• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT UU NO. 31 TAHUN 2004 JO.

UU NO. 45 TAHUN 2009

A. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Tindak Pidana Perikanan

Bagaikan penyakit kanker yang cukup ganas, aktivitas illegal fishing terus menggerogoti sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan dimana 70 persen wilayahnya adalah lautan tentu memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi yang dimiliki itu sudah seharusnya diandalkan untuk menopang perekonomian bangsa.

Ironisnya, selama ini potensi itu tidak termanfaatkan dengan baik dan maksimal dan tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan bangsa. Bahkan, negara cenderung dirugikan akibat berbagai praktek eksploitasi kelautan dan perikanan yang tidak bertanggung jawab atau maraknya Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.

(2)

Indonesia telah mengalami gejala overfishing. Selain itu, praktik IUU Fishing

yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), baik oleh kapal perikanan Indonesia (KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing (KIA) telah menyebabkan kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi.

Beberapa faktor yang menyebabkan maraknya praktik pencurian ikan, antara lain, terjadinya overfishing (tangkap lebih) di negara-negara tetangga, penegakan hukum yang lemah(termasuk keterlibatan para penegak hukum itu sendiri), mekanisme izin dan peraturan yang tidak transparan, serta kecilnya armada Indonesia yang mampu beroperasi ke laut dalam.44

Meskipun di sejumlah wilayah (pantai utara Jawa, sebagian Selat Malaka, pantai selatan Sulawesi, dan Selat Bali) telah mengalami kelebihan tangkap, masih banyak wilayah laut Indonesia yang memiliki sumber daya ikan cukup besar, seperti Natuna serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan, Laut Arafura, Laut Sulawesi, ZEEI di Samudra Pasifik, ZEEI di Samudra Hindia, dan wilayah laut perbatasan.45

Selain itu dari beberapa kasus illegal fishing yang terungkap oleh aparat keamanan di Satker PSDKP Lampulo, Aceh (1 kapal), di Stasiun PSDKP Belawan (4 kapal), di Satker PSDKP Probolinggo (1 kapal), di Pangkalan PSDKP Jakarta (3 kapal), di Stasiun PSDKP Pontianak (7 kapal), di Satker PSDKP Batam (3 kapal), di Pangkalan PSDKP Bitung (3 kapal), di Satker PSDKP Sorong (4

44

Rokhmin Dahuri, Anatomi Pencurian Ikan, Sumber: Harian Kompas, Selasa,7 Juni

2012 dalam

pada tanggal 1 April 2017.

(3)

kapal), di Satker PSDKP Merauke (5 kapal),46 penyebab terjadinya kegiatan

illegal fishing, antara lain, adalah:47

1) Terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan; 2) Terbatasnya dana untuk operasional pengawasan;

3) Terbatasnya tenaga polisi perikanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);

4) Masih terbatasnya kemampuan nelayan Indonesia dalam memanfaatkan potensi perikanan di perairan Indonesia, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);

5) Kebutuhan sumber bahan baku di negara pelaku illegal fishing sudah menipis akibat praktik industrialisasi kapal penangkapnya sehingga daya tumbuh ikan tidak sebanding dengan jumlah yang ditangkap, dan sebagai akibatnya, mereka melakukan ekspansi hingga ke wilayah Indonesia; 6) Kemampuan memantau setiap gerak kapal patroli pengawasan di laut

dapat diketahui oleh kapal ikan asing karena alat komunikasi yang canggih, sehingga hasil operasi tidak optimal.

Khusus di wilayah barat, pelanggaran kegiatan perikanan banyak terjadi di Laut Natuna dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut Cina Selatan, dimana pelaku pada umumnya adalah kapal ikan asing yang berasal dari Vietnam, RRC, Myanmar, Thailand dan Malaysia, sedangkan di Selat Malaka dilakukan

46

Lihat Data Penanganan Kasus Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 Hasil Ad-Hock oleh Kapal Pengawas dan Patroli UPT Pengawasan SDKP yang Ditangani oleh Pengawas Perikanan/PPNS Perikanan Direktorat Jenderal PSDKP (Up Date s.d. 13 Maret 2015).

47

(4)

nelayan Malaysia (karena secara khusus bersinggungan dengan persoalan batas laut wilayah yang belum selesai antara RI dan Malaysia).48

Luasnya wilayah dan jauhnya letak pengadilan perikanan dengan locus delicti illegal fishing juga menjadi faktor penyebab meningkatnya illegal fishing. Karena jarak tersebut terkadang perkara tidak terselesaikan tepat waktu dan kerugian negara tidak dapat diselamatkan. Karena banyaknya kasus yang tidak terselesaikan para pelaku menganggap sepele hal tersebut. Kurangnya koordinasi antarinstansi yang memiliki kewenangan mengatasi perkara tindak pidana illegal fishing di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab terus terjadinya illegal fishing. Hal tersebut diperburuk dengan tumpang tindihnya kewenangan yang dimiliki antarinstansi dan tidak terdapatnya keseragaman pemahaman antarinstansi yang memiliki kewenangan mengatasi perkara tindak pidana illegal fishing, khususnya pemahaman mengenai tindakan hukum yang harus ditempuh dan komitmen operasi kapal pengawasan ZEE.49

B. Latar Belakang Dibentuknya Undang-Undang tentang Perikanan

Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang sumber daya ikan sudah banyak dimanfaatkan oleh manusia. Diawali dengan cara ”berburu” menangkap/mencari ikan, kemudian setelah didapatkan mengolahnya untuk santapan keluarga. Cara-cara pembudidayaan ikan pun mulai berkembang setelah manusia berpikir lebih dalam bahwa jika konsumsi ikan dilakukan secara terus-menerus dan semakin banyak manusia yang butuh makan, maka kedepannya bisa saja yang semula

48

Ibid., hal. 70. 49

(5)

hanya untuk kebutuhan keluarga sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bentuk yang bersifat komersial (commercial type of fisheries), yang mana nantinya berujung pada kehabisan ikan.50

Usaha perikanan yang ternyata sangat beragam, dimulai dari usaha menangkap ikan dan membudidayakan ikan, termasuk didalamnya bermacam-macam kegiatan, seperti menyimpan, mendinginkan, atau untuk mengawetkannya – untuk tujuan komersial yang mendatangkan penghasilan dan keuntungan bagi manusia. Usaha penangkapan ikan dilakukan di perairan bebas yaitu di laut dan di perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa, dan sejenisnya), dengan mempergunakan alat tangkap ikan.51

Salah satu yang diharapkan dari usaha perikanan adalah memperoleh keuntungan usaha yang tinggi. Hal ini dapat memberikan dampak kurang menguntungkan, baik bagi kelestarian sumber daya ikan maupun kesinambungan usaha. Sumber daya ikan dengan sifat-sifat biologis yang dimiliki serta lingkungan yang menguntungkan, memang mempunyai “kekuatan pulih sendiri”

(renewable resources) walaupun hal itu tidak pula berarti tak terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumber daya ikan secara sewenang-wenang dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber yang rasional, mustahil usaha perikanan berjalan lestari, bahkan bisa saja berhenti di tengah jalan dikarenakan sumbernya rusak atau habis. Dalam hubungan ini maka perlu dipikirkan bagaimana mengantisipasi agar usaha perikanan dapat berjalan

50

Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indonesia, Cetakan Kedua, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal. 2.

(6)

berkesinambungan dan merupakan usaha yang menguntungkan, yakni dengan melakukan pengaturan sehingga menjadi sangat bermanfaat bagi manusia.52

Menurut James A. Crutchfield, usaha perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi akan menempatkan prioritas motivasi ekonomi menjadi paling depan. Hal ini dapat mengakibatkan gejala tangkap lebih (over fishing), yaitu suatu persoalan mendasar yang berhubungan dengan kelestarian sumber daya ikan sebagai milik bersama (common property). Dengan kondisi tangkap lebih tersebut tidak akan dapat memperbaiki keadaan kelestariannya. Oleh sebab itulah dibutuhkan peraturan dari pemerintah.53

Dalam Pasal 33 UUD 1945, secara eksplisit ditegaskan bahwa negara mengelola segenap sumber daya perikanan secara bertanggung jawab dan memperhatikan aspek keberlanjutan sumber daya tersebut sehingga dapat Mengingat sifat usaha perikanan yang begitu kompleks, maka upaya pengaturan secara keseluruhan akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan usaha perikanan itu sendiri.

Dalam praktik kenegaraan di banyak negara, hukum digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat, sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi di masyarakat. Sehubungan dengan konsep hukum tersebut, pemerintah pada banyak negara, terutama negara berkembang, memiliki otoritas penuh dalam mengelola sumber daya alam termasuk sumber daya perikanan.

52 Ibid. 53

(7)

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hak pengelolaan tersebut mengandung makna mengatur, memanfaatkan dan mengalihkan.

Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk :

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, dengan semua isinya; (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan bumi, air dan ruang angkasa dengan semua isinya;

(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa dengan semua isinya.

Kata “pengelolaan” mengandung unsur pembangunan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam memanfaatkan sumber daya perikanan guna mencapai tujuan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah wajib hukumnya. Amanat tersebut dituangkan pemerintah melalui regulasi di bidang perikanan dan distribusi alokasi sumber daya ikan.54

Sebelum dibentuknya peraturan perikanan nasional di Indonesia, maka peraturan yang digunakan ialah peraturan-peraturan yang berasal dari zaman penjajahan Belanda, yaitu :55

a. Algemene regelen voor het visschen naar Parelschelpen, Parelmoerschepen, Teripang en Sponsen binnen de afstand van niet meer

54

Marhaeni Ria Siombo, Op. Cit., hal. 49-50. 55

(8)

dan drie Englesche zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie

(Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157).

b. Visscherrij Bepalingen ter Bescherming van de Vischsstand (Staatsblad

Tahun 1920 Nomor 396).

c. Algemeene Regeling voor de Visschcherij binnen het zeegebied van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144).

d. Algemeene regelen voor de jacht op walvisschen binnen den afstand van drie zeemiljlen van de kusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 145).

e. Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan hukum di laut.

(9)

zaman penjajahan Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi karena adanya perbedaan pemikiran dasar serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan.56

Setelah berjalan lebih kurang 8 (delapan) tahun, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penggantian ini dilakukan dengan alasan bahwa UU Perikanan yang lama belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan.57

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan

Selain itu penggantian undang-undang tersebut juga merupakan konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of Sea 1982 yang menempatkan Negara Republik Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

56

Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. 57

(10)

perikanan sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 ini lebih memberi kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.58

Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 diberlakukan, Indonesia mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tersebut dilakukan perubahan dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.59

Perubahan terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 ini dilakukan karena pada kenyataannya undang-undang tersebut masih belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan. Selain itu, undang-undang ini juga mempunyai kelemahan yang meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek manajemen pengelolaan, aspek birokrasi, dan aspek hukum.60

Adapun mengenai perubahan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 yaitu meliputi, pertama mengenai pengawasan dan penegakan

58

Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 59

Gatot Supramono, Op. Cit., hal. 8. 60

(11)

hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antarinstansi penyidik dalam penanganan penyidikan di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan perkara dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Kedua, masalah pengelolaan perikanan, antara lain, kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, kesyahbandaran. Ketiga, diperlukan perluasan yuriskdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Di samping itu, perubahan terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.61

C. Tindak Pidana Perikanan Menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009

Illegal fishing didalam pengaturannya sering disandingkan dengan tindak pidana perikanan lainnya, yaitu Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing yang secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.

(12)

Dengan kata lain illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang masuk kategori sebagai berikut:62

1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional.

3. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Kegiatan tindak pidana dalam bidang perikanan yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalahtindakan pencurian oleh kapal-kapal ikan asing mulai dari perairan ZEEIndonesia hingga masuk ke perairan kepulauan serta melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang.

Tindak pidana perikanan di Indonesia saat ini diatur dalam UU No.31Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Adapun tindak pidana di bidang perikanan yang

62

Victor P.H. Nikijuluw, Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water Crime (Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo, 2008), p. 18 dalam Abdul Qodir Jaelani & Udiyo Basuki, “Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing :Upaya Mencegah dan Memberantas Illegal Fishing dalam Membangun Poros Maritim Indonesia”, Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 3 No. 1,

Juni 2014 diakses melalui

(13)

diatur di dalam UU tersebut hanya terdiri atas 2 (dua) macam delik, yaitu delik kejahatan (misdrijven) dan delik pelanggaran (overtredingen). Disebut delik kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik pelanggaran dikarenakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara.63

1. Perbuatan yang Termasuk Tindak Pidana Perikanan

Berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009, tindak pidana di bidang perikanan yang merupakan “kejahatan” yaitu :

a. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 84 ayat (1)).

b. Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkap ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 84 ayat (2)).

63

(14)

c. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 84 ayat (3)).

d. Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 84 ayat (4)).

e. Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (Pasal 85).

(15)

pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 86 ayat (1)), membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (2)), membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (3)), menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (4)).

g. Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang dapat merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Pasal 88).

h. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong,, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan (Pasal 91).

(16)

j. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) (Pasal 93 ayat (1)).

k. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) (Pasal 93 ayat (2)).

l. Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) (Pasal 93 ayat (3)).

m. Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dalam pasal 27 ayat (3) (Pasal 93 ayat (4)).

n. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan penangkapan ikan atau kegiatan yang terkait, yang tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) (Pasal 94). o. Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan Surat Izin

(17)

Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A (Pasal 94A).

Sedangkan tindak pidana yang dikategorikan sebagai “pelanggaran” berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 adalah sebagai berikut.

a. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan (Pasal 87 ayat (1)), yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan (Pasal 87 ayat (2)).

b. Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan (Pasal 89).

c. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia (Pasal 90).

(18)

e. Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia (Pasal 96). f. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera

asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka (Pasal 97 ayat (1)) yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya (Pasal 97 ayat (2)), yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Pasal 97 ayat (3)).

g. Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) (Pasal 98). h. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah (Pasal 99).

(19)

2) Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;

3) Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

4) Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; 5) Sistem pemantauan kapal perikanan;

6) Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

7) Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budidaya;

8) Pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

9) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;

10)Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; 11)Suaka perikanan;

12)Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

13)Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan

14)Jenis ikan yang dilindungi.

2. Perumusan Sanksi dalam Tindak Pidana Perikanan

Pidana merupakan kata lain untuk menunjuk pada suatu sanksi yang berlaku dalam hukum pidana. Dengan kata lain, pidana merupakan bentuk sanksi yang khusus dipakai dalam hukum pidana.

Menurut Profesor van Hamel, arti dari pidana atau straf yaitu :64

64

(20)

“suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara”.

Hukum Pidana Indonesia hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan kata “pidana” tidak diberikan definisinya. Tetapi, dalam KUHP mengenai pidana ini telah ditentukan jenis-jenisnya. Pasal 10 KUHP menentukan sebagai berikut:

Pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok:

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan; b. Pidana Tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. 65

Menurut Ilmu Hukum Pidana, ada beberapa jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu :66

65

Ibid. Hal. 37. 66

(21)

a. Sistem perumusan tunggal adalah sistem perumusan dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk tindak pidana yang bersangkutan. Misal, dapat berupa pidana penjara saja, pidana kurungan, atau pidana denda saja. Sistem ini dapat juga dikatakan sebagai sistem

definite sentence.

b. Sistem perumusan alternatif adalah sistem perumusan dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya, berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana dari yang terberat sampai yang teringan. KUHP mengenal sistem ini berupa ancaman pidana penjara atau denda, sistem ini digunakan relatif lebih tinggi di luar KUHP dibanding di dalam KUHP.

c. Sistem perumusan kumulatif adalah sistem perumusan yang mempunyai ciri khusus berupa adanya ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan”, seperti “pidana penjara dan denda”. Sistem ini tidak ada dijumpai di dalam KUHP. Sistem ini dikenal di dalam Peraturan Perundang-undangan.

(22)

Adapun pengklasifikasian dari sanksi pidana dan rumusan ancaman pidana serta sistem perumusan sanksi yang digunakan dalam pasal-pasal UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :

1. Ancaman pidana penjara.

a. Pasal 84 ayat (1), “ ………., dipidana denganpidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam Pasal 84 ini menggunakan perumusan ancaman pidana

kumulatif karena dalam pasal ini adanya akumulasi sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

b. Pasal 84 ayat (2), ”………., dipidana denganpidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda palingbanyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah),”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini sama dengan Pasal 84 ayat (1) yaitu menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

(23)

d. Pasal 85, “………, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

e. Pasal 86 ayat (2), (3), (4), Pasal 88, Pasal 91, “………..,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan dendapaling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus jutarupiah).”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistemkumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidanadenda.

f. Pasal 87 “……….., dipidana dengan pidana penjarapaling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistemkumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidanadenda.

g. Pasal 89 dan Pasal 90, “………, dipidana denganpidana penjara paling lama (1) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakanperumusan ancaman secara kumulatif karena adanya akumulasihukuman yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

(24)

Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakanperumusan ancaman secara kumulatif berupa pidana penjara danpidana denda.

i. Pasal 93 ayat (1) dan (3), “………., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakanperumusan sanksi secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara danpidana denda.

j. Pasal 93 ayat (2) dan (4), “………, dipidana denganpenjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif

yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

k. Pasal 94, 94A, 95, 96, 98, 99 dan juga menggunakan sistem perumusanancaman pidana secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara danpidana denda.

(25)

perumusan sanksi secara alternatifancaman pidanayang diberikan berupa pilihan jenis pidana tetapi pidana yang dijatuhkan hanya salah satu dari pilihan yaitu berupa pidana penjara saja atau pidana denda saja, bukan keduanya

2. Ancaman pidana denda.

a. Pasal 97 ayat (1) dan (3), ‘ ………, dipidanadengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/imperative karena hanya terdapat satu jenis ancaman pidana saja yaitu pidana denda.

b. Pasal 97 ayat (2), “ ………., dipidana dengan pidanadenda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakanperumusan sanksi secara tunggal/Imperative berupa pidana denda saja.

c. Pasal 100, “………., dipidana dengan pidana dendapaling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).” Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga akan menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/ Imperative berupa pidana denda.

(26)

Berdasarkan klasifikasi sanksi pidana dan perumusan ancaman pidanadi atas, Undang – Undang nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atasUndang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengenal tigasistem perumusan ancaman pidana yaitu perumusan tunggal/imperative,sistem kumulatif,dan sistem alternatif.

Referensi

Dokumen terkait

04 Desa Maspul (DAK Perbatasan & Pendamping), dimana perusahaan saudara termasuk telah dinyatakan lulus evaluasi administrasi, teknis dan harga, maka dengan

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

Compared to the genre of modern Arab historiography discussed earlier, it appears that the Tārīkh al-Tashrī‘ genre in the early colonial period also carried out the same

Selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menentukan pendugaan sebaranfosfat.Interpretasi ini didasarkan pada karakteristik atau kecenderungan harga resistivitas yang

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

Jurnal internasional yang berjudul “Strategic Magagement and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology” yang ditulis oleh Raza Mir

Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh mahasiswa (pembelajar) dalam pembelajaran bahasa Perancis. Dengan bekal materi yang

memahami, mengaplikasikan menganalisa, mengsintesis, dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan dengan penjelasan