BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah
Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan
terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari
padanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari zat organik dan bukan
organik (Mahida, 1984).
Salah satu penyebab terjadinya pencemaran air adalah limbah yang
dibuang tanpa pengolahan ke dalam suatu badan air. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari
suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air limbah dapat berasal dari
rumah tangga maupun industri (Mulia, 2005).
2.2 Komposisi Air Limbah
Menurut Sugiharto (2008), sesuai dengan sumber asalnya, maka air limbah
mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap waktu.
Akan tetapi secara garis besar zat-zat yang terdapat dalam air limbah dapat
dikelompokkan seperti pada Gambar 2.1 berikut :
2.3 Air Limbah Industri
Selain penggunaan air secara konvensional, air juga diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu untuk menunjang kegiatan industri
dan teknologi. Kegiatan industri dan teknologi tidak dapat terlepas dari kebutuhan
akan air. Dalam hal ini air sangat diperlukan agar industri dan teknologi dapat
berjalan dengan baik (Wardhana, 2005).
Menurut Mulia (2005), air limbah industri umumnya terjadi akibat adanya
pemakaian air dalam proses produksi. Di industri, air umumnya memiliki
beberapa fungsi berikut :
1. Sebagai air pendingin, untuk memindahkan panas yang terjadi dari proses
industri
2. Untuk mentransportasikan produk atau bahan baku
3. Sebagai air proses, misalnya sebagai umpan boiler pada pabrik munuman
dan sebagainya
4. Untuk mencuci dan membilas produk dan/atau gedung serta instalasi
Limbah industri bersumber dari kegiatan industri baik karena proses
secara langsung maupun proses secara tidak langsung. Limbah yang bersumber
langsung dari kegiatan industri yaitu limbah yang terproduksi bersamaan dengan
proses produksi sedang berlangsung, dimana produk dan limbah hadir pada saat
yang sama. Sedangkan limbah tidak langsung terproduksi sebelum proses maupun
sesudah proses produksi (Sugiharto, 2008).
Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi
tertinggi aliran selalu tidak akan dilewati apabila menggunakan tangki penahan
dan bak pengaman. Untuk memperkirakan jumlah air limbah yang dihasilkan oleh
industri yang tidak menggunakan proses basah diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari.
Sebagai patokan dapat dipergunakan pertimbangan bahwa 85 – 95% dari jumlah
air yang digunakan adalah berupa air limbah apabila industri tersebut tidak
menggunakan kembali air limbah. Apabila industri tersebut memanfaatkan
kembali air limbahnya, maka jumlahnya akan lebih kecil (Sugiharto, 2008)
2.4 Dampak Buruk Air Limbah
Sesuai dengan batasan dari air limbah yang merupakan benda sisa, maka
sudah barang tentu bahwa air limbah merupakan benda yang sudah tidak
dipergunakan lagi. Akan tetapi tidak berarti bahwa air limbah tersebut tidak perlu
dilakukan pengelolaan, karena apabila limbah ini tidak dikelola secara baik akan
dapat menimbulkan gangguan, baik terhadap lingkungan maupun terhadap
kehidupan yang ada (Sugiharto, 2008).
a. Gangguan kesehatan
Air limbah dapat mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan
penyakit bawaan air (waterbone disease). Selain itu di dalam air limbah
mungkin juga terdapat zat-zat berbahaya dan beracun yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan bagi makhluk hidup yang
mengkonsumsinya. Adakalanya, air limbah yang tidak dikelola dengan
baik juga dapat menjadi sarang vektor penyakit (msisalnya nyamuk, lalat,
b. Penurunan kualitas lingkungan
Air limbah yang dibuang langsung ke air permukaan (misalnya sungai dan
danau) dapat mengakibatkan pencemaran air permukaan tersebut.
Adakalanya, air limbah juga dapat merembes dalam air tanah, sehingga
menyebabkan pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar, maka
kualitasnya akan menurun sehingga tidak dapat lagi digunakan sesuai
peruntukannya.
c. Gangguan terhadap keindahan
Adakalanya air limbah mengandung polutan yang tidak mengganggu
kesehatan dan ekosistem, tetapi mengganggu keindahan. Kadang-kadang
air limbah dapat juga mengandung bahan-bahan yang bila terurai
menghasilkan gas-gas yang berbau. Bila air limbah jenis ini mencemari
badan air, maka dapat menimbulkan gangguan keindahan pada badan air
tersebut.
d. Gangguan terhadap kerusakan benda
Adakalanya air limbah mengandung zat-zat yang dapat dikonversi oleh
bakteri anaerobik menjadi gas yang agresif seperti H2S. Gas ini dapat
mempercepat proses perkaratan benda yang terbuat dari besi dan bangunan
air kotor lainnya. Dengan cepat rusaknya air tersebut maka biaya
pemeliharaannya akan semakin besar juga, yang berarti akan
menimbulkan kerugian material.
Untuk menghindarkan terjadinya gangguan-gangguan diatas, air limbah
tersebut, maka perlu dilakukan pengelolaan air limbah sebelum mengalirkannya
ke lingkungan (Mulia, 2005).
Baku Mutu Air Limbah adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat
atau bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada
sumber air, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air (Fardiaz,
1992).
2.5 Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand)
Jika jumlah bahan organik dalam air hanya sedikit, maka bakteri aerob
mudah memecahkannya tanpa mengganggu keseimbangan oksigen dalam air.
Oksigen yang dipakai akan segera dipakai dengan cara-cara alamiah secepat
bakteri menggunakannya. Tetapi jika jumlah bahan organik itu banyak, maka
bakteri pengurai ini akan berlipat ganda karena banyak makanan. Ini biasanya
menyebabkan kekurangan oksigen. Hal ini terjadi misalnya di rawa-rawa dan
didasar kolam dan danau yang airnya diam. Konsentrasi bahan organik di sini
tinggi karena banyak tanaman yang mati. Tindakan bakteri aerobik pada sumber
makanan sering menurunkan oksigen terlarut sampai nol. Jika hal ini terjadi akan
diambil alih tugasnya oleh organisme pengurai anaerobik, umumnya bakteri juga,
dan terjadilah pembusukan. Bakteri aerobik ini menghasilkan gas metana dan
hidrogen sulfida yang baunya busuk (Sastrawijaya, 1991).
Angka Kebutuhan Oksigen Kimia merupakan ukuran bagi pencemaran air
oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses
mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air
Untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan
suatu uji yang lebih cepat dibandingkan dengan uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi
kimia dari suatu bahan oksidan yang disebut uji COD.
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang diperlukan
agar bahan buangan yang ada didalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia.
Dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium bikromat atau
K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Oksidasi terhadap
bahan buangan organik akan mengikuti reaksi berikut ini :
CaHbOc + Cr2O72- + H+ CO2 + H2O + Cr3+
Reaksi tersebut perlu pemanasan dan juga penambahan katalisator perak
sulfat (Ag2SO4) untuk mempercepat reaksi. Apabila dalam bahan buangan organik
diperkirakan ada unsur klorida yang dapat mengganggu reaksi maka perlu
ditambahkan merkuri sulfat untuk menghilangkan gangguan tersebut (Wardhana,
1995).
Chlorida dapat mengganggu karena akan ikut teroksidasi oleh kalium
bikromat sesuai dengan reaksi berikut ini :
6Cl- + Cr2O72- + 14H+ 3Cl2 + 2Cr3+ + 7H2O
Dengan penambahan merkuri sulfat (HgSO4) pada sampel, sebelum
penambahan reagen lainnya. Ion merkuri bergabung dengan ion klorida
membentuk merkuri klorida, sesuai reaksi dibawah ini :
Hg2+ + 2Cl- HgCl2
Dengan adanya ion Hg2+ ini, konsentrasi ion Cl- menjadi sangat kecil dan
Untuk memastikan bahwa hampir semua zat organik habis bebas
teroksidasi maka zat pengoksidasi K2Cr2O7 masih harus tersisa sesudah direfluks.
K2Cr2O7 yang tersisa didalam larutan terebut digunakan unttuk menentukan
berapa oksigen yang telah dipakai. Sisa K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi
dengan ferro ammonium sulfat (FAS), dimana reaksi yang berlangsung adalah
sebagai berikut :
6 Fe2+ + Cr2O72- + 14 H+ 6 Fe3+ + 2 Cr23+ + 7H2O
Indikator feroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi yaitu disaat
warna hijau-biru larutan berubah menjadi coklat-merah. Sisa K2Cr2O7 dalam
larutan blanko adalah K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung
zat organik yang dapat dioksidasi oleh K2Cr2O7 (Alaerts, 1987).
Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan
organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan
oksidator kuat (kalium bikromat/ K2Cr2O7) dalam suasana asam. Dengan
menggunakan kalium bikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95% -
100% bahan organik dapat dioksidasi (Effendi, 2003).
Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi
daripada uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh, selulosa
sering tidak terukur melalui uji BOD karena sukar dioksidasi melalui reaksi
biokimia, tetapi dapat terukur melalui uji COD (Fardiaz, 1992).
Warna larutan air lingkungan yang mengandung bahan buangan sebelum
reaksi oksidasi adalah kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka akan berubah
bahan buangan organik sama dengan jumlah kalium bikromat yang dipakai pada
reaksi oksidasi, berarti makin banyak oksigen yang diperlukan. Ini berarti bahwa
air lingkungan makin banyak tercemar oleh bahan buangan organik (Wardhana,
1995).
Kebutuhan Oksigen Kimia hanya merupakan suatu analisis yang
menggunakan suatu reaksi oksidasi kimia yang menirukan oksidasi biologis (yang
sebenarnya terjadi di alam), sehingga merupakan suatu pendekatan saja. Karena
hal tersebut maka analisis Kebutuhan Oksigen Kimia tidak dapat membedakan
antara zat-zat yang sebenarnya tidak teroksidasi (inert) dan zat-zat yang