BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. TB merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, 75% pasien TB adalah
kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang pasien
TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI,
2011).
Situasi TB didunia semakin memburuk sejak tahun 1990, jumlah kasus TB
meningkat setiap tahunnya dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama
pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Pada tahun 1993 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (WHO, 2010).
Berdasarkan data WHO situasi penyakit TB global pada tahun 2012
dilaporkan 8,6 juta orang penderita TB, 33,7% adalah perempuan, 13% dengan HIV
Pada tahun 2011 ada 5,4 juta kasus baru TB, termasuk 20% kasus TB pada orang
dengan HIV, diperkirakan 3,4% dari kasus TB baru adalah TB MDR atau TB
resistan obat (WHO, 2013).
Kawasan Asia Tenggara pada tahun 2012 angka kejadian TB merupakan
paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain dunia yaitu 2,5 juta kasus (29%),
Afrika 2,3 juta kasus (27% ) dan Pasifik Barat 1,6 juta kasus (19%). Meskipun pada
tahun 2012 tingkat kematian karena TB menurun sebesar 45% , dimana angka case fatality rate (CFR) di Asia Tenggara mencapai 20% setiap tahunnya (WHO, 2013).
Penemuan dan pengobatan kasus TB sampai sembuh merupakan salah satu
strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan.
Pada tahun 1994 WHO telah mengembangkan suatu strategi pengendalian TB yang
dikenal Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Lima elemen strategi DOTS sebagai berikut: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan
dana, 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya, 3) Pengobatan yang standar, untuk semua kasus TB dengan manajemen
kasus yang tepat dengan supervisi dan dukungan bagi pasien, 4) Sistem pengelolaan
dan ketersedian obat yang efektif dan dijamin kualitasnya, 5) Sistem monitoring
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil kinerja
keseluruhan program (WHO, 2009a)
Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua sasaran yang
dideklarasikan Word Health Assembly (WHA) tahun 1991, yaitu deteksi kasus baru
85% dari kasus pada tahun 2000. Meskipun demikian kecepatan kemajuan sampai
saat ini diperkirakan tidak cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan
mortalitas TB dari Milenium Devolopment Goals (MDG) menjadi 50% pada tahun 2015. Karena itu diperlukan kontinuitas implimentasi strategi DOTS agar program itu
dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan target indikator-indikator
keberhasilan program hingga tahun 2015 (WHO, 2009b).
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB di Indonesia mulai
menerapkan strategi DOTS. Strategi DOTS ini dan dilaksanakan di puskesmas secara bertahap, sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional
diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama puskesmas yang di integrasikan
dalam pelayanan kesehatan dasar, sampai tahun 2009 keterlibatan dalam program
pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98% puskesmas, sementara rumah
sakit umum dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) mencapai sekitar 50%
(Kemenkes RI, 2012a).
Fakta menunjukkan bahwa TB sampai saat ini masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:
a. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 didunia setelah
India, Cina, Afika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2009a). Diperkirakan jumlah
pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia, setiap
tahun ada 429.730 kasus baru dan CFR mencapai 14,5%.
b. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan
nomor 1 dari golongan penyakit infeksi;
c. Hasil survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
insidensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara
regional insidensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah yaitu: 1) wilayah Sumatera angka insidensi TB adalah 160 per
100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa angka insidensi TB adalah 110 per 100.000 Penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka insidensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. 4) khusus untuk Provinsi DIY dan Bali angka
insidensi TB adalah 64 per 100.000 penduduk. Hasil survei mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) tentang TB tahun 2004 juga
menunjukkan bahwa 76% keluarga pernah mendengar tentang TB, 26% dapat
menyebutkan dua tanda gejala utama, hanya 51% memahami cara
penularannya dan 19% yang mengetahui bahwa program penanggulangan TB
menyediakan obat TB secara gratis (Kemenkes RI, 2011).
Sementara itu, upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami
kegagalan, walaupun kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan OAT telah
ditemukan sejak tahun 1944. Sebab utama kegagalan tersebut antara lain: tidak
memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi
pelayanan TB karena kurang terakses oleh masyarakat, tidak memadainya
tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat
pencatatan pelaporan sehingga terjadinya kegagalan menyembuhkan pasien yang
diobati (Kemenkes RI, 2011).
Secara nasional situasi TB di Indonesia tahun 2011 tercatat bahwa angka
prevalensi TB 284 per 100.000 penduduk dengan penemuan kasus 82,30%, hal ini
sudah menurun dibandingkan pada tahun 2010 prevalensinya 289 per 100.000 penduduk dengan kesembuhannya sebesar 86,7% dan tahun 2009 prevalensi 285 per
100.000 penduduk, dimana tahun 2009 dan 2010 insidensi penyakit TB tetap 189 per 100.000 penduduk dan mortalitas 27 per 100.000 penduduk.(Kemenkes RI,2012).
Berdasarkan laporan program P2TB dalam profil Dinas Kesehatan Pemerintah
Aceh Tahun 2010 prevalensi TB adalah 99,9 per 100.000 dengan penemuan
penderita BTA Positif atau Case Detection Rate (CDR) 49,9% dan kesembuhan 81,0 %, tahun 2011 prevalensi TB 94,3 per 100.000 penduduk dengan CDR 48,6% dan kesembuhan sebanyak 86,2%, pada tahun 2012 prevalensi TB 103,9 per
100.000 penduduk dengan CDR 53,3% dan kesembuhan 83%, pencapaian ini masih
jauh dari target nasional yang diharapkan CDR sekurang-kurangnya 70% dan
kesembuhan lebih dari 85% (Dinkes Aceh, 2013).
Demikian pula halnya dengan Kabupaten Pidie yang merupakan salah satu
dari 23 kabupaten /kota yang ada di wilayah Pemerintah Aceh. Berdasarkam profil
Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie tahun 2012, jumlah puskesmas yang ada di
Puskesmas rawat jalan 18 unit , Puskesmas pembantu (Pustu) 70 unit, Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes) 84 unit (Dinkes Pidie, 2013).
Berdasarkan data laporan Program Pengendalian Penyakit TB Dinas
Kesehatan Kabupaten Pidie sejak tahun 2011 prevalensi TB 113 per 100.000
penduduk dengan CDR 69,8% dengan kesembuhan 80,1%, tahun 2012 prevalensi
TB 114 per 100.000 penduduk dengan CDR 66,6% dan kesembuhan 80,3% dan
tahun 2013 prevalensinya 101 per 100.000 penduduk dengan CDR 58,1% yang belum dievaluasi kesembuhannya (Dinkes Pidie, 2013).
Hal tersebut diatas juga menunjukkan bahwa penemuan penderita TB lebih
dari 70% dan kesembuhan penderita TB lebih dari 85% belum mencapai target yang
diharapkan. Rendahnya penemuan kasus dan angka kesembuhan. disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu penderita (perilaku, karakteristik, sosial ekonomi), petugas
(perilaku, ketrampilan), ketersediaan obat, lingkungan (geografis), pengawas menelan
obat (PMO), serta virulensi dan jumlah kuman (Widoyono,2011).
Keberhasilan pengobatan TB sangat ditentukan oleh adanya keteraturan atau
kepatuhan minum OAT. Hal ini dapat dicapai dengan adanya PMO yang memantau
dan mengingatkan penderita untuk minum obat secara teratur. Koloborasi petugas
kesehatan, dukungan keluarga dan PMO yang ditunjuk untuk mendampingi ketika
penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat
kesembuhan (Purwanta, 2005).
Banyak pasien yang tidak teratur dalam mengkonsumsi obat disebabkan
saja merupakan beban bagi penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan
proses pengobatan, selain itu masih adanya penderita TB yang pengetahuannya
kurang baik terhadap pengobatan TB yang mempunyai kemungkinan lebih besar
tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik
terhadap pengobatan TB (Widoyono, 2011).
Hasil penelitian Budiman,dkk (2010) di Rumah Sakit Umum Cibabat Cimahi
dalam meningkatkan kesembuhan penderita TB sangat tergantung dari kepatuhan
minum obat pasien TB, dimana variabel umur mempunyai korelasi (hubungan) yang
sangat kuat (r=0,76), pendidikan mempunyai korelasi yang kuat (r=0,65), penghasilan
mempunyai korelasi yang kuat (r=0,72), sikap mempunyai korelasi yang kuat
(r=0,56), sedangkan PMO mempunyai korelasi yang sedang (r=0,34) terhadap
kepatuhan minum obat pasien TB.
Puskesmas Pidie termasuk salah satu Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD)
di Kabupaten Pidie yang merupakan puskesmas rawat jalan. Wilayah kerja
Puskesmas ini meliputi 64 desa. Sarana kesehatan lainnya yang terdapat diwilayah
Puskesmas Pidie antara lain 4 unit Puskesmas Pembantu (Pustu), 8 unit
Polindes/Poskesdes. Sedangkan tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Pidie
terdiri 2 orang dokter umum, 1 orang dokter gigi, 1 orang sarjana kesehatan
masyarakat, 72 orang bidan, 20 orang perawat, 10 orang sanitarian, 1 orang analis, 1
orang asisten apoteker dan 1 oarang perawat gigi (Puskesmas Pidie, 2013).
Cakupan pelayanan kesehatan khususnya program P2 TB di Puskesmas Pidie
penderita TB BTA positif hanya 57, 3% dengan kesembuhan 81,2%. Sedangkan pada
tahun 2012 penemuan penderita TB BTA positif yaitu 52,1% dengan kesembuhan
79,2%, tahun 2013 terjadi penurunan penemuan penderita yaitu 31,8% yang masih
dalam pengobatan, adapun target penemuan penderita yang diharapkan harus >70%
dengan kesembuhan >85% . Hal ini menunjukkan bahwa angka penularan penyakit
TB diwilayah kerja Puskesmas Pidie masih sangat tinggi (Puskesmas Pidie, 2013).
Masih rendahnya kesembuhan penderita TB yang melakukan pengobatan
banyak faktor yang mempengaruhinya, sebagaimana hasil dari studi pendahuluan
yang peneliti lakukan terhadap 10 orang penderita TB BTA positif yang melakukan
pengobatan pada tahun 2012 diwilayah kerja Puskesmas Pidie, didapatkan bahwa 2
orang (20%) yang tidak menyelesaikan pengobatan karena telah merasa sembuh
setelah minum obat 3 bulan dan merasa bosan minum obat cukup lama, 8 orang
(80%) menyatakan bahwa petugas tidak pernah datang untuk melakukan kunjungan
rumah serta hanya 5 orang (50%) yang menyatakan dengan benar cara penularan TB.
Faktor demografi juga didapatkan bahwa sebagian besar penderita TB tersebut
bekerja sebagai petani dan tukang dan hanya menyelesaikan pendidikan SMP dan
tamat SD. Hal ini berdampak pada pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan sikap
terhadap pengobatan TB sampai selesai, dimana masih banyak penderita TB yang
tidak memahami pentingnya pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui kemajuan
pengobatan.
Pengobatan yang lama yang di lakukan penderita TB untuk mencapai
petugas kesehatan, sangat sedikit sekali penderita TB yang didampingi keluarga saat
memeriksa dan mengambil OAT ke puskesmas dengan alasan sibuk bekerja untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petugas juga jarang melakukan kunjungan rumah
untuk melakukan pelacakan bila penderita putus berobat dan melakukan pemeriksaan
kontak serumah dengan alasan tidak ada biaya.
Faktor lain yang ikut berperan dalam kepatuhan berobat penderita TB dalam
menjalani pengobatan adalah efek samping obat dan jarak fasilitas kesehatan.
Menurut informasi dari petugas kesehatan banyak penderita TB tidak menyelesaikan
pengobatan karena setelah minum obat merasa lemas, tidak ada nafsu makan, mual,
sakit perut dan nyeri sendi. Disamping itu jarak rumah penderita TB juga jauh dari
fasilitas kesehatan. Hal ini terjadi karena tidak ada angkutan umum ke fasilitas
kesehatan dan banyak penderita TB yang keluarganya tidak memiliki alat
transportasi.
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang
faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di wilayah
kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.
1.2 Permasalahan
Masih rendahnya kesembuhan penderita TB yang melakukan pengobatan
dapat berakibat pada tingginya angka penularan TB dan belum diketahuinya
pengaruh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,
dukungan keluarga, efek samping obat, lamanya pengobatan, ketersediaan obat, jarak
tempat tinggal) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di wilayah kerja
Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor
internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di Puskesmas
Pidie Kabupaten Pidie.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.
2. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
3. Untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.
4. Untuk mengetahui pengaruh peran PMO terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
5. Untuk mengetahui pengaruh peran petugas terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
6. Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap kesembuhan penderita
7. Untuk mengetahui pengaruh efek samping obat terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
8. Untuk mengetahui pengaruh lama pengobatan terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
9. Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan obat terhadap kesembuhan penderita
Tuberkulosis.
10.Untuk mengetahui pengaruh jarak tempat tinggal ke puskesmas terhadap
kesembuhan penderita Tuberkulosis.
1.4 Hipotesis
Ada pengaruh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, sikap, kepercayaan ) dan faktor eksternal ( peran PMO, peran petugas,
dukungan keluarga, efek samping obat, lama pengobatan, tersedianya obat, jarak
tempat tinggal) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di Puskesmas Pidie
Kabupaten Pidie.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh
faktor internal dan faktor eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis
1. Kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie dan Puskesmas Pidie dalam
rangka melakukan kebijakan, perencanaan dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat khususnya pengendalian penyakit Tuberkulosis. ke
2. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan ilmu
dan penelitian lebih lanjut mengenai pengendalian penyakit Tuberkulosis.
3. Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis untuk mengembangkan disiplin