BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Berat Lahir
Menurut Saifuddin yang dikutip oleh Kurniasih (2015), berat lahir atau
berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam
pertama setelah lahir. Berat bayi lahir berdasarkan berat badan dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi
Berat Lahir Normal (BBLN).
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah berat yang dilahirkan dengan
berat lahir <2500 gram tanpa memandang usia gestasi, bayi baru lahir normal
adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan lahir
>2500-4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).
Menurut Sutiari dan Wulandari (2012) yang mengutip pendapat Singh,
terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya
tergantung pada asupan zat gizi yang cukup. Bayi BBLR telah mengalami
kekurangan gizi termasuk kekurangan energi dan protein (zat gizi makro).
Defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi
mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode
awal perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa berkurangnya jumlah
dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.
Sinapsis merupakan hubungan penyampaian impuls dari satu neuron ke
neuron yang lain. Pengaruh neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter
dan jumlah reseptornya dan pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron
untuk bekerja menghantarkan impuls saraf. Energi dan protein mendukung
perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis
Deoxyribonucleic acid (DNA) dan
Ribonucleic acid (RNA), produksi
neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit
sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein
menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang
belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi
sebagai pusat memori (Sasaki, 2011).
kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya, ukuran dan berat normal kurang,
mielinasi berkurang, dan dendrite membentuk percabangan yang lebih sedikit dari
normal. Dari berbagai penelitian di atas diketahui bahwa masa gestasi (kehamilan)
adalah masa kritis menentukan tumbuh kembang otak, sehingga berbagai zat gizi
harus tersedia selama kehamilan. Hal ini terlihat pada pada gambar dibawah ini
yaitu proses perkembangan otak selama di dalam kandungan hingga kelahiran.
Gambar 2.1 Perkembangan Otak Manusia (Santrock, 2002)
Menurut Santrock yang dikutip oleh Ernawati dkk (2014) gizi yang baik
sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga
pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya.
Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah
sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja
otak tersebut di kemudian hari.
berat badan di bawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan normal (Proverawati
dan Ismawati, 2010).
Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan
otak yang selanjutnya mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasan. Kurang gizi
pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi
mencatat bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).
Menurut Oktarina (2012), kejadian retardasi perkembangan otak dan
mental pada bayi dengan berat lahir yang rendah berkisar antara 10-20%,
termasuk cerebral palsi 3-5%, cacat pendengaran dan penglihatan yang sedang
sampai berat 1-4%, dan kesukaran belajar 20%, IQ global rata-rata 90-97 dan 76%
di antaranya dapat mengikuti sekolah normal.
2.2 Status Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta
menghasilkan energi. Nutrition status adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001). Sedangkan menurut Almatsier
(2010) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih.
yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi
tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa status gizi
merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi
yang diindikasikan oleh variabel tertentu.
Menurut Supariasa (2002), gizi yang baik adalah gizi yang seimbang,
artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi
pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya
masing-masing. Kebutuhan gizi pada anak-anak dengan orang dewasa pasti
berbeda. Pada usia anak-anak kebutuhan gizi lebih banyak dibandingkan pada
orang dewasa, khususnya pada anak usia sekolah, di karenakan pada usia ini
tubuh dan otak banyak membutuhkan asupan zat gizi untuk masa pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental dan intelektual. Kebutuhan gizi pada anak usia
sekolah jika terpenuhi akan meningkatkan status gizi anak dan mendukung anak
pada proses belajar.
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat, khususnya anak usia sekolah. Menurut Puspita (2012) yang mengutip
pendapat Suhardjo, anak sekolah termasuk kelompok rentan gizi. Untuk itu
usaha-usaha peningkatan gizi terutama harus ditujukan pada anak-anak.
dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan
dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah
merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu
Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Choi, bahwa anak sekolah
dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Anak sekolah
merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan dengan
baik kualitasnya, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik,
mental dan intelektual yang sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di
masa mendatang, guna mendukung keadaan tersebut anak sekolah memerlukan
kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status gizi yang
baik.
merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi, karena kesalahan
penentuan umur akan mengakibatkan kesalahan interprestasi status gizi. Hasil
pengukuran BB dan TB yang akurat akan menjadi tidak berarti bila tidak disertai
penentuan umur yang tepat (Supariasa. et al, 2002).
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),
dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Indeks massa tubuh menurut
umur (IMT/U). BB/U bermanfaat untuk menggambarkan status gizi seseorang
pada saat ini, TB/U memberikan gambaran status gizi masa lalu, BB/TB
merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Pengukuran
antropometri terbaik adalah metode Indeks Massa Tubuh (IMT) yang
menggunakan indikator BB/TB
2. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi
saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Pengukuran secara IMT
mengelompokkan status gizi dalam 5 kategori, yaitu sangat kurus, kurus, normal,
gemuk dan obesitas (Supariasa et al, 2002).
Penilaian status gizi anak usia sekolah, indikator yang tepat adalah Indeks
massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 5-18 tahun. Dalam penelitian ini
parameter status gizi yang digunakan adalah IMT/U. Penilaian status gizi
berdasarkan indeks IMT/U dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks IMT/U
Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Boeree, kesehatan dan
pertumbuhan anak merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian
terus-menerus oleh berbagai pihak, seperti pemerintah maupun keluarga. Anak-anak
merupakan penerus bangsa, di tangan merekalah kelak nasib bangsa ini akan
ditentukan. Jika suatu bangsa memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani,
akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas dan produktif.
Turunnya kualitas suatu generasi dapat dicegah dengan cara menyelamatkan
mereka dari gangguan kesehatan fisik, mental maupun intelektual. Memang harus
diakui bahwa kekhawatiran pada orang tua terhadap kecerdasan putra-putrinya
mereka sangat besar. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kecerdasan seseorang, antara lain faktor gizi.
Anak usia sekolah cenderung rentan gizi yaitu keadaan kurus kering dan
kecil pendek (stunting). Keadaan tersebut jika ditemukan pada usia anak sekolah,
hal ini akan menjadi indikator adanya kurang gizi kronis. Keadaan ini akan
menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan otak dan tingkat
kecerdasan, yang akan mempengaruhi hasil prestasi belajar anak di sekolah.
Berdasarkan pendapat Ardi (2016) yang mengutip pendapat Wibowo et al, bahwa
status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian Syafiq (2007), Studi mencatat bahwa
stunting
menurunkan skor IQ 5-10 poin.
poin lebih rendah secara signifikan, sedangkan anak dengan gizi baik mempunyai
skor IQ 10 poin lebih tinggi namun tidak signifikan secara statistik.
Kecerdasan tidak hanya berpengaruh pada anak dengan status gizi kurang,
tetapi juga pada anak dengan status gizi lebih yaitu gemuk dan obesitas. Hal ini
dapat meningkatkan deposit lemak yang berakibat terhambatnya aliran darah ke
otak sehingga otak mengalami kekurangan oksigen. Dalam waktu lama hal ini
dapat menimbulkan gangguan belajar dan berdampak pada prestasi belajar
(Puspita, 2012).
Menurut Puspita (2012) yang mengutip hasil penelitian Gable,
menunjukkan anak sekolah dasar yang mengalami berat badan berlebih cenderung
memiliki nilai yang kurang pada beberapa mata pelajaran dibandingkan dengan
anak yang memiliki berat badan normal. Hal ini merupakan bukti nyata adanya
pengaruh berat badan berlebih terhadap prestasi belajar. Belajar berkaitan erat
dengan kecerdasan.
perkembangan meragukan dan 5 anak (12,5%) dengan tingkat perkembangan
abnormal.
Menurut Budiyati (2011) yang mengutip pendapat Gable, bahwa pengaruh
berat badan berlebih lainnya dalam kecerdasan yaitu kelebihan berat badan pada
anak ternyata berpengaruh buruk pada kemampuan matematika bahwaa rasa
gelisah dan terasingkan menjadi pemicu. Peneliti dari
Department of Nutrition
and Exercise Physiology di Missouri, mengetahui hal ini setelah mempelajari
rekam jejak 6.300 siswa sejak taman kanak-kanak. Dari waktu ke waktu, orangtua
diminta mengisi kuisioner tentang anak-anak berikut tes akademiknya. Hasil
penelitian menunjukkan anak-anak yang mengalami obesitas sejak taman
kanak-kanak lemah dalam ujian matematika. Anak laki-laki yang baru mengalami
kegemukan saat kelas tiga atau empat menunjukkan kelemahan berhitung yang
kronis. Kegemukan yang terjadi belakangan pada anak perempuan menyebabkan
kelemahan matematika sementara. Temuan ini menunjukkan hubungan kompleks
antara berat badan dan kecerdasan anak.
Kegemukan di usia dini diketahui meningkatkan risiko penyakit seperti
intoleransi glukosa, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Sebagian peneliti menduga
risiko ini juga mengancam kemampuan kognitif anak. Dalam sebuah penelitian
disebutkan anak dengan
body mass index tinggi, berarti semakin gemuk
berpengaruh negatif pada prestasi akademik (Sartika, 2011).
sendiri. Anak yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal akan dengan
mudah memahami materi pelajaran di sekolah, maka anak tersebut sangat
berpotensi mendapatkan prestasi belajar yang bagus.
2.3 Intelligence Quotient (IQ)
Menurut Nur’eini (2012) yang mengutip pendapat
David Wechsler,
inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa integensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan
proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Menurut Azwar (2011) yang mengutip pendapat Alfret Binet (tokoh perintis
pengukuran inteligensi), bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1)
kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk
mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3)
kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa intelegensi
adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional
dan kemampuan untuk menggunakan daya pikir tersebut dalam memahami situasi
yang baru.
berpikir secara rasional dan logis, EQ memungkinkan manusia untuk
menggunakan perasaan yang terwujud dalam tingkah laku dan emosi, dan SQ
memungkinkan manusia untuk berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dicapai
dengan logika dan perasaan.
Dari ketiga macam kecerdasan di atas, kecerdasan intelektual merupakan
kecerdasan manusia yang paling utama. Kecerdasan ini dikemukakan oleh
William Stern pada tahun 1912 berkreasi serta berinovasi (Suhendro, 2012).
Intelligence Quotient
atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes
intelegensi, dengan mengukur proses berpikir konvergen, yaitu kemampuan untuk
memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang
diberikan (Nur’eini, 2012).
Menurut Ardi (2016) yang mengutip hasil penelitian Terman dapat
disimpulkan bahwa skor tes IQ rata-rata adalah 90-110. Meskipun demikian, tidak
semua tes inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ memang bukan
satu-satunya cara untuk menyatakan tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes
inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ, akan tetapi memberikan klasifikasi
tingkat inteligensi seperti pola berpikir divergen atau konvergen.
2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak
Menurut Nova (2011) yang mengutip pendapat Loekito, bahwa individu
tidak dilahirkan dengan IQ yang tidak dapat berubah, tetapi IQ menjadi stabil
secara bertahap selama masa kanak-kanak dan hanya berubah sedikit setelah itu.
Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), inteligensi anak dipengaruhi oleh
banyak faktor. Secara garis besar, IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
1) Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir
proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam
sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi
genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara
positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal.
Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur
(ovum) yang ada pada ibu dan sel sperma yang berasal dari ayah yang akan
membuahi sel telur. Sperma dan sel telur masing-masing berisi 23 kromosom,
yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam setiap kromosom
terdapat struktur yang lebih kecil yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang
sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti
warna mata, warna rambut dan kulit (Azwar, 2008).
yang bersangkutan tidak dapat melampaui batas yang telah ditetapkan oleh faktor
keturunan.
Berdasarkan pendapat Santrock (2008) yang mengutip berbagai macam
penelitian di Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Neisser
et al, menemukan
pewarisan IQ antara 0,4 sampai 0,8, serta menjelaskan bahwa kurang dari sampai
lebih dari setengah variasi pada IQ
di antara anak-anak yang diteliti disebabkan
adanya variasi pada gen-gen mereka.
Penelitian lain juga menunjukkan bukti adanya pewarisan inteligensi berasal
dari penelitian yang menghubungkan IQ orang dari berbagai tingkatan genetik.
Menurut Azwar (2008) yang mengutip hasil penelitian Eysenck, melaporkan hasil
studi awal yang dilakukan di Inggris oleh Herman dan Hogben, yang melakukan
penelitian anak kembar berjenis kelamin berbeda dan saudara sekandung biasa.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata IQ sebesar 9,2 point,
dari analisa lanjutan mengatakan bahwa 80% variasi total IQ disebabkan oleh
faktor genetik.
2) Faktor Gizi
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan
yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan
menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional pada otak.
Menurut Sasaki (2011) gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber
Daya Manusia, di antaranya kualitas kecerdasan anak. Kecerdasan berkaitan erat
dengan kualitas otak. Untuk mendapatkan kualitas otak yang maksimal
dibutuhkan keadaan gizi yang baik.
Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama
pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh
dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat
berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Menurut Nova (2011) yang
mengutip hasil penelitian Walter, bahwa terhadap 825 anak dengan malnutrisi
berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan
anak yang mempunyai gizi baik.
kepribadian, emosi, akal, spiritual dan jiwa. Kita dapat mengoptimalkan fungsi
saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan aktivitas mental dan fisik.
Menurut Georgieff yang dikutip oleh Ardi (2016) bahwa defisiensi berbagai
zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia
dan neurofisiologi perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa
berkurangnya jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis. Pengaruh
neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya.
Pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan
impuls saraf.
Sejumlah penelitian pada tikus memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi
prenatal dan pascanatal dini menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak
tikus tersebut, kendati perubahan itu akan membaik pada saat tikus itu diberi
makan kembali. Namun demikian, beberapa perubahan dianggap permanen,
seperti jumlah mielin dan dendrit kortikal dalam medulla spinalis serta
peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf (Baker-Henningham
& Grantham-McGregor, 2009)
Pembentukan neuron sangat penting dalam perkembangan otak. Maka perlu
untuk menjaga agar pertumbuhan tersebut tidak terganggu seperti yang
dinyatakan oleh Georgieff (2006) bahwa otak menggunakan glukosa sebagai
sumber energi utamanya. Asam glutamik atau glutamat adalah metabolit yang
umum dari metabolism glukosa. Glutamat terlibat dalam beberapa proses
metabolik dalam otak. Ia berperan sebagai precursor bagi neurotransmitter
inhibitorik,
ɤ
-amino butyric acid (GABA). Peningkatan kadar glutamate
berhubungan dengan peningkatan aktivitas otak. Lebih lanjut, eksitotoksisitas
yang dipicu oleh glutamat merupakan mekanisme utama yang dapat menyebabkan
kehilangan neuron.
3) Faktor Lingkungan
sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar
hubungan antar sel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Penting untuk diingat
bahwa sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Safwan,
2008).
Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan
menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya
sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan
dan kepercayaan antara orangtua dan anak. Kualitas interaksi yang baik akan
menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi
(Soetjiningsih, 2012).
Berkaitan dengan faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif
terhadap kecerdasan anak, yaitu riwayat social-budaya, bahwa menurut Mc
Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah
mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orangtua yang tinggi.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama
kecerdasan, begitu juga dengan faktor lainnya. Meskipun dukungan genetik
mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan
kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor IQ mereka secara
signifikan. Menurut Neisser yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa anak-anak
yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial
ekonomi orangtuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes
kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen
gizi protein.
2.3.2 Tes IQ
Menurut Angga (2012) test inteligensi atau tes IQ adalah suatu jenis tes
psikologis yang khusus dipergunakan untuk mengukur taraf inteligensi atau
tingkat kecerdasan seseorang. Tes inteligensi dirancang untuk mengukur proses
berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu
jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan.
1) Stanford
–
Binet Intelligence Scale.
Tes ini dikelompokkan menurut berbagai level usia. Dalam
masing-masing tes untuk setiap level usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang
tidak jauh berbeda. Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual. Tes ini
dilaksanakan pada satu individu dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh
pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes adalah orang yang mempunyai latar
belakang pendidikan yang cukup dibidang psikologi (Azwar, 2008)
Menurut Baron yang dikutip oleh Azwar (2008), menurut revisi terakhir,
konsep inteligensi Stanford-Binet dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran
yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Antara lain: (1) penelaran verbal,
(2) penalaran kuantitatif, (3) penalaran visual abstrak, (4) memori jangka pendek.
Menurut skala Stanford-Binet, IQ diklasifikasikan sebagai berikut :
a)
140-169
: Sangat Superior
b)
120-139
: Superior
c)
110-119
: Bright Normal (High Average)
d)
90-110
: Average (Rata-Rata)
e)
80-89
: Low Average
f)
70-79
: Borderline-Defective
2) Wechlser Scale.
anak-anak yang berusia 4-6,5 tahun. Skala Wechlser dikelompokkan menjadi 12 sub
skala, enam skala verbal dan enam skala non-verbal
3) Culture Fair Intelligence Test (CFIT).
Menurut Cattel yang dikutip oleh
Nur’eini (2012),
mengembangkan
Culture Fair Intelligence Test, yang berusaha mengkombinasikan beberapa
pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi
sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat
pendidikan. Tes ini membuat batasan yang lebih jelas antara kemampuan dasar
dengan hasil belajar khusus serta memberikan analisis dan prediksi yang lebih
baik dari potensi maksimal individu.
Culture Fair Intelligence Test (CFIT), disusun oleh R. B. Cattel terdiri dari
3 bentuk yaitu skala 1 untuk anak usia 4
–
8 tahun, skala 2 untuk anak usia 8
–
13
tahun atau dewasa rata-rata, skala 3 untuk murid SLTA ke atas atau dewasa
superior. Menurut skala Cattel, IQ diklasifikasikan sebagai berikut :
a)
140-169
: Very Superior
b)
120-139
: Superior
c)
110-119
: High Average
d)
90-109
: Average
e)
80-89
: Low Average
f)
70-79
: Bordeline
4) Tes Progressive Matrices
Raven progressive Matrices (sering disebut sebagai Raven Matriks) atau
RPM adalah tes kelompok nonverbal biasanya digunakan dalam pengaturan
pendidikan. Tes ini merupakan tes yang paling popular dan paling umum,
diberikan kepada kelompok anak dari 5 tahun sampai orangtua. Berdasarkan teori
dari Sperman yang disebut dengan teori dua faktor yang terdiri dari dua
kemampuan mental yaitu inteligensi umum “
General Factor
= faktor g” dan
kemampuan spesifik “
Special Factor
= faktor s”. menurut Sperman bahwa
kemampuan seseorang bertindak dalam setiap situasi sangat bergantung pada
kemampuan umum dan kemampuan khusus. Dari teori tersebut, J.C. Raven dari
Inggris menciptakan tes “PM” guna mengukur inteligensi umum (Nur’eini, 2012).
Pada soal tes PM terdiri dari set matriks atau susunan bagian dari desain.
Pada setiap persoalan terdapat suatu bagian yang dihilangkan pada ujung kanan
bawah dari desain tersebut. Tugas subjek adalah memilih dari sejumlah alternative
jawaban yang tersedia yang cocok untuk mengisi bagian yang hilang. Soal yang
mudah hanya menuntut ketepatan dalam diskriminasi. Sedangkan soal yang lebih
sulit melibatkan kemampuan analogi, pergantian pola serta hubungan logis
(Nur’eini, 2012).
A. Coloured Progressive Matrices (CPM)
Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu contoh bentuk skala
inteligensi yang disusun oleh J.C.Raven, dan dapat diberikan secara individual
maupun kelompok. CPM merupakan tes yang bersifat non verbal, materi soal-soal
yang diberikan tidak dalam bentuk tulisan atau bacaan, melainkan dengan metode
gambar-gambar yang berupa figure dan desain abstrak, sehingga dihadapkan tidak
tercemari oleh faktor budaya (Azwar, 2008).
Tes ini mengukur kemampuan anak usia antara 5 sampai 11 tahun. Di
samping itu tes ini dapat dipakai untuk anak-anak yang tergolong
devective atau
pada yang lanjut usia (Nur’eini, 2012).
Soal yang mudah menuntut ketepatan dalam diskriminasi, sedangkan soal
yang lebih sulit melibatkan kemampuan analogi pergantian pola serta hubungan
logis. Tes CPM berbentuk buku soal yang terdiri dari 36 soal dalam 3 set, yaitu
A, Ab, dan B. Menurut Raven yang dikutip oleh Nur’eini (2012), bahwa tes CPM
di maksudkan untuk mengungkap aspek: (a) berpikir logis, (b) kecakapan
pengamatan ruang, (c) kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara
keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisis dan
kemampuan integrasi, (d) kemampuan berpikir secara analogi.
B. Standart Progressive Matrices (SPM)
CPM dan SPM menyatakan hasilnya dalam tingkat atau level
intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subjek
yang di tes, yaitu:
a)
Grade I
: kapasitas intelektual superior
b)
Grade II
: kapasitas intelektual di atas rata-rata
c)
Grade III
: kapasitas intelektual rata-rata
d)
Grade IV
: kapasitas intektual di bawah rata-rata
e)
Grade V
: kapasitas intelektual terhambat.
Dalam penelitian ini, tes IQ yang digunakan adalah tes
Coloured
Progressive Matrices (CPM) dan
Standart Progressive Matrices
(SPM). Alat tes
yang digunakan disesuaikan dengan usia peserta. Pada penelitian ini, CPM
digunakan untuk tes IQ anak sekolah dasar kelas 1 dan 2, sedangkan SPM untuk
kelas 3 sampai 6. Keunggulan menggunakan tes ini yaitu tes ini digunakan untuk
mengukur kemampuan dalam hal pengertian dan melihat hubungan bagian-bagian
gambar yang disajikan serta mengembangkan pola berpikir yang sistematis dan
mengungkap kemampuan intelektual (inteligensi umum) individu. Tes ini
dianggap sebagai
culture fair test (adil untuk semua budaya) karena mampu
meminimalkan pengaruh budaya tertentu. Pengolahan dan analisis hasil
pengukurannya juga relatif mudah. Tes IQ dilaksanakan oleh psikolog (Nur’eini,
2012).
verbal maupun
performace koefisiennya berkisar antara 0,4 dan 0,75. Validitas
yang cukup tinggi dari korelasi tes SPM dengan tes yang dibuat Terman dan
Merril serta SPM dengan WISC. Penelitian lain yang menggunakan alat tes IQ
yang sama yaitu Nova (2011) menggunakan alat tes CPM dan SPM pada
penelitiannya untuk melihat perbedaan tingkat kecerdasan intelektual pada anak
usia sekolah dasar dengan riwayat BBLR dan BBLC.
Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Standart Progressive Matrices
(SPM) akan menghasilkan tingkatan intelektualitas sehingga untuk mendapatkan
skor IQ individual dan taraf IQ, dibutuhkan bantuan lembaga konsultan psikolog
dalam mengkonversikan skor mentah dalam persentil, kemudian ke dalam IQ
yang menggunakan tabel equivalensi. Setelah IQ masing-masing siswa diperoleh,
maka IQ harus dicocokkan dengan klasifikasi tertentu untuk mengetahui taraf IQ
siswa. Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan bantuan dari Biro Konsultasi
Psikologi yaitu Elviati Achmad Psi.
2.4
Keterkaitan Berat Lahir dengan Tingkat Kecerdasan
(Intelligence
Quotient - IQ) Anak
perkembangan adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (Sutiari dan Wulandari,
2012).
World health Organization (WHO) sejak tahun 1961 menyatakan bahwa
semua bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2.500 gram
disebut
low birth weight infant. Salah satu penyebab terjadinya BBLR adalah
kekurangan gizi pada saat kehamilan (Asiyah, 2014).
Kehamilan menyebabakan meningkatnya metabolisme energi, karena itu
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan
energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin, pertambahan besar organ kandungan, perubahan komposisi dan
metabolisme tubuh ibu (Prawirohardjo, 2005).
Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan
janin tumbuh tidak sempurna salah satunya pada pertumbuhan dan perkembangan
otak. Gizi ibu yang buruk akan merusak otak bayi. Menurut Puspita (2012) yang
mengutip hasil penelitian Ludington dan golant, dapat disimpulkan bahwa jika
gizi ibu buruk maka otak bayi akan kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya,
ukuran dan berat normal kurang, mielinasi berkurang dan dendrit membentuk
percabangan yang sedikit dari normal.
sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja
otak tersebut di kemudian hari.
Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki
kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung
yang disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan
pada neuron. Neuron meneruskannya pada neuron lain. Diperkirakan manusia
memiliki 10
12neuron dan 6 x 10
18sinapsis. Dengan jumlah yang begitu banyak,
otak mampu mengenali pola, melakukan perhitungan dan mengontrol organ-organ
tubuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan komputer digital
(Rochman, 2009).
Pada waktu lahir, otak mempunyai struktur yang menakjubkan karena
kemampuannya membentuk sendiri aturan-aturan/pola berdasarkan pengalaman
yang diterima. Jumlah dan kemampuan neuron berkembang seiring dengan
pertumbuhan fisik manusia, terutama pada umur 0-2 tahun. Pada 2 tahun pertama
umur manusia, terbentuk 1 juta sinapsis per detiknya, sebagaimana pada gambar
dibawah ini: (Santrock, 2002).
Gambar 2.2 Pertumbuhan Sinapsis (Santrock, 2002)
100 milyar neuron telah dimiliki oleh seorang bayi ketika lahir ke dunia. Setiap
neuron akan dihubungkan satu dengan yang lainnya yang disebut dengan sinapsis
(Santrock, 2002).
Setelah bayi lahir pembentukan sinapsis meningkat secara dramatis. Akan
tetapi, jika bayi dengan BBLR pembentukan sinapsis akan mengalami gangguan
pertumbuhan. Hal ini disebabkan bayi sudah mengalami defisiensi zat gizi makro
di dalam kandungan untuk proses perkembangan otak. Salah satunya adalah
protein. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro yang berkontribusi
besar pada fungsi otak. Defisiensi zat gizi makro berpengaruh terhadap
perkembangan otak yaitu mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi
mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode
awal perkembangan otak. Pembentukkan myelin yang terganggu akan
mengakibatkan sedikitnya bagian saraf yang tumbuh dan berdampak pada kualitas
kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi (Georgieff, 2006).
Menurut Ernawati dkk (2014) yang mengutip hasil penelitian Luize, dapat
disimpulkan bahwa bayi yang mengalami kekurangan energi dan protein berat
memiliki bobot otak 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi normal. Defisiensi
bisa mencapai 40% bila berlangsung sejak janin. Bobot otak yang ringan berarti
otak memiliki jumlah neuron yang sedikit dan ukuran neuron yang kecil sebagai
elemen penting pada penyusun sistem saraf pusat dan dapat mengganggu
pembentukan sinapsis.
kecukupan zat gizi dan melalui aktivitas mental dan fisik. Proses pertumbuhan
otak akan melambat setelah melewati periode emas yaitu umur 0-2 tahun, akan
tetapi setelah masa tersebut tidak kalah pentingnya. Dengan asupan gizi dan
energi yang seimbang, otak akan menerima rangsangan yang baik untuk terus
bekerja secara optimal (Soetjiningsih, 2012).
Kekurangan gizi pada kehamilan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, kematian neonatal, cacat
bawaan, anemia pada bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (Depkes RI,
2010). Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), bahwa bayi yang lahir dengan
berat badan dibawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang lahir berat badan normal.
Menurut Nova (2011) kondisi BBLR akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kesehatan anak selanjutnya. Selain kekurangan gizi, bayi yang
baru lahir tersebut juga akan mengalami kemunduran perkembangan otak. Hal ini
akan berakibat terjadinya penurunan kemampuan belajar dan kemampuan
akademik pada usia yang lebih lanjut. Sebuah studi mencatat bahwa BBLR
menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).
meningkatkan skor IQ sampai 4,6 sedangkan pada anak perempuan, peningkatan
kenaikan 1 kg berat badan meningkatkan skor IQ sampai 2,8. Kemudian, menurut
Hanid yang dikutip oleh Agustini (2013), bahwa penelitian yang dilakukan di
Malaysia menunjukkan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan
kemampuan kognitif anak.
Menurut Kurniasih (2015), kekurangan gizi pada anak terutama pada usia
6-7 tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas
anak menjadi menurun dan cenderung malas. Kejadian BBLR di Indonesia masih
perlu dicermati bersama. Karena bayi berat lahir rendah dan berat lahir lebih
dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang
selanjutnya.
2.5
Keterkaitan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan
(Intelligence
Quotient-IQ) Anak
Anak membutuhkan nutrisi lebih banyak untuk pertumbuhan tulang, gigi,
otot, dan darah. Ditambah lagi dengan berbagai masalah yang menyertai
pertumbuhannya, seperti anak mulai memilih-milih makanan sesuai keinginannya,
atau pengaruh teman dan iklan di media massa. Anak memiliki risiko malnutrisi
apabila kebutuhan nutrisi yang menunjang proses tumbuh kembangnya tidak
tercukupi dengan baik (Devi, 2012).
Menurut Indrawati dkk (2013) yang mengutip pendapat Behrman dkk,
bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang selalu dikaitkan dengan kondisi
status gizi setiap individu. Semakin baik status gizi anak, maka akan lebih baik
pula proses tumbuh kembang anak tersebut. Kandungan gizi yang didapatkan dari
konsumsi makanan sehari-hari, tentu sangat berpengaruh terhadap hasil dari
makanan tersebut. Apalagi jika didukung dengan status ekonomi keluarga yang
baik, maka akan memiliki peluang yang lebih baik pula untuk mendapatkan
makanan cukup gizi, sehingga kecukupan gizi anak dapat terpenuhi. Namun
demikian, pada dasarnya kebutuhan nutrisi individu bervariasi sesuai dengan
perbedaan genetik dan metabolik. Kondisi nutrisi yang baik akan membantu
mencegah penyakit kronis dan sangat berperan dalam pengembangan fisik dan
mental anak.
dengan mengkonsumsi makanan yang memenuhi kecukupan energi dan semua zat
gizi yang meliputi karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan lemak.
Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak
cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung
lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi
ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis,
kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil
diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan
terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi
biokimia
(neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan
kecerdasan anak (Pamularsih, 2009).
Menurut Pamularsih yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), kualitas
perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan
faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orangtua. Sel-sel
otak lebih sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Zat gizi yang
berperan terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak yaitu, karbohidrat,
protein, lemak, DHA (Asam dokosaheksaenoat), AA (Asam arakidonat),
zat besi,
seng (Zn), vitamin dan mineral.
Dengan asupan zat gizi dan energi yang seimbang, otak akan menerima
rangsangan yang baik untuk terus bekerja secara optimal, terutama untuk
mengolah semua informasi yang diperoleh saat beraktivitas.
Otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan
rangsangan dari luar, di mana aktivitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah
yang besar. Otak merupakan organ yang membutuhkan sumber bahan bakar
glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi energi terbesar
dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Menurut singh yang dikutip oleh Ardi
(2016) terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya
tergantung pada asupan zat gizi yang cukup dan juga aktivitas mental dan fisik.
Menurut Georgieff , yang dikutip oleh Ardi (2016), menyatakan bahwa
defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi
neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak.
Tergantung pada waktu dan lamanya defisiensi, akan mengurangi jumlah dan
ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.
mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit
(Santrock, 2002).
Hal ini menunjukkan bahwa, faktor gizi adalah faktor esensial bagi
pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurang gizi pada ibu hamil dan bayi
mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi mencatat bahwa
stunting
menurunkan skor IQ 5-10 poin (Syafiq, 2007).
Menurut Karsin yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), bahwa anak yang
mengalami Kurang Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13
skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu sumber zat
gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak seperti yang
dinyatakan oleh Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa asam amino
esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak. Selain
KEP, malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan mikronutrien
(zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga memiliki pengaruh buruk pada
pertumbuhan.