BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dermatomikosis
Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit (Budimulja, 2011). Faktor-faktor yang memegang peranan untuk terjadinya dermatomikosis adalah iklim yang panas, higiene yang kurang, adanya sumber penularan disekitarnya, penggunaan antibiotik, steroid dan sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya (Adiguna, 2001).
2.2. DermatomikosisSuperfisialis
Dermatomikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang menyerang lapisan luar kulit, kuku, dan rambut. Dermatomikosis superfisialis dibagi dalam dua bentuk, yaitu dermatofitosis dan nondermatofitosis. Perbedaan keduanya terletak pada infeksi di kulit. Golongan dermatofitosis menyerang atau menimbulkan kelainan di dalam epidermis, mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis, sedangkan golongan nondermatofitosis hanya pada bagian superfisialis dari epidermis. Hal ini disebabkan dermatofita mempunyai afinitas terhadap keratin yang terdapat pada epidermis, rambut, dan kuku sehingga infeksinya lebih dalam (Siregar, 2005).
Dalam Wolff et al (2008), berdasarkan habitat dan cara penularannya dermatomikosis superfisialis dibagi atas:
1. Geofilik, terutama hidup di tanah sebagai habitatnya dan secara sporadis menginfeksi manusia. Infeksi biasanya melalui kontak dengan tanah dan menyebar melalui spora yang dapat hidup selama bertahun-tahun di mantel dan alat kosmetik. Mikroorganisme patogen tersering adalah Microsporium gypseum
atau tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan, misalnya Microsporum canis.
3. Antropofilik, terutama menyerang manusia sebagai hospesnya. penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan manusia maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan.
2.3. Dermatofitosis
2.3.1. Defenisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan jamur golongan dermatofita (Budimulja, 2011).
2.3.2. Etiologi
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit. Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2011).
1. Epidermophyton (Wolff et al, 2008; Winn 2006; Frey et al, 1985) Genus Epidermophyton memiliki karakteristik berdinding halus, memproduksi 2-4 sel makrokonidia. Tidak menghasilkan mikrokonidia.
a. Epidermophyton floccosum
Epidermophyton floccosum memiliki gambaran makroskopis berbentuk seperti
bulu dengan warna kuning kehijauan pada permukaan dan kuning kecoklatan
pada bagian dasar sedangkan gambaran mikroskopis tidak ada dijumpai
mikrokonidia tetapi dijumpai banyak makrokonidia berbentuk gada. berdinding
Gambar 2.1. Makroskopis Epidermophyton floccosum
Gambar 2.2. Mikroskopis Epidermophyton floccosum
2. Microsporum (Wolff et al, 2008; Winn, 2006; Frey et al, 1985)
Genus Microsporum memproduksi banyak makrokonidia yang mempunyai karakteristik multisepta, berdinding tebal, dinding sel echinulate atau verrucose yang tebal dengan ukuran 7-20 x 30-160 m dan sedikit atau tidak
ada mikrokonidia yang berbentuk seperti tetesan air atau elips, terikat langsung ke sisi hipa dengan ukuran 2.5-3.5 x 4-7 m.
a. Microsporum audouinii
Makroskopis : Bentuk koloni datar dan berwarna putih keabuan pada permukaan
dan kecoklatan pada bagian dasar.
Mikroskopis : Dapat dijumpai terminal klamidokonidia dan hifa berbentuk seperti
sisir.
Gambar 2.3. Makroskopis Microsporum audouinii
Gambar 2.4. Mikroskopis Microsporum audouinii
b. Microsporum canis
Makroskopis: Bentuk koloni datar berwarna putih kekuningan, dengan alur-alur
Mikroskopis: Terdapat beberapa mikrokonidia dan banyak makrokonidia
berdinding tebal dan bergerigi dengan knob pada ujungnya.
Gambar 2.5. Makroskopis Microsporum canis
Gambar 2.6. Mikroskopis Microsporum canis
c. Microsporum gypseum
Makroskopis: Koloni berbentuk granuler dengan pigmen coklat kekuningan.
Mikroskopis: Ditemukan beberapa mikrokonidia dan sejumlah makrokonidia
berdinding tipis tanpa knob.
Gambar 2.7. Makroskopis Microsporum gypseum
Gambar 2.8. Mikroskopis Microsporum gypseum
3. Trichophyton (Wolff et al, 2008; Wi nn, 2006; Frey et al, 1985)
Genus Trichophyton memproduksi banyak mikrokonidia dengan karakteristik berbentuk piriform sampai clavate dengan ukuran 2-3 x 2-4 mm dan sedikit atau tidak ada makrokonidia yang memiliki karakteristik berdinding tipis dan halus, berbentuk clavate sampai fusiform dengan ukuran 4-8 x 8-50 mm in size.
a. Trichophyton mentagrophytes
Makroskopis: Koloni berwarna putih krem dengan permukaan seperti gundukan.
Mikroskopis: Dijumpai banyak mikrokonidia bulat yang bergerombol, jarang
yang berbentuk cerutu, terkadang dijumpai hifa spiral.
Gambar 2.9. Makroskopis Microsporum mentagrophytes
Gambar 2.10. Mikroskopis Microsporum mentagrophytes
b. Trichophyton rubrum
Makroskopis: Koloni berwarna putih bertumpuk di tengah dan maroon pada tepinya, berwarna maroon pada bagian dasar.
Mikroskopis: Beberapa mikrokonida berbentuk seperti tetesan air, dan makrokonidia berbentuk pensil jarang di jumpai
Gambar 2.11. Makroskopis Trichophyton rubrum
Gambar 2.12. Mikroskopis Trichophyton rubrum
c. Trichophyton schoenleinii
Makroskopis: Koloni berupa tumpukan tidak beraturan dengan warna putih kekuningan hingga coklat.
Gambar 2.13. Makroskopis Trichophyton schoenleinii
Gambar 2.14. Mikroskopis Trichophyton schoenleinii
d. Trichophyton tonsurans
Makroskopis: bentuk dan warna koloni bervariasi. Dapat berbentuk seperti tepung sampai beludru. Dapat berwarna putih, krem, kuning,coklat atau maroon. Warna dasar biasanya merah.
Mikroskopis: Banyak mikrokonidia beraneka bentuk dan kadang makrokonidia berbentuk cerutu.
Gambar 2.15. Makroskopis Trichophyton tonsurans
Gambar 2.16. Mikroskopis Trichophyton tonsurans
d. Trichophyton verrucosum
Makroskopis: Koloni kecil dan bertumpuk, kadang datar, warna putih hingga abu kekuningan.
Gambar 2.17. Makroskopis Trichophyton verrucosum
Gambar 2.18. Mikroskopis Trichophyton verrucosum
e. Trichophyton violaceum
Makroskopis: Seperti lilin dan bertumpuk, warna merah violet. Dengan warna dasar violet.
Mikroskopis: hifa irreguler dengan klamikonidia di antaranya. Pada SDA tidak ada mikro atau makrokonidia.
Gambar 2.19. Makroskopis Trichophyton violaceum
Gambar 2.20. Mikroskopis Trichophyton violaceum .
2.3.3. Gambaranklinis
Manifestasi klinis dipengaruhi berbagai faktor antara lain spesies jamur, jumlah inokulum, bagian organ yang terkena infeksi dan status kekebalan sipenderita. Gejala klasik dari dermatofitosis adalah “ringworm” kelainan berupa lingkaran yang disertai reaksi inflamasi dan sisik halus di tepi lesi (Kumala, 2009).
Berdasarkan pada bagian tubuh yang diserang dermatofitosis dibagi atas: 1. Tinea pedis (Athlete‟s foot, ringworm of the foot, kutu air)
mentagrophytes, (Havlickova, 2008). Bentuk-bentuk tinea pedis adalah ( Budimulja, 2011):
a. Bentuk interdigitalis yaitu adanya gambaran fisura yang dikelilingi sisik halus dan tipis di antara jari IV dan V yang dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga kesela jari yang lain.
b. Bentuk moccasin foot memiliki gambaran kulit yang menebal dan bersisik pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
c. Bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental, yang setelah pecah, meninggalkan sisik berbentuk lingkaran . Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. 2. Tinea manum
Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk yang dilihat dikaki dapat terjadi pula pada tangan (Budimulja, 2011). Mikroorganisme penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton tosurans, Epidermophyton
floccosum (Wolff et al, 2008).
3. Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail) Tinea unguium adalah kelainan kuku yang sering disebabkan oleh jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum (Havlickova, 2008). Gejala klinis dari penyakit
ini adalah adanya lesi mengenai satu kuku atau lebih pada jari tangan atau kaki. Permukaan kuku tidak rata, berwarna kekuningan, tebal dan rapuh. Kelainan dimulai dari bagian distal. Penyembuhan memerlukan waktu yang lama (Budimulja, 2011).
4. Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin)
Epidermophyton floccosum Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton rubrum (Havlickova, 2008).
Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan (Budimulja, 2011).
5. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine trichophytique)
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin ) yang sering disebabkan oleh Microsporum spp dan Trichophyton spp (Havlickova, 2008).
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu (Budimulja, 2011).
6. Tinea kapitis (ringworm of the scalp) (Wolff et al, 2008)
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang sering disebabkan oleh spesies dermatofita dari genus Microsporum dan genus Trichophyton kecuali T. concentricum. Tinea kapitis sering ditemukan pada anak berusia tiga sampai dua belas tahun Gejala klinis dari tinea kapitis bergantung pada etiologinya.
a. Tipe Inflamasi
b. Noninflamasi
Rambut di daerah yang terinfeksi berubah warna menjadi abu-abu dan kurang bercahaya serta patah di level yg hanya sedikit di atas kulit kepala. Kerontokan rambut yang nyata jarang terjadi. Hiperkeratin yang melingkar dan area botak yang bersisik yang disebabkan patahnya rambut merupakan tanda yang mudah dikenali. Lesi biasanya terjadi di daerah oksiput.
c. Tipe “Black dot”
Kerontokan rambut bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Jika terjadi kerontokan, kumpulan bintik hitam akan terlihat di kulit kepala yang botak.
d. Tipe Favus
Tipe ini ditandai dengan krusta kuning yang tebal sampai folikel-folikel rambut yang mengarahkan terjadinya kebotakan berparut.
Tabel 2.1. Dermatofita penyebab tinea kapitis.
Inflamasi Noninflamasi Black dot Favus
M. audouinii
Sumber: Wolff et al, 2008
2.4. Nondermatofitosis
2.4.1. Defenisi
2.4.2. Etiologi
1. Malasasezia furfur (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni berwarna krem-kekuningan, halus atau kasar, bekilau atau kusam
Mikroskopis: Ditemukan fragmen hifa bercabang dengan berbagai ukuran.
Gambar 2.21. Makroskopis Malasasezia furfur
Gambar 2.22. Mikroskopis Malasasezia furfur
2. Piedra hortai (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni berwarna coklat atau hitam dengan bagian tengah yang lebih tinggi dan datar pada bagian tepi. Dengan tekstur lembut.
Mikroskopis: Ditemukan hifa bersepta dan bercabang dengan dinding tebal, bersamaan dengan sejumlah pembesaran sel seperti klamidokonia diantara sel.
Gambar 2.23. Makroskopis Piedra hortai
Gambar 2.24 . Mikroskopis Piedra hortai
3. Clasdoporium werneckii (Frey, 1985)
Mikroskopis: Koloni muda menunjukan spora yang bervariasi dari warna, berbentuk oval atau elips, satu atau dua sel spora bersepta.
Gambar 2.25. Makroskopis Clasdoporium werneckii
Gambar 2.26. Mikroskopis Clasdoporium werneckii
4. Trichosporon beigelii (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni tumbuh dengan cepat, seperti ragi, dan berwarna kuning pucat. Semakin lama permukaan menjadi keriput, bagian tenagh menumpuk, dan warna menjadi kuning gelap.
Mikroskopis: Ditemukan hifa hialin bersepta yang dapat berfragmentasi menjadi oval, atau persegi panjang, artrospore berukuran 3-9 m x 2-4 m. Blastospora terdapat pada satu atau lebih bagian pada artrospora.
Gambar 2.27. Makroskopis Trichosporon beigelii
2.4.3. Gambaranklinis 1. Pitiriasis versikolor
Pitiriasis versikolor berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari flora normal Pityrosporum orbiculare yang identik dengan Malasasezia furfur (Havlickova, 2008).
2. Pitirosporum folikulitis
Pitirosporum folikulitis adalah penyakit kronis pada folikel polisebasea yang disebabkan oleh spesies Pityrosporum yang identik dengan Malasasezia furfur (Budimulja, 2011).
3. Piedra
Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, ditandai dengan benjolan (nodus) sepanjang rambut, dan disebabkan oleh Piedra hortai (black piedra) atau Trichosporon beigelii (white piedra) (Budimulja, 2011).
4. Tinenigrapalmaris
Tinea nigra memiliki tanda khas berupa makula tidak berskuama berwarna coklat sampai hitam. Bagian yang paling sering terkena adalah palmar, tetapi dapat juga mengenai plantar dan permukaan kulit lainnya. Penyebab penyakit ini adalah Cladosporium wemeckii dan Cladosporium mansonii. Gejala klinis berupa kelainan kulit telapak tangan berupa
bercak-bercak tengguli hitam dan sekali-sekali bersisik. Penderita umumnya berusia di bawah 19 tahun dan penyakitnya berlangsung kronik (Budimulja, 2011).
5. Ketombe (Dandruff)
6. Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi jamur kronik atau subakut pada liang telinga luar dan lubang telinga luar, yang ditandai dengan inflamasi eksudatif dan gatal. Penyebab utamanya adalah jamur-jamur kontaminan, misalnya Aspergilus, Penisilium, dan Mukor (Budimulja, 2011).
2.5. Jamur Kontaminan
2.5.1. Aspergillus sp.
Aspergillus sp. sangat umum dijumpai di dalam maupun di luar ruangan, sehingga kebanyakan orang menghirup spora jamur setiap hari. Menghirup spora Aspergillus sp. tidak berbahaya pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
sehat. Namun, bagi orang yang sistem kekebalannya melemah, menghirup spora Aspergillus sp. dapat menyebabkan infeksi di paru-paru atau sinusitis. Ada sekitar
180 spesies Aspergillus, tetapi yang diketahui dapat menyebabkan infeksi pada manusia kurang dari 40 spesies. Aspergillus fumigatus adalah spesies yang paling sering menginfeksi manusia (CDC, 2016).
2.5.2. Penicillium
Penicillium adalah salah satu jamur yang dapat dijumpai diberagam habitat
seperti tanah, udara, lingkungan dalam ruangan dan berbagai produk makanan (Visagie et al. 2014). Penicillium marneffei adalah satu-satunya spesies dari genus Penicillium yang dapat menginfeksi manusia, dan sering menjadi infeksi penyerta
pasa pasien HIV (Cao et al, 2011).
2.6. PenegakanDiagnosis
Selain dari gejala-gejala khas setiap jamur, diagnosis suatu penyakit jamur harus dibantu pemeriksaan laboratorium, yaitu:
2.6.1. Pemeriksaanlangsung
sampai menguap, dilihat di bawah mikroskop, dimulai dengan pembesaran 10 kali (Siregar, 2005).
Adanya elemen jamur tampak berupa benang-benang bersifat kontur ganda. Selain itu, tampak juga bintik spora berupa bola kecil sebesar 1-3 mikrometer (Siregar, 2005).
Bahan-bahan yang diperlukan untuk diperiksa didapat dari (Siregar, 2005): 1. Kulit
Bahan diambil dan dipilih dari bagian lesi yang aktif, yaitu daerah pinggir. Terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% lalu dikerok dengan skalpel sehingga memperoleh skuama yang cukup. Letakan di atas gelas objek, lalu dituangi dengan KOH 10%.
2. Rambut
Rambut yang dipilih adalah rambut yang terputus-putus atau rambut yang warnanya tak mengilat lagi, tuangi KOH 20%, lihat adanya infeksi endotrik atau ektotrik.
3. Kuku
Bahan yang diambil adalah masa detritus dari bawah kuku yang sudah rusak atau dari bahan kukunya sendiri, selanjutnya dituangi dengan KOH 20-40% dan dilihat di bawah mikroskop, dicari hifa atau spora.
Dengan preparat langsung ini, sebenarnya diagnosis suatu dermatomikosis sudah dapat ditegakkan. Penentuan etiologi spesies diperlukan untuk keperluan penentuan prognosis, kemajuan terapi dan epidemiologis (Siregar, 2005).
2.6.2. Pembiakanataukultur
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah (Siregar, 2005): 1. Bentuk koloni
a. Koloni ragi
Makroskopis tampak bundar, lunak, atau lembek dengan permukaan halus atau rata n mengkilat, tidak berpigmen, warna kekuningan, seperti koloni bakteri. Bila diperiksa secara mikroskopis hanya didapati sel-sel ragi yang berupa sel yang bulat dan tampak seolah-olah mempunyai dua dinding dan kadang-ada tunas (satu tunas besar dengan tunas bola yang kecil yang disebut "BUDDING"), misalnya pada kandida.
b. Koloni menyerupai ragi
Secara makroskopis tampak lembek, permukaan halus, mengkilat, dan warnanya putih kekuningan. Secara mikroskopis tampak sebagai sel tunggal dan kadang-kadang tampak miselium semu (sel-sel panjang, tetapi tidak khas dan tidak bersekat). Juga ada sel yang berbentuk bulat dan kadang-kadang ada yang bertunas.
c. Koloni filamen
Secara makroskopis tampak seperti kapas berupa benang halus, permukaan dan pinggir tidak rata, dan menonjol di atas permukaan media. Mikroskopis tampak sebagai hifa sejati, yaitu benang-benang yang bersifat kontur ganda, berinti dan mempunyai sekat, misalnya: trichophyton, microsporum dan epidermopiton. Kadang-kadang tampak bentuk campuran, yaitu pembiakan pada temperatur 37ºC dapat menghasilkan koloni ragi, tetapi pada temperatur kamar akan menghasilkan koloni filamen, misalnya sporotrikosis.
2. Bentuk hifa
Bentuk hifa ini dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu:
b. Menurut jenisnya hifa bibagi menjadi hifa berseptum dan hifa tidak berseptum (sunositik).
3. Bentuk spora
Bentuk spora dapat dibagi menjadi:
a. Spora seksual yaitu spora yang dibentuk dalam suatu organ khusus yang sebelumnya terjadi penggabungan dari dua hifa
b. Spora aseksual yaitu spora yang langsung dibentuk oleh hifa tanpa melalui penggabungan dari hifa-hifa reproduktif.
2.6.3. Reaksiimunologis (alergi)
Dengan menyuntikkan secara intrakutan semacam antigen yang dibuat dari koloni jamur, reaksi (+) berarti infeksi oleh jamur (+), misalnya (Siregar, 2005):
1. Reaksi trikofitin yaitu menyuntikkan anntigen yang dibuat dari pembiakan trikofitosis. Kalau (+) berarti ada infeksi trikofiton.
2. Reaksi histoplasmin yaitu menyuntikkan antigen yang dibuat dari pembiakan histoplasma. Kalau (+) berarti infeksi oleh histoplasma (+). 3. Reaksi sporotrikin yaitu menyuntikkan antigen yang dibuat dari koloni
Sporotricium schenkii. Kalau (+) berarti infeksi oleh spesies sporotikum.
2.6.4. Biopsiataupemeriksaanhistopatologi
Khusus dilakukan untuk pemeriksaan penyakit jamur golongan mikosis dalam. Dengan pewarnaan khusus dari suatu jaringan biopsi, dapat dicari elemen jamur dalam jaringan tersebut. Pewarnaan khusus seperti pewarnaan gram, He, dan pas dapat mewarnai elemen jamur dalam jaringan sehingga tampak lebih jelas. Selain itu, pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk melihat reaksi jaringan akibat infeksi jamur (Siregar, 2005).
2.6.5. PemeriksaandengansinarWood