• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Berat Lahir, Status Gizi Dengan Tingkat Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient-IQ) Pada Siswa SD Negeri 054901 Sidomulyo Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Berat Lahir, Status Gizi Dengan Tingkat Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient-IQ) Pada Siswa SD Negeri 054901 Sidomulyo Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2016"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Berat Lahir

Menurut Saifuddin yang dikutip oleh Kurniasih (2015), berat lahir atau

berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam

pertama setelah lahir. Berat bayi lahir berdasarkan berat badan dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi

Berat Lahir Normal (BBLN).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah berat yang dilahirkan dengan

berat lahir <2500 gram tanpa memandang usia gestasi, bayi baru lahir normal

adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan lahir

>2500-4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).

(2)

Menurut Sutiari dan Wulandari (2012) yang mengutip pendapat Singh,

terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya

tergantung pada asupan zat gizi yang cukup. Bayi BBLR telah mengalami

kekurangan gizi termasuk kekurangan energi dan protein (zat gizi makro).

Defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi

mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode

awal perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa berkurangnya jumlah

dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.

Sinapsis merupakan hubungan penyampaian impuls dari satu neuron ke

neuron yang lain. Pengaruh neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter

dan jumlah reseptornya dan pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron

untuk bekerja menghantarkan impuls saraf. Energi dan protein mendukung

perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis

Deoxyribonucleic acid (DNA) dan

Ribonucleic acid (RNA), produksi

neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit

sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein

menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang

belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi

sebagai pusat memori (Sasaki, 2011).

(3)

kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya, ukuran dan berat normal kurang,

mielinasi berkurang, dan dendrite membentuk percabangan yang lebih sedikit dari

normal. Dari berbagai penelitian di atas diketahui bahwa masa gestasi (kehamilan)

adalah masa kritis menentukan tumbuh kembang otak, sehingga berbagai zat gizi

harus tersedia selama kehamilan. Hal ini terlihat pada pada gambar dibawah ini

yaitu proses perkembangan otak selama di dalam kandungan hingga kelahiran.

Gambar 2.1 Perkembangan Otak Manusia (Santrock, 2002)

Menurut Santrock yang dikutip oleh Ernawati dkk (2014) gizi yang baik

sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga

pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya.

Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah

sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja

otak tersebut di kemudian hari.

(4)

berat badan di bawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan normal (Proverawati

dan Ismawati, 2010).

Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan

otak yang selanjutnya mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasan. Kurang gizi

pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi

mencatat bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).

Menurut Oktarina (2012), kejadian retardasi perkembangan otak dan

mental pada bayi dengan berat lahir yang rendah berkisar antara 10-20%,

termasuk cerebral palsi 3-5%, cacat pendengaran dan penglihatan yang sedang

sampai berat 1-4%, dan kesukaran belajar 20%, IQ global rata-rata 90-97 dan 76%

di antaranya dapat mengikuti sekolah normal.

2.2 Status Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta

menghasilkan energi. Nutrition status adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan

dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001). Sedangkan menurut Almatsier

(2010) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih.

(5)

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi

tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa status gizi

merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi

yang diindikasikan oleh variabel tertentu.

Menurut Supariasa (2002), gizi yang baik adalah gizi yang seimbang,

artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi

pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya

masing-masing. Kebutuhan gizi pada anak-anak dengan orang dewasa pasti

berbeda. Pada usia anak-anak kebutuhan gizi lebih banyak dibandingkan pada

orang dewasa, khususnya pada anak usia sekolah, di karenakan pada usia ini

tubuh dan otak banyak membutuhkan asupan zat gizi untuk masa pertumbuhan

dan perkembangan fisik, mental dan intelektual. Kebutuhan gizi pada anak usia

sekolah jika terpenuhi akan meningkatkan status gizi anak dan mendukung anak

pada proses belajar.

Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya

manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk

meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi

masyarakat, khususnya anak usia sekolah. Menurut Puspita (2012) yang mengutip

pendapat Suhardjo, anak sekolah termasuk kelompok rentan gizi. Untuk itu

usaha-usaha peningkatan gizi terutama harus ditujukan pada anak-anak.

(6)

dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan

dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah

merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan

penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu

Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Choi, bahwa anak sekolah

dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Anak sekolah

merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan dengan

baik kualitasnya, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik,

mental dan intelektual yang sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di

masa mendatang, guna mendukung keadaan tersebut anak sekolah memerlukan

kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status gizi yang

baik.

(7)

merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi, karena kesalahan

penentuan umur akan mengakibatkan kesalahan interprestasi status gizi. Hasil

pengukuran BB dan TB yang akurat akan menjadi tidak berarti bila tidak disertai

penentuan umur yang tepat (Supariasa. et al, 2002).

Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi

adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),

dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Indeks massa tubuh menurut

umur (IMT/U). BB/U bermanfaat untuk menggambarkan status gizi seseorang

pada saat ini, TB/U memberikan gambaran status gizi masa lalu, BB/TB

merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Pengukuran

antropometri terbaik adalah metode Indeks Massa Tubuh (IMT) yang

menggunakan indikator BB/TB

2

. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi

saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Pengukuran secara IMT

mengelompokkan status gizi dalam 5 kategori, yaitu sangat kurus, kurus, normal,

gemuk dan obesitas (Supariasa et al, 2002).

Penilaian status gizi anak usia sekolah, indikator yang tepat adalah Indeks

massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 5-18 tahun. Dalam penelitian ini

parameter status gizi yang digunakan adalah IMT/U. Penilaian status gizi

berdasarkan indeks IMT/U dapat di lihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks IMT/U

(8)

Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Boeree, kesehatan dan

pertumbuhan anak merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian

terus-menerus oleh berbagai pihak, seperti pemerintah maupun keluarga. Anak-anak

merupakan penerus bangsa, di tangan merekalah kelak nasib bangsa ini akan

ditentukan. Jika suatu bangsa memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani,

akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas dan produktif.

Turunnya kualitas suatu generasi dapat dicegah dengan cara menyelamatkan

mereka dari gangguan kesehatan fisik, mental maupun intelektual. Memang harus

diakui bahwa kekhawatiran pada orang tua terhadap kecerdasan putra-putrinya

mereka sangat besar. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat

kecerdasan seseorang, antara lain faktor gizi.

Anak usia sekolah cenderung rentan gizi yaitu keadaan kurus kering dan

kecil pendek (stunting). Keadaan tersebut jika ditemukan pada usia anak sekolah,

hal ini akan menjadi indikator adanya kurang gizi kronis. Keadaan ini akan

menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan otak dan tingkat

kecerdasan, yang akan mempengaruhi hasil prestasi belajar anak di sekolah.

Berdasarkan pendapat Ardi (2016) yang mengutip pendapat Wibowo et al, bahwa

status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Hal ini

dibuktikan oleh penelitian Syafiq (2007), Studi mencatat bahwa

stunting

menurunkan skor IQ 5-10 poin.

(9)

poin lebih rendah secara signifikan, sedangkan anak dengan gizi baik mempunyai

skor IQ 10 poin lebih tinggi namun tidak signifikan secara statistik.

Kecerdasan tidak hanya berpengaruh pada anak dengan status gizi kurang,

tetapi juga pada anak dengan status gizi lebih yaitu gemuk dan obesitas. Hal ini

dapat meningkatkan deposit lemak yang berakibat terhambatnya aliran darah ke

otak sehingga otak mengalami kekurangan oksigen. Dalam waktu lama hal ini

dapat menimbulkan gangguan belajar dan berdampak pada prestasi belajar

(Puspita, 2012).

Menurut Puspita (2012) yang mengutip hasil penelitian Gable,

menunjukkan anak sekolah dasar yang mengalami berat badan berlebih cenderung

memiliki nilai yang kurang pada beberapa mata pelajaran dibandingkan dengan

anak yang memiliki berat badan normal. Hal ini merupakan bukti nyata adanya

pengaruh berat badan berlebih terhadap prestasi belajar. Belajar berkaitan erat

dengan kecerdasan.

(10)

perkembangan meragukan dan 5 anak (12,5%) dengan tingkat perkembangan

abnormal.

Menurut Budiyati (2011) yang mengutip pendapat Gable, bahwa pengaruh

berat badan berlebih lainnya dalam kecerdasan yaitu kelebihan berat badan pada

anak ternyata berpengaruh buruk pada kemampuan matematika bahwaa rasa

gelisah dan terasingkan menjadi pemicu. Peneliti dari

Department of Nutrition

and Exercise Physiology di Missouri, mengetahui hal ini setelah mempelajari

rekam jejak 6.300 siswa sejak taman kanak-kanak. Dari waktu ke waktu, orangtua

diminta mengisi kuisioner tentang anak-anak berikut tes akademiknya. Hasil

penelitian menunjukkan anak-anak yang mengalami obesitas sejak taman

kanak-kanak lemah dalam ujian matematika. Anak laki-laki yang baru mengalami

kegemukan saat kelas tiga atau empat menunjukkan kelemahan berhitung yang

kronis. Kegemukan yang terjadi belakangan pada anak perempuan menyebabkan

kelemahan matematika sementara. Temuan ini menunjukkan hubungan kompleks

antara berat badan dan kecerdasan anak.

Kegemukan di usia dini diketahui meningkatkan risiko penyakit seperti

intoleransi glukosa, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Sebagian peneliti menduga

risiko ini juga mengancam kemampuan kognitif anak. Dalam sebuah penelitian

disebutkan anak dengan

body mass index tinggi, berarti semakin gemuk

berpengaruh negatif pada prestasi akademik (Sartika, 2011).

(11)

sendiri. Anak yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal akan dengan

mudah memahami materi pelajaran di sekolah, maka anak tersebut sangat

berpotensi mendapatkan prestasi belajar yang bagus.

2.3 Intelligence Quotient (IQ)

Menurut Nur’eini (2012) yang mengutip pendapat

David Wechsler,

inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara

rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat

disimpulkan bahwa integensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan

proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati

secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang

merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Menurut Azwar (2011) yang mengutip pendapat Alfret Binet (tokoh perintis

pengukuran inteligensi), bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1)

kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk

mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3)

kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa intelegensi

adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional

dan kemampuan untuk menggunakan daya pikir tersebut dalam memahami situasi

yang baru.

(12)

berpikir secara rasional dan logis, EQ memungkinkan manusia untuk

menggunakan perasaan yang terwujud dalam tingkah laku dan emosi, dan SQ

memungkinkan manusia untuk berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dicapai

dengan logika dan perasaan.

Dari ketiga macam kecerdasan di atas, kecerdasan intelektual merupakan

kecerdasan manusia yang paling utama. Kecerdasan ini dikemukakan oleh

William Stern pada tahun 1912 berkreasi serta berinovasi (Suhendro, 2012).

Intelligence Quotient

atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes

intelegensi, dengan mengukur proses berpikir konvergen, yaitu kemampuan untuk

memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang

diberikan (Nur’eini, 2012).

Menurut Ardi (2016) yang mengutip hasil penelitian Terman dapat

disimpulkan bahwa skor tes IQ rata-rata adalah 90-110. Meskipun demikian, tidak

semua tes inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ memang bukan

satu-satunya cara untuk menyatakan tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes

inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ, akan tetapi memberikan klasifikasi

tingkat inteligensi seperti pola berpikir divergen atau konvergen.

(13)

2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak

Menurut Nova (2011) yang mengutip pendapat Loekito, bahwa individu

tidak dilahirkan dengan IQ yang tidak dapat berubah, tetapi IQ menjadi stabil

secara bertahap selama masa kanak-kanak dan hanya berubah sedikit setelah itu.

Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), inteligensi anak dipengaruhi oleh

banyak faktor. Secara garis besar, IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1) Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir

proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam

sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi

genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara

positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal.

Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur

(ovum) yang ada pada ibu dan sel sperma yang berasal dari ayah yang akan

membuahi sel telur. Sperma dan sel telur masing-masing berisi 23 kromosom,

yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam setiap kromosom

terdapat struktur yang lebih kecil yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang

sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti

warna mata, warna rambut dan kulit (Azwar, 2008).

(14)

yang bersangkutan tidak dapat melampaui batas yang telah ditetapkan oleh faktor

keturunan.

Berdasarkan pendapat Santrock (2008) yang mengutip berbagai macam

penelitian di Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Neisser

et al, menemukan

pewarisan IQ antara 0,4 sampai 0,8, serta menjelaskan bahwa kurang dari sampai

lebih dari setengah variasi pada IQ

di antara anak-anak yang diteliti disebabkan

adanya variasi pada gen-gen mereka.

Penelitian lain juga menunjukkan bukti adanya pewarisan inteligensi berasal

dari penelitian yang menghubungkan IQ orang dari berbagai tingkatan genetik.

Menurut Azwar (2008) yang mengutip hasil penelitian Eysenck, melaporkan hasil

studi awal yang dilakukan di Inggris oleh Herman dan Hogben, yang melakukan

penelitian anak kembar berjenis kelamin berbeda dan saudara sekandung biasa.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata IQ sebesar 9,2 point,

dari analisa lanjutan mengatakan bahwa 80% variasi total IQ disebabkan oleh

faktor genetik.

(15)

2) Faktor Gizi

Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan

yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan

menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan

struktural dan fungsional pada otak.

Menurut Sasaki (2011) gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber

Daya Manusia, di antaranya kualitas kecerdasan anak. Kecerdasan berkaitan erat

dengan kualitas otak. Untuk mendapatkan kualitas otak yang maksimal

dibutuhkan keadaan gizi yang baik.

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama

pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh

dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat

berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan

mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Menurut Nova (2011) yang

mengutip hasil penelitian Walter, bahwa terhadap 825 anak dengan malnutrisi

berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan

anak yang mempunyai gizi baik.

(16)

kepribadian, emosi, akal, spiritual dan jiwa. Kita dapat mengoptimalkan fungsi

saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan aktivitas mental dan fisik.

Menurut Georgieff yang dikutip oleh Ardi (2016) bahwa defisiensi berbagai

zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia

dan neurofisiologi perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa

berkurangnya jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis. Pengaruh

neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya.

Pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan

impuls saraf.

(17)

Sejumlah penelitian pada tikus memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi

prenatal dan pascanatal dini menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak

tikus tersebut, kendati perubahan itu akan membaik pada saat tikus itu diberi

makan kembali. Namun demikian, beberapa perubahan dianggap permanen,

seperti jumlah mielin dan dendrit kortikal dalam medulla spinalis serta

peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf (Baker-Henningham

& Grantham-McGregor, 2009)

Pembentukan neuron sangat penting dalam perkembangan otak. Maka perlu

untuk menjaga agar pertumbuhan tersebut tidak terganggu seperti yang

dinyatakan oleh Georgieff (2006) bahwa otak menggunakan glukosa sebagai

sumber energi utamanya. Asam glutamik atau glutamat adalah metabolit yang

umum dari metabolism glukosa. Glutamat terlibat dalam beberapa proses

metabolik dalam otak. Ia berperan sebagai precursor bagi neurotransmitter

inhibitorik,

ɤ

-amino butyric acid (GABA). Peningkatan kadar glutamate

berhubungan dengan peningkatan aktivitas otak. Lebih lanjut, eksitotoksisitas

yang dipicu oleh glutamat merupakan mekanisme utama yang dapat menyebabkan

kehilangan neuron.

3) Faktor Lingkungan

(18)

sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar

hubungan antar sel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Penting untuk diingat

bahwa sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Safwan,

2008).

Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan

menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya

sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan

dan kepercayaan antara orangtua dan anak. Kualitas interaksi yang baik akan

menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk

memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi

(Soetjiningsih, 2012).

(19)

Berkaitan dengan faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif

terhadap kecerdasan anak, yaitu riwayat social-budaya, bahwa menurut Mc

Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah

mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi

dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orangtua yang tinggi.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama

kecerdasan, begitu juga dengan faktor lainnya. Meskipun dukungan genetik

mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan

kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor IQ mereka secara

signifikan. Menurut Neisser yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa anak-anak

yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial

ekonomi orangtuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes

kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen

gizi protein.

2.3.2 Tes IQ

Menurut Angga (2012) test inteligensi atau tes IQ adalah suatu jenis tes

psikologis yang khusus dipergunakan untuk mengukur taraf inteligensi atau

tingkat kecerdasan seseorang. Tes inteligensi dirancang untuk mengukur proses

berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu

jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan.

(20)

1) Stanford

Binet Intelligence Scale.

Tes ini dikelompokkan menurut berbagai level usia. Dalam

masing-masing tes untuk setiap level usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang

tidak jauh berbeda. Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual. Tes ini

dilaksanakan pada satu individu dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh

pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes adalah orang yang mempunyai latar

belakang pendidikan yang cukup dibidang psikologi (Azwar, 2008)

Menurut Baron yang dikutip oleh Azwar (2008), menurut revisi terakhir,

konsep inteligensi Stanford-Binet dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran

yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Antara lain: (1) penelaran verbal,

(2) penalaran kuantitatif, (3) penalaran visual abstrak, (4) memori jangka pendek.

Menurut skala Stanford-Binet, IQ diklasifikasikan sebagai berikut :

a)

140-169

: Sangat Superior

b)

120-139

: Superior

c)

110-119

: Bright Normal (High Average)

d)

90-110

: Average (Rata-Rata)

e)

80-89

: Low Average

f)

70-79

: Borderline-Defective

2) Wechlser Scale.

(21)

anak-anak yang berusia 4-6,5 tahun. Skala Wechlser dikelompokkan menjadi 12 sub

skala, enam skala verbal dan enam skala non-verbal

3) Culture Fair Intelligence Test (CFIT).

Menurut Cattel yang dikutip oleh

Nur’eini (2012),

mengembangkan

Culture Fair Intelligence Test, yang berusaha mengkombinasikan beberapa

pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi

sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat

pendidikan. Tes ini membuat batasan yang lebih jelas antara kemampuan dasar

dengan hasil belajar khusus serta memberikan analisis dan prediksi yang lebih

baik dari potensi maksimal individu.

Culture Fair Intelligence Test (CFIT), disusun oleh R. B. Cattel terdiri dari

3 bentuk yaitu skala 1 untuk anak usia 4

8 tahun, skala 2 untuk anak usia 8

13

tahun atau dewasa rata-rata, skala 3 untuk murid SLTA ke atas atau dewasa

superior. Menurut skala Cattel, IQ diklasifikasikan sebagai berikut :

a)

140-169

: Very Superior

b)

120-139

: Superior

c)

110-119

: High Average

d)

90-109

: Average

e)

80-89

: Low Average

f)

70-79

: Bordeline

(22)

4) Tes Progressive Matrices

Raven progressive Matrices (sering disebut sebagai Raven Matriks) atau

RPM adalah tes kelompok nonverbal biasanya digunakan dalam pengaturan

pendidikan. Tes ini merupakan tes yang paling popular dan paling umum,

diberikan kepada kelompok anak dari 5 tahun sampai orangtua. Berdasarkan teori

dari Sperman yang disebut dengan teori dua faktor yang terdiri dari dua

kemampuan mental yaitu inteligensi umum “

General Factor

= faktor g” dan

kemampuan spesifik “

Special Factor

= faktor s”. menurut Sperman bahwa

kemampuan seseorang bertindak dalam setiap situasi sangat bergantung pada

kemampuan umum dan kemampuan khusus. Dari teori tersebut, J.C. Raven dari

Inggris menciptakan tes “PM” guna mengukur inteligensi umum (Nur’eini, 2012).

Pada soal tes PM terdiri dari set matriks atau susunan bagian dari desain.

Pada setiap persoalan terdapat suatu bagian yang dihilangkan pada ujung kanan

bawah dari desain tersebut. Tugas subjek adalah memilih dari sejumlah alternative

jawaban yang tersedia yang cocok untuk mengisi bagian yang hilang. Soal yang

mudah hanya menuntut ketepatan dalam diskriminasi. Sedangkan soal yang lebih

sulit melibatkan kemampuan analogi, pergantian pola serta hubungan logis

(Nur’eini, 2012).

(23)

A. Coloured Progressive Matrices (CPM)

Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu contoh bentuk skala

inteligensi yang disusun oleh J.C.Raven, dan dapat diberikan secara individual

maupun kelompok. CPM merupakan tes yang bersifat non verbal, materi soal-soal

yang diberikan tidak dalam bentuk tulisan atau bacaan, melainkan dengan metode

gambar-gambar yang berupa figure dan desain abstrak, sehingga dihadapkan tidak

tercemari oleh faktor budaya (Azwar, 2008).

Tes ini mengukur kemampuan anak usia antara 5 sampai 11 tahun. Di

samping itu tes ini dapat dipakai untuk anak-anak yang tergolong

devective atau

pada yang lanjut usia (Nur’eini, 2012).

Soal yang mudah menuntut ketepatan dalam diskriminasi, sedangkan soal

yang lebih sulit melibatkan kemampuan analogi pergantian pola serta hubungan

logis. Tes CPM berbentuk buku soal yang terdiri dari 36 soal dalam 3 set, yaitu

A, Ab, dan B. Menurut Raven yang dikutip oleh Nur’eini (2012), bahwa tes CPM

di maksudkan untuk mengungkap aspek: (a) berpikir logis, (b) kecakapan

pengamatan ruang, (c) kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara

keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisis dan

kemampuan integrasi, (d) kemampuan berpikir secara analogi.

B. Standart Progressive Matrices (SPM)

(24)

CPM dan SPM menyatakan hasilnya dalam tingkat atau level

intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subjek

yang di tes, yaitu:

a)

Grade I

: kapasitas intelektual superior

b)

Grade II

: kapasitas intelektual di atas rata-rata

c)

Grade III

: kapasitas intelektual rata-rata

d)

Grade IV

: kapasitas intektual di bawah rata-rata

e)

Grade V

: kapasitas intelektual terhambat.

Dalam penelitian ini, tes IQ yang digunakan adalah tes

Coloured

Progressive Matrices (CPM) dan

Standart Progressive Matrices

(SPM). Alat tes

yang digunakan disesuaikan dengan usia peserta. Pada penelitian ini, CPM

digunakan untuk tes IQ anak sekolah dasar kelas 1 dan 2, sedangkan SPM untuk

kelas 3 sampai 6. Keunggulan menggunakan tes ini yaitu tes ini digunakan untuk

mengukur kemampuan dalam hal pengertian dan melihat hubungan bagian-bagian

gambar yang disajikan serta mengembangkan pola berpikir yang sistematis dan

mengungkap kemampuan intelektual (inteligensi umum) individu. Tes ini

dianggap sebagai

culture fair test (adil untuk semua budaya) karena mampu

meminimalkan pengaruh budaya tertentu. Pengolahan dan analisis hasil

pengukurannya juga relatif mudah. Tes IQ dilaksanakan oleh psikolog (Nur’eini,

2012).

(25)

verbal maupun

performace koefisiennya berkisar antara 0,4 dan 0,75. Validitas

yang cukup tinggi dari korelasi tes SPM dengan tes yang dibuat Terman dan

Merril serta SPM dengan WISC. Penelitian lain yang menggunakan alat tes IQ

yang sama yaitu Nova (2011) menggunakan alat tes CPM dan SPM pada

penelitiannya untuk melihat perbedaan tingkat kecerdasan intelektual pada anak

usia sekolah dasar dengan riwayat BBLR dan BBLC.

Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Standart Progressive Matrices

(SPM) akan menghasilkan tingkatan intelektualitas sehingga untuk mendapatkan

skor IQ individual dan taraf IQ, dibutuhkan bantuan lembaga konsultan psikolog

dalam mengkonversikan skor mentah dalam persentil, kemudian ke dalam IQ

yang menggunakan tabel equivalensi. Setelah IQ masing-masing siswa diperoleh,

maka IQ harus dicocokkan dengan klasifikasi tertentu untuk mengetahui taraf IQ

siswa. Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan bantuan dari Biro Konsultasi

Psikologi yaitu Elviati Achmad Psi.

2.4

Keterkaitan Berat Lahir dengan Tingkat Kecerdasan

(Intelligence

Quotient - IQ) Anak

(26)

perkembangan adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (Sutiari dan Wulandari,

2012).

World health Organization (WHO) sejak tahun 1961 menyatakan bahwa

semua bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2.500 gram

disebut

low birth weight infant. Salah satu penyebab terjadinya BBLR adalah

kekurangan gizi pada saat kehamilan (Asiyah, 2014).

Kehamilan menyebabakan meningkatnya metabolisme energi, karena itu

kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan

energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan

janin, pertambahan besar organ kandungan, perubahan komposisi dan

metabolisme tubuh ibu (Prawirohardjo, 2005).

Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan

janin tumbuh tidak sempurna salah satunya pada pertumbuhan dan perkembangan

otak. Gizi ibu yang buruk akan merusak otak bayi. Menurut Puspita (2012) yang

mengutip hasil penelitian Ludington dan golant, dapat disimpulkan bahwa jika

gizi ibu buruk maka otak bayi akan kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya,

ukuran dan berat normal kurang, mielinasi berkurang dan dendrit membentuk

percabangan yang sedikit dari normal.

(27)

sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja

otak tersebut di kemudian hari.

Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki

kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung

yang disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan

pada neuron. Neuron meneruskannya pada neuron lain. Diperkirakan manusia

memiliki 10

12

neuron dan 6 x 10

18

sinapsis. Dengan jumlah yang begitu banyak,

otak mampu mengenali pola, melakukan perhitungan dan mengontrol organ-organ

tubuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan komputer digital

(Rochman, 2009).

Pada waktu lahir, otak mempunyai struktur yang menakjubkan karena

kemampuannya membentuk sendiri aturan-aturan/pola berdasarkan pengalaman

yang diterima. Jumlah dan kemampuan neuron berkembang seiring dengan

pertumbuhan fisik manusia, terutama pada umur 0-2 tahun. Pada 2 tahun pertama

umur manusia, terbentuk 1 juta sinapsis per detiknya, sebagaimana pada gambar

dibawah ini: (Santrock, 2002).

Gambar 2.2 Pertumbuhan Sinapsis (Santrock, 2002)

(28)

100 milyar neuron telah dimiliki oleh seorang bayi ketika lahir ke dunia. Setiap

neuron akan dihubungkan satu dengan yang lainnya yang disebut dengan sinapsis

(Santrock, 2002).

Setelah bayi lahir pembentukan sinapsis meningkat secara dramatis. Akan

tetapi, jika bayi dengan BBLR pembentukan sinapsis akan mengalami gangguan

pertumbuhan. Hal ini disebabkan bayi sudah mengalami defisiensi zat gizi makro

di dalam kandungan untuk proses perkembangan otak. Salah satunya adalah

protein. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro yang berkontribusi

besar pada fungsi otak. Defisiensi zat gizi makro berpengaruh terhadap

perkembangan otak yaitu mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi

mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode

awal perkembangan otak. Pembentukkan myelin yang terganggu akan

mengakibatkan sedikitnya bagian saraf yang tumbuh dan berdampak pada kualitas

kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi (Georgieff, 2006).

Menurut Ernawati dkk (2014) yang mengutip hasil penelitian Luize, dapat

disimpulkan bahwa bayi yang mengalami kekurangan energi dan protein berat

memiliki bobot otak 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi normal. Defisiensi

bisa mencapai 40% bila berlangsung sejak janin. Bobot otak yang ringan berarti

otak memiliki jumlah neuron yang sedikit dan ukuran neuron yang kecil sebagai

elemen penting pada penyusun sistem saraf pusat dan dapat mengganggu

pembentukan sinapsis.

(29)

kecukupan zat gizi dan melalui aktivitas mental dan fisik. Proses pertumbuhan

otak akan melambat setelah melewati periode emas yaitu umur 0-2 tahun, akan

tetapi setelah masa tersebut tidak kalah pentingnya. Dengan asupan gizi dan

energi yang seimbang, otak akan menerima rangsangan yang baik untuk terus

bekerja secara optimal (Soetjiningsih, 2012).

Kekurangan gizi pada kehamilan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan

janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, kematian neonatal, cacat

bawaan, anemia pada bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (Depkes RI,

2010). Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), bahwa bayi yang lahir dengan

berat badan dibawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak yang lahir berat badan normal.

Menurut Nova (2011) kondisi BBLR akan sangat berpengaruh terhadap

perkembangan kesehatan anak selanjutnya. Selain kekurangan gizi, bayi yang

baru lahir tersebut juga akan mengalami kemunduran perkembangan otak. Hal ini

akan berakibat terjadinya penurunan kemampuan belajar dan kemampuan

akademik pada usia yang lebih lanjut. Sebuah studi mencatat bahwa BBLR

menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).

(30)

meningkatkan skor IQ sampai 4,6 sedangkan pada anak perempuan, peningkatan

kenaikan 1 kg berat badan meningkatkan skor IQ sampai 2,8. Kemudian, menurut

Hanid yang dikutip oleh Agustini (2013), bahwa penelitian yang dilakukan di

Malaysia menunjukkan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan

kemampuan kognitif anak.

Menurut Kurniasih (2015), kekurangan gizi pada anak terutama pada usia

6-7 tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas

anak menjadi menurun dan cenderung malas. Kejadian BBLR di Indonesia masih

perlu dicermati bersama. Karena bayi berat lahir rendah dan berat lahir lebih

dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang

selanjutnya.

2.5

Keterkaitan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan

(Intelligence

Quotient-IQ) Anak

(31)

Anak membutuhkan nutrisi lebih banyak untuk pertumbuhan tulang, gigi,

otot, dan darah. Ditambah lagi dengan berbagai masalah yang menyertai

pertumbuhannya, seperti anak mulai memilih-milih makanan sesuai keinginannya,

atau pengaruh teman dan iklan di media massa. Anak memiliki risiko malnutrisi

apabila kebutuhan nutrisi yang menunjang proses tumbuh kembangnya tidak

tercukupi dengan baik (Devi, 2012).

Menurut Indrawati dkk (2013) yang mengutip pendapat Behrman dkk,

bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang selalu dikaitkan dengan kondisi

status gizi setiap individu. Semakin baik status gizi anak, maka akan lebih baik

pula proses tumbuh kembang anak tersebut. Kandungan gizi yang didapatkan dari

konsumsi makanan sehari-hari, tentu sangat berpengaruh terhadap hasil dari

makanan tersebut. Apalagi jika didukung dengan status ekonomi keluarga yang

baik, maka akan memiliki peluang yang lebih baik pula untuk mendapatkan

makanan cukup gizi, sehingga kecukupan gizi anak dapat terpenuhi. Namun

demikian, pada dasarnya kebutuhan nutrisi individu bervariasi sesuai dengan

perbedaan genetik dan metabolik. Kondisi nutrisi yang baik akan membantu

mencegah penyakit kronis dan sangat berperan dalam pengembangan fisik dan

mental anak.

(32)

dengan mengkonsumsi makanan yang memenuhi kecukupan energi dan semua zat

gizi yang meliputi karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan lemak.

Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak

cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung

lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi

ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis,

kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil

diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan

terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi

biokimia

(neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan

kecerdasan anak (Pamularsih, 2009).

Menurut Pamularsih yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), kualitas

perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan

faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orangtua. Sel-sel

otak lebih sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Zat gizi yang

berperan terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak yaitu, karbohidrat,

protein, lemak, DHA (Asam dokosaheksaenoat), AA (Asam arakidonat),

zat besi,

seng (Zn), vitamin dan mineral.

(33)

Dengan asupan zat gizi dan energi yang seimbang, otak akan menerima

rangsangan yang baik untuk terus bekerja secara optimal, terutama untuk

mengolah semua informasi yang diperoleh saat beraktivitas.

Otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan

rangsangan dari luar, di mana aktivitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah

yang besar. Otak merupakan organ yang membutuhkan sumber bahan bakar

glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi energi terbesar

dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Menurut singh yang dikutip oleh Ardi

(2016) terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya

tergantung pada asupan zat gizi yang cukup dan juga aktivitas mental dan fisik.

Menurut Georgieff , yang dikutip oleh Ardi (2016), menyatakan bahwa

defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi

neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak.

Tergantung pada waktu dan lamanya defisiensi, akan mengurangi jumlah dan

ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.

(34)

mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit

(Santrock, 2002).

Hal ini menunjukkan bahwa, faktor gizi adalah faktor esensial bagi

pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurang gizi pada ibu hamil dan bayi

mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi mencatat bahwa

stunting

menurunkan skor IQ 5-10 poin (Syafiq, 2007).

Menurut Karsin yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), bahwa anak yang

mengalami Kurang Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13

skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu sumber zat

gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak seperti yang

dinyatakan oleh Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa asam amino

esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak. Selain

KEP, malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan mikronutrien

(zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga memiliki pengaruh buruk pada

pertumbuhan.

Penelitian lain yaitu Liu

et.al

(2004) di Mauritius menemukan

bahwa anak dengan kurang gizi pada umur 3 tahun memiliki rerata skor IQ pada

umur 11 tahun lebih rendah daripada anak dengan gizi baik.

Status gizi anak penting untuk kelangsungan hidup dan kesehatan. Menurut

Almatsier (2010) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi kurang,

baik dan lebih.

(35)

kesehatan pada anak. Gizi lebih dikelompokkan atas 2 yaitu keadaan gemuk dan

obesitas. Gemuk dan obesitas berpotensi mengalami berbagai gangguan sistem

tubuh, baik kardiovaskuler, pernafasan, endokrin, neurologi, integumen, sistem

imunitas, serta gangguan psikologis dan gangguan perkembangan (Budiyati,

2011).

Anak-anak dengan kegemukan atau kelebihan berat badan juga dapat

mengalami kesulitan bergerak dan terganggu pertumbuhannya karena timbunan

lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang.

Belum lagi efek psikologis yang dialami anak, misalnya ejekan dari teman-teman

sekelas pada anak-anak yang telah bersekolah. Menurut Sartika (2011), obesitas

atau kegemukan pada anak terutama pada usia 6-7 tahun bisa menurunkan tingkat

kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan

cenderung malas.

Menurut Cohen

yang dikutip oleh Sa’adah (2014), bahwa

kejadian

obesitas berkaitan erat dengan fungsi kognitif secara umum dan kemampuan

mengingat. Mekanisme yang mendasari hubungan antara obesitas dengan fungsi

kognitif belum diketahui secara pasti dan kemungkinan besar melibatkan banyak

etiologi yang saling berinteraksi satu sama lain. Namun demikian, diduga terdapat

peranan dari mekanisme vaskular dan metabolik yang memperbesar terjadinya

penuaan otak dini (premature brain aging).

(36)

akan tetapi penting agar tidak banyak terjadi kerusakan sel otak yang lebih

banyak. Pada umur 2 tahun, otak memiliki ukuran 80% orang dewasa. Setelah

usia tersebut, neuron tidak lagi terbentuk hanya sel-sel otak lain seperti glia dan

sambungan neuron baru yang akan tubuh, kira-kira 1000 trilliun sambungan pada

umur 3 tahun. Perkembangan neuron di otak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan

termasuk zat gizi, stimulasi dan pengalaman.

Menurut Hurlock (2008) walaupun banyak neuron-neuron yang diciptakan

melebihi dari yang anak butuhkan, tetapi hanya neuron-neuron yang dirangsang

saja yang memberikan kesempatan belajar di kemudian hari. Neuron-neuron yang

tidak dirangsang akan dilenyapkan melalui proses alamiah dan proses tersebut

dikenal sebagai “pemangkasan neuron”

. Pemangkasan sambungan-sambungan

yang tidak digunakan dan diperlukan ini memungkinkan jalan yang sudah

dirangsang untuk tumbuh dan membuat hubungan yang lebih rumit. Dalam kata

lain, neuron-neuron yang tidak dirangsang selama periode waktu kritis tertentu

akan hilang atau diubah. Sehingga, perlu sekali memahami jendela peluang atau

kesempatan yang ada secara alamiah agar dapat merangsang dan mendukung

hubungan otak yang berguna untuk pembelajaran sepanjang hayat.

(37)

Masa-masa awal perkembangan merupakan masa-masa penting untuk

perkembangan otak, tetapi tidak kalah pentingnya masa-masa sesudahnya.

Kualitas perkembangan otak akan mempengaruhi inteligensi anak. Dalam dunia

pendidikan dan pengajaran, masalah inteligensi merupakan salah satu masalah

pokok. Peranan inteligensi dalam proses pendidikan penting menentukan dalam

hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar, terlebih-lebih pada waktu

anak masih sangat muda, inteligensi sangat besar pengaruhnya (Papalia, 2008).

Menurut Theo dan Martin yang dikutip oleh Yusuf dan Syamsu (2011),

bahwa pembelajaran berkaitan erat dengan perkembangan kognitif. Hasil-hasil

studi dibidang neurologi bahwa perkembangan kognitif anak telah mencapai 80%

ketika anak berusia 8 tahun.

Perkembangan kognitif yang terletak pada perubahan-perubahan yang

terjadi dalam hubungan di antara neuron yaitu sinapsis. Pembelajaran melibatkan

penguatan sinapsis yang telah ada atau pembentukan sinapsis baru. Setiap

pembelajaran akan menghadirkan pengalaman yang akan “menyalakan” beberapa

sirkuit neuron atau membiarkannya. Sirkuit neuron yang dinyalakan dari waktu

kewaktu akan membesar dan menguat, sedangkan yang tidak digunakan akan

mengecil kemudian putus (pruning) (Santrock, 2011).

(38)

perkembangan intelegensi anak mengalami keterlambatan akibat status gizi di

masa lalunya, jika dilakukan penanganan yang baik dan tepat yaitu dengan

melibatkan semua sektor dan ahli, maka akan memberikan dampak yang lebih

baik daripada hanya dengan intervensi gizi saja.

Proses pembentukan sinapsis dalam jumlah sangat besar dan pemangkasan

sinapsis dapat terjadi dalam 2 bentuk. Proses pertama disebut sebagai

“pengalaman

-

harapan”, karena sinapsis dibentuk secara b

erlebihan pada

bagian-bagian otak itu menunggu stimulasi untuk diaktifkan. Stimulasi agar tetap

bertahan adalah melalui stimulasi visual dan auditori (penglihatan dan

pendengaran). Proses pembentukan sinapsis kedua disebut “bergantung

pengalaman”. Disebut

demikian karena sinapsis dapat pula terbentuk ketika

seseorang belajar sesuatu dan sukses memproses informasi tersebut di otaknya.

Sinapsis akan terbentuk dibagian otak yang bersesuaian dengan fungsi dimana

informasi itu diolah. Proses pembentukan sinapsis kedua ini sangat penting

artinya di dalam pendidikan. Seseorang yang banyak belajar tentunya akan

mempunyai lebih banyak sinapsis dibandingkan dengan orang yang tidak belajar

(mengolah informasi di otaknya) (Robert, 2011).

(39)

diajak untuk terus mengulang hafalan maka kemampuan anak akan semakin

berkembang. Akibatnya banyak jalur sinapsis yang terbentuk kuat. Jika jarang

untuk diulang maka jalur sinapsis yang terbentuk akan menghilang karena hanya

dengan stimulasi lingkungan berulang sinapsis akan terbentuk kuat (Safwan,

2008).

Kerusakan sel-sel otak pada periode kritis pertumbuhan dan

perkembangan otak anak dapat dipulihkan. Perlu untuk dipahami bahwa struktur

dan fungsi otak adalah fleksibel terkait dengan berbagai sistem tubuh dan

lingkungan. Adalah benar, sel-sel otak yang mengalami kematian tidak bisa

sembuh kembali, tetapi masih ada kemungkinan ruang dan waktu bahwa fungsi

otak yang hilang akibat kerusakan tersebut diambil alih oleh bagian otak yang lain

dengan cara atau mekanisme plastisitas. Mekanisme ini merupakan mekanisme

kompleks yang melibatkan: perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan

saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi otak, dll (Ayriza, 2010).

Menurut Heryati (2008), plastisitas adalah kemampuan sistem saraf pusat

(otak) untuk beradaptasi atau berubah setelah ada pengaruh atau stimulasi

lingkungan. Berdasarkan konsep plastisitas, maka kerusakan pada otak

dimungkinkan untuk terjadi proses

recovery

(pemulihan). Plastisitas pada otak

merupakan kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi

organisasi struktural & fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung

terus sesuai kebutuhan dan atau stimulasi.

(40)

Pengaturan fungsi tertentu pada otak terdapat pada beberapa tingkat atau area,

sehingga bila ada satu rusak, masih ada yang mengatur fungsi yang rusak. Daerah

yang tidak memiliki fungsi khusus pada otak dapat belajar atau mengambil alih

fungsi dari daerah yang mengalami kerusakan. Hal ini merupakan dasar tentang

struktur dan fungsi pada otak terkait dengan plastisitas (Heryati, 2008).

Pemberian stimulasi untuk merangsang perkembangan anak sangat

bermanfaat untuk merangsang perkembangan syaraf-syaraf anak. Hal ini berkaitan

dengan struktur dan fungsi otak yaitu fleksibel terkait dengan berbagai sistem

tubuh dan lingkungan. Salah satu fungsi plastisitas (pemulihan) otak adalah

peningkatan sensitivitas hubungan saraf

(Denervation supersensitivity)

dan

pengefektifan sinapsis laten

(Silent synapsis recruitment) (Eillen dan Marotz,

2010).

(41)

Informasi yang masuk dan diterima otak melalui memori jangka pendek

hanya merupakan fenomena biolistrik yang berlangsung beberapa menit sampai

beberapa jam. Keberhasilan pembelajaran terjadi bila informasi ditransfer ke

memori jangka panjang dapat diingat lebih lama, malahan seumur hidup. Proses

transfer informasi itu dapat melalui strategi latihan, ulangan, perhatian & asosiasi.

Memori jangka panjang terjadi perubahan struktrur otak dengan aktivitas gen,

pembentukan protein baru dan pertumbuhan cabang-cabang sel neuron. Otak bisa

dianalogikan dengan otot, dimana semakin diaktifkan semakin baik hasil yang

diperoleh (Safwan, 2008).

Menurut Heryati (2008), anak yang mengalami gangguan pertumbuhan fisik

dan gangguan perkembangan otak dengan adanya sistem plastisitas otak akan

memulihkan fungsi otak yang sudah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor

yang dapat menunjang terjadinya pemulihan otak yaitu stimulasi lingkungan,

stimulasi yang sering, durasi yang tepat pada stimulasi dan konsistensi. Dengan

memperhatikan faktor yang menunjang terjadinya plastisitas maka dapat

memperbaiki kualitas perkembangan otak anak termasuk kecerdasan anak. Hal ini

sangat penting artinya di dalam pendidikan. Seseorang yang banyak belajar

tentunya akan mempunyai lebih banyak sinapsis dibandingkan dengan orang yang

tidak belajar. Maka perlu untuk diperhatikan kembali status gizi anak usia sekolah

untuk mendukung proses plastisitas.

(42)

menentukan keberhasilan proses belajar itu sendiri. Siswa yang memiliki

kecerdasan normal atau di atas normal akan dengan mudah memahami materi

pelajaran, maka siswa tersebut sangat berpotensi mendapatkan prestasi belajar

yang bagus.

2.6

Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep kaitan antara berat lahir dan status gizi dengan

tingkat kecerdasan intelektual (IQ), dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Bagan di atas menunjukkan kaitan antara berat lahir dan status gizi dengan

tingkat kecerdasan intelektual anak. Berat lahir berkaitan dengan gizi yang cukup

untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan otak selama dalam kandungan.

Bayi yang kekurangan zat gizi selama dalam kandungan akan mempengaruhi

berat otak, yaitu 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi berat normal. Berat otak

yang ringan berarti otak memiliki gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak

baik jumlah dan ukuran sel-sel otak, pembentukkan sinapsis, produksi

neurotransmitter yang berdampak pada gangguan fungsi pusat memori di otak,

sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan anak.

Tingkat Kecerdasan

Intellektual (

Intelligence

Quotient

IQ)

Berat Lahir

Status Gizi

(43)

Gambar

Gambar 2.1 Perkembangan Otak Manusia (Santrock, 2002)
Gambar 2.2 Pertumbuhan Sinapsis (Santrock, 2002)
Gambar 2.3  Jendela Kesempatan Atau Jendela Peluang Dalam Perkembangan Otak Anak. ( Santrock, 2008)
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

1) Pemahaman siswa terhadap teknik dasar lompat jauh melalui media kardus membuat siswa bersemangat untuk melakukan pembelajaran dan semakin aktif untuk mencoba

Besaran dan angka konversi yang digunakan dalam penyusunan NBM DIY yaitu perhitungan benih untuk padi, palawija adalah hasil kajian dari BPTP, serta angka konversi

SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA SATUAN TARGET REALISASI PERSENTASE KRITERIA/ KODE. 1 Pemantapan Ketersediaan

Perjalanan dinas dalam daerah Faktor penghambat: SPJ masih dalam proses verifikasi Faktor pendukung:. Tahapan pekerjaan (fisik) yang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA.. KANTOR WILAYAH

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SEKRETARIAT JENDERAL.. RUMAH TANGGA GEDUNG

Peserta yang memasukan dokumen penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektonik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada Pokja Jasa Konsultansi ULP

FARMA” yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek jasa PT. GRAHA FAJAR FARMACEUTICALLABORATORIES atau disingkat PT.. GRAHA FARMA terkenal milik Penggugat. Oleh