• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Penderita Hipertensi pada Lansia di Kabupaten Karo tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Penderita Hipertensi pada Lansia di Kabupaten Karo tahun 2016"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Prevalensi

Prevalensi adalah ukuran frekuensi penyakit. Angka prevalensi mengukur

jumlah orang sakit di dalam suatu populasi pada suatu titik waktu yang

ditentukan. Acuan waktu untuk numerator angka prevalensi dapat berupa suatu

periode waktu seperti satu tahun, atau dapat berupa suatu titik waktu tertentu.

Prevalensi mengukur keberadaan penyakit semua kasus (baru dan lama).

Prevalensi bergantung pada dua faktor: angka insiden dan durasi penyakit. Jadi,

suatu perubahan dalam prevalensi penyakit dapat mencerminkan suatu perubahan

dalam insidensi, atau outcome, atau bahkan lainnya (Morton, Hebel, & McCarter,

2009).

2.2Konsep Hipertensi pada Lansia

2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lansia

Perubahan pada jantung terlihat dalam gambaran anatomis berupa:

bertambahnya jaringan kolagen, bertambahnya ukuran miokard, berkurangnya

jumlah miokard, dan berkurangnya jumlah air jaringan. Tebal bilik kiri dan

kekakuan katup bertambah seiring dengan penebalan septum interventrikular,

ukuran rongga jantung juga membesar (Tamher & Noorkasiani, 2009).

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi: katup jantung menebal dan kaku,

kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume),

elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh

darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam, et al., 2008).

(2)

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal

tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari satu

periode. Hal ini terjadi bila arteriol-arteriol kontriksi. Kontriksi arteriol membuat

darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri.

Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat

menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti, 2011).

Menurut WHO (2013), hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah

sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi disebut

sebagai silent killer karena jarang menimbulkan gejala pada stadium awal dan

banyak orang tidak terdiagnosa.

2.2.3 Epidemiologi Hipertensi

Secara global, jumlah penyakit kardiovaskuler kira-kira 17 juta kejadian setiap

tahun, mendekati 1 : 3 secara keseluruhan. Jumlah komplikasi dari hipertensi

adalah 9,4 juta kematian di dunia setiap tahunnya. Hipertensi menjadi penyebab

hampir 45% kematian karena penyakit jantung dan 51% karena stroke (WHO,

2013).

Kemenkes RI (2013), prevalensi hipertensi pada umur ≥ 18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4

persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum

obat hipertensi sendiri sebesar 9,5 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang

minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga

kesehatan. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada

(3)

2.2.4 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan

penyebab dan tingkat keparahan. Berikut ini akan dijelaskan klasifikasi hipertensi

dari kedua hal tersebut.

2.2.4.1Berdasarkan Penyebab

Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan, yaitu

hipertensi esensial atau primer dan hipertensi sekunder.

1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui

penyebabnya (Udjianti, 2011). Pada lebih dari 90% kasus, penyebab hipertensi

tidak jelas, yang disebut dengan primer atau esensial. Hipertensi primer

merupakan suatu gangguan genetika multifaktorial, dimana pewarisan jumlah gen

abnormal menjadi predisposisi bagi individu mengalami tekanan darah arteri

(ABP) tinggi, terutama bila pengaruh lingkungan yang mendukung (misalnya diet

tinggi garam, stress psikososial) juga ada (Aaronson & Ward, 2008).

Menurut Udjianti (2011), beberapa faktor diduga berkaitan dengan

berkembangnya hipertensi esensial, yaitu :

a. Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,

berisiko untuk mendapatkan penyakit ini.

b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca

menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi.

c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan

(4)

bukanlah garam (garam dapur) yang tidak baik bagi tekanan darah, tetapi

kandungan natrium (Na) dalam darah yang dapat mempengaruhi tekanan

darah seseorang. Natrium (Na) bersama klorida (Cl) dalam garam dapur

(NaCl) sebenarnya bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, Na yang

masuk dalam darah secara berlebihan dapat menahan air sehingga

meningkatkan volume darah. Meningkatkannya volume darah

mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding pembuluh darah

sehingga kerja jantung dalam memompa darah semakin meningkat.

Sebagian besar hipertensi juga disebabkan adanya penebalan dinding

pembuluh arteri oleh lemak atau kolesterol. Jika penderita hipertensi

mengonsumsi makanan berlemak, kadar kolesterol dalam darahnya dapat

meningkat sehingga dinding pembuluh darah makin menebal. Dampak

yang semakin parah, pembuluh darah tersebut menjadi tersumbat.

d. Berat badan: obesitas ( > 25% diatas berat badan ideal) dikaitkan dengan

berkembangnya hipertensi. Orang yang kelebihan berat badan, tubuhnya

bekerja keras untuk membakar berlebihnya kalori yang masuk.

Pembakaran kalori ini memerlukan suplai oksigen dalam darah yang

cukup. Semakin banyak kalori yang dibakar, semakin banyak pula

pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya pasokan darah tentu menjadikan

jantung bekerja lebih keras. Dampaknya, tekanan darah orang gemuk

(5)

e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan

darah, bila gaya hidup menetap.

2. Hipertensi sekunder

Sebesar 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang

ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid (Udjianti, 2011).

Menurut Aaronson & Ward (2008), penyebab umum hipertensi sekunder

adalah:

a. Penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, yang mengganggu regulasi

volume dan/atau mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.

b. Gangguan endokrin, seringkali pada korteks adrenal dan terkait dengan

oversekresi aldosteron, kortisol dan/atau katekolamin.

c. Kontrasepsi oral, yang dapat menaikkan ABP (Arteri Blood Pressure)

melalui aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan hiperinsulinemia.

2.2.4.2Berdasarkan Tingkat Keparahan

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa

Klasifikasi tekanan darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi tahap 1 140-159 90-99

Hipertensi tahap 2 ≥160 ≥100

Sumber: The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,

(6)

2.2.5 Etiologi

Beberapa kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi (WHO, 2013),

yaitu:

2.2.5.1Gaya Hidup

Ada banyak faktor risiko gaya hidup yang mempengaruhi peningkatan

hipertensi, termasuk:

1) Konsumsi makanan yang mengandung banyak garam dan lemak, dan

kurang cukung mengonsumsi sayur dan buah-buahan, 2) Penggunaan

alcohol, 3) Inaktifitas fisik dan kurang latihan, 4) Manajemen stress yang

buruk.

2.2.5.2Faktor Metabolik

Ada beberapa faktor metabolik yang meningkatkan risiko penyakit jantung,

gagal ginjal dan komplikasi lain dari hipertensi, termasuk diabetes, kolesterol

tinggi dan obesitas. Tembakau dan hipertensi berpengaruh untuk lebih lanjut

meningkatkan gangguan kardiovaskuler.

2.2.5.3Sosio-ekonomi

Faktor sosial, seperti pendapatan, pendidikan dan tempat tinggal, mempunyai

pengaruh yang merugikan dalam faktor risiko gaya hidup dan mempengaruhi

meningkatnya hipertensi. Contohnya, penganguran atau ketakutan dari

pengangguran bisa memepengaruhi pada tingkat stress yang dapat mempengaruhi

tekanan darah tinggi. Kondisi pekerjaan dapat juga menunda deteksi dini dan

(7)

tidak direncanakan juga cenderung untuk menaiknya kasus hipertensi karena

lingkungan yang tidak sehat yang mendorong mengonsumsi fast food, kebiasaan

yang menetap atau duduk terus-menerus, penggunaan rokok dan alkohol yang

berbahaya. Peningkatan usia mempengaruhi hipertensi karena penebalan

pembuluh darah, meskipun penuaan pada pembuluh darah dapat diperlambat

melalui gaya hidup yang sehat, termasuk makanan yang sehat dan mengurangi

konsumsi garam.

Beberapa kasus pada hipertensi belum diketahui. Faktor genetik berperan

penting bilamana kemampuan genetik dalam mengelola kadar natrium normal.

Kelebihan intake natrium dalam diet dapat meningkatkan volume cairan dan curah

jantung. Pembuluh darah memberikan reaksi atas peningkatan aliran darah

melalui kontriksi atau peningkatan tahanan perifer. Tekanan darah tinggi adalah

awal dari peningkatan curah jantung yang kemudian dipertahankan pada tingkat

yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik peningkatan tahanan perifer (Udjianti,

2011).

2.2.6 Gejala Hipertensi

Gejala hipertensi biasanya tanpa gejala sehingga sering disebut “the silent

killer”. Menurut Vitahealth (2006), secara umum gejala yang dapat timbul, yaitu:

1) Sakit kepala, 2) Jantung berdebar-debar, 3) Sulit bernapas setelah bekerja atau

mengangkat beban berat, 4) Mudah lelah 5) Penglihatan kabur, 6) Wajah

memerah, 7) Hidung berdarah, 8) sering buang air kecil, terutama di malam hari,

(8)

2.2.7 Patofisiologi

Hipertensi terjadi karena peningkatan tekanan pada pembuluh darah secara

terus-menerus yang mengakibatkan semakin cepat kerja jantung untuk memompa

darah. Jika hal ini terus-menerus maka otot jantung akan menebal dan mengalami

hipertrofi.

Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah

antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem

renin-angiotensin, dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2011). 1) Baroreseptor ini

memonitor tekanan derajat arteri. Jika tekanan darah naik secara mendadak, maka

akan memberikan rangsangan pada baroreseptor yang selanjutnya sinyal tersebut

dikirim ke medulla oblongata dan akan menghambat pusat vasokontriksi, serta

merangsang pusat vagal sehingga terjadi vasodilatasi, kontraktilitas menurun, juga

bradikardi, 2) Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik.

Bila tubuh mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui

mekanisme fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan

mengakibatkan peningkatan curah jantung. 3) Renin dan angiotensin memegang

peranan dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal memproduksi renin untuk

memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh converting enzyme dalam

paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi angiotensin III dan

mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan

mekanisme kontrol terhadap pelepasan aldosterone, 4) Autoregulasi vaskular

adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan dalam tubuh relatif

(9)

vaskular dan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya akan meningkatkan

tahanan vaskular sebagai akibat dari peningkatan aliran.

Menurut Aronow, et.al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul

Hypertension in the Elderly, menyatakan bahwa patofisiologi terjadinya hipertensi

pada lansia adalah kekakuan pembuluh arteri, disregulasi autonomik, dan fungsi

ginjal serta keseimbangan kation. Kekakuan pembuluh darah arteri

mengakibatkan penebalan pada dinding aorta, meningkatnya aliran nadi, dan

meningkatknya tekanan darah. Disregulasi autonomik mempengaruhi ortostatik

hipotensi (faktor risiko jatuh, syncope, dan kejadian kardiovaskuler) dan ortostatik

hipertensi (faktor risiko dari hipertrofi ventrikel kiri, penyakit coroner, dan

penyakit serebrovaskuler). Disfungsi ginjal progresif dikarenakan

glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial dengan filtrasi glomerulus yang

menurun dan mekanisme homeostatik ginjal lainnya seperti peningkatan sodium

intraseluler , menurunkan pertukaran sodium-kalsium, dan peningkatan volume.

Hal ini juga mempengaruhi penekanan pada aktivitas plasma renin dan penurunan

kadar aldosteron.

2.3 Konsep Lansia

2.3.1 Pengertian Lansia

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)

apabila usianya 65 tahun keatas (Setianto, 2004 dalam Efendi & Makhfudli,

2009). Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu

(10)

beradaptasi dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi &

Makhfudli, 2009). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang

untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta

peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001 dalam Efendi &

Makhfudli, 2009).

Menurut Bab I Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Usia Lanjut, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun

keatas. Umur 60 tahun adalah usia permulaan tua.

2.3.2 Klasifikasi Lansia

Berikut ini adalah klasifikasi lanjut usia dalam beberapa literature, yaitu:

1. Menurut WHO (dalam Nugroho, 2009), klasifikasi lansia adalah usia

pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua

(old) 75-90 tahun, dan lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

2. Smith dan Smith (1999 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), menggolongkan

usia lanjut menjadi tiga, yaitu: young old (65-74 tahun); middle old (75-84

tahun); dan old old (lebih dari 85 tahun).

3. Setyonegoro (1984 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), mengggolongkan

bahwa yang disebut usia lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih

dari 65 tahun. Selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun (young old);

75-80 tahun (old; dan lebih dari 80 tahun (very old).

4. Maryam, et.al. (2008) mengklasifikasikan lansia, yaitu:

(11)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia risiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60

tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).

d. Lansia potensial.

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).

e. Lansia tidak potensial.

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung

pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

2.3.3 Kondisi dan Permasalahan Lansia

Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lansia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa

(satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025, lanjut usia

akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2008).

Pada tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7,28% dan

pada tahun 2020 menjadi sebesar 11,34% (BPS,1992 dalam Maryam, et.al.,

2008). Bahkan data Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan Indonesia akan

mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di seluruh dunia pada tahun

1990-2025, yaitu sebesar 41,4% (Kinsella dan Taeuber, 1993 dalam Maryam,

(12)

Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013), pada tahun

2010 proyeksi proporsi penduduk umur lebih dari 60 tahun di Sumatera Utara

adalah 5,89% , pada tahun 2020 adalah 8,29% dan pada tahun 2035 adalah

13,22%. Terjadi peningkatan penduduk lansia setiap tahunnya.

Dalam perjalanan hidup manusia, proses menua merupakan hal yang wajar dan

terus-menerus dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang. Menurut

Darmojo dan Martono (1994 dalam Nugroho, 2008) mengatakan bahwa “menua”

(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur

dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk

infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

Dampak perubahan epidemiologis, penyakit pada lanjut usia cenderung ke arah

degeneratif. Lima sebab utama kematian di antara para lansia adalah penyakit

kardiovaskuler, penyakit kanker, penyakit serebrovaskuler, penyakit

pneumonia/influenza, dan penyakit COPD. Namun, penyakit yang paling mahal

adalah golongan penyakit yang menyebabkan kecacatan namun tidak sampai

meninggal. Penyakit arthritis merupakan penyakit kronis yang paling sering dan

yang paling banyak menyebabkan kecacatan. Penyebab kecacatan lainnya adalah

hipertensi, gangguan visual, dan diabetes disamping penyakit kardiovaskuler,

COPD, dan serebrovaskuler (Tamher & Noorkasiani, 2009).

Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat

proses degenerative (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul

(13)

sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Penyakit tidak menular pada

lansia diantaranya hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan radang sendi atau

rematik (Kemenkes, 2013).

2.4 Gambaran Umum Kabupaten Karo

2.4.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat

besar karena dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m

diatas permukaan laut, terhampar dipanggung Bukit Barisan serta terletak pada

koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan 97055’ – 98038’ Bujur Timur diantara

gunung-gunungnya yang terkenal adalah: disebelah Utara adalah Gunnung Barus,

Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung, disebelah selatan terdapat Gunung

Sibuaten. Dari semua pegunungan itu, dua diantaranya terdiri dari gunung berapi

yaitu Sibayak dan Sinabung.

2.4.2 Iklim

Suhu udara di dataran tingggi Karo sangat sejuk, berkisar antara 160 s/d 270C

dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang dibanding

kemarau dengan perbandingan 9 : 3. Awal musim hujan bulan Agustus bulan,

berakhir bulan Januari dan musim kedua dari bulan Maret sampai dengan bulan

Mei setiap tahunnya. Sesuai dengan keadaan alamnya, maka mata pencaharian

utama dari masyarakat Karo umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.

(14)

Hasil sensus tahun 2000 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 283.713 jiwa.

Pada tahun 2013sebesar 363.755 yang mendiami wilayah. Kepadatan penduduk

diperkirakan sebesar 171 jiwa/ Km2. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Karo

tahun 2010 – 2013 adalah sebesar 1,17% per tahun. Tahun 2013 di Kabupaten Karo penduduk laki-laki lebih sedikit dari perempuan. Laki-laki berjumlah

180.535 jiwa dan perempun berjumlah 183.220 jiwa. Sex rasionya sebesar 98,53.

2.4.4 Adat dan Budaya

Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa

Karo. Suku Bangsa Karo terdiri dari 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut

Sitelu. Lima merga yaitu: Ginting, Perangin-angin, Tarigan, Sembiring, dan

Karo-karo. Tutur siwaluh, yaitu: sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak

beru, menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, dan puang kalimbubu. Rakut

Sitelua, yaitu: senina/sembuyak, kalimbubu, dan anak beru.

Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan

modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dalam kehidupan

masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh keratin) yang ingin

diwujudkan adalah pencapaian tiga hal pokok yang disebut Tuah (menerima

berkat dari Tuhan Yang Maha Esa), sangap (mendapat rejeki), dan mejuah-juah

(sehat, sejahtera, lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan

keselarasan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan

manusia dengan Tuhannya. Masyarakat Karo menganut agama Protestan, Katolik

(15)

Orang Karo memakan nasi dan gulai sebagai bahan konsumsi mereka

sehari-hari. Daging dan ikan asin adalah makanan yang mewah, sedangkan beberapa

jenis tikus, katak dan serangga juga dimakan. Saat-saat dimana pola makanan

mereka mengalami perubahan, adalah ketika menjamu tamu atau kalau diadakan

upacara-upacara (kelahiran, perkawinan dan kematian). Orang Karo juga memiliki

budaya kerja tahun/ merdang merdem, dimana sehari menjelang hari perayaan

puncak penduduk kampung memotong lembu, kerbau dan babi untuk dijadikan

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa

Referensi

Dokumen terkait

nngpta Tbtap : Anggota Tbtap : Anggota Tbtap 3 Anggota lbtap : Angpta Tbtap 3 AngEota Tletap. Anggota-Anggota ridak Tbtap pada lGlcrryok penbalnran Bidang

Selanjutnya teori resiliensi masyarakat (Holling 1973; Walker et al. 2002), bahwa masyarakat memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi untuk meningkatkan ketahanan

Berdasarkan pendapat di atas adalah suatu barang atau jasa yang dihasilkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pelayanan pembuatan SIUP juga

Penelitian ini dilakukan dengan mereplikasi model modifikasi dari Theory of Planned Behavior yang dikembangkan oleh Beck dan Ajzen (1991). Perbedaan dengan

Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan polutan NH 4 Cl dan Pantai, dapat diketahui bahwa kenaikan persentase bahan pengisi silane menyebabkan sudut kontak

Dengan pemberian simulasi secara mendetail, gaya hidup glamour ditampilkan secara sempurna pada ruang simulacra yang dikehendaki seperti dalam pemakaian make up

4 Menunjukkan ekspresi selalu bersyukur terhadap Allah SWT 3 Menunjukkan ekspresi sering bersyukur terhadap Allah SWT 2 Menunjukkan ekspresi kadang-kadang bersyukur terhadap

Lempung (clay) adalah partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm yang merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah..