• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Oleh Ahli Waris Dan Penerima Wasiat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Oleh Ahli Waris Dan Penerima Wasiat"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri, dalam

menjalankan kehidupannya senantiasa akan bergantung pada orang lain. Manusia

saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini disebabkan

manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri.

Untuk itu manusia juga dikatakan sebagai mahkluk sosial, karena pada diri manusia

ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain.1

Kelompok terkecil dalam interaksi manusia dengan manusia lainnya tercermin

dalam sebuah keluarga, sedangkan kelompok yang lebih besar dalam interaksi

manusia dengan manusia lainnya tercermin dalam sebuah negara. Istilah kelompok

dapat diartikan sebagai “masyarakat setempat”, istilah mana menunjuk pada warga

sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota-anggota kelompok, baik

kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa, sehingga

merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan

hidup utama, maka kelompok tadi disebut sebagai masyarakat setempat.2

1

Elly.M.Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 63-64.

2

(2)

Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam interaksi antar manusia terbentuk

melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang yang berlainan jenis dengan tujuan

membentuk mahligai rumah tangga. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.3

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus

berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga

pencatatan perkawinan setempat”. Sahnya suatu perkawinan selanjutnya akan

menimbulkan akibat hukum keperdataan serta hak dan kewajiban secara hukum bagi

setiap individu dalam perkawinan, seperti: kewajiban untuk saling cinta-mencintai

dan hormat-menghormati, kewajiban untuk setia dan memberi bantuan lahir bathin

yang satu kepada yang lain, kewajiban suami yang merupakan hak isteri untuk

melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah

tangga sesuai dengan kemampuannya, kewajiban isteri yang merupakan hak suami

untuk mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya4 serta hak dan terkait harta

bersama dalam perkawinan.5

Tujuan dari pengaturan hak dan kewajiban suami istri adalah agar suami istri

dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar dari susunan

3

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 4

Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 5

(3)

masyarakat. Sehingga undang-undang memberikan hak dan kedudukan isteri adalah

seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.6

Hak dan kewajiban suami istri terkait harta benda dalam perkawinan telah

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan terkait harta benda dalam perkawinan

ini dirasa perlu guna mencegah adanya perselisihan antara suami dan istri terkait

harta benda dalam perkawinan yang selanjutnya juga akan turut merugikan hak

seorang anak dalam perkawinan. Pengaturan terkait harta benda dalam perkawinan

ini juga dirasa perlu guna mencegah terjadinya perselisihan terkait harta benda dalam

perkawinan jika dikemudian hari salah satu individu dalam perkawinan meninggal

dunia terlebih dahulu, yang menyebabkan terbukanya harta warisan.

Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, karena setiap manusia pasti akan meninggal dunia.7

6

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Apabila ada peristiwa

hukum, yaitu meninggalnya seseorang akan muncullah akibat hukum, yaitu tentang

bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah

meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang

sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur dalam

hukum kewarisan.

7

(4)

Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda8

Terdapat aneka hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia, dalam

pengertian bahwa di bidang hukum waris dikenal adanya tiga macam hukum waris,

yaitu:

, karena wafatnya

seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati

dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya. Pemindahan

harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati pada dasarnya diberikan kepada

keluarga tapi juga tidak menutup kemungkinan adanya pemindahan harta kekayaan

tersebut kepada pihak ketiga. Karena itu hukum waris merupakan kelanjutan hukum

benda, tetapi juga mempunyai segi hukum keluarga.

9

1. Hukum Waris Barat, tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Hukum Waris Islam, merupakan ketentuan Al-quran dan Hadist.

3. Hukum Waris Adat, beraneka ragam tergantung di lingkungan mana masalah warisan itu terbuka.

Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika

terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Pewarisan hanya

berlangsung karena kematian.10

8

H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 82.

Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan

terbukanya warisan dan sebagai konsekuensinya seluruh kekayaan (baik berupa

9

Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir Jaya, 1992), hal 7.

10

(5)

aktiva maupun pasiva) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih

dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama.11

Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan

siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar

bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian

pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang

berhak dalam pembagian harta warisan tersebut. Pihak yang berhak dalam pembagian

harta warisan atau harta peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan

orang-orang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka). Ahli waris dalam waris

perdata ada dua pembagian, yaitu ahli waris karena undang-undang (ab intestato) dan

ahli waris karena wasiat (testamentair).12

1. Ahli waris karena undang-undang ( ab intestato)

Ahli waris karena undang-undang atau ab intestato merupakan keluarga yang

sedarah, baik sistem kekeluargaan ke atas maupun ke bawah. Prinsip yang

dipegang oleh undang ialah bahwa dalam pewarisan menurut

undang-undang, keluarga sedarah yang terdekat selalu mengenyampingkan atau

menindih keluarga yang lebih jauh sehingga keluarga yang lebih jauh itu tidak

11

Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011), hal 5.

12

(6)

ikut mewaris.13

2. Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )

Pada pewarisan karena undang-undang adanya beberapa

golongan yang ditentukan, sehingga golongan yang terdekat dari pewaris

memiliki prioritas utama untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Golongan

tersebut yaitu, golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan

keempat. Setiap golongan adanya kategori tertentu dan pembagian yang berbeda

pula.

Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam Pasal 874 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris

wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang mendapat

wasiat yang berisi suatu erfstelling (penunjukkan satu atau beberapa ahli waris

untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan); legataris yaitu ahli

waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat

berapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu

macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari

harta waris.

Dalam hukum perdata, wasiat merupakan sesuatu yang penting, karena

perselisihan diantara para ahli waris terkait harta warisan dapat dihindarkan dengan

adanya pesan terakhir. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan siapa saja yang

13

(7)

akan menjadi ahli waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu diperuntukan kepada

seseorang tertentu, baik berupa beberapa benda tertentu atau sejumlah benda yang

dapat di ganti. Wasiat atau testament yang berisi sebagian atau seluruh harta

kekayaan, hanyalah janji dari pembuat testament kepada penerima testament. Janji itu

baru bisa dilaksanakan setelah pembuat testament itu meninggal dunia.14

Adapun yang merupakan syarat-syarat wasiat terdiri: Pembuat testament harus

mempunyai budi akal, artinya orang yang sakit ingatan dan orang yang sakitnya

begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur15 dan orang yang belum

dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testament.16

Suatu wasiat hanya boleh dinyatakan, baik dengan akta tertulis sendiri

(olographis testament), baik dengan akta umum (openbaar testament), ataupun akta

rahasia atau tertutup (geheim testament).17 Jadi wasiat menurut bentuknya ada tiga

yaitu: wasiat yang ditulis sendiri (olographis testament), wasiat umum (openbaar

testament) dan wasiat rahasia atau wasiat tertutup (geheim testament). Mengenai

wasiat yang ditulis sendiri (olographis testament) undang-undang menjelaskan yakni

suatu wasiat tertulis sendiri harus seluruhnya ditulis dan ditanda tangani oleh si yang

mewariskan sendiri. Surat wasiat yang demikian oleh si yang mewariskan harus

disampaikan kepada seorang notaris.18

14

Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal 81-82.

15

Pasal 895 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 16

Pasal 897 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 17

Pasal 931 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 18

(8)

Menurut Pasal 938-939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata wasiat dengan

akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi dan notaris harus

menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas

menurut apa adanya yang disampaikan oleh pewaris kepadanya.

Bila pewaris hendak membuat surat wasiat tertutup atau rahasia, dia harus

menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya

ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat

penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus

tertutup dan disegel.19

Pewaris juga harus menyampaikannya dalam keadaan tertutup dan disegel

kepada notaris, dihadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa

dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan

ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.

Notaris harus membuat akta penjelasan mengenai hal itu, yang ditulis di atas kertas

atau sampulnya, akta ini harus ditandatangani baik oleh pewaris maupun oleh notaris

serta para saksi, dan bila pewaris tidak dapat menandatangani akta penjelasan itu

karena halangan yang timbul setelah penandatanganan wasiatnya, maka harus

disebutkan sebab halangan itu.20

Notaris bertugas dan berkewajiban untuk membuat daftar akta yang berkenaan

dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; mengirimkan

19

Pasal 940 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 20

(9)

daftar akta atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat

pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum

dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.21

Jika notaris lalai melaksanakan tanggung jawabnya terkait wasiat, maka dapat

merugikan para penerima wasiat dan akibatnya notaris tersebut dapat dituntut di

muka pengadilan oleh para penerima wasiat. Notaris tersebut dapat dikenai sanksi

berupa: peringatan tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat;

atau pemberhentian dengan tidak hormat.22

Pada umumnya dalam proses pembuatan wasiat, pemberi wasiat sering kali

tidak memberitahu kepada ahli warisnya ataupun kepada penerima wasiat akan

adanya wasiat yang dibuat oleh pemberi wasiat. Tidak adanya kewajiban bagi

pemberi wasiat untuk memberitahukan adanya wasiat yang akan dia buat menjadikan

pemberi wasiat dapat langsung menghadap ke notaris untuk membuat atau sekedar

menyimpan dan mendaftarkan akta wasiatnya. Akibatnya setelah terbukanya warisan,

seringkali ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya wasiat itu.

Kemungkinan ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam hukum kewarisan

terutama apabila, sudah dilaksanakannya pembagian warisan secara ab intestato

sedangkan dikemudian hari terdapat wasiat yang dibuat oleh pewaris atau pemberi

wasiat kepada seseorang penerima wasiat.

21

Pasal 16 huruf (i) Dan (j) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

22

(10)

Kondisi dimana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya wasiat

pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat merugikan penerima wasiat dan

menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris karena hilangnya kepastian hukum dari

pembagian warisan sebelumnya. Kondisi ini juga menimbulkan ketidakpastian akan

siapa yang bertanggung jawab atas masalah tidak diketahuinya adanya wasiat, apakah

ahli waris yang berkewajiban memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat

ataukah menjadi kewajiban setiap pelaksana hukum pembuat surat keterangan ahli

waris memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat, karena tidak ada keharusan

yang tegas secara normatif terkait siapa yang diwajibkan memeriksa adanya sebuah

wasiat.

Berdasarkan Surat Keputusan Departemen Dalam Negeri Direktorat

Pendaftaran Tanah Nomor DPT/12/63/12/69 juncto pasal 111 ayat 1 C point 4 PMNA

No 3 tahun 1997, dibedakan tentang siapa saja yang berwenang untuk membuat

keterangan waris. Pembagian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk penduduk golongan Eropa dan WNI keturunan Tionghoa, keterangan warisnya dibuat di hadapan notaris.

2. Untuk penduduk pribumi, keterangan waris cukup dibuat di bawah tangan, yang disaksikan dan dibenarkan (disahkan) oleh lurah dan dikuatkan oleh camat setempat.

3. Untuk WNI keturunan Timur Asing (India dan Arab), yang berwenang membuat keterangan warisnya adalah Balai Harta Peninggalan (BHP).

Sehingga yang seharusnya bertanggung jawab memeriksa adanya wasiat adalah

(11)

siapa saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris berada di keterangan

waris.

Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris, maka

berdasarkan Pasal 111 ayat 1 C point 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan

bahwa surat tanda bukti hak yang bentuknya terdiri dari:

1. Wasiat dari pewaris, atau

2. Putusan Pengadilan, atau

3. Penetapan notaris/Ketua Pengadilan, atau

4. Surat keterangan waris

Surat keterangan ahli waris merupakan salah satu dokumen yang menjadi

referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan untuk ahli

waris. Dari keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas warisan

atau harta peninggalan pewaris.23

Surat keterangan ahli waris di Indonesia sampai saat ini pengaturannya masih

pluralistik karena keterangan ahli waris didasarkan pada peraturan yang berbeda

berdasarkan golongan penduduk di Indonesia yang bermacam-macam. Akibatnya

sampai kini keterangan ahli waris masih belum seragam sehingga tidak

mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan konsep negara hukum.

(12)

Pembuatan surat keterangan waris pun tidak memenuhi syarat formal maupun

syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum. Sehingga bila dilihat dengan

cermat, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki seseorang ternyata dibuat oleh

pejabat yang tidak berwenang atau pejabat yang tidak mengetahui formalitas

pembuatan surat keterangan ahli waris seperti untuk terlebih dahulu memeriksa

adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat (DPW). Dengan demikian produk keterangan

ahli waris seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tesis ini mengambil judul “Analisis

Yuridis Terhadap Kedudukan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Oleh Ahli Waris

Dan Penerima Wasiat”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui keberadaan akta wasiat

oleh ahli waris dan penerima wasiat bagi golongan penduduk pribumi?

2. Bagaimana akibat hukum pembagian warisan apabila pada akhirnya diketahui

adanya akta wasiat?

3. Bagaimana upaya hukum ahli waris untuk mendapatkan perlindungan hukum

(13)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang disebut diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui adanya oleh ahli

waris dan penerima wasiat bagi golongan penduduk pribumi.

2. Untuk mengetahui akibat hukum pembagian warisan tanpa diketahui adanya akta

wasiat.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada ahli waris terkait dengan

pembagian warisan yang tidak didasarkan kepada akta wasiat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

secara praktis dibidang hukum perdata, dan hukum waris terkhususnya tentang akta

wasiat.

1. Secara Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya hukum waris

(14)

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih

lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan

andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya waris.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sehubungan dengan Pewarisan

dan wasiat.

b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan

hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan wasiat.

c. Memperbaharui peraturan-peraturan yang menyangkut dengan pelaksanaan

pembagian warisan terhadap adanya wasiat bagi pemerintah dan pihak

legislatif.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera

Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan

Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah

dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan

(15)

1. Maya Primasari, Nim. 017011039, dengan judul Pengalihan Hak Atas Tanah

Melalui Hibah Wasiat dan Proses Balik Namanya (Suatu Kajian Hukum di Kota

Medan).

Rumusan Masalah:

a. Apakah Hibah Wasiat (legaat) merupakan suatu cara untuk memperoleh Hak

Milik?

b. Apakah kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang terdapat dalam proses

balik nama sertipikat hak atas tanah yang peralihannya dilakukan berdasarkan

hibah wasiat?

c. Bagaimanakah proses balik nama sertipikat hak atas tanah yang peralihannya

dilakukan melalui hibah wasiat?

2. Sahriani, Nim. 077011084, dengan judul Pembagian Harta Warisan Orang Yang

Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah

Agung RI No. 51 K/Ag/1999).

Rumusan Masalah:

a. Hak-hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan

pewaris ?

b. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama?

c. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat wajibah

(16)

3. Muhammad Hekki Mikhail, Nim. 107011107, dengan judul Analisis Hukum

Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim (Studi

Putusan No. 0141PDT.P/2012/PA.Sby).

Rumusan Masalah:

a. Kenapa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga yang

muslim?

b. Apa yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada keluarga non

muslim?

c. Bagaimanakah pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA

No.0140/Pdt.P/2012/PA.Sby?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana

dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa “landasan teoritis merupakan kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan

digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.”24

24

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994) hal 80.

(17)

suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila pembahasan dikaji menggunakan

teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat

digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep

yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian

hukum.25

Pada ilmu hukum kelangsungan perkembangan suatu ilmu senantiasa

tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan teori.26 Teori

adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu

terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk

memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang

diamati.27

Untuk tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi

untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh

orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya dan

setiap ada pelanggaran hukum, maka hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan.28

25

Salim H. S, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajawaliPers, 2010), hal 54.

26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6. 27

JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1996), hal 203.

28

(18)

Penegakkan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya

guna bagi masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya

penegakan hukum untuk tercapainya suatu keadilan.29

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar

penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari

kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui oleh ahli waris dan penerima wasiat. Hal

ini berarti teori yang digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang

terjadi sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

Pembahasan mengenai kekuatan hukum pembagian warisan pada hakekatnya

tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya

kepastian hukum dalam pembagian warisan. Teori kepastian hukum mengandung 2

(dua) pengertian yaitu:30

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.

29

Ibid.

30

(19)

“Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara

normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan

atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari

ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi

norma. Pemikiran pada umumnya beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan

keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi,

terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara

etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah

dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia

lainnya (homo hominilupus)”. Perkembangan pemikiran manusia modern yang

disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum),

fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme

kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di

Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap

hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan

ketertiban).31

31

(20)

Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum

yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak

saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan

terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.

Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di

hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi,

tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan

realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi

yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat

tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and

order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and

order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (law

dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan

hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan

hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian

perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.32

Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang

telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku

pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh

subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan

32

(21)

secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang

menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme. Hukum diciptakan

untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah

kedudukan hukumnya.33

Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan

sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu

perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh

negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian

dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau

menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam

hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum

melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang

memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum

yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam

memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu

kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar

subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum

adalah perwujudan dari itikad baik.

33

(22)

Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah

peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar

pengutamaan kepastian hukum. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis,

siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang

tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya,

bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa

yang ada didalam.34

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,

kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum

itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum.35

a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht).

b. Hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan pada suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti “kemauan baik” dan ”kesopanan”.

c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.

d. Bahwa hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa

hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara

34

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,

(Bandung: Alumni, 1982) hal 21. 35

(23)

yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping

itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum tersebut bahwa kedudukan akta

wasiat yang tidak diketahui keberadaannya oleh ahli waris dan penerima wasiat tidak

memiliki kepastian hukum yang jelas, disebabkan karena keberadaan wasiat tersebut

tidak ada yang mengetahui selain pembuat wasiat dan atau notaris sebagai pembuat

atau penyimpan wasiat, dan tidak ada keharusan bagi pembuat wasiat untuk

memberitahu kepada ahli waris dan atau penerima wasiat akan adanya wasiat yang

dibuatnya tersebut tidak memberikan suatu kejelasan dan kepastian hukum apakah

berdasarkan kewajiban penunjukan seorang pelaksana wasiat (executeur

testamentair) dalam hal kepengurusan pelaksanaan dari isi akta wasiat yang telah

ditulis oleh pewaris, dan atau apakah berdasarkan kewajiban notaris untuk

menginformasikan adanya wasiat kepada ahli waris setelah pembuat wasiat

meninggal, atau apakah berdasarkan kewajiban ahli waris untuk memeriksa adanya

wasiat sebelum membagi harta warisan.

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat

kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat

yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh

(24)

hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi

mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran

penelitian untuk keperluan analisis.36

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau

pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi

yang dalam bahasa Latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam

bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk

ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi

atau teori ilmu pengetahuan.37 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa

konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian

hukum.38

Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka

konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih

konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat

abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak

sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit

didalam proses penelitian.39

36

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal 48-49.

Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang

37

Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,

Ibid dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid.

38

Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 21. 39

(25)

perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan

adanya hubungan empiris.40

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan

beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :

a. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian.41

b. Wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang

dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut

kembali.42

c. Ahli waris adalah kaum keluarga, orang yang berhak menerima pusaka,

peninggalan orang yang telah meninggal. 43

d. Penerima wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga

dengan pemberi wasiat, atau orang pribadi lain.44

e. Harta kekayaan adalah barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang baik

yang berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut

40

Koentjaraningrat, et-al, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet 3, (Jakarta: Gramedia, 1980), hal.21.

41

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Jakarta: Alumni, 1992), hal 37.

42

Pasal 875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 43

Muhammad Ali, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani), hal 618. 44

(26)

hukum.45

f. Surat keterangan waris adalah surat keterangan yang dibuat oleh notaris yang

memuat ketentuan siapa yang menurut hukum merupakan ahli waris yang sah dari

seseorang yang meninggal dunia.46

g. Daftar Pusat Wasiat adalah seksi yang bertugas melakukan penyusunan daftar

wasiat (testament) yang dilaporkan oleh notaris baik testament terbuka, testament

tertulis maupun testament tertutup atau rahasia, serta meneliti daftar formal daftar

wasiat dan penyiapan bahan penyelesaian permohonan surat keterangan wasiat.47

h. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.48

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.49

45

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1995), hal 342. 46

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia –Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal 19

47

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor:M.03-PR.07.10 tahun 2005, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005).

48

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 49

(27)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan

normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm).

Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), Peraturan

hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum,

sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.50

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka

yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang

hukum atau bahan rujukan bidang hukum.51

b. Sifat Penelitian

Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat

deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran

secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis

dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis

secara cermat untuk menjawab permasalahan.52

50

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal 70. 51

Ibid, hal 33. 52

(28)

2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang

dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut

meliputi sebagai berikut:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara

(interview) yang dilakukan terhadap:

1) Ketua Balai Harta Peninggalan Medan

2) Notaris Kota Medan

b. Data Sekunder

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan

data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap

berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.53

1) Bahan Hukum Primer.

Data sekunder berasal dari

penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari:

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan

utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

53

(29)

c) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2) Bahan Hukum Sekunder.

Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan seterusnya.54

3) Bahan Hukum Tertier.

.

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan seterusnya.55

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan

melalui tahap-tahap penelitian antara lain:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari

konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil permikiran lainnya yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian.56

54

Ibid, hal 13. 55

Ibid.

56

(30)

b. Penelitian Lapangan (Field Research).

Studi lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan atau menggali

informasi-informasi dan catatan lapangan yang diperlukan untuk menginventarisir hal-hal

baru yang terdapat dilapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan

penelitian, sedangkan alat pengumpulan datanya adalah:

1) Studi Kepustakaan

Mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang

diajukan dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan

dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk

kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

2) Pedoman Wawancara.

Pengumpulan data selain secara pengamatan dapat diperoleh dengan

mengadakan wawancara informasi diperoleh langsung dari responden atau

informasi dengan cara tatap muka. Wawancara adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tatap muka atara si penanya

atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan

alat yang dinamakan panduan wawancara. Sehingga penelitian ini berusaha

menggali informasi dari narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

(31)

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun

penuh dengan variasi (keragaman).57

Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang

menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang

terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek

penelitian.58

Bahwa penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data

diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila

dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari

hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan

menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori,

dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik

kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,59

57

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 53.

guna menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

58

Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi: Mandar Maju, 2008), hal 174. 59

Referensi

Dokumen terkait

membahas mengenai data kebugaran jasmani atlet catur Percama UPI yang. ditampilkan dengan memberikan kategori atau kriteria

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “hubungan perilaku penggunaan gadget dengan kualitas tidur pada anak usia remaja di SMA Nege ri 1 Srandakan Bantul”,

Adalah mahasiswa Institut Agama Islam (IAIN) Samarinda tahun akademik 2015/2016 yang telah menyelesaikan segala ketentuan akademik pada Fakultas Syariah Jurusan/ Prodi

Motivasi kerja dan training dari perusahaan sebaiknya dapat dijalankan secara bersama dengan lebih baik lagi, karena berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa motivasi kerja dan

Hasil dari tindakan tersebut pada akhirnya telah berhasil merubah kondisi wilayah Gunungkidul dari daerah kering yang tandus bertransisi menjadi lahan yang hijau dengan berbagai

Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling merupakan metode pengukuran

Abstrak.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur molekul senyawa non fenolik dari ekstrak diklorometana batang tumbuhan ashitaba (Angelica keiskei) dan

9 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 4891.. يزوتلا غ ةلملجا بُ رصانعلا ليدبت ناكمإ وى عيزوتلا نم ضرغلا