmund Freud kepribadian terdiri atas tiga sistem atau
aspek, yaitu: Das Es (the id), yaitu aspek biologis, Das Ich (the
ego), yaitu aspek psikologis, Das Ueber Ich (the super ego) yaitu
aspek sosiologis. Dari ketiga aspek ini, masing-masing mempunyai
52
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta : Pt Rajagrafindo Persada, 2010), 201-203.
53
Ibid.
54
fungsi, sifat komponen, prinsip kerja, sifat dinamika dari sendiri,
namun ketiga-tiganya saling berhubungan sehingga tidak mungkin
dipisahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia.55
Dari definisi diatas dapat digaris bawahi bahwa para ahli psikologi
pada umumnya berpendapat yang dimaksud dengan kepribadian
(personality) itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, tetapi juga termasuk di dalamnya apakah sebenarnya individu itu.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Suryabrata dalam Binti
Maunah bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu
sebagai system psikofisik yang menentukan caranya yang khas dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan.56 Jadi selain tingkah laku yang
tampak, ingin diketahui pula motifnya, minatnya, sikapnya, dan
sebagainya yang mendasari pernyataan tingkah laku tersebut. Jadi pada
dasarnya dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan pernyataan
atau istilah yang digunakan menyebut tingkah laku seseorang yang
terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya dari sudut filsafat menurut William Stern yang dikutip
oleh Chaplin, kepribadian adalah suatu kesatuan yang banyak (Unita Multi Complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas menentukan dirinya
sendiri. Sedangkan Prof Kohnstamm, yang dikutip Chaplin menentang
William Stern yang meniadakan kesadaran pada pribadi terutama kepada
55
Sumadi Suryasubrata ,Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), 125-126 56
Tuhan. Menurut Kohnstamm; Tuhan merupakan pribadi yang menguasai
alam semesta. Dengan kata lain kepribadian sama artinya dengan teistis
(keyakinan). Orang yang berkepribadian menurutnya ialah orang yang
berkeyakinan ketuhanan.57
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam
pandangan filsafat kepribadian diidentikkan dengan kepercayaan
terhadap Tuhan dan keagamaannya. Dengan demikian kepribadian
adalah sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku yang ada dalam diri
individu yang bersifat psikofisik dalam interaksinya dengan lingkungan
yang menyebabkan individu itu berbuat dan bertindak seperti apa yang
dia lakukan, dan menunjukan ciri-ciri yang khas yang membedakan
individu dengan individu yang lainnya. Termasuk didalamnya sikap,
kepercayaan, nilai-nilai dan cita-cita, pengetahuan dan ketrampilan,
macam-macam cara gerak tubuhnya, dan sebagainya.
Dalam Al Qur’an tidak ditemukan term/istilah yang pas yang
mempunyai arti kepribadian. Diantara term-term yang mengacu pada
kepribadian adalah al syakhshiyat, al huwiyat, al nafsiyat, zat dan khulq.
Term-term tersebut mempunyai makna yang spesifik yang membedakan
satu sama lain.58 Dalam psikologi kata kepribadian lebih cenderung
57
Chaplin J.P, Kamus lengkap psikologi, terjemahan, Kartini kartono, (Jakarta : Rajawali Pres, 1995), 162.
58
menggunakan kata syakhsyiat. Karena disamping secara psikologis sudah popular, term ini mencerminkan makna kepribadian lahir batin.59
2. Kepribadian Muslim
a. Pengertian Kepribadian Muslim
Sedangkan kata “muslim” dalam Ensiklopedia Muslim adalah
sebutan bagi orang yang beragama Islam. Dalam pengertian dasar dan
idealnya adalah orang yang menyerahkan diri, tunduk dan patuh pada
ajaran Islam. Sedangkan menurtu Toto Asmara muslim adalah orang
yang konsekuen bersikap hidup dengan ajaran Qur’an dan sunnah.60 Dengan demikian muslim adalah yang menempuh jalan lurus
yakni jalan yang dikehendaki Allah SWT dan di ridhoiNya. Mereka
yang menempuh jalan lurus dan mengambil penerangan dari kebenaran
cahaya Tuhan, itulah orang-orang yang mencerminkan kemanusiaan
yang benar dan lurus yang telah mewujudkan maksud dan tujuan
hidupnya dan telah melaksanakan tugasnya dalam hidup ini.61 Muslim
wajib meneguhkan hatinya dalam menanggung segala ujian dan
penderitaan dengan tenang. Demikian juga menunggu hasil pekerjaan,
bagaimana jauhnya memikul beban hidup harus dengan hati yang yakin,
tidak ragu sedikit pun.62 Hal ini sesuai dengan surat Al Baqarah ayat
112, yang berbunyi :
59
Ibid.
60
Toto Tasmaran, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995),157. 61
Umar Sulaiman Al-Asyqar, Ciri-ciri Kepribadian Muslim, (Jakarata : Raja Grafindo Persada, 2000), 5.
62
Muhammad Al Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, terj. Mahmud Rifa’I, (Semarang : Wicaksana,