• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

36

A. Evolusi Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Dalam Sejarah

Kata kejaksaan terbentuk dari kata dasar yaitu “jaksa”. Jaksa disebut juga sebagai penuntut umum. Kata penuntut umum menunjukkan arti tersendiri kepada jaksa sebagai pejabat umum atau pejabat negara. Penuntut umum kebalikan dari penuntut swasta. Munculnya kata “umum” dalam kalimat “penuntut umum” berlatar belakang pada sejarah di mana konteks kata umum atau publik (public) sebagai

public prosecutor sebagai perimbangan dari pada masa dulu karena masih dikenal adanya penuntut yang bersifat perorangan atau pribadi (private).70

Istilah untuk menyebut orang atau pejabat negara yang tugasnya melakukan penuntutan adalah jaksa, tetapi banyak istilah lain di beberapa negara yang menggunakan istilah yang berbeda antara lain: di Amerika Serikat jaksa disebut dengan district procecutor, district attorney, prosecuting attorney, dan commonwealt attorney. Istilah di Belanda, jaksa disebut perwira kehakiman (officier van justitie). Perancis menyebutnya dengan istilah pengacara republik (procureur de la republique). Belgia dengan istilah pengacara raja (procureur du roi). Italia

70

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

(2)

menyebutnya procuratore. Spanyol menyebutnya procurador, dan di negara-negara Eropa Timur umumnya disebut procurator bukan prosecutor,71 serta di Indonesia disebut dengan istilah jaksa atau penuntut umum.72

Istilah jaksa di Indonesia sudah sejak lama dikenal, berasal dari bahasa Sangskerta yaitu dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Sebutan-sebutan ini ditujukan kepada Mahapati Gajah Mada. Dhyaksa adalah pejabat negara di jaman Kerajaan Majapahit di saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Tugas dhyaksa adalah menangani masalah-masalah peradilan. Kalau dhyaksa adalah hakim pengadilan sedangkan adhyaksa adalah hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi

dhyaksa-dhyaksa. Sedangkan dharmadhyaksa adalah hanya sebagai pengemban tugas urusan agama Syiwa dan Buddha.

Sebagaimana pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP menentukan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian jaksa di dalam Pasal 1 angka 1 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

73

71

Ibid., hal. 2.

72

UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

73

(3)

Sebutan adhyaksa dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi pada masa dulu di Kerajaan Hindu di Pulau Jawa, terutama dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi.74 Dari berbagai istilah tersebut sebenarnya istilah jaksa lebih relevan ditarik dari istilah adhyaksa.75 Hingga sampai saat ini istilah jaksa tetap digunakan di Indonesia. Jika pada masa dulu disebut adhyaksa tidak sama tugasnya dengan tugas jaksa atau penuntut umum yang digunakan saat ini, karena tugas jaksa atau penuntut umum bukan bertugas sebagai hakim.76

Jaksa dan penuntut umum sering dipersamakan dalam penggunaan istilah yang sama, padahal kedua istilah ini berbeda. Jaksa adalah pejabat fungsional sedangkan penuntut umum adalah jaksa,77 penuntut umum adalah jaksa78. Perbedaannya terdapat ketika melaksanakan tugas, aparatur kejaksaan secara umum disebut jaksa, sedangkan jaksa yang menuntut suatu perkara disebut penuntut umum atau Jaksa Penuntut Umum (JPU). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.79

74

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, (Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985), hal. 8-12.

75

Yesmil Anwar dan Adang, Sistim Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal. 197.

76

Ibid., hal. 200.

77

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

78

Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.

79

Pasal 1 angka 2 UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

(4)

Melalui pendekatan sejarah, kejaksaan dikelompokkan dalam dua periodisasi yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan.

3. Kejaksaan Sebelum Periode Kemerdekaan

Pada masa kerajaan Hindu di Jawa berkuasa belum ditemui lembaga penuntutan dalam urusan penegakan hukum adat untuk bertindak sebagai jaksa. Sejarah kerajaan yang paling berpengaruh pada masa itu adalah Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan seorang patih yang disbut Mahapatih Gajah Mada hanya menunjukkan beberapa jabatan yang dinakaman

dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa.80 Tetapi sebutan ini bukan bertugas untuk melakukan penuntutan melainkan tugasnya adalah untuk hakim pengadilan.81

Pada masa awal penjajahan tahun 1602 dengan masuknya VOC82 ke Indonesia, Belanda membentuk beberapa peraturan hukum, mengangkat para pejabat yang akan menjaga kepentingan-kepentingannya dengan membentuk badan-badan peradilan sendiri (schepenenbank) yang bertugas sebagai penuntut umum disebut dengan officier van justitie sebagai perwira kehakiman.83 Tugas officier van justitie di masa ini bertindak sebagai penuntut keadilan dan Gubernur Belanda sebagai ketuanya dan Bupati terkemuka sebagai anggotanya, sedangkan dalam perkara kecil, jaksa yang mengadili bertindak sebagai hakim atas nama Bupati setempat.84

80

http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

81

Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 55-58.

82

VOC singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie.

83

RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit., hal. 2.

84

(5)

Pada abad XVII Kerajaan Mataram yang berada di bawah perintah Amangkurat I dan kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak lagi menggunakan kata Jawa Kuno (kawi) atau Sangskerta dhyaksa tetapi telah digunakan dengan Bahasa Jawa yaitu “Jeksa”. Para jeksa di masa itu mempunyai tugas dan wewenang sebagai hakim, juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan adakalanya jeksa pada masa itu dapat bertindak sebagai pembela.85

Pada tahun 1808 s/d 1811 di masa Pemerintahan Daendels mempersempit kekuasaan pengadilan Schepenen yang dibentuk oleh Kompeni. Kekuasaan

schepenenbank (Pengadilan schepenen) semula memiliki yurisdiksi Jakarta dan Daerah Jawa Barat serta melakukan peradilan menerapkan hukum Belanda, kemudian diperkecil yurisdiksinya hanya meliputi Kota Jakarta dan sekitarnya. Sehingga penuntut yang disbut fiscaal dilakukan oleh seorang Jaksa Besar (Groot-Djaksa). Seorang bawahan Landdrost yang diberi gelas Schouten dibebani tugas melakukan penyidikan sedangkan Landgericht memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata dan pidana yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan Landraad.86

Setelah kekuasaan Daendels berakhir, kemudian berkuasa Pemerintahan Raffles (1811-1816) dengan mengubah badan-badan peradilan di Indonesia pada masa itu. Raffles mengeluarkan instruksi dengan membentuk badan pengadilan untuk golongan penduduk Bumi Putera di bagi dalam dua badan peradilan yaitu peradilan untuk kota sekitarnya (untuk Bangsa Eropa) dan peradilan untuk daerah-daerah

85

Ibid., hal. 60-61.

86

(6)

pedesaan. Pengdilan untuk Bangsa Eropa berada di Batavia, Semarang, dan Surabaya serta daerah-daerah setiktarnya diberi juga wewenang untuk mengadili penduduk Bumi Putera yang berdomisili di sekitar itu.87

Untuk kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) masing-masing ditempatkan satu Court of Justice untuk perkara-perkara perdata dan pidana bagi golongan penduduk Bumi Putera. Sedangkan Court of Justice yang berada di Batavia berfungsi sebagai Pengadilan Banding. Selain itu, di Batavia didirikan Supreme Court sebagai badan peradilan yang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama dan terakhir. Susunan Court of Justice terdiri dari seorang hakim ketua, dan dua orang hakim anggota serta satu orang penuntut umum yang disebut dengan fiscal, sedangkan Supreme Court terdiri dari seorang hakim ketua, dan tiga orang hakim anggota, serta seorang advocate fiscal.

88

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, jaksa kemudian disebut dengan istilah Openbaar Ministerie89

87

Ibid.

88

Ibid., hal. 30.

89

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie.

yang memiliki tugas pokok antara lain: mempertahankan segala peraturan negara, melakukan penuntutan terhadap semua tindak pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan. Lembaga Openbaar Ministerie

ini menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen

(7)

langsung dari Residen atau Asisten Residen.90 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda ini, kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah di masa itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen91 yang terdapat di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).92

Pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945 ditetapkan 6 (enam) jenis badan peradilan umum di Jawa dan Madura dan setiap badan peradilan tersebut ditempatkan kantor Kejaksaan (Kensatsu Kyoku). Kensatsu Kyoku diberi tugas: mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum.

93

Penyidikan menjadi salah satu tugas umum Kejaksaan sejak dari Kejaksaan Pengadilan Negeri (Tihoo Kensatsu Kyoku) hingga Kejaksaan Pengadilan Tinggi

90

http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014. Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

91

http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2077195-hatzaai-artikelen-menghantar-demokrasi-jadi/, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Ditulis oleh: Ali Imran, dengan judul, “Hatzai Artikelen, Menghantar Demokrasi Menjadi Impoten”. Hatzaai artikelen, merupakan pasal-pasal yang mengatur berkenaan dengan penyebaran rasa kebencian terhadap warga sipil dan pemasungan para aktivis. Dahulu pada masa Kolonial Belanda, pasal ini dijadikan alat politik, untuk mengamankan kekuasaannya di Indonesia, dan pada masa Orde Baru, pasal tersebut tetap dipertahankan demi kepentingan kekuasaannya. Sesudah menginjak usia tua Negara Indonesia terbebas dari kaum penjajah, usia 60 tahun merupakan satu generasi, yang dalam hal ini tentu seharusnya sudah ada kedewasaan demokrasi yang tertanam dalam ruh masyarakat Bangsa Indonesia. Pada abad XVI dalam era penjajahan imperialisme dan kolonialisme di Inggris lahir sebuah produk hukum yang otoriter, yakni undang-undang pidana sebagai konsumsi publik itu menyebar kebelahan bumi melalui penjajah, dan hal ini dipakai oleh kolonial untuk mematahkan perlawanan pergerakan kebangsaan dikalangan pemimpin pribumi. Istilah ini di Negara Amerika Serikat yang dijajah oleh Inggris dikenal dengan sebutan The Law Of Sedition, sedangkan di Indonesia yang dijajah Belanda dikenal dengan sebutan

Hatzaai Artikelen.

92

R. Tresna, Op. cit., hal. 35.

93

(8)

(Kootoo Kensatsu)dan Kejaksaan Pengadilan Agung (Saiko Kensatsu Kyoku). Jepang pun mengubah bidang penuntutan dengan menghilangkan Magistraat dan Officier van Justitie. Tugas dan wewenangnya kemudian dibebankan kepada Penuntut Umum Bumi Putera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan yakni seorang Jaksa Jepang. Dengan bertolak pada masa pendudukan Jepang ini, Jaksa menjadi satu-satunya penuntut umum.94

Sejak itu, jaksa benar-benar menjadi Pegawai Penuntut Umum (Tjo Kensatsu Kyokuco) dan berada di bawah pengawasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kootoo Kensatsu Kyokuco).

95

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang Pemerintah di zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei

Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944.96

4. Kejaksaan Setelah Periode Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, jaksa menjadi satu-satunya lembaga penuntut umum tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan

94

Ibid., hal. 66. Lihat juga: R. Tresna,…Op. cit., hal. 42.

95

Rusli Muhammad, Op. cit, hal. 94.

96

(9)

yang ada masih berlaku. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang digariskan dalam

Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944 tetap mempertahankan lembaga Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan di Negara Republik Indonesia.

Namun pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS Tahun 1950) dalam bentuk federal yang terdiri dari pusat (federal) dan daerah-daerah, maka susunan Kejaksaan pada masa itu masih terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Kejaksaan Tingkat Daerah-Daerah Bagian. Kejaksaan pada masa RIS berada di bawah Departemen Kehakiman. Pada tingkat pusat (federal) hanya ada satu instansi kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS sebagai Kejaksaan tingkat tertinggi di masa RIS. Masa RIS hanya 7 (tujuh) bulan 20 (dua puluh) hari, RIS belum sempat mengangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda.97

Pada masa demokrasi parlementer (Tahun 1950-1959), Kejaksaan tetap berada di bawah Departemen Kehakiman.98

97

Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 67-68.

98

http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, Op. Cit.

(10)

Pada masa demokrasi terpimpin (Tahun 1959-1965) sehubungan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga Non Departemen (di bawah Departemen Kehakiman) menjadi lembaga yang berdiri sendiri, bernama Departemen Kejaksaan Republik Indonesia. Dasar hukum perubahan ini adalah Putusan Kabinet Kerja I tanggal 22 Juli 1960 yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang asasnya berlaku surut mulai tanggal 22 Juli 1960.

Selanjutnya Pemerintah mensyahkan usulan dari DPR-GR dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.99 Pada masa berlakunya UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia ini, Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum100, penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri/Jaksa Agung sedangkan susunan organisasi Departemen Kejaksaan Kejaksaan diatur dengan Keputusan Presiden.101

99

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Surat Nomor 5263/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 dan Surat Nomor 5261/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Akhirnya Pemerintah mensyahkan usulan tersebut dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

100

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

101

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

(11)

Kejaksaaan pada masa orde baru (Tahun 1966-1998) mengalami beberapa kali perubahan dalam kekuasaannya baik pergantian pimipinan102, organisasi, dan tata kerjanya. Organisasi kejaksaan pada masa ini berada di bawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan. Berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan Nomor Kep/A/16/1966 tanggal 20 mei 1966 dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai pokok-pokok organisasi Kementerian Kejaksaan, perubahan penting pada masa itu adalah:103

a. Menteri/Jaksa Agung memimpin langsung Kementerian Kejaksaan dengan dibantu oleh tiga orang Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam bidang intelijen/operasi, khusus dan pembinaan, dan seorang pengawas umum (Inspektur Jenderal).

b. Ketiga deputi dan pengawas umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung.

c. Di bawah para deputi terdapat direktorat-direktorat, bagian, biro, dan seksi, sedangkan di bawah pengawasan umum hanya ada inspektorat-inspektorat. Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perubahan, perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh dua) periode kepemimpinan Jaksa

102

Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung sehari sebelum dibubarkannya Kabindet Dwikora yang disempurnakan dan diganti dengan Kabinet Dwikora Disempurnakan. Ketika itu organisasi kejaksaan di bawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen Soeharto.

103

(12)

Agung.104

Susunan organisasi Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991, adalah:

Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Pada masa orde baru ada perkembangan baru menyangkut perubahan dari UU Nomor 15 Tahun 1961 menjadi UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi kejaksaan yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991.

105

a. Jaksa Agung;

b. Wakil Jaksa Agung;

c. Jaksa Agung Muda Pembinaan; d. Jaksa Agung Muda Intelijen;

e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; f. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;

g. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; h. Jaksa Agung Muda Pengawasan;

i. Pusat;

http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014. Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

105

(13)

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 hingga sampai saat ini (masa orde reformasi tahun 1998-sekarang) masih tetap berlaku. Akan tetapi mengenai tugas-tugas Kejaksaan terus mengalami perubahan. Selain penuntutan, tugas dan fungsi yang berkaitan dengan wewenang Jaksa Agung pada masa orde reformasi diberi lagi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini memperluas kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomo 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan.

Kejaksaan juga mengalami pengurangan kewenangan di sisi lain dengan dibentuknya KPK. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Keppres Nomor 266/M/2003, KPK menyerap sebahagian kewenangan penyidikan yang selama ini diperankan oleh Kejaksaan untuk perkara-perkara besar, tanpa mengurangi kewenangan penyidik Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

(14)

penyidikan terhadap perkara Mantan Presiden Soeharta menjadi starting point

pembentukan KPK di samping banyak faktor lain yang menjadi penghalang.106 Selain itu, khusus untuk perkara-perkara tipikor, lembaga kejaksaan bukan lagi satu-satunya lembaga penuntutan perkara tipikor, tetapi UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi tugas melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor.107

Berbagai dinamika situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Kejaksaan di masa orde reformasi tidak jauh beda dengan yang dihadapi di masa orde baru. Namun hal yang menarik adalah digantinya UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia108 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Susunan organisasi kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dipersingkat dengan sunanan Kejaksaan yang hanya terdiri dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung.109

Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan semakin mempertegas tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain: tetap melakukan penyidikan dalam perkara tertentu, penuntutan, eksekutor putusan pengadilan, dapat bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), melakukan pengawasan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum.

106

Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung Republik Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2003), hal. 33-40. Lihat juga Marwan Effendy,

Kejaksaan,….Op. cit., hal. 73.

107

Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

108

Sebelumnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961.

109

(15)

B. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata

corruptie berasal dari Bahasa Latin yang paling tua yaitu corrumpore.110 Kata-kata tersebut kemudian diikuti di Eropa seperti Bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt, Bahasa Perancis yaitu corruption, Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie).111 Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio sebagai penyuapan, corrumpore

sebagai merusak dan secara luas diartikan sebagai gejala perilaku para pejabat badan-badan negara yang menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.112

Pemikiran dari Prodjohamidjojo, memberikan makna yang hampir sama tentang istilah korupsi. Menurutnya istilah corruptio atau corruptus menunjukkan kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan sumber kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio

yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan hukum.

113

Lilik Mulyadi memberikan pandangannya mengenai pengertian korupsi secara lebih luas, korupsi merupakan kejahatan, kebusukan, menyangkut suap, perilaku

110

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.

111

Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 9.

112

Ensiklopedia Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing Project, 1983), hal. 1876.

113

(16)

tidak normal, perbuatan bejat, dan ketidakjujuran. Perbuatan ini menjadi tercela karena mengambil yang bukan haknya, tetapi yang berhak untuk itu adalah seluruh warga negara. Perbuatan korupsi kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk misalnya perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral, penyuapan dan bentuk ketidakjujuran.114

Lembaga Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.115

Menurut IGM Nurdjana, unsur menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan (menyangkut sektor publik dan sektor swasta) memiliki akses bisnis dalam mencari keuntungan materi. Keuntungan materi tersebut berupa keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan kawan-kawannya, tetapi juga untuk memenuhi kepentingan anggota keluarganya.

Berdasarkan pengertian dari Transparancy International

tersebut, dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam pengertian tersebut, kepercayaan publik, dan keuntungan pribadi.

116

Kemudian menurut Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., mengatakan korupsi mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan atau penyalahgunaan jabatan

114

Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78-79.

115

P. Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 6.

116

(17)

untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan.117

Pandangan dari A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu:

Pengertian ini terlalu sempit dalam menerjemahkan arti korupsi, hanya untuk kepentingan diri sendiri, padahal pada faktanya korupsi dilakukan secara berkelompok, bahkan hasil korupsi bisa dibagi-bagikan kepada orang lain atau kelompok-kelompok tertentu yang istilah populernya disebut dengan “korupsi berjamaah”.

118

1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap instansinya sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat mungkin pendapatannya bertambah.

2. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat perilaku pejabat Pemerintah yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peran instansi Pemerintah demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, kawan atau teman. 3. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat kepentingan umum, bahwa

hak-hak yang dikorupsi adalah hak-hak kepentingan umum.

4. Rumusan korupsi menekankan pada perbuatan suap, yaitu suatu perbuatan yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup jabatannya di bidang kepentingan umum (publik) seperti pejabat Pemerintah.

117

Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 375.

118

(18)

5. Rumusan korupsi menekankan dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya sebagai gejala sosial yang rumit.

Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara (pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.

Bila dipandang dari sisi gejala sosial yang rumit, maka masyarakat (selain abdi negara) yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi juga termasuk dalam rumusan A. Gardiner dan David J. Olson tersebut. Contohnya, orang yang berjualan barang dagangannya di atas bahu jalan raya milik umum, juga termasuk dalam rumusan ini sebagai perbuatan korupsi.

(19)

orang-orang terdekat, teman-teman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan keluarga.119

119

Brooks dalam Sayed Hussein Alatas, Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo, M., Op. cit., hal. 11.

Pemikiran Sayed Hussein Alatas ini tampaknya mendasarkan pengertian pada “korupsi berjamaah”, korupsi tidak saja dapat dilakukan oleh orang seorang secara sendiri-sendiri, tetapi cenderung dilakukan secara bersama-sama, atau bahkan melibatkan orang-orang terdekat, keluarga, dan teman sejawat. Bukan tidak mungkin korupsi dilakukan secara sendiri, tetapi yang paling umum terjadi dalam praktik adalah perbuatan itu dilakukan lebih dari satu orang atau melibatkan orang lain.

Korupsi erat kaitannya dengan Kolusi dan Nepotisme (KKN), masalah ketiga unsur ini bukan saja sebagai masalah nasional suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah dunia internasional yang harus dicegah dan diberantas. Ketiga kata ini memiliki batasan yang sangat tipis karena dalam praktik, sering kali menjalin hubungan dalam satu kesatuan tindakan yang utuh dan merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi.

(20)

Menimbang, mengingat, dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dicegah dan diberantas. Pembiaran dengan segala persoalan menyangkut lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi, membuat sebuah negara menemukan kesulitan dalam membangun menuju negara yang sejahtera, adil, dan makmur.

Sementara menurut Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan. Menurutnya, pengertian korupsi harus didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:120

1. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh anggota organisasi;

2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, dan peraturan tertentu;

3. Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;

4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Pendapat Suyatno tersebut memandang korupsi pada suatu pengecualian, bilamana dapat dilaksanakan dengan sutuasi dan kondisi tertentu dan wajib diambil keputusan, jika tidak bisa mendatangkan malapetaka atau bahkan kerugian negara yang lebih dahsyat. Prinsip dalam pengecualian ini menurutnya adalah diskresi. Prinsip diskresi ada sehubungan dengan adanya kebebasan pejabat publik dalam

120

(21)

mengambil kebijakan (beschiking) yang terkadang harus menimbulkan risiko, tuduhan korupsi atau pujian.

Korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara. Secara substantif perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang tercela, bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Sehingga oleh pembuat undang-undang dikriminalisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam suatu undang-undang-undang-undang.

Sebagaimana menurut M. Lubis dan Scott J.C., korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai dengan wewenang.121

121

M. Lubis dan Scott, J.C., Korupsi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 19.

Pandangan ini sejalan dengan tujuan untuk mengkriminalisasi korupsi menjadi sejenis tindak pidana di dalam suatu undang-undang.

(22)

Walaupun sebahagian kalangan memberikan pengertian korupsi juga menyangkut makna yang lebih luas termasuk yang tidak diatur dalam undang-undang, namun pengertian tersebut tidak bisa diakomodasi dalam penegakan hukum korupsi, sebab Indonesia menganut sistim hukum eropa kontinental yang berprinsip pada kepastian hukum yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga pengertian-pengertian yang sangat sederhana dan terlalu luas itu tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar untuk menghukum pelaku korupsi.

Pengertian korupsi yang menjadi tolok ukur untuk mengatakan suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang telah dilarang di dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sehingga pemahaman tentang korupsi hanya dibatasi pada pengertian yuridis saja di dalam UUPTPK

(23)

C. Ketentuan Perundang-Undangan Yang Mengatur Wewenang Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tipikor di Pengadilan Tipikor

Keterkaitan hubungan koordinasi antar sesama aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, hingga Lembaga Pemasyarakatan berada dalam sebuah sistem penegakan hukum yang disebut dengan istilah sistem peradilan pidana. Salah satu elemen dari sistem peradilan pidana adalah Kejaksaan.

Kejaksaan Republik Indonesia sesuai KUHAP, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, memiliki tugas dan wewenang untuk menuntut perkara-perkara tindak pidana khususnya tipikor di Pengadilan Tipikor.

5. KUHAP

Sesuai Pasal 14 KUHAP, dalam pasal tersebut terdapat beberapa wewenang penuntut umum. Pasal 14 KUHAP yang menentukan:

Penuntut umum mempunyai wewenang:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

(24)

terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan umum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

KUHAP tidak menggunakan istilah kejaksaan, melainkan hanya terdapat istilah jaksa dan penuntut umum.122

Pasal 1 angka 7 KUHAP menentukan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa Salah satu wewenang penuntut umum dalam Pasal 14 huruf g KUHAP adalah melakukan penuntutan. Wewenang penuntutan menurut KUHAP tidak diberikan kepada jaksa, melainkan hanya kepada penuntut umum. Maksud dari ketentuan ini berarti jaksa dari lembaga kejaksaan mesti berdasarkan surat perintah sebagai penuntut umum.

Jaksa yang tidak diberikan surat perintah atasannya untuk bertindak sebagai penuntut umum, maka menurut KUHAP tidak dibenarkan melakukan penuntutan perkara pidana. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP tentang pengertian penuntutan juga tidak memberi wewenang menuntut kepada jaksa melainkan kepada penuntut umum.

122

(25)

dan diputus hakim di sidang pengadilan. Jelas berdasarkan ketentuan ini penuntut umum lah yang berwenang melakukan penuntutan bukan jaksa.123

Penuntut umum dengan mengacu KUHAP adalah jaksa yang diberi wewenang untuk membuat surat dakwaan, menghadiri persidangan dan melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Selain melakukan penuntutan, penuntut umum menurut KUHAP bisa melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan jaksa menurut KUHAP bertugas untuk melakukan penyidikan dan sebagai pelaksana putusan hakim pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana.124

Berdasarkan Pasal 137 KUHAP tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan menuntut oleh penuntut umum tidak terkecuali kepada siapapun yang melakukan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana umum seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain dan termasuk tindak pidana khusus misalnya tindak pidana teroris, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana illegal logging,

Secara lebih terperinci kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan diatur dalam Bab XV KUHAP mulai dari Pasal 137 s/d Pasal 144 KUHAP. Ketentuan yang terkandung di dalam Pasal 137 KUHAP menegaskan penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

123

Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 194.

124

(26)

tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana perpajakan, dan lain-lain, penuntut umum berwenang menuntu untuk itu.

6. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Wewenang jaksa dan penuntut umum diatur di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Bila kemudian dicermati ketentuan pasal-pasal di dalam UU Kejaksaan, wewenang jaksa dan penuntut umum adalah berbeda. Menurut Pasal 1 angka 1 jo angka 2 UU Kejaksaan, jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.125 Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.126

125

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

126

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

(27)

Penuntut umum berwenang menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dengan menyerahkan perkara pidana yang telah dibuat di dalam berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana.127

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

Berdasarkan UU Kejaksaan ini, memberikan batasan yang luas mengenai siapa yang bisa melakukan penuntutan.

Secara umum tugas dan wewenang kejaksaan berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan adalah:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;128

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;129

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;130

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.131

127

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1967), hal. 34.

128

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

129

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.

130

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

131

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(28)

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Kewenangan menuntut bagi kejaksaan terdapat dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan. Selain menuntut, kejaksaan juga diberi kewenangan di bidang perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum, dan kewenangan lain oleh undang-undang (vide: Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3

junto Pasal 32 UU Kejaksaan), kewenangan lain itu misalnya dapat bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan lain-lain.132

Dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ditentukan, wewenang menuntut itu lebih ditekankan kepada lembaganya yaitu kejaksaannya daripada jaksanya atau penuntut umum. Seperti redaksional yang menentukan “kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan”.

133

b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;

Redaksi ini berbeda dengan KUHAP yang menekankankan kepada jaksanya dan penuntut umum saja,

c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;

d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

132

Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 28.

133

(29)

sedangkan dalam UU Kejaksaan disebutkan secara umum wewenang penuntutan itu diserahkan kejaksaannya. Oleh sebab itu pimpinan kejaksaan lah yang menentukan siapa jaksa-jaksa yang diperintahkan untuk melakukan penuntutan. Jaksa yang mendapat surat perintah melakukan penuntutan inilah yang disebut penuntut umum.

Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan ini mengandung makna bahwa wewenang penuntutan diberi hak secara general kepada institusinya yaitu kejaksaan, bukan kepada jaksa atau penuntut umum. Itu berarti semua jaksa-jaksa yang terhimpun di dalam institusi kejaksaan, berhak bertindak sebagai penuntut umum jika didasarkan kepada surat perintah dari atasan atau pimpinannya. Jika pimpinan tidak memberikan surat perintah kepada jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara tertentu, maka jaksa tersebut tidak berwenang melakukan penuntutan perkara yang dimaksud.

Secara umum kewenangan diartikan sebagai kekuasaan yang menegaskan suatu kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan fisik.134 Istilah kewenangan disebut juga authority (Inggris), theorie van het gezag

(Belanda), theorie der autoritat (Jerman).135

H.D. Stoud, menerjemahkan kewenangan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh

134

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 801.

135

(30)

subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.136

Sekalipun wewenang itu diberikan oleh undang-undang kepada institusi kejaksaan untuk melakukan penuntutan, namun penting untuk diketahui bahwa jika wewenang itu tidak didasarkan pada surat perintah pimpinan dari institusi atau yang berhak untuk itu, maka wewenang untuk menuntut tidak sah secara hukum. Max Weber mengatakan hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial dimaksud untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan.

Dari pengertian ini, kewenangan lebih identik dengan yang diatur dalam perundang-undangan. Walaupun semua orang berwenang, namun wewenang dimaksud dalam pengertian ini adalah wewenang yang ditentukan dalam perundang-undangan saja.

Berdasarkan pengertian tersebut kewenangan diharuskan ditentukan oleh aturan-aturan hukum dan sifatnya berhubungan dengan hukum. Sebelum berbuat sesuatu, maka seseorang dalam jabatannya harus ditentukan terlebih dulu di dalam aturan-aturan hukum dan undang-undang, jika dalam undang-undang sudah ada ditentukan kewenangan terhadap suatu institusi, maka aparatur dari institusi itu baru bisa dikatakan berwenang untuk melakukan suatu tindakan hukum.

137

Wewenang merupakan hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu, tanpa wewenang maka sesuatu yang dilakukan oleh jaksa tidak memiliki landasan yang kuat dan sah. Oleh karena itu wewenang menuntut kejaksaan dapat difungsikan

136

Ibid.

137

(31)

sesuai dengan doktrin Max tersebut di atas yaitu untuk menyelesaikan perkara pelanggaran dan kejahatan yang dalam hal ini adalah perkara tipikor.

Wewenang menuntut dikatakan sebagai hak kejaksaan karena wewenang itu telah diamanahkan di dalam perundang-undangan seperti KUHAP dan UU Kejaksaan. Sedangkan dikatakan sebagai wewenang berkuasa karena wewenang menuntut itu dikuasakan pimpinan atau atasannya kepada jaksa yang ditunjuk untuk bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kewenangan yang ditentukan dalam undang-undang dapat berupa, berbuat atau tidak berbuat dalam hubungan hukum.

Wewenang jaksa untuk melakukan penuntutan harus dinyatakan secara tegas dalam perundang-undangan.138

Wewenang formal menyangkut lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang pemerintahan, tetapi meliputi wewenang dalam pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditentukan dalam undang-undang.

Sehingga dengan demikian kewenangan yang ditentukan dalam undang-undang menyangkut apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Kemudian kewenangan itu harus diikuti dengan kuasa dari atasannya untuk berbuat sesuatu dengan surat perintah.

139

138

Yesmil Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 206-207.

139

Ateng Syafruddin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal. 22.

(32)

tindakan hukum publik yaitu negara menuntut orang yang melakukan perbuatan pidana melalui wakilnya yaitu kejaksaan.

Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menyangkut suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat menimbulkan akibat-akibat hukum.140

Kewenangan dalam Black’s Law Dictionary adalah “right to exercise powers, to implement and enforce law’s, to exact obedience, to command, to judge, Control

over, jurisdiction. Often synonymous with power”.

Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dianggap mampu mengemban tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan termasuk wewenang lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Akibat dari kewenangan tersebut, maka setiap perkara pidana, kejaksaan lah yang berwenang untuk melakukan penuntutan perkara pidana.

141

Pandangan-pandangan tentang kewenangan sebagaimana di atas, berlaku pada kewenangan yang menyangkut kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangan dalam lapangan hukum pidana (hukum publik) yaitu di bidang

Dalam kontruksi ini, kewenangan tidak hanya menyangkut sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun kewenangan juga menyangkut penarapan dan penegakan hukum, ketaatan yang pasti, perintah, memutuskan, pengawasan, yurisdiksi, atau kekuasaan.

140

Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Penerepan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 185.

141

(33)

penuntutan.142

7. UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sehingga kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan perkara tipikor dapat dipahami sebagai kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang dan berdasarkan surat perintah pimpinan.

Berdasarkan Pasal 137 KUHAP, penuntut umum berwenang melakukan penuntutan kepada siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana sesuai dengan daerah hukukmnya. Kejaksaan memiliki daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah hukum Kejaksaan Negeri di mana jaksa tersebut ditugaskan. Seorang jaksa dari Kejaksaan Tinggi atau di Kejaksaan Agung dapat menuntut seseorang jika terdakwa sudah terlebih dahulu dituntut di Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya dilakukan delik.143 Sedangkan Kejaksaan Negeri sebagai penentu suatu berkas perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk dilimpahkan dan diadili di Pengadilan Negeri.144

Kewenangan kejaksaan di bidang penuntutan terkait dengan perkara tipikor dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), tidak menegaskan secara jelas dan tegas kepada kejaksaan bertindak sebagai penuntut umum. Walaupun tidak dengan tegas dan jelas ditentukan, tidak menjadi persoalan, sebab tetap lex

142

H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Op. cit., hal. 186.

143

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indoneisa, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 165.

144

(34)

generalis-nya berpedoman pada Pasal 137 KUHAP, yaitu berwenang menuntut siapapun yang melakukan perbuatan pidana.

Jika diperhatikan secara seksama Pasal 26 UUPTPK, di situ jelas disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tipikor, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UUPTPK ini. Kalimat “berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku” maksudnya adalah hukum acara pidana yang terdapat di dalam KUHAP, UUPTPK, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Penafsiran terhadap norma di dalam ketentuan Pasal 26 UUPTPK dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (2) UUPTPK, maka tergambar bahwa ada dua lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor yaitu kejaksaan dan KPK. Jika hanya berdasarkan KUHAP, maka kejaksaan lah sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang melakukan penuntutan. Tetapi jika hukum acara dipedomani juga di dalam UUPTPK, maka selain kejaksaan, KPK juga berwenang menuntut perkara tipikor di Pengadilan Tipikor.

(35)

KPK juga berwenang melakukan penuntutan. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang menentukan KPK diberi wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara tipikor. Hingga saat ini tidak ada lembaga lain di Indonesia yang diberi wewenang melakukan penuntutan perkara tipikor di hadapan hakim pengadilan, kecuali kejaksaan dan KPK.

Namun terkait dengan ketentuan Pasal 2 UU Kejaksaan yang menyebutkan kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara merdeka, menimbulkan persoalan tersendiri. Kedudukan kejaksaan sebagai lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan memiliki kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan merupakan suatu lembaga, badan, institusi Pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain.

Wewenang menuntut perkara pidana korupsi merupakan wewenang negara di bidang penuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan yang dilaksanakan secara merdeka, artinya tidak boleh siapapun mengintervensi pelaksanaan tugas kejaksaan. Masalahnya bagaimana jika pejabat negara yang terlibat di dalam tipikor. Tentu saja kejaksaan terutama independensi penuntut umum akan dihadapkan pada prinsip equality before the law.

(36)

sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan, sedangkan di sisi lain sesuai Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan ditentukan bahwa kejaksaan merupakan lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Praktik dalam penegakan hukum di lapangan, sering menimbulkan pertentangan sebagai akibat dari terdapatnya ketentuan ini menimbulkan kewajiban ganda (dual obligation) bagi kejaksaan, di mana pada satu sisi ia harus bersifat merdeka sedangkan di sisi lain ia memiliki korelasi kuat dengan negara yaitu sebagai lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Akibat dari ketentuan ini dalam praktik penegakan hukum mengalami kontradiksi antara praktik yang terjadi di lapangan dengan pengaturannya sendiri sehingga ketentuan ini dapat dikatakan dual obligation. Hal ini terjadi jika kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga mustahil bagi kejaksaan dan jajarannya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan juga pengaruh kekuasaan lainnya.145

Penting diketahui bahwa salah satu prinsip dalam kerangka negara Indonesia sebagai negara hukum adalah menjamin kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law), maka setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

146

145

Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit., hal. 204.

146

Marwan Effendy, Kejaksaan....Op. cit., hal. 127.

(37)

akan menuntut perkara tipikor akan memiliki warna tersendiri yang berbeda dengan maksud dan tujuan penegakan hukum serta menimbulkan masalah pelanggaran terhadap prinsip equality before the law.

Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) sekalipun tidak mengenal apa yang disebut dengan privilegiatum yaitu suatu perlakuan yang bersifat khusus terhadap pelaku-pelaku tertentu dari tindak pidana.147

147

Harun M. Husein, Penyidikdan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 37.

Dengan demikian, dalam menjalankan wewenang menuntut perkara-perkara pidana terutama perkara tipikor, penuntut umum harus memperhatikan kesetaraan derajat setiap orang dengan memperlakukan sama di hadapan hukum.

Kewajiban ganda (dual obligation) itu juga terjadi di tubuh KPK. Berdasarkan Pasal 3 UUKPK terdapat norma yang menentukan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pada satu sisi, kedudukan KPK adalah sebagai lembaga negara, sedangkan di sisi lain KPK harus bersifat independen.

(38)

Sifat independensi harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Sedangkan sifat netral/merdeka tidak memihak sama sekali. Berarti wewenang menuntut bagi kejaksaan di mana kejaksaan harus merdeka dinilai lebih berpihak kepada kepentingan hukum bila dibandingkan dengan independensi lembaga KPK. Sebab independensi lembaga KPK bisa pula diartikan lain, di mana KPK bisa pula bergantung kepada negara yang membentuknya.

8. UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Bagaimana dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur wewenang kejaksaan dalam melakukan penuntutan perkara tipikor di Pengadilan Tipikor. Pasal 25 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor menentukan bahwa pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa wewenang penuntut umum dalam melakukan penuntutan perkara tipikor tetap berpedoman pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berfungsi sebagai lex generalis.

Mengenai pengecualian tentang tugas dan wewenang kejaksaan sebagai lembaga yang melakukan tugas di bidang penuntutan perkara tipikor bila diperhatikan secara seksama pasal-pasal yang terdapat di dalam UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, tidak ada pengecualian yang signifikan dari hukum acara pidana yang berlaku untuk pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.

(39)

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.148

Sedangkan pengecualian hukum acara yang dimaksud dalam Pasal 25 UU Pengadilan Tipikor tersebut, dapat dibaca di dalam penjelasan umum undang-undang ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur:

Pengecualian itu hanya terletak pada siapa saja lembaga yang berwenang menuntut perkara tipikor di Pengadilan Tipikor.

Berdasarkan Pasal 26 UUPTPK dan Pasal 43 ayat (2) UUPTPK, lembaga yang berwenang menuntut perkara tipikor ada dua lembaga yaitu kejaksaan dan KPK. Jika hanya berdasarkan KUHAP, maka kejaksaan lah sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang melakukan penuntutan. Tetapi jika hukum acara juga dipedomani pada UUPTPK, selain kejaksaan, KPK juga berwenang menuntut perkara tipikor di Pengadilan Tipikor.

149

a. Penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Tipikor;

b. Mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada tingkat pertama, banding maupun kasasi;

c. Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tipikor pada setiap tingkatan pemeriksaan;

d. Alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. Adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tipikor.

Pengadilan Tipikor ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan

148

Penjelasan Pasal 25 UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tipikor.

149

(40)

mengadili perkara tipikor yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum.150 Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini yang tersebut di atas.

Kekhususan Pengadilan Tipikor sebagai Pengadilan Khusus dipertimbangkan berdasarkan tingkat keseriusan kejahatan tipikor itu sendiri, sehingga hukum acara, ketentuan materilnya, lembaga penuntutnya, termasuk pengadilannya harus memiliki banyak kelebihan dibandingkan tindak pidana lain.

Banyak ketentuan yang menunjukkan kekhususan penanganan perkara tipikor di Pengadilan Tipikor. Seperti Pasal 25 UUPTPK menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tipikor harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Selain itu lembaga penuntut yang berwenang menuntut tipikor di samping kejaksaan, menurut UUKPK ditambah satu lagi yakni KPK.

150

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan Panitia pengadaan barang jasa Dinas Koperasi perindustrian dan perdagangan Kabupaten Bondowoso

Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin dengan Metode Ekstraksi.. Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik, Jurusan Tekni Kimia:

Hasil pengelolaan Altman z- score pada komponen laporan keuangan PT Bank BRI Syariah tahun 2014-2016 dengan hasil yang menunjukkan bebas dari tanda-tanda potensi

Semua ini baru langkah awal dari banyak agen- da inovasi yang akan dilaluioleh Kota Makassar untuk tahun-tahun- mendatang dengan memfasilitasi seluruh SKPD di daerahnya maupun

Oleh karena itu karena banyaknya barang yang di jual dan juga banyaknya para konsuman yang datang,maka penulis akan mencoba membantu mengolah data-data tersebut dengan

However, in the event of requisition for 103 title or use without the prior execution of a written agreement by the Assured, such automatic termination 104

Oleh karena itu, penulis mencoba membuat website mengenai suatu kebudayaan masyarakat Betawi, dimana tanpa kita sadari kebudayaan masyarakat asli DKI Jakarta ini sudah jarang

Pendidikan mengenai pengenalan huruf dan angka kepada anak-anak sangatlah penting tetapi cara penyampaian oleh para orang tua dan guru yang terkadang tidak menarik atau kaku