BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara maka Pemerintah Daerah berkewajiban menyampaikan laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah. Pemerintah daerah diwajibkan
menyusun laporan keuangan dengan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 yang
dalam perkembangannya diperbaharui menjadi PP Nomor 71 Tahun 2010. Atas
laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah tersebut akan dinilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasinya oleh Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dengan melakukan
pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan
atas laporan keuangan pemerintah yang memuat opini tentang tingkat kewajaran
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006).
Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
pasal 23E ayat 1 disebutkan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas
dan mandiri”. Dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, salah satunya adalah BPK memeriksa laporan
keuangan pemerintah daerah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang
“BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuanganNegara”.
Hasil dari pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang
menggambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara keseluruhan dirangkum
dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) yang dikeluarkan setahun dua
kali tiap semester.
Dalam kurun waktu tiga tahun (2011-2013) BPK telah melakukan
pemeriksaan sebanyak 1493 objek pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, terdapat
total 340 opini WTP termasuk dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP).
Perkembangan opini pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Opini LKPD Tahun 2011 s.d 2013 Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia
Tahun LK WTP WDP TW TMP Jumlah LKPD
2011 67 349 8 100 524
2012 120 319 6 78 523
2013 153 276 9 18 456
Jumlah 340 944 23 196 1493
Sumber: IHPS Semester I Tahun 2012, 2013, dan 2014 BPK
Selain menerbitkan laporan hasil pemeriksaan keuangan atas laporan
keuangan pemerintah daerah yang berupa opini, BPK juga harus mengungkapkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Temuan SPI dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
1. Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan.
2. Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja.
3. Kelemahan struktur pengendalian intern.
Kelompok temuan SPI pada pemeriksaan BPK seperti terlihat pada tabel 1.2.
Tabel 1.2
Kelompok Temuan SPI atas Pemeriksaan LKPD Tahun 2011 s.d 2013 Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia
No
Kelompok Temuan Jumlah Temuan
2011 2012 2013
1 Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan
2.050 1.586 1.829
2 Kelemahan sistem pengendalian
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
1.964 1.935 2.174
3 Kelemahan struktur pengendalian intern
1.022 891 1.100
Jumlah 5.036 4.412 5.103
Sumber: IHPS Semester I Tahun 2012, 2013, dan 2014 BPK
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai
akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dilaksanakan
guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh ketidak patuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung
dan material terhadap penyajian laporan keuangan. Hasil pemeriksaan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan atas laporan keuangan mengungkapkan
kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi,
ketidak ekonomisan, ketidak efisienan, dan ketidak efektifan. Temuan
ketidakekonomisan, temuan ketidakefisienan, dan temuan ketidakefektifan, dapat
dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Kelompok Temuan Kepatuhan atas LKPD tahun 2011 s.d 2013 Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia
No
Kelompok Temuan Jumlah Temuan
2011 2012 2013
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
Sumber: IHPS Semester I Tahun 2012, 2013, dan 2014 BPK
Dari tabel 1.1 jika dilihat pada kasus dua tahun terakhir, dapat dilihat
bahwa persentase LKPD yang memperoleh opini WTP pada tahun 2013 adalah
sebanyak 34% meningkat 11% dari tahun 2012 sebanyak 23%. Sedangkan
persentase LKPD yang memperoleh opini WDP pada tahun 2013 adalah sebanyak
61% sama dengan tahun 2012 sebanyak 61%, opini TW pada tahun 2013
menurun dari 2% menjadi 1% di tahun 2011, dan TMP pada tahun 2013 adalah
sebanyak 4% mengalami penurunan 11% dari tahun 2011 sebanyak 15%.
Peningkatan atau penurunan tingkat opini tersebut belum banyak
mendapat perhatian khusus terutama dari segi pengembangan keilmuan terkait
perundang-undangan. Kawedar (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa salah satu
penyebab penurunan opini audit di Kabupaten PWJ adalah karena meningkatnya
kasus terkait kelemahan SPI. Selanjunya Sipahutar dan Khairani (2013) dalam
kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang menyebabkan
perbedaan opini Pemeriksaan BPK atas LKPD Kabupaten EL yaitu karena adanya
ketidaksesuaian tiga unsur yang pemeriksaan yaitu efektivitas SPI, kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penyajian laporan
keuangan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Adanya pembahasan beberapa isu terkait SPI, temuan kepatuhan dan opini
pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah tersebut masih sangat terbatas dan
menimbulkan pertanyaan untuk memulai sebuah penelitian tentang seberapa besar
pengaruh SPI dan level kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
terhadap opini audit wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan pemerintah
daerah.
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang dinilai
oleh BPK melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang secara teoritis
berpengaruh terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah. Klitgaard dalam
Kurniawan, (2009) menyatakan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk
memberantas korupsi adalah dengan memperbaiki sistem yang korup yakni
dengan mengatur masalah monopoli, diskresi dan akuntabilitas. Klitgaard
mengembangkan definisi korupsi melalui formulanya yang sangat terkenal yaitu
C = M + D – A dimana menurut Klitgaard yang dimaksud dengan korupsi adalah
kekuasaan untuk melakukan diskresi mengenai siapa yang akan atau berhak
menerima barang atau jasa tersebut tetapi tanpa diimbangi adanya akuntabilitas.
Widjajabrata dan Zacchea dalamKurniawan (2009) menyebutkan terdapat
empat strategi dalam upaya pemberantasan korupsi, yakni: (1) memfokuskan pada
penegakkan hukum dan penghukuman terhadap pelaku, (2) melibatkan
masyarakat dalam mencegah dan mendeteksi korupsi, (3) melakukan upaya
reformasi sektor publik yang utama, dimana termasuk didalamnya kegiatan
penguatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan, (4) memperkuat aturan
hukum, meningkatkan kualitas undang-undang anti korupsi, penanganan tindakan
pencucian uang, dan mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik.
Menyangkut korupsi di pemerintah daerah, menurut de Asis dalam Setiawan
(2012) terdapat lima strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi,
yakni: (1) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, (2) penilaian keinginan
politik dan titik masuk untuk memulai pemberantasan, (3) mendorong partisipasi
masyarakat, (4) mendiagnosa masalah yang ada, (5) melakukan reformasi dengan
menggunakan pendekatan yang holistik.
Akuntabilitas diyakini memberikan kontribusi dalam usaha mereduksi
praktek korupsi yang banyak terjadi di pemerintah daerah. Semakin baik
akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah (opini, sistem pengendalian
intern, dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan) maka korupsi
yang terjadi di pemerintah daerah semakin berkurang. Namun pentingnya peran
akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu
dari sulitnya mencari dan menggali informasi tentang pentingnya peran
akuntabilitas public. (Kurniawan, 2009).
Pada penelitian terdahulu seperti penelitian Hottua Sipahutar dan Siti
Khairani (2013) sistem pengendalian intern dan kepatuhan perundang-undangan
berpengaruh positif terhadap opini audit. Namun hal ini berbanding terbalik
dengan penelitian Fatimah, Sari & Rasuli (2014) yang mengatakan sistem
pengendalian intern dan kepatuhan terhadap perundang-undangan berpengaruh
negatif terhadap opini audit. Oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan
penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan referensi tentang variabel yang
berpengaruh terhadap opini audit.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Sistem Pengendalian Intern dan Temuan
Kepatuhan terhadap Opini Audit Atas Laporan Keuangan di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah kelemahan sistem pengendalian intern dan temuan
kepatuhan berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap opini audit atas
laporan keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian
dan temuan kepatuhan secara parsial dan simultan terhadap opini audit atas
laporan keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi
yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian:
1) Bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di jajaran Pemerintah
Daerah dalam mengelola keuangan daerah.
2) Bagi peneliti diharapkan dapat menambah wawasan tentang akuntansi sektor
publik.
3) Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti