BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Dusun Giyanti 1. Letak Geografis
Dusun Giyanti Desa Kadipaten termasuk wilayah Kecamatan Selomerto,
Kabupaten Wonosobo, yang terletak di daerah pegunungan dengan batas- batas
sebagai berikut:
Sebelah Barat : Desa Sidorejo
Sebelah Utara : Desa Tumenggungan
Sebelah Timur : Desa Wulungsari
Sebelah Selatan : Desa Sumberwulan
Desa Kadipaten terletak di sebelah selatan ibu kota Kabupaten Wonosobo
dengan jarak tempuh 9 km, serta berjarak 4 km dari ibu kota Kecamatan Selomerto.
Untuk mencapai desa Kadipaten ini, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan
roda dua dan juga dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat.
Kira-kira waktu yang ditempuh dari ibu kota Kabupaten Wonosobo menuju
Desa Kadipaten sekitar 15 sampai 20 menit, sehingga dengan jarak dan waktu
tempuh yang relatif singkat maka tidaklah sulit dan lama untuk menuju Desa
Dengan luas wilayah desa Kadipaten, sebagai berikut:
No Kondisi Wilayah Luas(Ha) Prosentase
1 Lahan Sawah
a Irigasi Teknis
b Irigasi 1/2Teknis 50.258 19.63
c Irigasi Sederhana 33.505 13.09
d Tadah Hujan
2 Lahan Kering
a Pekarangan dan Bangunan 15.021 5.87
b Tegalan/ Kebun 148.85 58.15
c Padang Gembala
d Kolam/ Tambak 2.944 1.15
Hutan Negara
Lain- lain (jln, Sungai dll) 5.403 2.11
Jumlah 255.982 100%
(Sumber: Arsip Desa Kadipaten, Januari 2012)
2. Kependudukan
Uraian mengenai kependudukan yang berkaitan dengan sumber daya
manusia berisi tentang: (a). struktur kependudukan berdasarkan perkembangan
a. Struktur kependudukan berdasarkan perkembangan penduduk (Sumber: Arsip Desa Kadipaten, Januari 2012)
Dari tabel tersebut nampak bahwa penduduk Desa Kadipaten pada akhir tahun
2009 sebanyak 2894 jiwa dan di akhit tahun 2010 sebanyak 3246 jiwa. Sehingga
b. Kependudukan berdasarkan agama
Tabel II
Penduduk berdasarkan agama
No Agama
Jumlah
Penduduk Prosentase
1 Islam 3014 92.85
2 Kristen 27 0.83
3 Katolik 205 6.32
4 Budha 0 -
5 Hindu 0 -
Jumlah 3246 100.00%
(Sumber: Arsip Desa Kadipaten, Januari 2012)
Dari tabel di atas tampak bahwa mayoritas penduduk Desa Kadipaten Beragama
c. Penduduk berdasarkan pendidikan (umur 5 tahun keatas).
Tabel III
Pendidikan penduduk diatas 5 tahun
No Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase
1 Tidak sekolah 14 0.47
2 Tamat SD ,758 58.76
3 Tamat SLTP 796 26.60
4 Tamat SLTA 342 11.43
5 D-1 41 1.37
6 D-2 29 0.97
7 D-3 12 0.40
8 D-4
9 S-1
10 S-2
11 S-3
Jumlah 2,992 100.00
(Sumber: Arsip Desa Kadipaten, Januari 2012)
Dari data di atas, masyarakat di Desa Kadipaten kebanyakan lulus SD, sedangkan
d. Penduduk berdasarkan mata pencaharian.
Tabel IV
Mata pencaharian penduduk
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase
1 Buruh Tani 241 9.90
2 Petani Sendiri 374 15.36
3 Peternak Unggas - 0.00
4 Penggalian 18 0.74
5 Industri 37 1.52
6 Bangunan 103 4.23
7 Perdagangan 70 2.87
8 Transportasi 10 0.41
9 PNS/Honor Daerah 29 1.19
10 TNI 4 0.16
11 POLRI 2 0.08
12 Pensiunan 10 0.41
13 Lainyan 1,537 63.12
Jumlah 2,435 100.00
(Sumber: Arsip Desa Kadipaten, Januari 2012)
Dari data diatas nampak bahwa sebagian besar didominasi oleh masyarakat yang
B. Kesenian Lengger
1. Sejarah Kesenian Lengger
Lengger adalah gabungan kata “
le
” yang merupakan suku kata pertama
dari kata
Ledhek, Tledhek
dan “
ngger
” yang berasal dari kata “
Geger
” yang
dalam bahasa Indonesia berarti gempar. Sehingga dapat dimaknai sebagai
tledhek yang membuat kegegeran atau kegemparan. Cerita ini berhubungan
dengan cerita Panji yang dipentaskan, diceritakan dalam cerita Panji, Dewi
Sekartaji dalam mencari sang kekasih yaitu Raden Panji Inukertapai. Dalam
pencarianya, Dewi Sekartaji menyamar sebagai penari tledhek barangan, dan
karena kecantikan serta kepandaianya menari, banyak pemuda yang tergila-gila
hingga tak sadarkan diri. Akan tetapi ada juga pendapat bahwa Raden Panji
Inukertapatilah yang mencari Dewi Sekartaji. Pada waktu itu Raden Panji
Inukertapai menyamar sebagai penari yang menggunakan cadar, sehingga
menutupi sebagian wajahnya, tetapi masyarakat tidak mengetahui bahwa si
penari yang mereka lihat sebenernya adalah seorang pria. Oleh karena
masyarakat yang menyaksikan pertunjukan tersebut sangatlah tertarik
menyaksikan gerakan tari dari sang penari yang lemah lembut dan indah, maka
timbul keinginan untuk mengetahui siapakah wanita yang berada di balik cadar
tersebut. Kemudian terkejutlah masyarakat ketika cadar dari sang penari
tersebut terbuka dan ternyata penari tersebut bukanlah wanita melainkan pria
Tledek geger juga dapat muncul dari kegegeran penari tayub yang
biasanya ditarikan oleh seorang perempuan namun ditarikan oleh seorang
laki-laki. Menurut beberapa sumber, keberadaan penari laki-laki yang berperan
sebagai perempuan telah muncul semasa perang Diponegoro mencapai daerah
Wonosobo. Pada saat itu pemimpin perang di daerah Wonosobo adalah
Tumenggung Jogonegoro yang juga merupakan orang kepercayaan Pangeran
Diponegoro sekaligus penyiar agama Islam, oleh karena situasi perang yang
tidak memungkinkan untuk mendatangkan penari perempuan pada saat prajurit
membutuhkan hiburan, kemudian mereka mendandani laki-laki layaknya
perempuan untuk menari tayub.
Oleh karena masyarakat Dusun Giyanti menganggap kesenian tersebut
merupakan sesuatu yang menarik dan dapat menjadi hiburan bagi masyarakat
serta mengandung tradisi dari nenek moyang, sehingga masyarakat Dusun
Giyanti mempertahankan dan melestarikan kesenian lengger tersebut sampai
saat ini.
2. Bentuk Kesenian Lengger
Dalam pertunjukan lengger biasanya kostum yang dipakai adalah baju rompi,
jarik, stagen, sabuk, celana panji, parasamir, dan iket khas Wonosobo untuk penari pria
atau penari topeng, serta penari lengger biasanya menggunakan jamang bulu, baju,
selendang, stagen dan jarik. Untuk asesoris yang biasanya digunakan oleh seorang
mahkota, topeng, serta kalung, untuk penari lengger asesoris yang digunakan biasanya
jamang bulu yang melambangkan kecantikan seorang perempuan, serta selendang.
Hasil wawancara dengan penari lengger mengenai bagaimana dia dapat menari
lengger, sebagaimana yang diungkapkan saudara Sukin selaku penari lengger:
Saya dapat menari lengger bermula dari kesukaan saya terhadap tarian
lengger, dari itulah saya mencoba ikut belajar menari sambil melakukan pementasan
(nyantrik) di sebuah sanggar yang ada di dusun ini (Giyanti). (Sukin, 8 Januari 2012)
Pada pertunjukan lengger, penari lengger merupakan pusat pertunjukan, yaitu
penari selalu menari di tengah panggung, atau lebih tepatnya disebut arena. Lazimnya
terdapat 2 sampai 4 penari penari lengger, mereka biasanya menari secara berpasangan
dengan penari topeng dan bergantian dengan penari lengger yang lain. Selama
menunggu giliran menari, mereka duduk di samping arena dan sikap dasar penari
lengger adalah duduk dengan tegap. Ketika musik gamelan mulai terdengar dengan
membawakan tembang tertentu penari lengger wanita mulai turun untuk menari. Tidak
lama berselang, muncul seorang penari lengger pria yang menggunakan topeng dan
menari sesuai karakter gending serta topeng yang dikenakanya. Sang penari yang
menggunakan topeng, apapun karakternya menari seolah-olah mengejar penari lengger
wanita, penari lengger wanita selalu menghindar sehingga gerakanya selalu memutar,
memanfaatkan ruangan untuk berkelit sehingga pola pelantaianya cenderung
lekung-melingkar. Gerakan penari lengger wanita menggambarkan stereotip seorang
perempuan jawa yang sopan dan lemah lembut. Seorang penari lengger wanita tidak
berjinjit, dan kadang sesekali melempar pandanganya ke arah penonton diirringi
dengan sedikit senyuman.
Akan tetapi jumlah penari lengger dalam sebuah pertunjukan tidak harus 2
sampai 4 orang, namun sangat dipengaruhi oleh jumlah financial yang dimiliki oleh si
pengundang. Semakin banyak penari lengger yang diundang berarti dia memiliki dana
yang mencukupi. Ada kebanggaan tersendiri bila dalam suatu pertunjukan terdapat
penari lengger yang cukup banyak. Dari sudut penari lengger sendiri, apabila dalam
suatu pertunjukan terdapat beberapa penari maka sang penari lebih ringan kerjanya.
Dapat dibayangkan apabila pertunjukan lengger diadakan malam hari sedangkan hanya
ada satu penari lengger dan harus menari sepanjang malam tanpa henti, berbeda
dengan penari topeng yang biasanya menggunakan banyak penari, dimana seorang
penari hanya membawakan satu tarian yang sesuai dengan karakter atau watak topeng
yang dikenakannya.
Dalam setiap pertunjukan lengger sering terjadi kerasukan, dimana penari
topeng yang menari bersama lengger atau bahkan penonton yang menyaksikan
pertunjukan lengger kehilang kesadaran dan mulai bertingkah sesuatu yang tidak
wajar. Namun pada masa lalu lengger itu sendirilah yang kerasukan. Bahkan di masa
lalu lengger dapat mengobati orang yang sakit. Pigeaud menyebutkan lengger dianggap
seperti dukun yang dapat mengobati penyakit tertentu (Pigeaud, 1938 : 275). Karena
itulah masyarakat percaya bahwa yang merasuki lengger tersebut adalah roh dari nenek
moyang atau roh penunggu di dusun mereka. Banyak diantara masyarakat yang
memantikan peristiwa kerasukan tersebut, para masyarakat berharap dengan
pada keluarga mereka yang sedang menderita suatu penyakit. Sakitnya seseorang
diyakini karena terganggunya keseimbangan antara si sakit dengan alam di sekitarnya.
Masyarakat pada waktu itu menganggap suatu penyakit dapat dikarenakan
pengaruh-pengaruh kekuatan gaib yang mengganggu pada diri manusia, karena semua benda
dipercayai mempunyai jiwa dan penyakit yang diderita disebabkan oleh roh-roh halus
yang mengganggu akibat perbuatan salah dari seseorang yang sakit tersebut atau
karena dibuat oleh orang lain dengan memanfaatkan kekuatan gaib, atau mungkin juga
terkena sawan. Penari lengger akan orang yang sakit tersebut dengan cara meludahi
atau mengusap air liurnya ke kening orang yang sakit. Dari peran ganda inilah yang
mungkin menyebabkan penari lengger adalah seorang pria. Sampai saat ini dalam
pertunjukan rakyat yang menggunakan peristiwa kesurupan sebagai bagian dari
pertunjukanya selalu menggunakan pawang alam gaib atau dukun. (Hadi, 2006
: 19)
Untuk menjadi seorang dukun tidaklah mudah, terdapat suatu proses yang
berat yang harus dilalui dan setiap dukun memiliki laku berbeda yang harus ditempuh
untuk mendapatkan kekuatan supranatural tersebut. Umumnya pengetahuan seorang
dukun tentang laku ini diturunkan dari seorang dukun yang lain yang dianggap sebagai
gurunya, akan tetapi ada juga yang secara spontan dukun tersebut mendapatkanya,
seperti yang diungkapkan bapak Slamet yang juga sebagai dukun lengger. Saya tidak
tahu bagaimana kekuatan itu datang kepada saya, tiba-tiba saya dapat melihat segala
sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Kemudian saya mencari tahu sendiri
tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada saya. (Slamet, 8 Januri 2012). Ada
bersemedi, ataupun dengan mantra-mantra. Pada prinsipnya untuk mendatangkan
kekuatan tersebut seseorang harus merubah cara makan secara normal dengan cara
berpantang atau tidak makan sesuatu dalam kurun waktu tertentu. Demikian juga
dengan mantra, umumnya dituliskan dalam bahasa-bahasa asing, seperti arab,
sansekerta, dan jawa kuna ataupun jika menggunakan bahasa yang dapat dikenal orang
lain, maka strukturnya dibolak-balik sehingga dirasa asing di telinga orang lain.
Sejak digantinya penari lengger pria menjadi penari lengger wanita dapat
dianggap sebagai batas antara pertunjukan sebagai sarana ritual dan pertunjukan
sebagai hiburan.
Dalam pertunjukan lengger biasanya diiringi oleh Niaga yang memegang alat
musik sendiri-sendiri sesuai dengan keahlianya. Menurut bapak Dwi Pranyoto selaku
penabuh gamelan atau Niaga mengungkapkan:
Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan lengger yaitu kendang yang berfungsi sebagai pembawa irama, demung berfungsi sebagai penentu ketukan, saron, peking dan bonang penerus berfungsi sebagai pengisi irama, bonang barung sebagai pembuka iringan serta kempul legong, bende dan gong. Para niaga inilah yang mengiringi para penari dalam pertunjukan lengger sehingga terdapat satu-kesatuan yang komplek antara penari dan niaga. Dalam setiap pertunjukan terdapat 9 orang penabuh gamelan atau niaga yang memegang masing-masing alat musik sesuai keahlian serta seorang sinden yang bertugas menyanyikan tembang-tembang. (Dwi Pranyoto, 7 Januari 2012)
Dalam perkembanganya, pertunjukan lengger bukan lagi menjadi sarana
ritual yang lengkap dengan semua kesakralan yang ada di dalamnya, melainkan
berubah menjadi hiburan untuk masyarakat serta menurut bapak Sosro Wardoyo selaku
menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat di Dusun Giyanti, coba bayangkan
seandainya tidak ada perekat kesatuan dan persatuan dalam masyarakat, pasti akan
menjadi pecah belah tidak karuan kan” (Sastro Wardoyo, 14 Januari 2012).
Pertunjukan lengger sendiri banyak dipentaskan dalam acara-acara yang dianggap
penting dalam masyarakat, seperti hajatan, sukuran, selametan, agustusan, hiburan,
serta setiap ulang tahun Kota Wonosobo pertunjukan lengger pasti dipentaskan.
3. Struktur dan Waktu Pertunjukan
a. Struktur Pertunjukan
Seperti kesenian lainnya, di dalam kesenian Lengger terdapat urut-urutan
penyajian. Sajian karawitan gendhing Mayar sewu menjadi pertanda akan
dimulainya sebuah pertunjukkan. Sembari menunggu para peraga
mempersiapkan diri, tembang babadan pun dilantunkan. Di dalam tembang
tersebut ditembangkan lagu yang berisi tolak balak untuk menolak semua
gangguan selama pertunjukkan. Kemudian seorang pawang muncul sambil
membawa sesaji. Sesaji yang digunakan terdiri dari bunga talon, daun sirih,
rokok, minuman dari kopi, sulur dan daun jipang, bara api, kemenyan, dupa, dan
Torong gelas.
Bacaan-bacaan mantra pun mengalir pelan dari mulut seorang pawang.
Kemenyan dan dupa kemudian dibakar. Semua ritual tersebut ditujukan untuk
memohon kepada para roh agar mau merasuki para pemain dan melindungi
semua pemain selama berlangsungnya pertunjukan lengger.
1. Babadana
Kata babadana berasal dari kata babad yang memiliki arti
membersihkan dan dana yang berarti hutan. Tari ini memiliki arti sebagai
pembuka dan meminta keselamatan agar dalam pertunjukan yang sedang
diadakan dapat berjalan dengan lancer.
2. Tari Sulasih
Nuansa mistis mulai dapat dirasakan ketika tari sulasih mulai
dimainkan. Tari sulasih dibawakan oleh seorang penari pria yang
menggunakan topeng. Tarian ini ditujukan untuk mengundang roh
Bidadari agar mau turun dan melindungi semua penari selama pentas
berlangsung.
3. Tari Kinayaan
Merupakan tari yang dibawakan oleh penari Topeng halus
(alusan) sebagai pembuka atau selamat datang kepada para Roh yang
telah melindungi para pemain.
4. Tari Bribil
Pada saat tari Bribil ini penari topeng menggunakan Topeng
Thelengan agak Gechul yang menggambarkan rasa cinta kasih. Hal ini
juga sebagai pertanda bahwa para dayang telah turun dan menyatu
5. Tari Blenderan
Tari ini menggambarkan seorang wanita yang sedang bersolek
karena masih dalam perasaan rindu.
6. Tari Rangu rangu
Pada saat tari ini dimainkan, penari topeng menggunakan topeng
gagahan. Gerakan dari tarian ini ritmenya cepat dan cenderung kasar. Hal
tersebut menggambarkan perasaan dari tokoh yang diperankan. Perasan
asmara yang begitu dalam sehingga lupa diri dan akhirnya kemasukan roh
jahat. Dalam tarian ini penari memakan beling/gelas/torong lampu dan
meminum daun kembang.
7. Tari Jangkrik Genggong
Penari dalam tarian ini menggunakan topeng yang bringas.
Gerakannya kasar dan lincah serta sering dalam keadaan lupa diri dan
akhirnya kemasukan roh.
8. Tari Gondhang Keli
Tari ini menggambarkan seseorang yang sedih meratapi nasibnya
yang sebatang kara dan lupa diri sehingga kemasukan roh kabur kanginan.
Penari kemudian memakan bunga mawar merah dan putih, munyak
duyung, dan bara api/api, selanjutnya memakan bunga kantil, dan
9. Tari Sontoloyo
Muncul seorang penari dengan menggunakan topeng bertopi
layaknya seorang komando yang gagah berani. Penari tersebut
menegaskan bahwa tokoh yang sedang diperankannya berpembawaan
tegas dan bijaksana.
10. Tari Kebogiro
Penari topeng menggunakan topeng yang mukanya seperti kerbau
sehingga menggambarkan seorang yang kemasukan roh kerbau yang
ganas dan kasar. Oleh karena gerakan dan gambaran tersebut maka tarian
ini disebut juga sebagai tari kebogiro.
11. Gendhing Penutup
Merupakan gendhing yang dibawakan untuk mengakhiri pentas
seni dan pertunjukkan .
Akan tetapi ada juga urutan lain yang mengungkapkan bahwa setelah
babadana dan sulasih berturut-turut ditampilkan kinayan, kembang gadung,
jangkrik genggong, sumyar, rangsang tuban, siripithi, criping kuning, gunung sari,
waelul, sarindoro, sontoloyo, kinanthi sanding, kebogiro, gondang keli, kembang
jeruk, samiran, tinoridin, gondosuli, cakar kumbang, cao glatak, sarung dayung,
blindri, godhril, suthang walang, dan diakhiri gending-gending.(Hadi, 2006 : 52)
Pada kenyataanya belum tentu urut-urutan tersebut harus menjadi urutan
pementasan lengger, antara lain dipengaruhi oleh durasi atau waktu pertunjukan,
jumlah serta kemampuan penari lengger, koleksi topeng yang dimiliki. Namun
beberapa unsur pokok seperti babadana, sulasih, gondhang keli, sontoloyo, dan
kebogiro yang wajib untuk ditarikan.
b. Waktu Pertunjukan
Tidak ada aturan yang baku mengenai waktu pertunjukan, dalam hal ini
semua tergantung kepada orang yang mengundang tampilnya lengger dengan
pimpinan dari kelompok lengger. Akan tetapi biasanya pertunjukan lengger
dipentaskan pada acara hajatan, syukuran ataupun slametan dilakukan malam hari
mulai sekitar pukul 20.00 sampai pagi, atau tergantung kompromi antara
pimpinan lengger dengan si pengundang. Namun diluar acara tersebut kesenian
lengger dapat dipentaskan pada siang hari mulai sekitar 09.00 sampai selesai.
Bahkan bisa juga tergantung oleh tingkat antusiasme dari para penonton, apabila
antusiasme penonton sangat baik dan pertunjukan tersebut banyak dikerumuni
masyarakat biasanya waktu pentasnya bertambah panjang, akan tetapi apabila
antusiasme masyarakat kurang maka pertunjukan dapat segera diakhiri.
4. Elemen-elemen Dalam Pertunjukan Lengger
1. Gerak Tari
Seni tari menghasilkan bentuk getaran-getaran yang indah, apabila anggota
tubuh seperti tangan, kaki, kepala, badan dan lain sebagainya, ditata dirangkaikan
dibawah ini dijelaskan secara teoritis dengan unsur-unsur sikap dan gerak, serta
pengorganisasian gerak, secarahirarkis guna memahami masalah bentuk penyajian
tari. Tubuh sebagai instrument menghasilkan gerak dimana unsur gerak tersebut
merupakan elemen dasar dari tari, dan berfungsi sebagai penunjang dalam
menghasilkan motif, yaitu suatu satuan terkecil dari tari. Untuk mempermudah dalam
menganalisis maka tubuh sebagai instrument dari gerak tari, dipilah menjadi empat
bagian. Adapun unsur gerak yang dimaksud adalah (1.) Gerak Kepala ; (2.) Gerak
Badan ; (3.) Gerak Tangan ; (4.) Gerak Tari. Seni tari sebagai bagian dari seni apabila
dianalisis secara teliti akan tampak di dalamnya elemen-elemen yang sangat penting,
yaitu gerak dan ritme (Sudarsono, 1999:18). Namun didalam penyajian suatu tari,
tidak cukup hanya gerak dan ritme saja, masih banyak elemen-elemen yang lain yang
harus dipertimbangkan, agar suatu tarian dapat menarik. Elemen-elemen tersebut
antara lain: gerak, musik iringan, tata pentas, tat arias dan tata busana serta property.
Tari berdasarkan bentuk geraknya dibedakan menjadi dua, yaitu tari
representasional dan non representasional. Tari representional adalah tari yang
menggambarkan sesuatu dengan jelas, seperti tari tani menggambarkan seorang
petani, tari nelayan menggambarkan seorang nelayan. Sedangkan tari non
representasional yaitu tari yang menggambarkan sesuatu secara simbolis seperti Tari
Topeng, Tari Srimpi dan lain sebagainya.
Di dalam tari tradisional Jawa khususnya tari istana untuk menilai keindahan
tari diantaranya meliputi wiraga, wirama, dan wirasa (Jazuli 1994 : 114). Nilai-nilai
keindahan yang ada dalam tari, dapat dilihat dari unsur utama tari, serta unsure
hubungannya dengan cara menilai bentuk fisik tari terutama segi geraknya.
Ketrampilan gerak penari diukur dengan kesatuan yang telah ditetapkan (Jazuli, 1994 :
119), misalnya bagaimana sikap dan geraknya, apakah penari melakukan gerak secara
runtut, berkesinambungan dan sebagainya. Hakekat tari adalah gerak sikap adalah
gerak sesaat. Esensi dan makna gerak itu jiwa dunia tari dan manusianya (Wardhana
dalam Sedyawati, 1984 :32-33).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa substansi atau bahan
baku dari tari adalah gerak, dalam hal ini yang dimaksud gerak, adalah gerak-gerak
yang telah mengalami perubahan dari gerak alami dan untuk mentransformasikan
perbendaharaan geraknya ke dalam imajinasi visual yang bermakna, penciptaan tari
dihadapkan pada tiga elemen gerak yakni : tenaga, ruang, dan waktu. Perbendaharaan
meliputi yang lemah/halus/ringan, yang sedang serta yang kuat atau keras. Dengan
menggunakan tenaga yang terus menerus akan menghasilkan kontrasnya suatu gerak,
kekontrasan suatu gerak akan membangkitkan suatu kesan yang mendalam (Suedi,
1986 : 2).
Unsur waktu dalam tari ada dua bagian yang mendominir yaitu ritme atau
irama, gerak dan tempo gerak. Yang dimaksud dengan ritme atau irama gerak adalah
elemen atau detail-detail waktu, dari awal gerak,sampai berhentinya gerak. contohnya
kengser , yaitu kaki bergeser dari arah kiri ke kanan atau sebaliknya.
Semua kegiatan wirasa dan penerapannya harus selalu mengingat arti, maksud
dan tujuan tarinya. Untuk mencapai hal tersebut sangat diperlukan penghayatan
Penghayatan berarti melibatkan aspek olah rasa dalam hal ini peranan rasa harus dapat
disatukan dengan wiraga dan wirama, sehingga terwujud keharmonisan dalam
penyajian tari yang berkualitas (Jazuli, 1994 : 120).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wirasa adalah penghayatan
terhadap gerak dalam menari, dan penghayatan terhadap irama yang mengiringi tari
tersebut. Secara keseluruhan unsure utama dalam tari dapat disimpulkan bahwa
wiraga adalah keserasian gerakan seluruh tubuh yang didukung wirama, wirama
adalah unsur ritme yang menjadikan terpadunya antara gamelan dan gerakan.
Penjiwaan antara wiraga dan wirama disebut wirasa.
2. Iringan
Suatu pertunjukan lebih hidup apabila didukung dengan adanya iringan.
Iringan merupakan elemen dalam pertunjukan tari, berupa music atau bunyi-bunyian
yang mengandung irama atau ritme. Untuk menunjukkan ritme ialah dengan melihat
detail-detail dari gerakan kaki tersebut. Tempo digunakan untuk mengukur sejumlah
waktu dalam menyesuaikan gerakan, misalnya panjang dan pendeknya suatu gerakan
atau cepat lambatnya gerak tersebut (Suendi, 1986 : 4).
Berikut ini adalah gamelan yang biasa dipakai dalam pertunjukan-pertunjukan
kesenian yang ada di Jawa, tidak terkecuali dalam pertunjukan kesenian lengger.
Gambar gamelan yang dipakai dalam pertunjukan lengger
Dari gambar diatas terlihat macam-macam alat musik gamelan. Antara lain
yaitu gong, kendang, demung, saron, bonang barung, bonang penerus, kenong, dan
lain-lain.
Mugiyanto (1983 : 33) mengatakan bahwa wirama adalah pemahaman
terhadap gendhing dalam arti luas artinya penari mengerti tentang jenis, nama dan
watak gendhing dalam kaitannya dengan tari sehingga penari dapat mengekspresikan
gerak dan jiwanya sesuai dengan gendhingnya. Diharapkan agar penari dapat
menguasai keadaan bagaimanapun yang berkaitan dengan tari.
3. Tata Rias
Elemen ketiga dari pertunjukan adalah tata arias. Tata rias dilakukan terhadap
penari untuk mengubah, melengkapi, atau membentuk suatu penampilan dengan
segala sesuatu yang dipakai mulai rambut sampai ujung kaki (Lestari 1993 : 3). Tata
wajah, rambut, pakaian atau busana dilakukan dengan membentuk wajah, rambut dan
penampilan dengan menggunakan pakaian sebagaimana karakter tari.
Gambar penari lengger yang sedang menari lengkap dengan menggunakan tata riasnya.
Penggunaan kostum atau busana dalam tari sangat diperlukan karena kostum
tari mengandung berbagai elemen yang mendukung keberhasilan suatu bangsa atau
daerah tertentu. Kostum pada tari juga berpengaruh terhadap penari secara langsung
oleh karena itu variasi yang digunakan pada kostum harus disesuaikan dengan tema,
makna atau isi suatu karya seni tari.
Kostum kesenian tradisional memang harus dipertahankan. Namun demikian,
dihilangkan sehingga enak dipakai dan sedap dilihat penonton. Pada kostum tarian
tradisional yang harus dipertahankan adalah keluhuran dan warna simbolik
(Soedarsono, 1999 : 56).
4. Tata Panggung
Tata panggung atau tata pentas adalah ruang atau tempat yang digunakan
untuk pentas, merupakan bagian dari arena pertunjukan yang ditata sedemikian rupa
sebagai tempat bermain (Hadi, 1987 : 42). Tata panggung berkaitan dengan
bagaimana penataan suatu pentas, sehingga menimbulkan kesan yang sesuai dengan
tari yang sedang dipentaskan.
Gambar tata panggung pada saat pementasan kesenian lengger.
Dari gambar diatas terlihat bahwa penarilah yang menjadi pusat pertunjukan
dan pengiring musik berada di samping.
Menurut Soedarsono (1999 : 58), adalah perlengkapan yang tidak termasuk
busana, tidak termasuk perlengkapan panggung, tetapi merupakan perlengkapan yang
ikut ditarikan penari. Misalnya kipas, pedang, tombak, selendang, sapu tangan dan
sebagainya. Property juga berfungsi sebagai elemen tari untuk menghidupkan tarian
dan memberikan kesan yang mendalam bagi penikmat atau penonton.
Elemen-elemen dalam struktur merupakan satu kesatuan yang saling
berpengaruh. Apabila salah satu elemen mengalami perubahan maka elemen yang lain
akan turut berubah sehingga kesatuan bentuk itu terjaga. Ketika salah satu elemen
dalam tari berubah, maka elemen lain akan mengikuti perubahan itu sehingga tetap
tercapainya keseimbangan bentuk. Dalam pola pertunjukan, misalnya ketika pola
pertunjukan suatu bentuk kesenian dengan berubah waktu pementasan dari siang
menjadi malam hari, maka akan diikuti elemen lain, seperti pada pencahayaan
(lighting), tat arias (make up) dan tata busana (costum). Demikian pula apabila
elemen-elemen gerak diubah, maka akat berakibat terjadinya perubahan pada tata
iringannya. Hal tersebut disebabkan suatu karya seni merupakan satu kesatuan bentuk
sehingga tiap-tiap elemen tidak mungkin berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh
elemen yang lain.
Dari beberapa pendapat di atas peneliti menyimpulkan struktur adalah
susunan suatu karya seni yang didalamnya terdapat suatu pengorganisasian, penataan
ada hubungan tertentu antara bagian-bagian yang tersusun itu. Bagian-bagian itu
meliputi elemen-elemen atau bagian yang saling terkait dan terorganisir guna
C. Nilai Positif Kesenian Lengger
Kesenian lengger di Dusun Giyanti mempunyai nilai positif terhadap masyarakat di
Dusun giyanti. Nilai-nilai tersebut antara lain yaitu:
1. Nilai Kerukunan
Keberadaan kesenian lengger yang ada di Dusun Giyanti merupakan sarana
untuk mempersatukan masyarakat, dikarenakan kemajemukan yang berada di Dusun
Giyanti sangatlah beragam. Dengan adanya kesenian lengger, para masyarakat secara
bersama-sama tanpa memandang perbedaan melestarikan kebudayaan yang ada di
dusun mereka.
2. Nilai Sosial
Sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi antar warga masyarakat.
Sehingga akan menjadikan sebuah interaksi sosial yang baik.
3. Nilai Estetika
Sebagai sarana untuk mengekspresikan kemampuan dalam bidang kesenian
tradisional yaitu kesenian lengger.
4. Nilai Budaya
Mengingatkan masyarakat dusun Giyanti untuk terus melestarikan budaya
daerah serta kebudayaan dalam bidang kesenian.
5. Nilai Pendidikan atau Edukasi
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa karakter dari seorang
D. Fungsi Kesenian Lengger
1. Fungsi bagi pelaku
Bagi pelaku seni yaitu penari lengger di Dusun Giyanti, merupakan suatu
kesenangan atau sebuah kebanggaan tersendiri karena dapat menjadi seorang lengger
dan dapat menghibur masyarakat yang menyaksikan, serta mereka dapat
mempertahankan kebudayaan dan tradisi yang sudah ada sejak dahulu sehingga tidak
hilang oleh semakin majunya peradaban. Terlebih lagi bagi pelaku seni sendiri,
dengan menari lengger mereka mendapatkan uang dalam setiap pertunjukanya, hal
tersebutlah yang merupakan salah satu faktor pendukung.
2. Fungsi bagi masyarakat
Masyarakatlah yang sebenarnya sangat senang apabila ada pertunjukan
lengger, karena mereka merasa terhibur dengan adanya pertunjukan lengger.
Mereka dapat bersama-sama keluarga menyaksikan pertunjukan lengger.
Masyarakat dapat melihat hiburan berupa pertunjukan kesenian secara gratis dan
mereka juga dapat menikmatinya. Bahkan ada juga yang memanfaatkanya dengan
mencari rejeki yaitu berjualan di sela-sela keramaian. Sehingga dengan adanya
acara seperti ini interaksi antar warga masyarakat akan lebih erat dan kerukunan di