• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Konsep Trias Politica di Indonesia Berdasarkan Perspektif UUD 1945 Pasca Amandemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Konsep Trias Politica di Indonesia Berdasarkan Perspektif UUD 1945 Pasca Amandemen"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.9Latar Belakang

Dalam kehidupan politik, kekuasaan merupakan suatu komponen yang

mutlak dan harus di jalankan oleh pelaku politik. Secara umum, politik diartikan

sebagai usaha menjalankan peraturan-peraturan yang bersifat kolektif dan

bertujuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Maka untuk menjalankan

kebijakan umum inilah diperlukan kekuasaan (power) dan wewenang (authority)

yang berfungsi sebagai pengambil keputusan dalam membina kerja sama dan juga

untuk penyelesaian konflik.

Trias politica menjadi sebuah konsep pemerintahan yang populer dalam

perbincangan politik dunia saat ini. Konsep dasarnya adalah bahwa kekuasaan

tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara,

melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga

yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Tujuannya adalah

untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh satu pihak saja. Dengan

demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.

Sejarah munculnya pemikiran tentang trias politica diawali pada abad

pertengahan (1000-1500M), ketika kekuasaan politik menjadi sebuah persaingan

antara monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Seringkali

terjadi perang saudara perebutan kekuasaan antara ketiga lembaga ini.

Ketidakstabilan politik ini memicu para pemikir eropa untuk menemukan konsep

pemerintahan yang lebih efektif. Dari sinilah mulai muncul nama-nama tokoh

seperti John Locke dan Montesquieu yang terkenal dengan pemikiran “Trias

Politica” nya. Teori pemisahaan kekuasaan ini pada awalnya dikemukakan oleh

John Locke melalui Second Treaties of Civil Government(1690) berpendapat

(2)

oleh mereka yang melaksanakannya.1 John Locke mengemukakan konsepnya

dalam buku berjudul Two Treatises on Civil Government pada tahun 1690 yang

berisi kritikan atas kekuasaaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk

membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 yang telah dimenangkan oleh

parlemen Inggris. Locke membagi kekuasaan menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan

legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif.2

Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang.

Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat

ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk mencapai situasi damai tersebut

perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke,

masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan

kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat

yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum

bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris. Eksekutif adalah

kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan

Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak

melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke

tangan raja/ratu. Raja atau ratu kemudian menjalankan undang-undang tersebut

melalui kebijakan-kebijakan yang memihak pada rakyat (dalam artian kaum

bangsawan). Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan

negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar

Negeri di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang,

aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta

besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan

kepada raja/ratu Inggris. Dari pemirian politik John Locke dapat ditarik satu

kesimpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu

1

Charles Simabura. 2011. Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Jakarta: PT.Rajawali Pers. Hal 22

2

(3)

dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya

sesuai dengan pengertian Trias Politica di masa kini.

Montesquieu kemudian mengembangkan pemikiran Locke dalam bukunya

yang berjudul L’Esprit des lois (The Spirit of the Laws) pada tahun 1748. Dalam

uraiannya, ia membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu

kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Berbeda

dengan John Locke, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif)

sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Sebagai seorang hakim, Montesquieu

mengetahui kekuasaan eksekutif berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Dan

kekuasaan federatif untuk mengatur hubungan luar negeri versi John Locke

dimasukkan oleh Montesquieu ke dalam kekuasaan eksekutif. Montesquieu

menginginkan jaminan kemerdekaan individu dari tindakan sewenang-wenang

penguasa, yang menurutnya hanya tercapai jika diadakan pemisahan mutlak

antara ketiga kekuasaan tersebut.3

Pada masa sekarang, sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem

presidensial yang menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus

sebagai kepala Negara. Namun dalam sejarah perkembangannya, Indonesia Konsep inilah kemudian menjadi dasar Trias

Politica yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia.

Beralih ke Indonesia, doktrin trias politica sangat banyak mempengaruhi

sistem pemerintahan negara ini. Konsep pemerintahan di Indonesia menganut

sistem demokrasi yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat (berasal dari

bahasa Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).

Demokrasi yang di terapkan di Indonesia dikenal dengan demokrasi tidak

langsung atau sitem perwakilan (representative democracy). Hal ini dikarenakan

situasi negara Indonesia yang majemuk dan polulasinya yang sangat banyak,

sehingga tidak memungkinkan untuk menerapkan demokrasi langsung (direct

democracy). Maka dari sinilah diadakan pemilihan wakil rakyat sebagai pelaksana

kebijakan politik dalam pemerintahan.

3

(4)

pernah mengalami perubahan konstiusi yang berpengaruh terhadap pergeseran

kekuasaan di Indonesia. Pada tahun 1949, bentuk Negara Indonesia merupakan

Negara serikat dengan konstitusi yang berlaku pada masa itu adalah konstitusi

RIS yang secara otomatis mengubah sistem pemerintahan di Indonesia menjadi

sistem pemerintahan parlementer, dimana perdana menteri memegang kekuasaan

eksekutif pada masa itu. Pada masa orde baru tahun 1966, Indonesia kembali

memberlakukan UUD 1945 dan mengembalikan kekuasaan eksekutif ke tangan

presiden. Sejak saat itu sampai sekarang, Indonesia masih tetap menganut sistem

pemerintahan presidensial dan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengalami empat kali

perubahan berdasarkan sidang yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat atau biasanya disebut amandemen. Amandemen Undang-Undang Dasar

1945 tersebut banyak mempengaruhi perubahan fungsi dan kedudukan lembaga

kekuasaan di Indonesia, seperti penghapusan Dewan Pertimbangan Agung,

pembentukan Dewan Perwakilan Daerah, pembentukan Mahkamah Konstitusi,

pergeseran fungsi dan tugas lembaga Negara, serta masih banyak perubahan lain

yang diatur dalam amandemen tersebut.

Secara umum tidak disebutkan dalam UUD 1945 mengenai trias politica,

akan tetapi format lembaga kekuasaan Negara di Indonesia tidak terlepas dari

konsep trias politica. Dalam UUD 1945 dengan jelas disebutkan tentang

kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif beserta fungsi dan

wewenangnya. Jika mengkaji lebih dalam tentang kekusaaan politik di Indonesia,

akan ditemukan alat kelengkapan Negara yang lain di luar dari ketiga lembaga

yang disebutkan di atas, seperti lembaga eksaminatif atau inspektif yang

dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ditambah lagi munculnya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independen dan bebas dari

kekuasaan manapun.

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

(5)

hukum (konstitusi).4

Trias politica dalam perkembangannya bukan lagi sebagai pemisahan

kekuasaan secara murni seperti yang dikemukakan oleh John Locke dan

Montesquieu. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman serta semakin

kompleksnya masalah yang dihadapi oleh Negara, setiap lembaga tidak dapat lagi

bekerja secara terpisah, melainkan harus berdampingan. Istilah “Separation of

Power” berubah menjadi “Division of Power” atau sebagian pihak menyebutnya

distribution of power. Pada umumnya, teori pemisahan kekuasaan yang

dikemukakan oleh Montesquieu dianggap tidak realistis dan jauh dari kenyataan.

Para ahli menilai Montesquieu keliru dalam memahami sistem ketatanegaraan

Inggris yang dijadikaannya objek telaah untuk mencapai kesimpulan mengenai

trias politica-nya. Tidak ada satupun Negara di dunia yang sungguh-sungguh

mencerminkan gambaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasan (separation MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, karena

semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and

balances. Konsep klasik trias politica mengenai pemisahan kekuasaan tersebut

dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu

menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk

menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang

diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka,

dibentuklah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga

negara dalam bentuk dewan, komisi, komite ataupun badan dengan

masing-masing tugas dan wewenangnya.

Pembentukan beberapa lembaga baru ini disesuaikan dengan kebutuhan

Negara yang belakangan ini semakin kompleks. Belum ada teori baru yang

menjelaskan konsep Negara dengan lembaga-lembaga tersebut. Munculnya

lembaga-lembaga baru ini tidak jauh adalah bagian dari pengembangan konsep

klasik trias politica, walaupun sedikit banyak telah mengalami perubahan, namun

esensi trias politica itu sendiri masih ada di dalam nya.

4

(6)

of power). Bahkan Inggris yang menjadi objek penelitian Montesquieu juga tidak

menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan oleh

Montesquieu.5

5

Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hal 17

Pemisahan kekuasaan secara mutlak hanya akan memicu

munculnya kekuasaan absolut tanpa batas karena tidak adanya kontrol dari

lembaga lain. Prinsip check and balances menjadi pilihan popular bagi

Negara-negara saat ini dalam mengatasi masalah kekuasaan politik.

Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan konsep

pembagian kekuasaan dalam pengertian division of power. Bahkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya menjelaskan fungsi pengawasan, tetapi

juga disebutkan adanya kerja sama antar lembaga kekuasaan dalam melakukan

suatu tugas politik, seperti halnya Presiden dan DPR yang bekerja sama dalam

merancang undang-undang. Pengambilan keputusan oleh suatu badan kekuasaan

sangat dipengaruhi oleh badan kekuasaan lain. Kenyataan dewasa ini

menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak

saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling

mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balance.

Berdasarkan uraian mengenai trias politica di atas, maka penulis sangat

tertarik untuk meneliti tentang bagaimana penerapan konsep trias poltica dalam

lembaga pemerintahan di Indonesia. Penulis ingin mencaritahu lebih dalam

bagaimana negara Indonesia mampu mengemas konsep pemisahan kekuasaan

yang terkandung dalam Trias Politica (Montesquieu) mengingat perkembangan

masalah politik yang semakin kompleks saat ini, penulis menilai sangat sulit

untuk melaksanakan konsep Trias Politica yang benar-benar murni di negara ini.

Tetapi penulis akan mencoba untuk meneliti bagaimana pelaksanaan trias politica

(7)

1.10 Perumusan Masalah

Menurut Sumadi, tidak ada aturan umum tentang bagaimana cara

pemurusan masalah, namun dapat disarankan hal-hal berikut:

• Perumusan masalah hendaklah dalam bentuk kalimat tanya

• Perumusan masalah hendaklah padat dan jelas

• Menautkan antara dua atau lebih variabel

• Perumusan masalah hendaklah memberikan petunjuk tentang

memungkinkannya mengumpulkan data guna menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam rumusan itu.6

Demokrasi dalam pengertian sederhana yang berarti kedaulatan di tangan

rakyat memunculkan berbagai penilaian dan bahkan perdebatan tentang siapa

yang menjadi pelaksana kebijakan negara dalam mengakomodasi kepentingan

rakyat. Nilai plus dan minus antara sistem Parlementer dan sistem Presidensial

menjadi bahan kajian yang tidak pernah ada habisnya yang selalu memunculkan

pro dan kontra. Oleh karena itu, John Locke dan Montequieu mencoba mengkaji

perbedaan pandangan tiap negara tentang keunggulan kedua sistem ini dengan

memunculkan ide tentang pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan yang dikenal

dengan istilah Trias Politica. Namun dalam penerapannya masih banyak kendala

yang ditemukan dan bahkan pemahaman dan makna tentang pemisahan

kekuasaan dinilai kurang tepat karena secara tidak langsung mengarah pada

hilangnya fungsi kontrol antar lembaga kekuasaan.

Berdasarkan pernyataan diatas, maka penulis merumuskan suatu rumusan

masalah yang berkaitan dengan judul dan latar belakang yang telah dipaparkan

sebelumnya, yaitu:

1. Bagaimana konsep Trias politica dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar

1945?

6

(8)

2. Bagaimana pelaksanaan/ implementasi konsep Trias Politica dalam

lembaga pemerintahan di Indonesia?

1.11 Batasan Masalah

Dalam sebuah penelitian diperlukan pembatasan masalah dengan tujuan

untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian supaya tidak

menyimpang dari topik dan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Setiap

perubahan era demokrasi, Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia juga

mengalami perubahan pada setiap era tersebut. Melihat perkembangan demokrasi

di indonesia serta adanya perubahan Dasar konstitusi yang terbagi beberapa tahap,

penulis mempertimbangkan keterbatasan waktu serta biaya dan kemampuan

dalam penyediaan bahan kajian, sehingga penulis melakukan pembatasan masalah

dengan memfokuskan penelitian pada era demokrasi setelah reformasi, dimana

dasar Konstitusi yang dianut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945. Demikian halnya dengan banyaknya pemikiran dan argumen dari

beberapa tokoh di dunia tentang pemisahan dan pembagian kekuasaan, maka

penulis memilih untuk memfokuskan topik bahasan yang disesuaikan dengan

judul penelitian yaitu konsep trias politika, sehingga topik bahasan lebih terpusat

pada tiga lembaga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

1.12 Tujuan Penelitian

Secara terperinci yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep Trias Politica itu dijelaskan dalam

perspektif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

2. Untuk mengetahui sejauhmana penerapan dan pelaksanaan Trias Politica

(9)

1.13 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai beikut:

1. Untuk bidang Ilmu, yaitu dapat memberikan tambahan pengetahuan ilmiah

di bidang politik tentang pemahaman mengenai trias politica serta

perkembangan dan penerapannya di Indonesia

2. Untuk bagian akademisi, peneiltian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan rujukan untuk penelitian ilmiah berikutnya.

3. Untuk masyarakat, penelitian ini menjadi menambah wawasan mengenai

teori trias politica serta menjadi bahan analisis masyarakat tentang konsep

pemerintahan di Indonesia.

4. Bagi penulis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai proses

pengembangan kemampuan berpikir dan menulis karya ilmiah yang baik

dan benar, dan juga sebagai tahap akhir untuk penyelesaian program

pendidikan Strata Satu di Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

1.14 Kerangka Teori

Sebelum melanjutkan sebuah penelitian, seseorang peneliti perlu

menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir, untuk menggambarkan dari

sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah di pilih.7 Adapun pengertian

teori adalah serangkaian asumsi, konsep, instruksi, definisi untuk menerangkan

suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

antara konsep.8

1.14.1 Teori Kekuasaan

Kekuasaan menjadi istilah mutlak yang harus dibahas ketika berbicara

tentang trias politica, karena inti dalam doktrin trias politica itu sendiri mencoba

menguraikan bagaimana kekuasaan itu diatur dalam alat-alat kelengkapan Negara.

7

Hadari Namawi. 1987. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Hal 40

8

(10)

Beberapa ahli memiliki beberapa pemikiran tentang defenisi kekuasaan, antara

lain:

• Miriam Budiarjo

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk

mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan

dari orang yang memiliki kekuasaan itu.9

• Max Webber

Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,

melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun

dasar kemampuan ini.

• Harold D.Laswell

Kekuasaan adalah suatu hubungan dimasna seseorang atau kelompok orang dapat

menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak

pertama

• Barbara Goodwin

Kekuasaan adalah keampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak

dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia

tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.10

• Martin Jimung

Kekuasaan adalah kemampuan untuk merubah sikap, orientasi dan

perilaku orang lain.11

• Ramlan Surbakti

Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk

berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.12

• Inu Kencana

9

Miriam Budiardjo. Op.Cit. Hal 17-18

10

Ibid. Hal 60-61

11

Martin Jimung. 2005. Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah.

Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Hal 17

12

(11)

Kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk

menyadarkan masyarakat akan kemampuannya sendiri, dengan sekaligus

menerapkannya tindakan-tindakan perilaku dari orang-orang atau golongan

tertentu.13

Sejarah perkembangan pemikiran tentang kekuasaan sudah ada sejak

zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles menyatakan bahwa Negara

memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai

moral yang rasional.14 Setelah itu, dinamika pemikiran tentang kekuasaan

semakin berkembang pada masa zaman pertengahan, ketika tokoh-tokoh katolik

seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas muncul dengan teori-teori

Keagamaan. Kekuasan Romawi yang sangat kejam membuat masyarakat kecil

terpukul, sehingga kerinduan masyarakat kecil yang tertindas akan sosok

penolong seperti di zaman Nabi Musa dulu mulai muncul pada masa pertengahan

tersebut. Sosok Yesus sebagai tokoh spiritual yang dianggap sebagai mesias atau

juru selamat diharapkan mampu menghapus segala bentuk penindasan. Dalam

khotbahnya, Yesus mengatakan bahwa Kerajaan Tuhan sudah dekat. Dengan

kedatangan “Kerajaan Tuhan” akan berakhirlah kekuasaan manusia-manusia

berdosa dan mereka yang memiliki iman terhadap Kristus akan menjadi pewaris

“Kerajaan Tuhan” itu.15

Tidak semua orang dapat menerima legitimasi gereja, sehingga pro dan

kontra banyak terjadi terhadap kekuasaan gereja. Kemudian muncul tokoh-tokoh Gereja dan pendeta menjadi sebuah lembaga keagamaan

atau orang yang dianggap memiliki kekuasaan yg sakral bersama dengan

nilai-nilai KeTuhanan yang diajarkannya. Negara adalah wakil Gereja, sedangkan

Gereja adalah Wakil Tuhan. Maka setiap kebijakan yang dijalankan oleh Negara

harus sesuai dengan ajaran gereja, atau dengan kata lain bahwa Gereja memiliki

kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.

13

Inu Kencana Syafiie. 2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT.Refika Aditama. Hal 103

14

Arif Boediman. 1996. Teori Negara; Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Hal 8

15

(12)

pemikir rasional dan pragmatis seperti Thomas Hobbes, Hegel, Karl Marx, hingga

John Locke dan Montesqieu, serta beberapa tokoh lainnya yang mencoba

memisahkan Negara dan gereja. Bahkan tidak hanya pemisahan antara Negara dan

gereja, beberapa tokoh juga menguraikan kekuasaan Negara itu juga harus dibagi

lagi menjadi beberapa bagian. Inilah yang menjadi dasar pemikiran munculnya

Trias Politica.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan kekuasaan :

1. Influence atau pengaruh, yaitu bagimana seseorang mampu mempengaruhi

agar orang lain berubah secara sukarela

2. Persuasi yaitu cara meyakinkan orang dengan memberikan argumentasi

3. Manipulasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain namun

yang dipengaurhi tidak menyadari

4. Coersiona dalah ancaman atau paksaan agar orang lain sesuai dengan

kehendakyang punya kekuasaan.

5. Force yaitu tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan. Ini biasanya

dilengkapi dengan senjata, sehingga orang lain mengalami ketakutan.16

Dalam kenyataan, kekuasaan politik adalah kekuasaan yang sangat

diimpikan individu manusia. Kekuasaan merupakan suatu hal yang sangat krusial

dan sangat rentan untuk disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan. Ada beberapa

rambu yang menjadi batas kekuasaan itu agar tidak menimbulkan masalah pada

pelaksanaannya adalah:

1. Peraturan Perundang-undangan sebagai batasan umum yang

mengharuskan semua orang tunduk kepada kesepakatan komunal,

khususnya yang dikeluarkan oleh kekuasaan dalam Negara.

2. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagai patokan atas

kehidupan asosiatif.

3. Kesepakatan kerja sebagai patokan yang harus dijadikan dasar prilaku

(13)

yang mengadakan hubungan hukum.

4. Perjanjian khusus yang dibuat sebagai kesepakatan yang merupakan

proyeksi atas hal-hal yang muncul senagai konsekuensi dari pelaksanaan

hubungan hukum tersebut.

5. Kepatutan yang berlaku dalam masyarakat setempat sebagai dasar

pemberlakuan moral atas hubungan hukum tersebut.17

1.14.2 Teori Pembagian Kekuasaan

Trias Politica berasal dari bahasa Yunani, tri yang berarti tiga, as yang

berarti poros, dan politics yang berarti kekuasaan. Maka secara sederhana trias

politica dapat diartikan sebagai tiga poros kekuasaan. Konsep dasarnya adalah

kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan

politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah

yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan

eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan

kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat/Dewan Perwakilan

Rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Dengan

adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan

undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan pengadilan oleh lembaga peradilan, dan

pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah eksekutif.

Dalam perkembangan trias politca, muncul berbagai tokoh-tokoh pemikir

yang menyatakan beberapa jenis atau konsep teori pembagian kekuasaan, seperti:

• Menurut Gabriel Almond

Kekuasaan di bagi menjadi :

1. Rule Making Function(kekuasaan membuat undang-undang)

2. Rule Application Function (kekuasaan melaksanakan

undang-undang)

17

(14)

3. Rule Adjudication Function (kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang)18

• Menurut John Locke

Kekuasaan dibagi menjadi:

1. Kekuasaan legislative (kekuasaan membuat peraturan dan

undang-undang

2. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang

dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili)

3. Kekuasaan federative (kekuasaan yang meliputi segala tindakan

untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara

lain seperti membuat aliansi dan sebagainya atau disebut hubungan

luar negeri)19

• Menurut Montesquieu

Kekuasaan dibagi menjadi:

1. Kekuasaan legislative (kekuasaan untuk membuat undang-undang)

2. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menyelenggarakan

undang-undang)

3. Kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang)20

• Menurut Lemaire

Kekuasaan dibagi menjadi:

1. Wetgeving (kewenangan membuat undang-undang)

2. Bestuur(kewenagan pemerintahan)

3. Politie (kewenangan penertiban)

18

Inu Kencana Syafiie. Op.Cit. Hal 60

19

Miriam Budiardjo. Op.Cit. Hal 282

20

(15)

4. Rechtsspraak(kewenagan peradilan)

5. Bestuur Zorg (kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat)

• Menurut Abdul Kadir Audah

Kekuasaan dibagi menjadi:

1. Sultah Tanfiziyah, yaitu kekuasan penyelenggara undang-undang

2. Sultah Tasyiri’ah, yaitu kekuasaan pembuat undang-undang

3. Sultah Qodhaiyah, yaitu kekuasaan kehakiman

4. Sultah Maliyah, yaitu kekuasaan keuangan

5. Sultah Muraqobah, yaitu kekuasaan pengawasan masyarakat21

1.14.3 Sejarah Perkembangan Trias Politica

A. John Locke

John Locke dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, sebuah desa di

Somerset utara, Inggris barat, dekat Bristol Inggri dengan kehidupan di negeri ini

masa itu tragis dan ironis, sebab negara Eropa abad XVII dilanda perang saudara

dan perang agama kaum Katolik dengan Protestan. Ketika Locke berusia 10

tahunm adalah saat terjadi peperangan antara kaum Puritan dengan Raja Charles I.

Konflik yang menimbulkan prahara berdarah tidak pandang hubungan keluarga ,

hal ini telah mengguncang jiwanya.22

Keadaan ini yang memberikan pengalaman pribadi bagi Locke seperti

pandangannya yang menempatkan pentingnya penghargaan akan kebebasan ,

demokrasi, pembatasan kekuasaan politik sampai kepada toleransi kepada

keyakinan agama.23

21

Inu Kencana Syafiie. Op.Cit. Hal 62

22

Firdaus Syam. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Hal 126

23

Ibid. Hal 127

Dalam perjalanan hidupnya, Locke akhirnya dianggap

sebagai peletak dasar Negara Konstitusional dan penganjur Konstitusionalisme di

(16)

revolution (1688), serta menentukan pemerintahan konstitusional pascarevolusi di

Inggris.24

Pada berbagai karya yang ditulis oleh John Locke banyak menekankan

pada hal-hal fundamental dari negara sebagai pemegang kekuasaan mutlak.

Kekuasaan pada hal ini merupakan hasil perjanjian sosial (deconctact social) yang

dalam analisis Locke adalah tidak bersifat mutlak karena kekuasaan bukan berasal

dari Tuhan, tidak datang dengan cara turun temurun, dan juga kekuasaan bukan

atas dasar teks kitab suci. Penting diberikannya pembatasan kekuasaan, sebab

kekuasaan adalah dari kesepakatan warga dengan penguasa negara yang

dipilihnya.25

1. Kekuasaan legislatif ialah wewenang membuat Undang-Undang.

Pembatasan kekuasaan yang dimaksud John Locke dalam bukunya Two

Treatis on Civil Government kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan

yaitu:

2. Kekuasaan eksekutif ialah wewenang mempertahankan dan melaksanakan

Undang-Undang serta mengadili perkara. Wewenang mengadili perkara

ini menurut John Locke dianggap sebagai Uithvoering atau pelaksanaan,

karena merupakan bagian dari wewenang eksekutif.

3. Kekuasaan federatif ialah wewenang yang tidak termasuk ke dalam

kekuasaan legislatif dan eksekutif. Yaitu kekuasaan mengadakan

perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan

badan-badan di luar negeri.26

B. Montesquieu

Charles Louis de Secondant Baron de Montesquieu lahir di Bordeaux,

Perancis 1689. Di dunia barat, Montesquieu dikenal tidak hanya sebagai filsuf

politik, ia juga seorang sosiolog yang mendahului August Comte (Bapak

24

Ahmad Suhelmi. Op.Cit. Hal 181

25

Ibid. Hal 129 26

(17)

Sosiologi modern) dunia barat, sejarawan sekaligus penulis novel. Gagasannya

merefleksikan pemikiran system sosial di mana sebuah system sosial terdiri atas

unit yang saling tergantung, menyatu dan berinteraksi.27

Esensi dari gagasan ketiga pilar suprastruktur pembagian kekuasaan yakni,

pertama kemerdekaan. Kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan sesuka hati yang

memberikan hak kepada seseorang untuk mengangkat senjata, memaksakan

kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap orang lain. Kemerdekaan adalah

bentuk ketenteraman hati yang timbul dari rasa aman dimana seseorang tidak

merasa takut dihadapan orang lain. Kedua hukum, memiliki pengertian yang

sangat luas, bersifat kompleks, berkembang, berubah, dan segala hubungan yang

mungkin ada yang dapat dibayangkan antara manusia adalah hukum. Oleh sebab

itu, hukum dalam pengertian luas menyebabkan perbedaan antara masyarakat

yang satu dengan yang lain, maka hukum juga mengikuti adat dan

kebiasaan.

Dalam pemikirannya tidak menggunakan pendekatan sejarh linear, melihat

objek sejarah secara kronologis, dari masa awal sampai tingkat perkembangan

secara detail. Sejarah merupakan perubahan yang bersifat tidak

berkesinambungan, karenanya sangat diperlikan kajian yang sangat mendalam

dan memfokuskan pada rincian hanya satu sebab dari satu peristiwa, bisa jadi

hanya kebetulan saja.

Pengaruh pemikirannya dapat dilacak dalam konstitusi maupun perumus

konstitusi Amerika Serikat, seperti George Washington serta Thoma Jefferson

disebabkan oleh memiliki pengaruh yang besar terhadap pendiri negara Amerika

Serikat dalam menyusun konstitusi di abad 19. Tiga gagasan mengenai pilar

suprastruktur politik dalam kehidupan bernegara juga mempengaruhi banyak

negara di Eropa maupun negara berkembang sebagai sebuah model atau format

dalam pembentukan sebuah negara modern.

28

27

Firdaus Syam. Op.Cit. Hal 139

28

Ibid. Hal 141

Ketiga keadilan, merupakan suatu pengertian yang ada lebih dulu

(18)

hukum positif yang sesuai dengan keadilan itu adalah hukum yang benar.

Pembentukan undang-undang yang sesuai dengan negara sebagai instrument

mengatur sikap serta tindak tanduk manusia juga memberi keadilan di dalamnya.

Tiga pilar suprastruktur secara gambling dijelaskan oleh Montesquieu

adalah apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang

sama ataupun pada badan penguasa yang sama tidaklah mungkin ada suatu

kemerdekaan, tidak juga dapat tegak kemerdekaan bila kekuasaan yudikatif tidak

dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislative. Penggabungan tiga pilar

suprastruktur hanya memberikan penguasa mengarah dengan pengelolaan sesuka

hati. Sebab itu masing-masing pilar harus saling mengawasi yang bagi

Montesquieu cara ini akan melancarkan pemerintahan sebab kehidupan dan

masalh manusia akan mendesak ketiga kekuasaan itu bergerak dan tinggal diam.

Pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan berarti pemisahan

kekuasaan secara mutlak sebab masih ada saling pengaruh antara badan-badan

yang mengendalikan masing-masing pilar suprastruktur politik tersebut. Maksud

saling mempengaruhi ini adalah adanya titik singgung dalam pekerjaan

masing-masing dalam batas-batas tertentu.29

Dalam pandangan Montesquieu, kekuasaan pengadilan (yudikatfi) sebagai

kekuasaan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena dalam pekerjaannya

sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahuo bahwa kekuasaan

eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya kekuasaan

hubungan luar negeri yang disebut oleh Jhon Locke federatif dimasukkannya ke

dalam kekuasaan eksekutif.30

Menurut C.F. Strong, fenomena pembagian kekuasaan seperti itu

dikarenakan adanya proses normal dari spesialisasi fungsi. Fenomena ini bisa

diamati pada semua bidang pemikiran dan tindakan yang disebabkan peradaban

semakin bergerak maju, bertambahnya bidang aktivitas, dan arena organ-organ

pemerintah menjadi semakin kompleks. Strong melihat pada mulanya raja adalah

29

Magnis Suseno. 1991. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 225-226

30

(19)

pembuat dan pelaksana undang-undang, di samping ia juga bertindak sebagai

hakim. Namun, dalam perkembangannya tidak dapat dihindari tumbuhnya

tendensi untuk mendelegasikan kekuasaan-kekuasaan tersebut sehingga

menghasilkan adanya pembagian kekuasaan.31

1. Legislatif power atau kekuasaan membuat Undang-Undang.

Menurut Montesquieu kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga

kekuasaan yang terpisah-pisah, yakni:

2. Executif power atau kekuasaan menjalankan Undang-Undang.

3. Judicial Power atau kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran

terhadap Undang-Undang.

Perkembangan trias politica ini kemudian di adopsi oleh Amerika dengan

membentuk kongres sebagai legislatif, presiden sebagai eksekutif, dan mahkamah

agung sebagai yudikatif. Namun dalam pelaksanaannya, Amerika sedikit

mengubah sistem pemisahan kekuasaan ala Montesquieu yaitu dengan

menerapkan sistem check and balance. Pemisahan kekuasaan tidak sepenuhnya

dilaksanakan karena adanya kekhawatiran akan pelaksanaan kekuasaan yang

melampaui batas dan dapat merusak stabilitas negara. Bahkan belakangan ini,

muncul institusi yang dianggap penting dalam menciptakan kestabilan politik

seperti LSM, Pers atau Media, dan lembaga-lembaga lain yang berfungsi

mengawasi pemerintahan.

1.14.4 Defenisi Separation of Power dan Division of Power

Baron de Montesquieu memperkenalkan istilah separation of power atau

pemisahan kekuasaan dalam karya nya L’Esprit Des Lois (1748) sebagai

pengembangan dari pemikiran John Locke yang memisahkan tiga lembaga

kekuasaan Negara, yaitu eksekutif, legislative, dan yudikatif. Dalam pandangan

Montesquieu, tiga fungsi kekuasaan dibedakan dan dipisahkan secara structural

31

(20)

dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing.

Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislative, kekuasaan

eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat memiliki satu fungsi, atau

sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan oleh satu organ.32

Separation of power dan division of power atau distribution of power

memiliki pada hakikatnya memiliki makna yang sama, tergantung konteks

pengertian yang dianut. Arthur Mass menyebutkan bahwa territorial divison of

power terjadi seperti di Amerika, yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintahan

federal dan Negara bagian. Sedangkan capital division of power terjadi dalam

Negara federal, yaitu antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan (separation of

power), para ahli biasa menggunakan istilah division of power atau distribution of

power. Adapula sarjana yang menggunakan istilah division of power itu sebagai

genus, dan distribution of power sebagai bentuk species-nya. Bahkan Arthur Mass

membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of power) menjadi 2

pengertian, yaitu capital division of power dan territorial division of power.

Pengertian yang pertama bersifat fungsional dan pengertian yang kedua bersifat

kewilayahan atau kedaerahan.

33

32

Jimly Asshiddiqie. Op.Cit. Hal 15-16

33

Ibid. Hal 19

Secara sederhana, konsep pembagian kekuasaan juga dapat dibagi menjadi

pembagian kekuasaan vertikal dan pembagian kekuasaan horizontal. Sebelum

amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, Indonesia menganut konsep

pembagian kekuasaan vertical, dimana MPR merupakan lembaga kekuasaan

tertinggi yang memiliki kewenangan di atas lembaga lainnya. Namun, setelah

dilaksanakannya amandemen terhadap UUD 1945, kekuasaan MPR dipangkas

dan kedudukannya disetarakan dengan lembaga tinggi Negara lainnya. Sehingga

(21)

1.15 Metodologi Penelitian

Metodologi berasal dari kata method (metode/cara) dan logos (ilmu).

Dalam istilah bahasa inggris metodologi atau methodology didefinisikan sebagai

“a set of system of method, principles and rules of regulating a given discipline”

34 Metodologi diperlukan untuk mempermudah

dan mengatur struktur penulisan dalam sebuah penelitian.

1.15.1 Jenis Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian

kualitatif. Data yang dikumpulkan bukan berupa angka -angka, melainkan data

tersebut berasal dari buku, media cetak, catatan lapangan, dokumen pribadi,

jurnal, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari

penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik

fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan

pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara

realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode

deskriptif.35

1.15.2 Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif, maka

teknik pengumpulan data dalam pelaksanaan penelitian ini melalui tinjauan

kepustakaan (Library Search). Data yang digunakan merupakan data-data

sekunder yang bersumber dari dokumen-dokumen resmi seperti buku, jurnal,

majalh, ataupun hasil-hasil survey dan publikasi resmi lainnya. Teknik

pengumpulan data sekunder biasanya disebut dengan teknik dokumentasi yang

berarti cara pengumpulan data dengan mencatat data-data yang sudah ada.36

35

Lexy J Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal 131 36

(22)

1.15.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis data deksriptif kualitatif. Metode ini digunan untuk menggambarkan

data-data yang sudah diperoleh melalui analisis mendalam dan dituliskan melalui

pembahsan dengan bahasa-bahasa yang terstruktur dan bersifat naratif. Menurut

M.Nazir, tujuan deskriptif adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan

antar fenomena-fenomena yang diselidiki.37 Teori-teori dan pendapat para ahli

juga akan digunakan untuk menjadi referensi dalam memperkuat hasil penelitian.

1.16 Sistematika Penulisan

Adapun Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:

BAB I :Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang,

perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II :Dalam bab ini, penulis akan menuliskan tentang tugas dan

wewenang lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di

Indonesia sebagai penunjang kelengkapan teori.

BAB III :Bab ini merupakan hasil analisis penelitian yang dilakukan

peneliti. Dalam tahapan ini, penulis akan membahas tentang

bagaimana Trias Politica diartikan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta menjabarkan

bagaimana konsep trias politica itu diterapkan di Indonesia dengan

melihat fungsi-fungsi lembaga kekuasaan yang ada di Indonesia

37

(23)

sesuai dengan data, teori, dan referensi yang telah di kumpulkan

sebelumnya.

BAB IV :Bab ini merupakan bagian penutup dari proses penulisan penelitian

yang dilakukan penulis. Bagian ini berisi kesimpulan dan

Referensi

Dokumen terkait

Rasa menyesal ini muncul karena mahasiswa menggunakan uangnya untuk membeli produk fashion yang tidak menjadi kebutuhan mendesak, padahal disi lain masih memiliki

Setelah memilih game di dalam tampilan Menu Pulau, pemain akan dibawa menuju tampilan dialog antara tokoh utama Arjuna dengan satu tokoh yang berasal dari

Dari analisis variansi diketahui bahwa H 0A ditolak, berarti ada pengaruh sistem penyelenggaraan pendidikan terhadap prestasi belajar matematika, karena sistem

Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa hasil pengujian pada variabel anteseden menunjukkan bahwa ekspektasi kinerja, ekspektasi usaha dan kondisi yang

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dengan adanya perilaku makan yang baik, kebutuhan zat gizi tubuh akan terpenuhi, sehingga kon- sentrasi belajar

Wakil dari Angkutan Laut, yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut, sebagai Wakil Ketua I merangkap anggota;.. Wakil dari Angkatan Darat, yang ditunjuk oleh Kepala

Laporan keuangan, umumnya terdiri dari neraca atau laporan posisi keuangan, laporan perhitungan sisa hasil usaha (SHU) serta laporan perhitungan arus kas yang

3. Memenuhi persyaratan lainnya untuk kenaikan pangkat secara reguler lainnya. Pimpinan Unit Kepegawaian meneliti berkas-berkas Pranata Komputer yang memenuhi persyaratan