• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KODE JUDUL : X.176

LAPORAN AKHIR

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

PENGGUNAAN FEROMONOID SEKS Spodoptera exigua PADA TANAMAN BAWANG MERAH SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN AMBANG PENGENDALIAN BERDASARKAN KELOMPOK TELUR DAN INTENSITAS

SERANGAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Peneliti/ Perekayasa :

1. Ir. Tonny K. Moekasan 2. Ir. Wiwin Setiawati, MS 3. Ir. Firdaus Hasan, MS

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

(2)

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

Judul Kegiatan Penggunaan Feromonoid Seks Spodoptera

exigua Pada Tanaman Bawang Merah

Sebagai Upaya Perbaikan Ambang Pengendalian Berdasarkan Kelompok Telur Dan Intensitas Serangan

Fokus Bidang Prioritas 1. Teknologi Pangan

2. Teknologi Kesehatan dan Obat 3. Teknologi Enerji

4. Teknologi Transportasi

5. Teknologi Informatika dan Komunikasi 6. Teknologi Pertahanan dan Keamanan 7. Teknologi Material

Kode Produk Target 1.3.

Kode Kegiatan 1.03.01

Lokasi Penelitian Provinsi Sulawesi Selatan Penelitian Tahun ke 1 (satu)

Keterangan Lembaga Pelaksana/ Pengelola Penelitian A. Lembaga Pelaksanaan Penelitian

Nama Peneliti Utama Ir. Tonny K. Moekasan

Nama Lembaga/ Institusi Balai Penelitian Tanaman Sayuran Unit Organisasi Kementerian Pertanian

Alamat Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang,

Bandung Barat 40391

Telepon/ HP 022-2786245/ 08122387890

Faksimile 022-2786416

(3)

B. Lembaga lain yang terlibat (dapat lebih dari satu)

Nama Pimpinan Ir. Firdaus Hasan, MS

Nama Lembaga UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan

Alamat Jl. dr. Sam Ratulangi No. 69, Maros 90511,

Sulawesi Selatan

Telepon/ HP 0411-371593/ 0811462025

Faksimile - e-mail -

Jangka Waktu Kegiatan : 8 (delapan) bulan

B i a y a : Rp. 150.000.000,-

Menyetujui :

Pj. Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran,

Peneliti Utama,

Dr. Liferdi, SP., MSi NIP 19701007 199803 1 001

Ir. Tonny K. Moekasan NIP. 19580326 198603 1 002

(4)
(5)

EXECUTIVE SUMMARY

Beet armyworm, Spodoptera exigua is a major pest on shallot, which if not controlled can lead to crop failure. To overcome this problem generally shallot farmers apply insecticides intensively. This situation caused the shallot cultivation is no more efficient. One effort to reduce the intensive use of insecticide is to implement the control threshold of S. exigua. S.exigua control threshold can be based on population of egg clusters or plant damage. However, the control threshold are still difficult to implement at the farmer level because they are not practical, need expertise and precision. Therefore it is necessary to determine the easy and practical control threshold.

Sex pheromone used as a monitoring tool for S.exigua population, and also used as a guideline for the use of insecticide on shallot. The experiment used sex pheromone of Spodoptera exigua as an effort to improve the control threshold based on the egg cluster and plant damage. The experiment had been carried out at Lakawan Village, Anggeraja Subdistrict (± 530 m asl), Enrekang District, South Sulawesi Province, since February until August 2012. Nine kinds of treatment tested in this experiment, namely: (A) S.exigua moth caught > 0 individual per day, (B) S.exigua moth caught ≥ 5 individual per day, (C) S.exigua moth caught ≥ 10 individual per day, (D)

S.exigua moth caught ≥ 15 individual per day, (E) S.exigua moth caught ≥ 20

individual per day, (F) 0.1 egg cluster/ plant sample, (G) plant damage of 5%, (H) sprayed with insecticide 2 x/ week, and (I) check (without insecticides). The experiment used a randomized block design and each treatment was repeated three times. Bima variety was planted in each treatment plot of 30 m2 with planting distance of 15 cm x 15 cm. Feromon Exi produced by Biogen Research Institute, Indonesian Agency of Agriculture Research and Development was used in the experiment. Five capsules of sex pheromone were placed diagonally in the trial field.

In the beginning of the research, the researchers informed the purpose of the research and all activities would be done to the extension workers, pest observers and the farmers. They involved in the activity. The earlier experiment was done to determine the treatments. The advance experiment was done test the treatments, and the result showed that the old

(6)

thresholds could be replaced by threshold base on number of moth caught using.

The budget of the research was IDR 150,000,000 (one hundred and fifty millions rupiahs). The money was managed by Research Collaboration Division in IVEGRI, and given to the researcher in three terms. The research produced an information that will be published in Journal of Horticulture, ICHORD, AARD. At the moment, the draft has been submitted to the editors of the journal. The money in the first term was too small, so that it disturbed the activity. Filling on line report was difficult because the database memory was too small.

Results showed that control threshold based on the catch of the moth ≥ 10 individualal per day, was the most practical, easier, and precision compared with the control threshold based on 0.1 egg cluster/ plant or plant damage of 5%. Implementation of the control threshold, made the used of insecticide could be reduced by 35.71% with the yield of 13.46 ton /ha that equal with the yield in the treatment using insecticide 2 times /week. Implementation of the control threshold is economically feasible to be adopted because it can increase net revenue and reduce cost of insecticide when compared with routinely application 2 times/ week. The recommendation based on the result of the research are : (1) for 1 hectare it is needed 5 traps placed diagonally in the field, (2) observation of the moth in the trap done since 5 days after planting with 3 days interval, and (3) if the moth population in the trap achieves more than 30 individual/ trap in the period of 3 days, the plants have to be sprayed with recommended insecticide.

Food and Horticultural Crops Protection Institute will use Feromon Exi as a monitoring tool of S. exigua in the implementing control threshold based on number of moths caught in shallot cultivation in order to reduce use of insecticides.

Food and Horticultural Crops Protection Institute in South Sulawesi responsible in controlling S. exigua in shallot cultivation. Therefore, the program can be integrated with the result of the research. This research was used as an IPM Field School and the farmers studied there, so that they would follow using Feromon Exi.

(7)

Farmers of Bubun Tanjung Farmers Group have used Feromon Exi and they testified that use of insecticide reduced about 30-50% compared with before using Feromon Exi.

Control threshold based on number of moth caught will be determined as a guide in pest control program in shallot cultivation in South Sulawesi.

(8)
(9)

DAFTAR ISI

BAB Halaman

DAFTAR ISI ... 3

I IDENTITAS LEMBAGA LITBANGYASA ... 4

II IDENTITAS KEGIATAN ... 5

III IDENTITAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HASIL LITBANG ...

8

IV PENGELOLAAN ASET ... 10

(10)

BAB I

IDENTITAS LEMBAGA LITBANGYASA

Lembaga Pelaksanaan Penelitian

Nama Lembaga/ Institusi Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Unit Organisasi Kementerian Pertanian

Nama Pimpinan Dr. Liferdi, SP.MSi.

Alamat Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang,

Bandung Barat 40391

Telepon/ HP 081314524070

Faksimile 022-2786416

(11)

BAB II

IDENTITAS KEGIATAN

Judul Penggunaan Feromonoid Seks Spodoptera exigua

Pada Tanaman Bawang Merah Sebagai Upaya Perbaikan Ambang Pengendalian Berdasarkan Kelompok Telur Dan Intensitas Serangan

Abstraksi Ulat bawang, Spodoptera exigua merupakan hama utama pada tanaman bawang merah, yang jika tidak dikendalikan dapat menyebabkan kegagalan panen. Untuk mengatasi hal tersebut pada umumnya petani bawang merah melakukan penyemprotan insektisida secara intensif. Keadaan ini menyebabkan budidaya bawang merah tidak lagi efisien. Salah satu upaya untuk menekan penggunaan insektisida yang intensif adalah menerapkan ambang pengendalian S. exigua. Ambang pengendalian S.exigua dapat diterapkan berdasarkan populasi kelompok telur atau kerusakan tanaman. Namun, kedua ambang pengendalian tersebut masih sulit untuk diterapkan di tingkat petani karena tidak praktis serta memerlukan keahlian dan kecermatan. Oleh karena itu harus dicari ambang pengendalian S.exigua yang mudah dan praktis. Penggunaan feromonoid seks sebagai alat pemantau populasi S.exigua yang dapat dijadikan acuan penggunaan insektisida merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Percobaan penggunaan feromonoid seks Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah sebagai upaya perbaikan ambang pengendalian berdasarkan kelompok telur dan intensitas serangan telah dilaksanakan di Desa

(12)

Lakawan, Kecamatan Anggeraja (± 530 m dpl), Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, sejak bulan Februari s.d. Agustus 2012. Sembilan macam perlakuan diuji pada percobaan ini, yaitu : (A) > 0 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (B) ≥ 5 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (C) ≥ 10 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (D) ≥ 15 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (E) ≥ 20 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (F) 0,1 kelompok telur/ tanaman contoh, (G) Kerusakan tanaman 5%, (H) disemprot insektisida secara rutin 2 x/minggu, dan (I) kontrol (tidak disemprot dengan insektisida. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bawang merah varietas Bima ditanam pada setiap petak perlakuan seluas 30 m2, dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Feromonoid seks yang digunakan ialah Feromon Exi yang diproduksi oleh Balai Besar Biogen, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Feromonoid seks sebanyak 5 buah dipasang secara diagonal pada lahan percobaan. pada saat tanam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan populasi ngengat

S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi

sebanyak ≥ 10 ekor/ perangkap/ hari, lebih praktis, mudah, dan presisi dibandingkan dengan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur sebesar 0,1/ tanaman atau berdasarkan kerusakan tanaman bawang merah oleh S.exigua sebesar 5%. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut, penggunaan insektisida dapat dikurangi sebesar 35,71% dengan hasil panen sebesar 13,46 ton/ha,

(13)

yang setara dengan hasil panen pada perlakuan menggunakan insektisida 2 kali/minggu. Dengan demikian penerapan ambang pengendalian tersebut secara ekonomi layak untuk diadopsi karena dapat meningkatkan pendapatan bersih dan mengurangi biaya jika dibandingkan dengan pengendalian menggunakan insektisida 2 kali/ minggu. Untuk penerapan penggunaan Feromon Exi sebagai alat pemantau populasi ngengat S. exigua pada budidaya bawang merah, rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut : (1) kebutuhan perangkap per hektar adalah sebanyak 5 buah yang dipasang secara diagonal, (2) pengamatan populasi ngengat pada perangkap dilakukan mulai umur 5 hari setelah tanam dengan interval 3 hari, dan (3) jika populasi ngengat

S.exigua mencapai ≥ 30 ekor/ perangkap/ 3 hari maka

tanaman disemprot dengan insektisida yang dianjurkan.

Tim Peneliti Ir. Tonny K. Moekasan, Ir. Wiwin Setiawati, MS; Ir. Firdaus Hasan, MS, Rahman Runa, dan Aang Somantri

Waktu Pelaksanaan Februari – Oktober 2012

Publikasi Jurnal Hortikultura, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hortikultura (dalam proses koreksi oleh Dewan Redaksi)

(14)

BAB III

IDENTITAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HASIL LITBANG :

Ringkasan Kekayaan Intelektual -

Ringkasan Hasil Litbang Ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan populasi ngengat S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi sebanyak ≥ 10 ekor/ perangkap/ hari lebih praktis, mudah, dan presisi dibandingkan dengan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur sebesar 0,1/ tanaman atau berdasarkan kerusakan tanaman bawang merah oleh

S.exigua sebesar 5%. Dengan penerapan

ambang pengendalian tersebut, penggunaan insektisida dapat dikurangi sebesar 35,71% dengan hasil panen sebesar 13,46 ton/ha setara dengan penggunaan insektisida 2 kali/minggu. Dengan demikian penerapan ambang pengendalian tersebut secara ekonomi layak untuk diadopsi karena dapat meningkatkan pendapatan bersih dan mengurangi biaya jika dibandingkan dengan penyemprotan insektisida 2 x/ minggu. Untuk penerapan penggunaan Feromon Exi sebagai alat pemantau populasi ngengat S. exigua pada budidaya bawang merah, rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut :

(15)

adalah sebanyak 5 buah yang dipasang secara diagonal

2. Pengamatan populasi ngengat pada perangkap dilakukan mulai umur 5 hari setelah tanam dengan interval 3 hari 3. Jika populasi ngengat S.exigua

mencapai ≥ 30 ekor/ perangkap/ 3 hari maka tanaman disemprot dengan insektisida yang dianjurkan

Pengelolaan Anggaran Anggaran diterima dalam 3 termin. Dana termin 1 dan 2 sudah diterima.

Sarana-Prasarana Terlampir pada Metode Laporan Akhir

Pendokumentasian Terlampir pada dokumentasi Laporan Akhir

                         

(16)

BAB IV

PENGELOLAAN ASET

Judul Penggunaan Feromonoid Seks Spodoptera exigua

Pada Tanaman Bawang Merah Sebagai Upaya Perbaikan Ambang Pengendalian Berdasarkan Kelompok Telur Dan Intensitas Serangan

Tim Peneliti Ir. Tonny K. Moekasan, Ir. Wiwin Setiawati, MS, Ir. Firdaus Hasan, MS, Rahman Runa, dan Aang Somantri

Institusi Pelaksana Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Selatan Aset yang Dihasilkan Informasi Pengelolaan Hasil Litbangyasa

Diterbitkan dalam Jurnal Hortikultura, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (dalam proses koreksi oleh Dewan Redaksi)

(17)

LAMPIRAN

LAPORAN AKHIR PELAKSANAAN KEGIATAN

           

(18)

 

RINGKASAN

Ulat bawang, Spodoptera exigua merupakan hama utama pada tanaman bawang merah, yang jika tidak dikendalikan dapat menyebabkan kegagalan panen. Untuk mengatasi hal tersebut pada umumnya petani bawang merah melakukan penyemprotan insektisida secara intensif. Keadaan ini menyebabkan budidaya bawang merah tidak lagi efisien. Salah satu upaya untuk menekan penggunaan insektisida yang intensif adalah menerapkan ambang pengendalian S. exigua. Ambang pengendalian S.exigua dapat diterapkan berdasarkan populasi kelompok telur atau kerusakan tanaman. Namun, kedua ambang pengendalian tersebut masih sulit untuk diterapkan di tingkat petani karena tidak praktis serta memerlukan keahlian dan kecermatan. Oleh karena itu harus dicari ambang pengendalian S.exigua yang mudah dan praktis. Penggunaan feromonoid seks sebagai alat pemantau populasi S.exigua yang dapat dijadikan acuan penggunaan insektisida merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Percobaan penggunaan feromonoid seks Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah sebagai upaya perbaikan ambang pengendalian berdasarkan kelompok telur dan intensitas serangan telah dilaksanakan di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja (± 530 m dpl), Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, sejak bulan Februari s.d. Agustus 2012. Sembilan macam perlakuan diuji pada percobaan ini, yaitu : (A) > 0 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (B) ≥ 5 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (C) ≥ 10 ngengat S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (D) ≥ 15 ngengat

S.exigua tertangkap/perangkap/ hari, (E) ≥ 20 ngengat S.exigua

tertangkap/perangkap/ hari, (F) 0,1 kelompok telur/ tanaman contoh, (G) Kerusakan tanaman 5%, (H) disemprot insektisida secara rutin 2 x/minggu, dan (I) kontrol (tidak disemprot dengan insektisida. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bawang merah varietas Bima ditanam pada setiap petak perlakuan seluas 30 m2, dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Feromonoid seks yang digunakan ialah Feromon Exi yang diproduksi oleh Balai Besar Biogen, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Feromonoid seks sebanyak 5 buah dipasang

(19)

secara diagonal pada lahan percobaan. pada saat tanam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan populasi ngengat S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi sebanyak ≥ 10 ekor/ perangkap/ hari, lebih praktis, mudah, dan presisi dibandingkan dengan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur sebesar 0,1/ tanaman atau berdasarkan kerusakan tanaman bawang merah oleh

S.exigua sebesar 5%. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut,

penggunaan insektisida dapat dikurangi sebesar 35,71% dengan hasil panen sebesar 13,46 ton/ha, yang setara dengan hasil panen pada perlakuan menggunakan insektisida 2 kali/minggu. Dengan demikian penerapan ambang pengendalian tersebut secara ekonomi layak untuk diadopsi karena dapat meningkatkan pendapatan bersih dan mengurangi biaya jika dibandingkan dengan pengendalian menggunakan insektisida 2 kali/ minggu. Untuk penerapan penggunaan Feromon Exi sebagai alat pemantau populasi ngengat S. exigua pada budidaya bawang merah, rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut : (1) kebutuhan perangkap per hektar adalah sebanyak 5 buah yang dipasang secara diagonal, (2) pengamatan populasi ngengat pada perangkap dilakukan mulai umur 5 hari setelah tanam dengan interval 3 hari, dan (3) jika populasi ngengat S.exigua mencapai ≥ 30 ekor/ perangkap/ 3 hari maka tanaman disemprot dengan insektisida yang dianjurkan.

                   

(20)

  DAFTAR ISI BAB Halaman RINGKASAN ... 3 DAFTAR ISI ... 5 DAFTAR GAMBAR ... 6 DAFTAR TABEL ... 8 I. PENDAHULUAN ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

III. TUJUAN DAN MANFAAT ... 12

IV. METODOLOGI ... 12

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

UCAPAN TERIMA KASIH ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(21)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Halaman

1. Perkembangan populasi imago S. exigua pada tanaman bawang merah ...

21

2. Perangkap feromonoid seks : (a & b) perangkap; (c) imago S.exigua; (d) kapsul feromonoid seks ...

21

3. Hamparan tanaman bawang merah di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan ...

33

4. Koordinasi rencana penelitian dengan penyuluh pertanian di BPP Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang ...

33

5. Sosialisasi rencana penelitian dengan Gabungan Kelompok Tani Bawang Merah di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang ...

34

6 Pembuatan plot percobaan bersama-sama dengan Ketua Gabungan Kelompok Tani Bawang Merah Bubun Tanjung (Bapak Thamshir, memakai baju kaus hijau), di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang ...

34

7 Perangkap ngengat S. exigua (Feromon Exi) yang

dipasang di lahan bawang merah milik petani di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pada saat penelitian pendahuluan ...

35

8 Ngengat S. exigua hasil tangkapan menggunakan

feromonoid seks (Feromon Exi) pada saat percobaan pendahuluan ...

35

9 Lahan percobaan di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang ...

36

(22)

Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pada tanggal 25 April 2012 ...

11 Tanaman bawang merah berumur 7 hari setelah tanam ... 37 12 Tanaman bawang merah berumur 30 hari setelah tanam . 37

13 Kegiatan pengamatan rutin ... 38 14 Pengamatan harian ngengat S. exigua pada perangkap

Feromon Exi ...

38

15 Kegiatan temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” ...

39

16 Temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” yang dihadiri oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan dan Wakil Bupati Enrekang pada tanggal 28 Mei 2012 ...

39

17 Pemaparan hasil penelitian sementara pada saat temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” pada tanggal 28 Mei 2012 ....

40

18 Penyerahan bantuan perangkap Feromon Exi dari Wakil Bupati Enrekang kepada perwakilan Kelompok Tani Bubun Tanjung pada saat acara temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” pada tanggal 28 Mei 2012 ...

40

19 Panen bawang merah ... 41 20 Penimbangan bobot kering hasil panen bawang merah ... 41

21 Sosialisasi hasil penelitian di Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang yang dihadiri oleh Kepala BPTPH Sulawesi Selatan, Penyuluh, POPT, dan Petani ...

42

22 Presentasi hasil penelitian di Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang yang dihadiri oleh Kepala BPTPH Sulawesi Selatan, Penyuluh, POPT, dan Petani ...

(23)

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

1 Macam perlakuan yang diuji ... 13 2 Jumlah ngengat S. exigua yang tertangkap per hari ... 16

3 Populasi kelompok telur S. exigua pada tanaman bawang merah ...

17

4 Kerusakan tanaman bawang merah oleh S. exigua ... 19 5 Jumlah dan biaya penyemprotan insektisida untuk

mengendalikan hama S.exigua pada tanaman bawang merah ...

23

6 Hasil panen bawang merah ... 24 7 Perubahan penerimaan dan biaya berubah akibat

perubahan dari teknologi penyemprotan insektisida dengan sistem kalender ke penerapan ambang pengendalian ...

(24)

   

I. PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak diusahakan oleh petani di dataran rendah sampai dataran tinggi. Di Indonesia, pusat pertanaman bawang merah terdapat di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Salah satu kendala dalam budidaya bawang merah di Indonesia ialah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang merugikan. Menurut Moekasan et al. (2012), ulat bawang (Spodoptera exigua) merupakan salah satu OPT pada tanaman bawang merah yang menyerang sepanjang tahun, baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan. Jika tidak dikendalikan serangan hama tersebut dapat menyebabkan kegagalan panen.

Titik berat pengendalian hama S. exigua yang umum dilakukan oleh petani bawang merah ialah dengan penggunaan insektisida yang umumnya dilakukan secara intensif, dengan dosis yang tinggi, interval penyemprotan yang pendek. dan melakukan pencampuran lebih dari dua jenis pestisida. Hal ini menyebabkan masalah OPT menjadi semakin rumit, sehingga petani semakin tidak rasional dalam menggunakan insektisida. Moekasan & Murtiningsih (2010) melaporkan bahwa terdapat sembilan jenis insektisida yang umum digunakan oleh petani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal untuk mengendalikan ulat bawang pada tanaman bawang merah. Pada umumnya petani mencampur sampai 8 jenis insektisida untuk mengendalikan hama tersebut. Soetiarso et al. (1999) juga melaporkan bahwa 100% responden yang terdiri atas petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah melakukan pencampuran 3 sampai 5 macam pestisida untuk mengendalikan OPT. Menurut Koster (1990) biaya pengendalian OPT pada tanaman bawang merah di daerah Brebes mencapai 30-50% dari total biaya produksi per hektar. Hasil penelitian Adiyoga et al. (1999), Soetiarso et al. (1999) dan Basuki (2009) menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tingkat petani di Brebes sudah melebihi kebutuhan optimum tanaman, akibatnya biaya produksi meningkat dan budidaya bawang merah tidak lagi

(25)

efisien. Fenomena ini terjadi pula di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu sentra pertanaman bawang merah di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan petani bawang merah di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, pada umumnya petani di daerah tersebut dalam mengendalikan hama ulat bawang mencampur 8-12 macam insektisida dan mengaplikasinnya dengan interval 1-2 hari. Keadaan ini selain secara ekonomi tidak efisien juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan pekerja serta konsumen.

Salah satu upaya untuk menekan penggunaan pestisida ialah dengan menerapkan ambang pengendalian OPT. Menurut Untung (1994) penggunaan pestisida tidak harus dilakukan setiap saat secara rutin atau terjadwal, tetapi hanya pada waktu tertentu yaitu pada saat populasi atau intensitas serangan OPT sudah mencapai batas yang memerlukan pengendalian yang disebut dengan ambang pengendalian. Jika pada saat itu tidak dilakukan pengendalian, serangan OPT akan mengakibatkan kerugian. Selama populasi atau intensitas serangan OPT masih berada di bawah ambang pengendalian, pestisida belum perlu digunakan. Pada keadaan demikian keberadaan OPT masih dapat dikendalikan secara alami oleh musuh alaminya dan secara ekonomi belum merugikan. Menurut Moekasan

et al. (2004; 2012) dan Suhardi et al. (1994) ambang pengendalian ulat

bawang yang ada pada saat ini ialah berdasarkan kelompok telur atau intensitas serangan. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut penggunaan insektisida dapat ditekan lebih dari 50% dengan hasil panen tetap tinggi. Namun demikian, di tingkat petani ambang pengendalian tersebut sulit diterapkan karena petani dituntut memiliki keterampilan dan ketelitian. Selain itu jumlah tanaman contoh yang diamati juga relatif banyak sehingga petani enggan untuk melakukannya. Oleh karena itu perlu dicari alternatif ambang pengendalian lain yang lebih praktis, mudah, dan tidak perlu keterampilan khusus agar mudah diadopsi oleh petani.

Menurut Permana & Rostaman (2006), dewasa ini feromonoid seks mulai banyak digunakan dalam program pengendalian hama. Hal ini disebabkan penggunaannya lebih praktis, mudah dan aman bagi pemakai dan lingkungan. Menurut Wakamura et al. (1989) dan Jackson et al. (1992)

(26)

feromonoid seks dapat digunakan sebagai alat pemantau keberadaan populasi hama di lapangan dan untuk penangkapan masal serangga jantan. Di Amerika, feromonoid seks juga telah digunakan untuk mengembangkan ambang pengendalian ngengat Tortricidae yang menyerang apel dan ambang pengendalian Plutella xylostella pada tanaman kubis (Knight dan Light 2005; Reddy dan Guerrero 2001). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan tangkapan ngengat lebih efektif dan efisien daripada penyemprotan insektisida secara rutin.

Di Indonesia, penelitian penggunaan feromonoid seks S. exigua untuk pemantauan populasi hama tersebut pada tanaman bawang merah telah dilakukan oleh Dibiyantoro (1990) dan Soeriaatmadja & Omoy (1992). Berdasarkan hasil panelitian mereka, nilai ambang kendalinya sangat bervariasi. Hal ini diduga karena jenis dan asal feromonoid seks yang digunakan pada penelitian mereka berbeda. Menurut Permana dan Rostaman (2006), pemilihan jenis dan asal feromonoid seks sangat penting. Hal ini disebabkan adanya indikasi perbedaan respons serangga terhadap feromonoid seks yang digunakan pada suatu daerah atau regional. Kasus ini terjadi pada serangga Ettiella zinckenella. Feromonoids seks yang berasal dari negara Nesis (formulasi Mesir) tidak direspons dengan baik oleh ngengat jantan spesies yang sama di wilayah Asia Timur, Asia Tenggara termasuk di Indonesia.

Pada saat ini, feromonoid seks S. exigua telah diproduksi secara masal oleh Balai Besar Biogen, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang diberi nama Feromon Exi. Feromonoid seks tersebut telah digunakan sebagai alat penangkapan masal serangga jantan S. exigua pada budidaya bawang merah. Menurut Haryati dan Nurawan (2009), penggunaan Feromon Exi sebagai alat penangkap masal pada budidaya bawang merah dapat mengurangi penggunaan insektisida > 60% dibandingkan penggunaan insektisida sistem kalender. Namun demikian, kapan penggunaan insektisida yang tepat untuk mengendalikan hama S. exigua berdasarkan hasil tangkapan ngengat oleh Feromon Exi belum diketahui.

 

(27)

Feromon merupakan zat kimia yang berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk mengenali sesama jenis dan untuk membantu proses reproduksi. Feromon seks serangga dapat dimanfaatkan untuk memantau kepadatan populasi, sebagai perangkap masal dan untuk mengganggu perkawinan. Feromone seks juga telah digunakan untuk mengembangkan ambang pengendalian ngengat Tortricidae yang menyerang apel dan ambang pengendalian Plutella xylostella pada tanaman kubis (Knight & Light 2005; Reddy & Guerrero 2001). Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa ambang pengendalian berdasarkan tangkapan ngengat lebih efektif daripada penyemprotan insektisida secara rutin. Dengan demikian penggunaan feromon seks sebagai alat pemantau untuk menduga populasi dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk menekan penggunaan insektisida.

Selama ini feromon seks yang tersedia bagi hama ulat bawang, S.

exigua di Indonesia baru digunakan sebagai perangkap masal untuk

pengendalian (Haryati & Nurawan 2009). Namun, penerapannya perlu dilakukan pada hamparan yang luas, yaitu minimal 3 hektar. Oleh karena itu perlu dikembangkan penggunaan feromon seks tersebut sebagai alat pemantau populasi untuk menetapkan ambang pengendalian S. exigua dalam rangka menekan penggunaan insektisida pada budidaya bawang merah.

III. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan penelitian ini ialah menetapkan ambang pengendalian S.exigua berdasarkan populasi ngengat hasil tangkapan feromonoid seks. Sasarannya ialah mengurangi penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ulat bawang (S.exigua) pada budidaya bawang merah.

 

IV. METODOLOGI

(28)

Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Lakawan, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2012.

Bahan Penelitian

Bawang merah yang ditanam ialah varietas Bima yang umum digunakan oleh petani di daerah tersebut dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Feromon Exi, dan keler plastik. Pemupukan dasar dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan menggunakan kompos C-organik sebanyak 5 ton/ha, NPK Mutiara sebanyak 500 kg/ha, TSP sebanyak 100 kg/ha, dan KCl sebanyak 60 kg/ha, serta pemupukan susulan menggunakan ZA sebanyak 400 kg/ha yang diberikan setengah dosis masing-masing pada umur 15 dan 30 hari setelah tanam.

Prosedur Penelitian

Penetapan jumlah tangkapan ngengat S. exigua yang akan digunakan sebagai perlakuan ambang pengendalian ditetapkan berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, yaitu dengan cara memasang 20 buah perangkap feromonoid seks (Feromon Exi) selama satu minggu di pertanaman bawang merah milik petani di sekitar lokasi penelitian. Banyaknya ngengat yang tertangkap dijadikan acuan untuk menetapkan macam perlakuan yang diuji.

Tabel 1. Macam perlakuan yang diuji

No. Kode perlakuan Perlakuan

1 A Hasil tangkapan ngengat sebanyak > 0 ekor per hari 2 B Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 5 ekor per hari 3 C Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 10 ekor per hari 4 D Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 15 ekor per hari 5 E Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 20 ekor per hari 6 F Kelompok telur 0,1 per tanaman contoh

7 G Kerusakan tanaman 5%

8 H Disemprot dengan insektisida 2 kali per 9 I Kontrol (tanpa insektisida)

(29)

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, macam perlakuan yang diuji pada percobaan utama disajikan pada Tabel 1. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan tiap perlakuan diulang 3 (tiga) kali dengan ukuran petak perlakuan masing-masing seluas 30 m2.

Peubah Pengamatan dan Analisis Data

Pada pelaksanaan percobaan utama, 5 (lima) buah perangkap ngengat feromonoid seks S. exigua dipasang secara diagonal di dalam area percobaan. Pemasangan perangkap feromonoid seks dilakukan pada saat tanam dan pengamatan jumlah ngengat yang tertangkap dilakukan setiap hari. Keputusan pengendalian S. exigua dilakukan 3-4 hari sekali. Jika populasi ngengat, populasi kelompok telur atau kerusakan tanaman telah mencapai ambang pengendalian sesuai dengan perlakuan, maka perlakuan disemprot dengan insektisida Spinoteram (0,5 ml/l) dan Lamda sihalotrin + Klorantraniliprol (0,2 ml/l). Untuk mencegah serangan penyakit dilakukan penyemprotan fungisida Klorotalonil (2 g/l), Mankozeb + mefenoksam (2 g/l), atau Difenokonazol (0,5 ml/l) secara bergantian mulai umur 5 hari dengan frekuensi 2 kali per minggu.

Pengamatan dilakukan pada 10 rumpun tanaman contoh/petak yang dimulai sejak umur 5 hari setelah tanam (HST) hingga 53 HST dengan interval 3-4 hari. Peubah yang diamati meliputi (1) populasi kelompok telur S.

exigua/ tanaman contoh, (2) kerusakan tanaman oleh S. exigua, Thrips sp.

dan Liriomyza sp, (3) insektisida yang digunakan (unit/petak perlakuan) (4) bobot hasil panen dan (5) harga jual hasil panen.

Persentase kerusakan tanaman oleh serangan hama S. exigua dan

Liriomyza sp. dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut

(Moekasan et al. 2004) :

a P =  x 100%

a + b

Keterangan : P adalah tingkat kerusakan daun (%)

a adalah jumlah daun terserang/ tanaman contoh b adalah jumlah daun sehat/ tanaman contoh

(30)

Persentase kerusakan tanaman oleh serangan hama Thrips sp. dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Moekasan et al. 2004) :

 (n.v)

P =  x 100% Z x N

Keterangan : P adalah tingkat kerusakan tanaman (%)

n adalah jumlah tanaman yang memiliki skoring yang sama v adalah nilai yang menunjukkan kerusakan tanaman, yaitu :

0 = tanaman sehat (tidak ada serangan) 1 = > 0 -  25%, bagian daun terserang 3 = > 25 -  50%, bagian daun terserang 5 = > 50 -  75%, bagian daun terserang 7 = > 75%, bagian daun terserang Z adalah nilai kerusakan tanaman tertinggi N adalah jumlah tanaman yang diamati

Persentase kerusakan tanaman oleh serangan penyakit trotol (Alternaria

porri). dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Suhardi et al.

1994) :

 (n.v)

P =  x 100% Z x N

Keterangan : P adalah tingkat kerusakan tanaman (%)

n adalah jumlah tanaman yang memiliki skoring yang sama v adalah nilai yang menunjukkan kerusakan tanaman, yaitu :

0 = tanaman sehat (tidak ada serangan) 1 = > 0 -  10%, bagian daun terserang 2 = > 10 -  20%, bagian daun terserang 3 = > 20 -  40%, bagian daun terserang 4 = > 40 -  60%, bagian daun terserang 5 = > 60 - 100%, bagian daun terserang Z adalah nilai kerusakan tanaman tertinggi N adalah jumlah tanaman yang diamati

Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian. Jika antar perlakuan menunjukkan adanya perbedaan akan dilakukan uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. Data peubah ekonomi dianalisis menggunakan teknik Analisis Anggaran Parsial (Basuki 2009).

 

(31)

Hasil Percobaan Pendahuluan

Rata-rata jumlah ngengat S.exigua yang tertangkap per hari disajikan pada Tabel 2, yaitu sebanyak 23,11 ekor. Berdasarkan hal tersebut, maka perlakuan jumlah tangkapan ngengat tertinggi ditetapkan sebanyak 20 ekor/ hari. Secara lengkap macam perlakuan yang diuji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 2. Jumlah ngengat S. exigua yang tertangkap per hari pada penelitian pendahuluan

No. Tanggal Rata-rata jumlah ngengat S. exigua yang tertangkap per hari (ekor)

1 11 April 2012 19,30 2 12 April 2012 20,50 3 13 April 2012 18,50 4 14 April 2012 40,50 5 15 April 2012 17,50 6 16 April 2012 15,50 7 17 April 2012 30,00 Jumlah 161,80 Rata-rata 23,11

Hasil Percobaan Utama

Populasi kelompok telur S. exigua

Ngengat S. exigua meletakkan telurnya dalam kelompok pada daun bawang merah. Menurut Rauf (1999) telur S. exigua diletakkan dalam bentuk kelompok yang terdiri atas 20 – 100 butir. Lama stadium telur di dataran rendah dan medium berlangsung selama 2 hari sedangkan di dataran tinggi 3 hari. Pada penelitian ini, kelompok telur S. exigua mulai terpantau pada umur 5 hari setelah tanam (HST) dan hasil pengamatannya disajikan pada Tabel 3. Pada awal pengamatan populasi kelompok telur S. exigua tidak merata. Baru pada umur 15 hari setelah tanam (HST) kelompok telur S. exigua merata di semua petak perlakuan dan setelah itu populasi kelompok telur terus menurun. Menurut Rauf (1999) puncak populasi kelompok telur S. exigua terjadi pada umur 15 dan 37 HST. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada rentang waktu 15 sampai 37 HST kemungkinan untuk menemukan kelompok

(32)

telur S.exigua sangat sulit. Hal ini dibuktikan pada percobaan ini, pada umur 15 sampai 37 HST tidak dijumpai populasi kelompok telur yang mencapai ambang pengendalian. Populasi kelompok telur S. exigua pada percobaan ini yang terpantau mencapai ambang pengendalian (0,1 paket telur/ tanaman contoh) terjadi pada umur 5 sampai 12 HST, yaitu pada petak perlakuan B, C, dan E masing-masing sebanyak 1 kali, G sebanyak 2 kali dan F sebanyak 3 kali. Menurut Kalshoven (1981), S. exigua digolongkan ke dalam kelompok hama semusim dan biasanya ledakannya berlangsung singkat.

Tabel 3. Populasi kelompok telur S. exigua pada tanaman bawang merah

Jumlah kelompok telur S.exigua menurut umur tanaman (HST Perlakuan

5 8 12 15 19 22 26

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

> 0 ekor per hari 0,07 bc 0,00 a 0,07 ab 0.07 a 0,03 a 0,03 a 0,00 B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 5 ekor per hari 0,10 abc 0,07 a 0,07 ab 0,07 a 0,03 a 0,00 a 0,00 C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥10 ekor per hari 0,03 bc 0,17 a 0,00 b 0,03 a 0,03 a 0,00 a 0,00 D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 15 ekor per hari 0,07 bc 0,03 a 0,33 a 0,03 a 0,00 a 0,00 a 0,00 E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 20 ekor per hari 0,00 d 0,10 a 0,07 ab 0,07 a 0,00 a 0,00 a 0,00 F. Kelompok telur 0,1 per tanaman

contoh 0,17 a 0,13 a 0,30 ab 0,03 a 0,00 a 0,00 a 0,00 G. Kerusakan tanaman 5%

0,13 ab 0,10 a 0,03 ab 0,07 a 0,03 a 0,00 a 0,00 H. Disemprot dengan insektisida 2 kali

per minggu 0,00 c 0,03 a 0,00 b 0,07 a 0,00 a 0,03 a 0,00 I. Kontrol (tanpa insektisida) 0,00 c 0,07 a 0,07 ab 0,03 a 0,00 a 0,00 a 0,00

LSD 5% 0,06 0,17 0,19 0,08 0,04 0,03 -

CV (%). 4,89 8,19 13,90 6,47 3,06 2,14 -

Jumlah kelompok telur S.exigua menurut umur tanaman (HST) Perlakuan

29 33 36 40 43 47 50

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

> 0 ekor per hari 0,00 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 5 ekor per hari 0,07 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥10 ekor per hari 0,00 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 15 ekor per hari 0,00 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 20 ekor per hari 0,00 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 F. Kelompok telur 0,1 per tanaman

contoh 0,00 a 0,00 b 0,03 a 0,00 0,00 0,00 0,00 G. Kerusakan tanaman 5%

0,00 a 0,00 b 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00 H. Disemprot dengan insektisida 2 kali

(33)

I. Kontrol (tanpa insektisida) 0,03 a 0,07 a 0,00 b 0,00 0,00 0,00 0,00

LSD 5% 0,05 0,04 0,02 - - - -

CV (%). 3,93 3,50 1,62 - - - -

HST = Hari setelah tanam

 Angka rata-rata perlakuan pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%

Ciri lain ledakan hama pada tanaman semusim adalah migrasi hama ke dalam pertanaman (French 1969). Pada tanaman bawang merah kejadian ini ditandai dengan pada saat-saat tertentu kelompok telur S. exigua sangat mudah dijumpai di lapangan, sedangkan pada saat lainnya sangat sulit ditemukan (Rauf 1999). Namun, serangan S. exigua pada tanaman bawang merah masih tetap berlangsung sepanjang umur tanaman tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa populasi kelompok telur tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikator penetapan ambang pengendalian

S. exigua pada tanaman bawang merah di sepanjang umur tanaman tersebut.

Selain itu pengamatan kelompok telur S. exigua setelah tanaman bawang merah berumur lebih dari 15 HST harus dilakukan dengan sangat teliti. Hal ini disebabkan, jumlah daun mulai bertambah sehingga tanaman mulai rimbun dan jika pengamatan kurang teliti keberadaan kelompok telur tersebut akan sulit dijumpai.

Kerusakan tanaman oleh S. exigua

Hasil pengamatan terhadap kerusakan tanaman bawang merah oleh serangan hama S. exigua disajikan pada Tabel 4. Kerusakan tanaman ditandai dengan timbulnya bercak-bercak putih transparan pada daun bawang merah. Hal ini disebabkan larva S.exigua memakan daging daun dari dalam rongga daun dan meninggalkan epidermis dan pada serangan berat seluruh daun dimakan. Menurut Rauf (1999) puncak serangan hama S. exigua pada tanaman bawang merah terjadi pada umur 27 HST, dan setelah itu intensitas serangannya menurun.

Pada percobaan ini, kerusakan tanaman oleh serangan S. exigua mulai terpantau pada umur 12 HST. Selama percobaan berlangsung, kerusakan tanaman yang mencapai ambang pengendalian (kerusakan tanaman 5%) terjadi pada semua petak perlakuan. Namun, intensitas terjadinya kerusakan

(34)

tanaman yang mencapai ambang pengendalian pada tiap petak perlakuan berbeda. Hal ini disebabkan pada tiap petak perlakuan tersebut telah mendapatkan tindakan pengendalian sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.

Tabel 4. Kerusakan tanaman bawang merah oleh S. exigua

Kerusakan tanaman bawang merah (%) oleh S.exigua menurut umur tanaman (HST)

Perlakuan

5 8 12 15 19 22 26

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

> 0 ekor per hari 0,00 0,00 0,35 ab 1,28 b 1,86 ab 1,77 d 3,14 b B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 5 ekor per hari 0,00 0,00 0,51 ab 1,61 ab 1,79 ab 3,24 cd 1,36 b C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥10 ekor per hari 0,00 0,00 1,25 a 5,21 a 4,90 ab 11,30 abc 10,35 ab D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 15 ekor per hari 0,00 0,00 0,85 ab 1,34 ab 6,08 a 19,50 a 33,68 a E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 20 ekor per hari 0,00 0,00 0,24 b 3,26 ab 4,21 ab bcd 7,42 14,09 ab F. Kelompok telur 0,1 per tanaman

contoh 0,00 0,00 0,22 b 3,20 ab 6,21 a bcd 7,64 33,83 a G. Kerusakan tanaman 5%

0,00 0,00 0,73 ab 2,22 ab 10,15 a 11,34 abc 4,46 b H. Disemprot dengan insektisida 2 kali

per minggu 0,00 0,00 0,13 b 0,82 b 0,45 b 1,28 d 2,16 b I. Kontrol (tanpa insektisida) 0,00 0,00 0,65 ab 1,11 b 10,48 a 14,85 ab 33,89 a

LSD 5% - - 1,00 3,35 8,51 8,67 27,20

CV (%). - - 18,62 19,92 19,31 15,50 19,13

Kerusakan tanaman bawang merah (%) oleh S.exigua menurut umur tanaman (HST)

Perlakuan

29 33 36 40 43 47 50

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

> 0 ekor per hari 1,89 c 1,65 cd 0,47 c 0,71 cd 1,57 cd 3,87 c 8,39 ab B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 5 ekor per hari 1,98 c 1,98 cd 1,79 bc 0,84 cd 1,21 d 6,00 bc 7,43 ab C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥10 ekor per hari 8,42 bc 3,96 cd 1,62 bc abcd 2,25 2,99 bcd 4,60 bc 5,46 b D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 15 ekor per hari 22,73 ab 11,10 abc 9,14 ab 4,66 ab 5,56 bc 12,77 ab 8,58 ab E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak

≥ 20 ekor per hari 22,27 ab 8,99 bcd 9,55 ab 3,97 abc 6,57 b 8,20 bc 6,45 ab F. Kelompok telur 0,1 per tanaman

contoh 27,73 ab 22,40 a 11,64 a 5,19 ab 14,61 a 11,31 ab 9,06 ab G. Kerusakan tanaman 5%

12,55 bc 9,35 abc 2,80 bc 1,67 bcd 2,52 bcd 10,45 abc 10,74 a H. Disemprot dengan insektisida 2 kali

per minggu 0,12 c 0,69 d 1,68 bc 0,10 d 3,44 bcd 5,95 bc 9,41 ab I. Kontrol (tanpa insektisida) 35,90 a 19,36 ab 12,46 a 6,41 a 11,64 a 19,84 a 4,72 b

LSD 5% 23,18 13,97 8,16 3,76 4,10 6,54 5,01

(35)

 HST = Hari setelah tanam

 Angka rata-rata perlakuan pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%

Pada perlakuan G (ambang pengendalian kerusakan tanaman 5%) terjadi sebanyak 7 kali kerusakan tanaman oleh serangan S. exigua yang mencapai ambang pengendalian, sedangkan pada perlakuan F (0,1 kelompok telur/ tanaman contoh) terjadi sebanyak 10 kali kerusakan tanaman yang mencapai ambang pengendalian. Padahal, jika berdasarkan populasi kelompok telur (Tabel 3), pada perlakuan F hanya perlu dilakukan tindakan pengendalian sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 5, 8, dan 12 HST, sedangkan jika berdasarkan kerusakan tanaman, pada perlakuan F diperlukan 10 kali tindakan pengendalian, yaitu pada umur 19, 22, 26, 29, 33, 36, 40, 43, 47, dan 50 HST. Hal ini membuktikan bahwa ambang pengendalian S. exigua berdasarkan kerusakan tanaman lebih teliti dibandingkan dengan penetapan ambang pengendalian berdasarkan kelompok telur.

Menurut Moekasan dan Sastrosiswojo (1992) dengan menerapkan ambang pengendalian berdasarkan kerusakan tanaman 5%, penggunaan insektisida dapat ditekan > 62% dengan hasil panen setara dengan penyemprotan sistem kalender 2 kali/ minggu. Namun demikian, ambang pengendalian tersebut membutuhkan ketelitian, kecermatan menghitung, tenaga dan waktu yang cukup untuk mendapatkan hasil pengamatan yang akurat. Hal ini sulit diterapkan oleh petani.

Populasi imago S. exigua

Populasi imago (ngengat) S. exigua hasil tangkapan Feromon Exi disajikan pada Gambar 1. Ngengat S. exigua mulai tertangkap pada umur 5 HST dan mencapai puncaknya umur 47 HST, dengan kepadatan populasi 29,45 ekor per perangkap per hari. Berdasarkan hasil tangkapan tersebut, maka perlakuan ambang pengendalian yang berdasarkan hasil tangkapan ngengat S.exigua, yaitu petak A, B, C, D, dan E selama percobaan berlangsung (54 hari) masing-masing mencapai ambang pengendalian sebanyak 14, 11, 9, 6, dan 2 kali. Artinya pada perlakuan tersebut dilakukan tindakan pengendalian S. exigua masing-masing sebanyak 14, 11, 9, 6, dan 2 kali.

(36)

Jika dibandingkan dengan penerapan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur S. exigua (perlakuan F, pada Tabel 3), maka jumlah tindakan pengendalian yang setara atau mendekati jumlah tindakan pengendalian pada perlakuan F (3 kali tindakan pengendalian) adalah perlakuan E (hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 20 ekor/ hari), yaitu sebanyak 2 kali pada umur 33 dan 47 HST . Namun demikian, kerusakan tanaman yang mencapai ambang pengendalian pada perlakuan E mencapai sebanyak 8 kali (Tabel 4). Dengan demikian, pada perlakuan E terdapat sebanyak 6 kali kejadian mencapai ambang pengendalian yang tidak dilakukan tindakan pengendalian S. exigua.

Gambar/ Figure 1. Populasi imago S. exigua pada tanaman bawang merah/ Imago of S. exigua

(37)

Gambar/ Figure 2. Perangkap feromonoid seks/ Sex pheromone trap; : (a & b) perangkap/ trap; (c) imago S.exigua/ imago of S.exigua; (d) kapsul feromonoid seks/ capsule of

sex pheromone

Jika dibandingkan dengan penerapan ambang pengendalian S. exigua berdasarkan kerusakan tanaman (perlakuan G, Tabel 4), maka jumlah tindakan pengendalian S. exigua yang setara atau mendekati perlakuan tersebut (6 kali/ musim tanam) adalah perlakuan D (hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 15 ekor/ hari), yaitu sebanyak 6 kali/ musim (Tabel 4). Penerapan ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan populasi ngengat S.

exigua dengan menggunakan Feromon Exi lebih mudah dan praktis jika

dibandingkan dengan penerapan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur atau kerusakan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Permana dan Rostaman (2006) yang menyatakan bahwa penggunaan feromon lebih mudah dan aman bagi pemakai dan lingkungan.

Organisme Pengganggu Tumbuhan lain yang menyerang

Selama percobaan berlangsung ditemukan OPT lain yang menyerang tanaman bawang merah, yaitu hama trips dan lalat pengorok daun serta serangan penyakit trotol dan embun tepung. Serangan hama trips dan lalat pengorok daun hanya terpantau satu kali, yaitu pada umur 8 HST dan intensitas serangannya di bawah 2 % sehingga dianggap tidak mengganggu jalannya percobaan. Namun, pada percobaan ini dijumpai serangan penyakit

(38)

trotol yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri dan penyakit embun tepung yang disebabkan oleh cendawan Peronospora destructor. Kehadiran kedua penyakit ini mulai terpantau pada umur 8 HST sampai akhir percobaan. Untuk mengatasi serangan penyakit tersebut pertanaman bawang merah disemprot dengan fungisida Klorotalonil, Difenokonazol, Mefenoksam + Mankozeb secara bergantian dengan frekuensi 2 kali/ minggu.

Jumlah penyemprotan insektisida untuk mengendalikan S.exigua per musim

Salah satu tujuan menerapkan ambang pengendalian ialah untuk menekan penggunaan pestisida. Pada percobaan ini dengan menerapkan ambang pengendalian S. exigua berdasarkan populasi kelompok telur, kerusakan tanaman, atau populasi ngengat hasil tangkapan Feromon Exi penggunaan insektisida dapat ditekan jika dibandingkan dengan penggunaan insektisida 2 kali/ minggu (Tabel 5).

Pada Tabel 5 terlihat bahwa pengurangan penggunaan insektisida tertinggi terdapat pada perlakuan E (≥ 20 ekor ngengat

S.exigua/perangkap/hari), yaitu sebesar 85,71%, sedangkan yang terendah

pengurangannya terdapat pada perlakuan B (≥ 5 ekor ngengat/perangkap/hari), yaitu sebesar 21,43%. Pada perlakuan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur (0,1/ tanaman contoh) dan kerusakan tanaman 5%, masing-masing dapat menghemat penggunaan insektisida sebesar 78,57% dan 57,14%. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Moekasan et al. (2004; 2012) dan Suhardi et al. (1994) yang menyatakan bahwa penerapan ambang pengendalian tersebut dapat menekan penggunaan insektisida > 50%.

Tabel 5. Jumlah dan biaya penyemprotan insektisida untuk mengendalikan hama S.exigua pada

tanaman bawang merah

Perlakuan Jumlah penyemprotan insektisida per musim tanam Biaya insektisida (Rp./ 30 m2) Perbedaan dengan perlakuan H (%)

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak > 0 ekor per

hari 14 40.520 0

B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 5 ekor per

(39)

C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak≥10 ekor per

hari 9 26.049 35,71

D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 15 ekor per

hari 6 17.366 57,14

E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 20 ekor per

hari 2 5.789 85,71

F. Kelompok telur 0,1 per tanaman contoh 3 8.683 78,57

G. Kerusakan tanaman 5% 6 17.366 57,14

H. Disemprot dengan insektisida 2 kali per minggu 14 40.520 0

I. Kontrol (tanpa insektisida) 0 0 100,00

Hasil panen bawang merah

Hasil panen bawang merah disajikan pada Tabel 6. Bobot bawang merah pada saat panen (bobot basah) maupun setelah penjemuran selama 7 hari (bobot kering) pada perlakuan A (> 0 ngengat/ perangkap/hari), B (≥ 5 ngengat/ perangkap/hari), C (≥ 10 ngengat/ perangkap/hari) dan H (disemprot insektisida secara rutin 2 x/ minggu) tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata, tetapi berbeda nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan D (≥ 15 ngengat/ perangkap/hari), E (≥ 20 ngengat/ perangkap/hari), F (0,1 kelompok telur/ tanaman), G (kerusakan tanaman 5%) dan I (kontrol).

Tabel 6. Hasil panen bawang merah

Bobot

Umbi segar Umbi kering

Perlakuan

kg/ 30 m2 ton/ha kg/ 30 m2 ton/ha

A. Hasil tangkapan ngengat sebanyak > 0 ekor per hari 71,50 a 23,83 40,50 a 13,50 B. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 5 ekor per hari 71,33 a 23,77 40,20 a 13,40 C. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥10 ekor per hari 70,70 a 23,56 40,37 a 13,46 D. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 15 ekor per hari 36,27 c 12,09 22,97 c 7,66 E. Hasil tangkapan ngengat sebanyak ≥ 20 ekor per hari 23,60 e 7,86 13,27 e 4,42 F. Kelompok telur 0,1 per tanaman contoh 31,97 d 10,66 15,67 d 5,22 G. Kerusakan tanaman 5% 62,83 b 20,94 38,67 b 12,89 H. Disemprot dengan insektisida 2 kali per minggu 69,83 a 23,28 40,17 a 13,39 I. Kontrol (tanpa insektisida) 15,87 f 5,29 9,67 f 3,22

LSD 5% 2,06 - 1,46 -

CV (%). 2,36 - 2,90 -

 Angka rata-rata perlakuan pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%/ Average at the same column followed by the same letters were not significantly different at 5% level according to LSD

(40)

Hasil panen pada perlakuan ambang pengendalian yang setara dengan hasil panen pada perlakuan yang disemprot insektisida secara rutin terdapat pada perlakuan A, B, dan C. Dari ketiga macam perlakuan tersebut (A, B, dan C), perlakuan C adalah perlakuan yang dapat menghemat penggunaan insektisida tertinggi, yaitu sebesar 35,71% dibandingkan dengan perlakuan B sebesar 21,43% dan A = 0%. Sedangkan pada perlakuan F (kelompok telur 0,1 / tanaman) dan G (kerusakan tanaman 5%), hasil panen bawang merah (bobot basah dan kering) lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan H yang disempeot rutin dengan insektisida 2 kali/ minggu. Berdasarkan uraian tersebut, ditetapkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan ngengat S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi sebesar > 10 ekor/ perangkap/ hari inilah yang paling menguntungkan karena selain menekan penggunaan insektisida sebesar 35,71%, hasil panenpun (13,46 ton/ha) setara dengan hasil panen bawang merah pada perlakuan penyemprotan insektisida dengan sistem kalender 2 kali/ minggu.

Analisis anggaran parsial

Menurut Adiyoga (1984; 1985a; 1985b; 1987) analisis anggaran parsial dapat digunakan untuk mengevaluasi kelayakan finansial suatu teknologi baru untuk direkomendasikan sebagai pengganti teknologi lama atau teknologi yang sedang berjalan (existing technology). Dalam analisis anggaran parsial, dihitung besarnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerimaan (revenue), biaya berubah (variable cost), dan pendapatan bersih (net income) sebagai akibat dari penggantian teknologi.

Pada percobaan ini analisis anggaran parsial dilakukan untuk perlakuan C (≥ 10 ekor ngengat/ perangkap/ hari) dan dibandingkan dengan perlakuan H (penyemprotan insektisida secara rutin 2 kali/ minggu). Biaya berubah dengan adanya penggantian teknologi pada percobaan ini adalah biaya pengamatan ngengat S. exigua, biaya pembelian Feromon Exi, biaya upah penyemprotan insektisida, biaya pembelian insektisida, dan biaya bunga bank (Tabel 7). Dengan penerapan ambang pengendalian berdasarkan tangkapan populasi ngengat S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi, ada penambahan biaya berubah pada perlakuan penerapan ambang

(41)

Rp. 425.000,-. Namun, penambahan biaya tersebut masih jauh lebih kecil jika dibandingkan pengurangan biaya pengendalian pada perlakuan tersebut secara keseluruhan, yaitu sebesar Rp. 5.748.667,-/ ha yang terdiri atas selisih biaya upah penyemprotan insektisida sebesar Rp. 1.350.000,-/ha; biaya pembelian insektisida sebesar Rp. 4.823.667,-/ha; dan bunga bank/ modal sebesar Rp. 288.008,-/ha.

Suatu teknologi baru akan direkomendasikan untuk menggantikan teknologi lama apabila teknologi baru tersebut dapat meningkatkan pendapatan bersih atau memberikan tingkat pengembalian (rate of return) > 1 (Adiyoga et al. 1999; Adiyoga & Soetiarso 1999; Soetiarso et al. 1999; Soetiarso et al 2006; Basuki 2009). Pada percobaan ini, penerapan ambang pengendalian S. exigua menggunakan Feromon Exi dibanding penerapan pengendalian S.exigua sistem kalender, dapat meningkatkan pendapatan kotor sebesar Rp. 6.456.675,-/ha dan mengurangi biaya berubah sebesar Rp. 6.036.675,-/ha. Dengan demikian, penerapan ambang pengendalian S.exigua menggunakan Feromon Exi secara ekonomi berpotensi untuk diadopsi karena dapat mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan bersih jika dibandingkan dengan pengendalian S.exigua sistem kalender dengan melakukan penyemprotan insektisida 2 kali/ minggu.

Tabel 7. Perubahan penerimaan dan biaya berubah akibat perubahan dari teknologi penyemprotan insektisida dengan sistem kalender ke penerapan ambang pengendalian (Rp./ha) Perubahan teknologi Uraian Disemprot insektisida 2 x/minggu Penerapan ambang pengendalian Perubahan I. Hasil panen     Bobot (kg/ha) 13.390 13.460 70     Harga (Rp./kg) 6.000 6.000 -

    Total penerimaan (Rp./ha)  80.340.000 80.760.000 420.000

Biaya berubah per hektar (Rp./ha) -

2.1. Tenaga kerja (Rp./ha) -

    Pengamatan populasi imago S.exigua - 300.000 300.000

    Feromon Exi - 125.000 125.000

    Penyemprotan insektisida 3.780.000 2.430.000 - 1.350.000

(42)

2.2. Bahan -     Insektisida untuk untuk pengendalian S.exigua 13.506.667 8.683.000 - 4.823.667

Subtotal biaya bahan 13.506.667 8.683.000 - 4.823.667

Subtotal biaya bahan + upah 17.286.667 11.538.000 - 5.748.667

Bunga modal (1,67%/ bulan untuk 3 bulan) 866.062 578.054 - 288.008

Total biaya berubah (Rp./ha) 18.152.729 12.116.054 - 6.036.675

Pendapatan kotor (Rp./ha) 62.187.271 68.643.946 6.456.675

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan populasi ngengat

S.exigua dengan menggunakan Feromon Exi sebanyak ≥ 10 ekor/ perangkap/

hari lebih praktis, mudah, dan presisi dibandingkan dengan ambang pengendalian berdasarkan populasi kelompok telur sebesar 0,1/ tanaman atau berdasarkan kerusakan tanaman bawang merah oleh S.exigua sebesar 5%. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut, penggunaan insektisida dapat dikurangi sebesar 35,71% dengan hasil panen sebesar 13,46 ton/ha setara dengan penggunaan insektisida 2 kali/minggu. Dengan demikian penerapan ambang pengendalian tersebut secara ekonomi layak untuk diadopsi karena dapat meningkatkan pendapatan bersih dan mengurangi biaya jika dibandingkan dengan penyemprotan insektisida 2 x/ minggu.

Saran

Untuk penerapan penggunaan Feromon Exi sebagai alat pemantau populasi ngengat S. exigua pada budidaya bawang merah, rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut :

1. Kebutuhan perangkap per hektar adalah sebanyak 5 buah yang dipasang secara diagonal

2. Pengamatan populasi ngengat pada perangkap dilakukan mulai umur 5 hari setelah tanam dengan interval 3 hari

3. Jika populasi ngengat S.exigua mencapai ≥ 30 ekor/ perangkap/ 3 hari maka tanaman disemprot dengan insektisida yang dianjurkan

(43)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi melalui Program PKPP yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih, disampaikan pula kepada Bapak Thamshir, Bapak Mohamad Yusuf, dan semua anggota Kelompok Tani Bubun Tanjung, Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, serta POPT dan PPL Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang yang telah sudi mengawal dan membantu pelaksanaan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat membantu mengatasi serangan hama ulat bawang di Kabupaten Enrekang.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. 1984. Pengaruh penggunaan tenaga kerja dan pestisida terhadap pendapatan bersih usahatani kubis. Bull. Penel. Hort. XI (4): 20-25, 1984.

___________1985a. Pengaruh tumpangsari terhadap tingkat produksi dan pendapatan petani kubis. Bull. Penel. Hort. XII (4): 8-18, 1985.

___________1985b. Hubungan kontribusi tenaga kerja dengan efisensi produksi usahatani cabe. Bull. Penel. Hort. XII (2): 1-6, 1985.

___________1987. Efisiensi penggunaan pupuk kandang pada usahatani lombok. Bull. Penel. Hort. XV (4): 6-11, 1987.

___________R.S. Basuki, Y. Hilman & B.K. Udiarto. 1999. Studi lini dasar pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai di Jawa Barat. J. Hort. 9 (1):67-83, 1999.

(44)

___________ & T.A. Soetiarso. 1999. Strategi Petani dalam Pengelolaan Resiko pada Usahatani Cabai. J. Hort. 8 (4):1299-1311, 1999.

Basuki, R.S. 2009. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J. Horti. 19(2) : 213 – 226

Dibiyantoro, L.H. 1990. Pengaruh penggunaan insektisida dan ambang kendali Spodoptera exigua Hbn. yang mendasarkan hasil tangkapan imago dengan feromon seks sintetik terhadap populasi larva, kerusakan tanaman, dan hasil panen bawang merah. Bull. Penel. Hort. 19(4) : 106-115.

French, R.A. 1969. Migration of Laphygma exigua Hubner (Lepidoptera : Noctuide) to Bristish Isles in relation to large-scale weather system. J.Anim. Ecol. 38: 199-210.

Haryati, Y. & A. Nurawan. 2009. Peluang pengembangan feromon seks dalam pengendalian hama ulat bawang (Spodoptera exigua) pada bawang merah. J.Litbang Pertanian 28 (2) : 72-77

Jackson, D.M., G.C. Brown, G.L. Nordin, & D.M. Johnson. 1992. Autodisemination of baculovirus for management of tobacco budworms (Lepidiptera ; Noctuidae). J.Econ.Entomol. 85(3) : 710-719.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crops in Indonesia. Revisi oleh P.A. van der Laan. PT Ichtiar Baroe-van Hoeve. Jakarta. 701 hal.

Knight, A.L. & D.M. Light. 2005. Developing action thresholds for codling moth (Lepidoptera : Tortricidae) with pear ester-and codlemone-baited traps in apple orchads treated with sex pheromone mating disruption. J.Canadian Entomol. 137(6) : 739-747

(45)

Koster, W.G. 1990. Exploratory survey on shallot in rice based cropping system in Brebes. Bull.Penel.Hort.18(1) Edisi Khusus : 19-30.

Moekasan, T.K., & S. Sastrosiswojo. 1992. Pengujian ambang pengendalian hama ulat bawang (Spodoptera exigua) pada tanaman bawang merah di dataran rendah. Laporan Kerjasama Penelitian antara Balithort dengan Ciba Geigy R & D. 15 hal.

Moekasan, T.K., E. Suryaningsih, I. Sulastrini, N. Gunadi, W. Adiyoga, A. Hendra, M.A. Martono, & Karsum. 2004. Kelayakan teknis dan ekonomis penerapan teknologi pengendalian hama terpadu pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai. J. Hort. 14(3) : 188-203.

Moekasan, T.K. & R. Murtiningsih. 2010. Pengaruh campuran insektisida terhadap ulat bawang, Spodoptera exigua hubn. J.Horti. 20(1) : 67-79.

Moekasan, T.K., Basuki, R.S., & L. Prabaningrum. 2012. Penerapan ambang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya bawang merah dalam upaya mengurangi penggunaan pestisida. J.Hort. 22 (1) : 47-56.

Permana, A.D. & Rostaman. 2006. Pengaruh jenis perangkap seks terhadap tangkapan ngengat jantan Spodoptera exigua. J.HPT Tropika. 6 (1) : 9-13.

Rauf, A. 1999. Dinamika populasi Spodoptera exigua (HUBNER) (Lepidoptera: Noctuidae) pada pertanaman bawang merah di dataran rendah. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(2): 39-47.

Reddy, G.V. & A. Guerrero. 2001. Optimum timing of insecticide applications against diamondback moth Plutella xylostella in cole crops using threshold catches in sex pheromone traps. J. Pest. Manag.Sci. 57(1) : 90-94

(46)

Soeriaatmasdja, R.E. & T.R. Omoy. 1992. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama bawang merah Spodoptera exigua Hbn. berdasarkan populasi ngengat yang tertangkap feromon seks di musim hujan. Bull.Penel.Hort. 22 (3) : 10 – 13.

Soetiarso, T.A. Purwanto & A. Hidayat. 1999. Identifikasi usahatani tumpang gilir bawang merah dan cabai merah guna menunjang pengendalian hama terpadu di Brebes. J.Hort. 8(4):1312-1329.

Soetiarso, T.A., M. Ameriana, L. Prabaningrum & N. Sumarni. 2006. Pertumbuhan, hasil dan kelayakan finansial penggunaan Mulsa dan pupuk buatan pada usahatani cabai merah di luar musim. J.Hort. 16(1):63-76, 2006.

Suhardi, T. Koestoni, & A.T. Soetiarso. 1994. Pengujian teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman bawang merah berdasarkan ambang kendali dan modifikasi tipe nozzle alat semprot. Bul. Penel. Hort. 26(4) : 100-117.

Untung, K. 1994. Konsep, strategi, dan taktik pengendalian hama terpadu dalam menunjang pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam : S.J. Rondonuwu, J. Warouw, D.T. Sembel, M.E.R. Meray, dan C.S. Rante (Eds). Pros. Lokakarya pengembangan Entomologi di Kawasan Timur Indonesia dalam Upaya Menunjang Pengendalian Hama Terpadu, Tgl. 28-30 Maret 1994 di Sahid Hotel Menado. Faperta Universitas Sam Ratulangi dan Program Nasional PHT-BAPPENAS. hal. 1-20.

Wakamura, S., M. Takai, S. Kozai, H. Inouse, I. Yamashita, S. Kuwahara and M. Kawamura. 1989. Control of the beet armiworm, Spodoptera exigua Hbn (Lepidoptera : Noctuidae), using synthetic sex pheromone. Effect of communication distruption in Welsh onion field. App.Entomol.Zool. 24 (4) : 387-397.

(47)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. PERSONIL PELAKSANA KEGIATAN RISET

Nama lengkap dan gelar Posisi dalam kegiatan Instansi/ Unit kerja Jabatan Fungisonal Bidang Keahlian Alokasi waktu (Jam/bulan)

Ir. Tonny K. Moekasan Ketua Tim

Balitsa Peneliti Madya

Entomologi 60 Ir. Wiwin Setiawati, MS Anggota Balitsa Peneliti

Utama

Entomologi 60 Ir. Firdaus Hasan, MS Anggota BPTPH

Sulsel

POPT Ahli Madya

Entomologi 60 Aang Somantri Anggota Balitsa - Teknisi 60

Rahman Runa Anngota BPTPH Sulsel - Teknisi 60 2. JADWAL KEGIATAN Bulan No. Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Persiapan 2. Survai lokasi 3. Pengolahan tanah 4. Persiapan tanam 5. Penanaman 6. Pengamatan 7. Pemeliharaan tanaman 8. Pengolahan data 9. Pembuatan laporan

(48)

3. ILUSTRASI KEGIATAN LAPANGAN

Gambar 3. Hamparan tanaman bawang merah di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

Gambar 4. Koordinasi rencana penelitian dengan penyuluh pertanian di Balai Penyuluhan Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang

(49)

Gambar 5. Sosialisasi rencana penelitian dengan Gabungan Kelompok Tani Bawang Merah di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang

Gambar 6. Pembuatan plot percobaan bersama-sama dengan Ketua Gabungan Kelompok Tani Bawang Merah Bubun Tanjung (Bapak Thamshir, memakai baju kaus hijau), di Kecamatan

(50)

Gambar 7. Perangkap ngengat S. exigua (Feromon Exi) yang dipasang di lahan bawang merah milik petani di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pada saat penelitian pendahuluan

(51)

Gambar 9. Lahan percobaan di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar 10. Tanam bawang merah di lahan percobaan di Desa Lakawan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pada tanggal 25 April 2012

(52)

Gambar 11. Tanaman bawang merah berumur 7 hari setelah tanam

(53)

Gambar 13. Kegiatan pengamatan rutin

Gambar 14. Pengamatan harian ngengat S. exigua pada perangkap Feromon Exi

(54)

Gambar 15. Kegiatan temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang”

Gambar 16. Temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” yang dihadiri oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan dan Wakil Bupati Enrekang pada tanggal 28 Mei 2012

(55)

Gambar 17. Pemaparan hasil penelitian sementara pada saat temu lapangan “Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” pada tanggal 28 Mei 2012

Gambar 18. Penyerahan bantuan perangkap Feromon Exi dari Wakil Bupati Enrekang kepada perwakilan Kelompok Tani Bubun Tanjung pada saat acara temu lapangan Sosialisasi Penggunaan Feromon Exi dalam Pengendalian Ulat Bawang” pada tanggal 28 Mei 2012

Referensi

Dokumen terkait

( 1) Sesuai dengan Persetujuan pada tanggal 9 April 1984 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman tentang Kerjasama Teknik,

Dengan menggunakan metode penyuluhan berupa materi-materi seputar Komunikasi Antar Pribadi yang disajikan beserta contoh kasus dengan penerapannya di lingkungan desa

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menggunakan analisis jalur dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu melihat pengaruh terhadap hubungan antara kinerja

Jumlah unit usaha UKM pada tahun 2004 adalah sebesar 43,22 juta naik 1,61 persen terhadap tahun sebelumnya, sementara jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor UKM pada tahun yang

Puskesmas dengan kunjungan tertinggi adalah puskesmas Merdeka sebesar 10.689 pasien dengan rata- rata kunjungan 5.345 pasien perbulan dan puskesmas dengan

Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa miopia merupakan suatu keadaan refraksi mata dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga dalam keadaan mata istirahat, dibiaskan

kemampuan menggenggam setang motor dengan baik dan tetap mampu mengendalikan sepeda motor, melindungi tangan dari angin dan hujan. Mata dan wajah membutuhkan

Asupan zat gizi pada pasien kanker berbeda dari penyakit lainnya dikarenakan adanya efek samping kemoterapi seperti mual, muntah, dan penurunan nafsu makan, yang