BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Prevalensi
Prevalensi adalah ukuran frekuensi penyakit. Angka prevalensi mengukur
jumlah orang sakit di dalam suatu populasi pada suatu titik waktu yang
ditentukan. Acuan waktu untuk numerator angka prevalensi dapat berupa suatu
periode waktu seperti satu tahun, atau dapat berupa suatu titik waktu tertentu.
Prevalensi mengukur keberadaan penyakit semua kasus (baru dan lama).
Prevalensi bergantung pada dua faktor: angka insiden dan durasi penyakit. Jadi,
suatu perubahan dalam prevalensi penyakit dapat mencerminkan suatu perubahan
dalam insidensi, atau outcome, atau bahkan lainnya (Morton, Hebel, & McCarter,
2009).
2.2Konsep Hipertensi pada Lansia
2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lansia
Perubahan pada jantung terlihat dalam gambaran anatomis berupa:
bertambahnya jaringan kolagen, bertambahnya ukuran miokard, berkurangnya
jumlah miokard, dan berkurangnya jumlah air jaringan. Tebal bilik kiri dan
kekakuan katup bertambah seiring dengan penebalan septum interventrikular,
ukuran rongga jantung juga membesar (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi: katup jantung menebal dan kaku,
kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume),
elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam, et al., 2008).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari satu
periode. Hal ini terjadi bila arteriol-arteriol kontriksi. Kontriksi arteriol membuat
darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri.
Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat
menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti, 2011).
Menurut WHO (2013), hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi disebut
sebagai silent killer karena jarang menimbulkan gejala pada stadium awal dan
banyak orang tidak terdiagnosa.
2.2.3 Epidemiologi Hipertensi
Secara global, jumlah penyakit kardiovaskuler kira-kira 17 juta kejadian setiap
tahun, mendekati 1 : 3 secara keseluruhan. Jumlah komplikasi dari hipertensi
adalah 9,4 juta kematian di dunia setiap tahunnya. Hipertensi menjadi penyebab
hampir 45% kematian karena penyakit jantung dan 51% karena stroke (WHO,
2013).
Kemenkes RI (2013), prevalensi hipertensi pada umur ≥ 18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4
persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum
obat hipertensi sendiri sebesar 9,5 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang
minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga
kesehatan. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada
2.2.4 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan
penyebab dan tingkat keparahan. Berikut ini akan dijelaskan klasifikasi hipertensi
dari kedua hal tersebut.
2.2.4.1Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan, yaitu
hipertensi esensial atau primer dan hipertensi sekunder.
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui
penyebabnya (Udjianti, 2011). Pada lebih dari 90% kasus, penyebab hipertensi
tidak jelas, yang disebut dengan primer atau esensial. Hipertensi primer
merupakan suatu gangguan genetika multifaktorial, dimana pewarisan jumlah gen
abnormal menjadi predisposisi bagi individu mengalami tekanan darah arteri
(ABP) tinggi, terutama bila pengaruh lingkungan yang mendukung (misalnya diet
tinggi garam, stress psikososial) juga ada (Aaronson & Ward, 2008).
Menurut Udjianti (2011), beberapa faktor diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi esensial, yaitu :
a. Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,
berisiko untuk mendapatkan penyakit ini.
b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca
menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi.
c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
bukanlah garam (garam dapur) yang tidak baik bagi tekanan darah, tetapi
kandungan natrium (Na) dalam darah yang dapat mempengaruhi tekanan
darah seseorang. Natrium (Na) bersama klorida (Cl) dalam garam dapur
(NaCl) sebenarnya bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, Na yang
masuk dalam darah secara berlebihan dapat menahan air sehingga
meningkatkan volume darah. Meningkatkannya volume darah
mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding pembuluh darah
sehingga kerja jantung dalam memompa darah semakin meningkat.
Sebagian besar hipertensi juga disebabkan adanya penebalan dinding
pembuluh arteri oleh lemak atau kolesterol. Jika penderita hipertensi
mengonsumsi makanan berlemak, kadar kolesterol dalam darahnya dapat
meningkat sehingga dinding pembuluh darah makin menebal. Dampak
yang semakin parah, pembuluh darah tersebut menjadi tersumbat.
d. Berat badan: obesitas ( > 25% diatas berat badan ideal) dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi. Orang yang kelebihan berat badan, tubuhnya
bekerja keras untuk membakar berlebihnya kalori yang masuk.
Pembakaran kalori ini memerlukan suplai oksigen dalam darah yang
cukup. Semakin banyak kalori yang dibakar, semakin banyak pula
pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya pasokan darah tentu menjadikan
jantung bekerja lebih keras. Dampaknya, tekanan darah orang gemuk
e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan
darah, bila gaya hidup menetap.
2. Hipertensi sekunder
Sebesar 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang
ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid (Udjianti, 2011).
Menurut Aaronson & Ward (2008), penyebab umum hipertensi sekunder
adalah:
a. Penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, yang mengganggu regulasi
volume dan/atau mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
b. Gangguan endokrin, seringkali pada korteks adrenal dan terkait dengan
oversekresi aldosteron, kortisol dan/atau katekolamin.
c. Kontrasepsi oral, yang dapat menaikkan ABP (Arteri Blood Pressure)
melalui aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan hiperinsulinemia.
2.2.4.2Berdasarkan Tingkat Keparahan
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa
Klasifikasi tekanan darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥160 ≥100
Sumber: The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,
2.2.5 Etiologi
Beberapa kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi (WHO, 2013),
yaitu:
2.2.5.1Gaya Hidup
Ada banyak faktor risiko gaya hidup yang mempengaruhi peningkatan
hipertensi, termasuk:
1) Konsumsi makanan yang mengandung banyak garam dan lemak, dan
kurang cukung mengonsumsi sayur dan buah-buahan, 2) Penggunaan
alcohol, 3) Inaktifitas fisik dan kurang latihan, 4) Manajemen stress yang
buruk.
2.2.5.2Faktor Metabolik
Ada beberapa faktor metabolik yang meningkatkan risiko penyakit jantung,
gagal ginjal dan komplikasi lain dari hipertensi, termasuk diabetes, kolesterol
tinggi dan obesitas. Tembakau dan hipertensi berpengaruh untuk lebih lanjut
meningkatkan gangguan kardiovaskuler.
2.2.5.3Sosio-ekonomi
Faktor sosial, seperti pendapatan, pendidikan dan tempat tinggal, mempunyai
pengaruh yang merugikan dalam faktor risiko gaya hidup dan mempengaruhi
meningkatnya hipertensi. Contohnya, penganguran atau ketakutan dari
pengangguran bisa memepengaruhi pada tingkat stress yang dapat mempengaruhi
tekanan darah tinggi. Kondisi pekerjaan dapat juga menunda deteksi dini dan
tidak direncanakan juga cenderung untuk menaiknya kasus hipertensi karena
lingkungan yang tidak sehat yang mendorong mengonsumsi fast food, kebiasaan
yang menetap atau duduk terus-menerus, penggunaan rokok dan alkohol yang
berbahaya. Peningkatan usia mempengaruhi hipertensi karena penebalan
pembuluh darah, meskipun penuaan pada pembuluh darah dapat diperlambat
melalui gaya hidup yang sehat, termasuk makanan yang sehat dan mengurangi
konsumsi garam.
Beberapa kasus pada hipertensi belum diketahui. Faktor genetik berperan
penting bilamana kemampuan genetik dalam mengelola kadar natrium normal.
Kelebihan intake natrium dalam diet dapat meningkatkan volume cairan dan curah
jantung. Pembuluh darah memberikan reaksi atas peningkatan aliran darah
melalui kontriksi atau peningkatan tahanan perifer. Tekanan darah tinggi adalah
awal dari peningkatan curah jantung yang kemudian dipertahankan pada tingkat
yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik peningkatan tahanan perifer (Udjianti,
2011).
2.2.6 Gejala Hipertensi
Gejala hipertensi biasanya tanpa gejala sehingga sering disebut “the silent
killer”. Menurut Vitahealth (2006), secara umum gejala yang dapat timbul, yaitu:
1) Sakit kepala, 2) Jantung berdebar-debar, 3) Sulit bernapas setelah bekerja atau
mengangkat beban berat, 4) Mudah lelah 5) Penglihatan kabur, 6) Wajah
memerah, 7) Hidung berdarah, 8) sering buang air kecil, terutama di malam hari,
2.2.7 Patofisiologi
Hipertensi terjadi karena peningkatan tekanan pada pembuluh darah secara
terus-menerus yang mengakibatkan semakin cepat kerja jantung untuk memompa
darah. Jika hal ini terus-menerus maka otot jantung akan menebal dan mengalami
hipertrofi.
Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah
antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem
renin-angiotensin, dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2011). 1) Baroreseptor ini
memonitor tekanan derajat arteri. Jika tekanan darah naik secara mendadak, maka
akan memberikan rangsangan pada baroreseptor yang selanjutnya sinyal tersebut
dikirim ke medulla oblongata dan akan menghambat pusat vasokontriksi, serta
merangsang pusat vagal sehingga terjadi vasodilatasi, kontraktilitas menurun, juga
bradikardi, 2) Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik.
Bila tubuh mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui
mekanisme fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan
mengakibatkan peningkatan curah jantung. 3) Renin dan angiotensin memegang
peranan dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal memproduksi renin untuk
memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh converting enzyme dalam
paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi angiotensin III dan
mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan
mekanisme kontrol terhadap pelepasan aldosterone, 4) Autoregulasi vaskular
adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan dalam tubuh relatif
vaskular dan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya akan meningkatkan
tahanan vaskular sebagai akibat dari peningkatan aliran.
Menurut Aronow, et.al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul
Hypertension in the Elderly, menyatakan bahwa patofisiologi terjadinya hipertensi
pada lansia adalah kekakuan pembuluh arteri, disregulasi autonomik, dan fungsi
ginjal serta keseimbangan kation. Kekakuan pembuluh darah arteri
mengakibatkan penebalan pada dinding aorta, meningkatnya aliran nadi, dan
meningkatknya tekanan darah. Disregulasi autonomik mempengaruhi ortostatik
hipotensi (faktor risiko jatuh, syncope, dan kejadian kardiovaskuler) dan ortostatik
hipertensi (faktor risiko dari hipertrofi ventrikel kiri, penyakit coroner, dan
penyakit serebrovaskuler). Disfungsi ginjal progresif dikarenakan
glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial dengan filtrasi glomerulus yang
menurun dan mekanisme homeostatik ginjal lainnya seperti peningkatan sodium
intraseluler , menurunkan pertukaran sodium-kalsium, dan peningkatan volume.
Hal ini juga mempengaruhi penekanan pada aktivitas plasma renin dan penurunan
kadar aldosteron.
2.3 Konsep Lansia
2.3.1 Pengertian Lansia
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun keatas (Setianto, 2004 dalam Efendi & Makhfudli,
2009). Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
beradaptasi dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi &
Makhfudli, 2009). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang
untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis.
Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta
peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001 dalam Efendi &
Makhfudli, 2009).
Menurut Bab I Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Usia Lanjut, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas. Umur 60 tahun adalah usia permulaan tua.
2.3.2 Klasifikasi Lansia
Berikut ini adalah klasifikasi lanjut usia dalam beberapa literature, yaitu:
1. Menurut WHO (dalam Nugroho, 2009), klasifikasi lansia adalah usia
pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua
(old) 75-90 tahun, dan lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2. Smith dan Smith (1999 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), menggolongkan
usia lanjut menjadi tiga, yaitu: young old (65-74 tahun); middle old (75-84
tahun); dan old old (lebih dari 85 tahun).
3. Setyonegoro (1984 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), mengggolongkan
bahwa yang disebut usia lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih
dari 65 tahun. Selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun (young old);
75-80 tahun (old; dan lebih dari 80 tahun (very old).
4. Maryam, et.al. (2008) mengklasifikasikan lansia, yaitu:
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d. Lansia potensial.
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia tidak potensial.
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.3.3 Kondisi dan Permasalahan Lansia
Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lansia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa
(satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025, lanjut usia
akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2008).
Pada tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7,28% dan
pada tahun 2020 menjadi sebesar 11,34% (BPS,1992 dalam Maryam, et.al.,
2008). Bahkan data Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan Indonesia akan
mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di seluruh dunia pada tahun
1990-2025, yaitu sebesar 41,4% (Kinsella dan Taeuber, 1993 dalam Maryam,
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013), pada tahun
2010 proyeksi proporsi penduduk umur lebih dari 60 tahun di Sumatera Utara
adalah 5,89% , pada tahun 2020 adalah 8,29% dan pada tahun 2035 adalah
13,22%. Terjadi peningkatan penduduk lansia setiap tahunnya.
Dalam perjalanan hidup manusia, proses menua merupakan hal yang wajar dan
terus-menerus dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang. Menurut
Darmojo dan Martono (1994 dalam Nugroho, 2008) mengatakan bahwa “menua”
(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Dampak perubahan epidemiologis, penyakit pada lanjut usia cenderung ke arah
degeneratif. Lima sebab utama kematian di antara para lansia adalah penyakit
kardiovaskuler, penyakit kanker, penyakit serebrovaskuler, penyakit
pneumonia/influenza, dan penyakit COPD. Namun, penyakit yang paling mahal
adalah golongan penyakit yang menyebabkan kecacatan namun tidak sampai
meninggal. Penyakit arthritis merupakan penyakit kronis yang paling sering dan
yang paling banyak menyebabkan kecacatan. Penyebab kecacatan lainnya adalah
hipertensi, gangguan visual, dan diabetes disamping penyakit kardiovaskuler,
COPD, dan serebrovaskuler (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat
proses degenerative (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul
sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Penyakit tidak menular pada
lansia diantaranya hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan radang sendi atau
rematik (Kemenkes, 2013).
2.4 Gambaran Umum Kabupaten Karo
2.4.1 Lokasi dan Keadaan Geografis
Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat
besar karena dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m
diatas permukaan laut, terhampar dipanggung Bukit Barisan serta terletak pada
koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan 97055’ – 98038’ Bujur Timur diantara
gunung-gunungnya yang terkenal adalah: disebelah Utara adalah Gunnung Barus,
Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung, disebelah selatan terdapat Gunung
Sibuaten. Dari semua pegunungan itu, dua diantaranya terdiri dari gunung berapi
yaitu Sibayak dan Sinabung.
2.4.2 Iklim
Suhu udara di dataran tingggi Karo sangat sejuk, berkisar antara 160 s/d 270C
dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang dibanding
kemarau dengan perbandingan 9 : 3. Awal musim hujan bulan Agustus bulan,
berakhir bulan Januari dan musim kedua dari bulan Maret sampai dengan bulan
Mei setiap tahunnya. Sesuai dengan keadaan alamnya, maka mata pencaharian
utama dari masyarakat Karo umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.
Hasil sensus tahun 2000 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 283.713 jiwa.
Pada tahun 2013sebesar 363.755 yang mendiami wilayah. Kepadatan penduduk
diperkirakan sebesar 171 jiwa/ Km2. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Karo
tahun 2010 – 2013 adalah sebesar 1,17% per tahun. Tahun 2013 di Kabupaten Karo penduduk laki-laki lebih sedikit dari perempuan. Laki-laki berjumlah
180.535 jiwa dan perempun berjumlah 183.220 jiwa. Sex rasionya sebesar 98,53.
2.4.4 Adat dan Budaya
Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa
Karo. Suku Bangsa Karo terdiri dari 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut
Sitelu. Lima merga yaitu: Ginting, Perangin-angin, Tarigan, Sembiring, dan
Karo-karo. Tutur siwaluh, yaitu: sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak
beru, menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, dan puang kalimbubu. Rakut
Sitelua, yaitu: senina/sembuyak, kalimbubu, dan anak beru.
Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan
modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dalam kehidupan
masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh keratin) yang ingin
diwujudkan adalah pencapaian tiga hal pokok yang disebut Tuah (menerima
berkat dari Tuhan Yang Maha Esa), sangap (mendapat rejeki), dan mejuah-juah
(sehat, sejahtera, lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan
keselarasan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan
manusia dengan Tuhannya. Masyarakat Karo menganut agama Protestan, Katolik
Orang Karo memakan nasi dan gulai sebagai bahan konsumsi mereka
sehari-hari. Daging dan ikan asin adalah makanan yang mewah, sedangkan beberapa
jenis tikus, katak dan serangga juga dimakan. Saat-saat dimana pola makanan
mereka mengalami perubahan, adalah ketika menjamu tamu atau kalau diadakan
upacara-upacara (kelahiran, perkawinan dan kematian). Orang Karo juga memiliki
budaya kerja tahun/ merdang merdem, dimana sehari menjelang hari perayaan
puncak penduduk kampung memotong lembu, kerbau dan babi untuk dijadikan