• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS KERANGKA TEORI Hakikat Teori Keadilan Bermartabat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS KERANGKA TEORI Hakikat Teori Keadilan Bermartabat"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

2.1. KERANGKA TEORI

2.1.1. Hakikat Teori Keadilan Bermartabat

Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. mengemukakan suatu teori yang dibangun dengan meramu pikiran-pikiran tentang hukum dari bumi Indonesia. Teori ini disebut sebagai teori Keadilan Bermartabat. Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu ilmu hukum yang memiliki empat lapisan ilmu hukum.1 Lapisan ilmu hukum tersebut meliputi filsafat hukum ditempat pertama. Pada lapisan kedua, terdapat teori hukum. Dogmatik hukum atau ilmu hukum positif berada di tempat ketiga. Hukum dan praktik hukum berada pada susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat. Walaupun lapisan ilmu dalam teori Keadilan Bermartabat saling terpisah antara lapisan satu dengan lapisan lainnya, namun prinsipnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik. Lapisan-lapisan-lapisan ilmu tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Dengan kata lain, seorang praktisi hukum tidak dapat mengatakan bahwa dia bekerja tanpa inspirasi dari filsafat hukum, teori hukum, maupun doktriner.2 Dalam teori ini, dikehendaki adanya perilaku atau unggah-ungguh di dalam berilmu hukum.3

Teori Keadilan Bermartabat sebagai suatu filsafat adalah hasil dari proses kegiatan berpikir disiplin. Teori ini menaati kaidah-kaidah keilmuan sebagai

1 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi

Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet., Keempat, hal. 21.

2 Teguh Prasetyo, 2015, Op.Cit., hal. 4. 3 Ibid.

(2)

kerangka kerja yang menghasilkan suatu pemikiran. Pemikiran adalah proses dari hasil kegiatan berpikir secara abstraksi, konsepsi dan preposisi. Teori Keadilan Bermartabat sebagai suatu hasil dari kegiatan berpikir, tidak datang secara kebetulan dan tidak jauh dari realitas kehidupan. Teori Keadilan Bermartabat memiliki asal-usul serta memiliki genesis yang membumi (Volksgeist).4

2.1.2. Pancasila Sebagai Dasar Teori Keadilan Bermartabat

Teori Keadilan Bermartabat menganut prinsip bahwa secara doktriner, maupun dogmatika hukum, ada ajaran tentang penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengikuti sifat hukum yang selalu progresif di dalam lapisan filsafat hukum, teori hukum, dogmatika hukum serta hukum dan praktik hukum serta berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dan moralitas. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman meneruskan dogmatika hukum yang mentradisi yaitu ius curia novit atau fiksi bahwa hakim itu dianggap tahu tentang undang-undang. Dogmatika hukum tersebut merupakan kelanjutan dari prinsip hukum universal yang sebelumnya dicantumkan di dalam Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie).

Berdasarkan peraturan perundang-undangan pemerintahan kolonial yang telah mengalami penyesuaian dengan jiwa bangsa (Volksgeist) yang merdeka dari kolonialisme yaitu Pancasila, hakim yang menolak untuk mengadili atau menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka hakim itu dapat dituntut untuk dihukum.5

4 Ibid., hal. 7. 5 Ibid., hal. 12.

(3)

Teori Keadilan Bermartabat menganut prinsip untuk memahami doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama. Pancasila menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori Keadilan Bermartabat. Prinsip atau doktrin itu adalah penemuan hukum. Penemuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila mengajarkan bahwa hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum. Namun, kekuatan berlaku dari hukum yang digali hakim dari dalam jiwa bangsa tersebut bersifat persuasif, kecuali undang-undang menentukan lain. Prinsip di atas adalah dikte hukum yang mewajibkan hakim melakukan penemuan hukum dengan berfilsafat dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat. Maksudnya yaitu hakim menemukan hukum dengan cara memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Teori Keadilan Bermartabat mengenal pendirian metode “kontruksi hukum” atau “interpretasi hukum” yang digunakan sebagai alat-alat utama dalam filsafat hukum dapat digunakan dan memiliki signifikasi. Signifikasi adalah alat bagi hakim dalam proses pembentukan hukum yurisprudensi (case law).6 Mochtar Kusumaatmadja mendukung Volksgeist, atau sumber hukum yang sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat sebagai suatu ciri dari otoritas pembuat hukum yang bersifat persuasif.7 Teori Keadilan Bermartabat mengubah pemikiran atas dominasi pemikiran-pemikiran sebelumnya. Pemikiran sebelumnya sering kali diterima

6 Ibid., hal. 13.

7 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu

Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Krominologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran-Bina Cipta, 1976, Cet., Pertama, hal. 8.

(4)

begitu saja tanpa dikritisi terlebih dahulu berdasarkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

2.1.3. Ciri Teori Keadilan Bermartabat

Teori Keadilan Bermartabat merupakan produk dari proses kegiatan berpikir dicirikan sebagai pemikiran yang mendasar atau radikal.8 Teori Keadilan Bermartabat melakukan penyelidikan untuk menemukan kaidah dan asas-asas hukum melalui lapisan-lapisan ilmu hukum. Teori Keadilan Bermartabat menjaga keseimbangan pandangan yang berbeda pada lapisan-lapisan ilmu hukum yang ada dan tidak memandang pendapat yang berbeda di antara lapisan-lapisan ilmu hukum sebagai suatu konflik. Teori Keadilan Bermartabat berusaha menjauhkan konflik dalam hukum. Teori Keadilan Bermartabat memahami konsep radikal, bukan radikalisme. Konsep radikal dalam pemahaman teori Keadilan Bermartabat memiliki batas bahwa dalam berpikir secara mendasar, berarti bertanggung jawab terhadap hati nuraninya. Teori Keadilan Bermartabat sejalan dengan tujuan hukum namun menolak radikalisasi ilmu pengetahuan hukum untuk tujuan ideologis.

Proses kegiatan berfilsafat atau melaksanakan teori hukum dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat, masih harus dan akan terus-menerus berlangsung, berdialektika dengan sylogisme secara taat asas, berdisiplin dan tidak berpuas diri.9 Proses kegiatan berpikir yang ditempuh dalam teori Keadilan Bermartabat masih terus berlangsung selama hukum masih ada dan menuntun kehidupan manusia. Teori Keadilan Bermartabat menuntun kehidupan hukum dan sistem hukum de lege lata. De lege lata dimengerti sebagai sesuai dengan hukum atau menurut dengan

8 Teguh Prasetyo, 2015, Op.Cit., hal. 19. 9 Ibid., hal. 21.

(5)

kesepakatan yang ada di dalam masyarakat, lokal, nasional maupun internasional. Teori Keadilan Bermartabat peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berpikir, memanusiakan manusia atau nguwongke uwong.10

Teori Keadilan Bermartabat sebagai ciri radikal atau mendasar yaitu memiliki ajakan untuk mendekati hukum secara filosofis. Teori Keadilan Bermartabat memahami hukum dengan cinta kepada kebijaksanaan. Artinya, melalui teori Keadilan Bermartabat, hukum menjadi titik sentral dalam pengkajian maupun proses konstruksi, dekontruksi ataupun rekonstruksi pemikiran tentang hukum dan kemasyarakatan secara mendalam. Teori Keadilan Bermartabat menelaah sampai ke akar hakikat berbagai isu hukum. Teori Keadilan Bermartabat memahami hukum sampai ke hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan melampaui pengetahuan inderawi (physical). Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hakikat yang dipahami melampaui pengetahuan inderawi dikenal dengan istilah keyakinan.

Teori Keadilan Bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum, terutama tujuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penegakannya dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang adil dan beradap, yang mendasari konsepsi memanusiakan manisia; disamping keadilan sosial dan sila-sila lainnya. Teori Keadilan Bermartabat juga menjelaskan tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang ada di

(6)

dalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama lain di dalam sistem tersebut.11

Teori Keadilan Bermartabat berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum adalah merupakan satu kesatuan yang berhimpun di dalam keadilan.12 Kebenaran adalah keadilan, keadilan adalah kebenaran dan juga kepastian hukum itu sendiri adalah keyakinan dimana keadilan yang harus didahulukan. Sebagai suatu teori yang menganut kontinuitas dari pemikiran mengenai hukum dari dalam jiwa bangsa yang pernah ada sebelumnya dan hingga kini masih ada dan masih akan eksis di kemudian hari, maka teori Keadilan Bermartabat disusun dalam rangka menyempurnakan pemikiran mengenai hukum.13

2.2. Konsep-Konsep

2.2.1. Tindak Pidana Konvensional (KUHP)

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Pidana

11 Ibid., hal. 52 12 Ibid.

(7)

merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf yang dapat diartikan sebagai hukuman.14

Tindak pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh peraturan perundang-undangan, menjadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Pompe mendefinisikan tindak pidana menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum sedangkan menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.15 Tindak pidana dilakukan secara sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan yang memiliki unsur-unsur yang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu unsur delik obyektif dan unsur delik subyektif. Unsur delik obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu dalam tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.16 Tindakan tersebut dibagi menjadi tiga unsur lagi yaitu perbuatan, akibat dan keadaan. Perbuatan yang dilakukan karena gerakan atau refleks bukan merupakan perbuatan dalam arti hukum pidana.17 Perbuatan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. Perbuatan dapat bersamaan dengan akibatnya, sehingga tak ada jangka waktu antara perbuatan dan akibat. Sebagai contoh perbuatan dalam hal pencurian. Akibat dapat juga terpisah

14 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 37.

15 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2007, hal. 81.

16 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 69.

17 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

(8)

dari perbuatannya, sebagai contoh dalam hal pembunuhan.18 Undang-undang pidana menentukan bahwa perbuatan atau kelalaian orang baru dapat dihukum kalau dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya melawan tindakan pegawai negeri kalau perlawanannya dilakukan dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan dan jika pegawai negeri itu sedang melakukan kewajibannya. Ataupun pelanggaran terhadap kehormatan orang lain dapat dihukum kalau dilakukan di tempat umum. Kata “di tempat umum” itulah yang disebut “keadaan”.19

Unsur subyektif mengenai keadaan yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesalahan dalam arti sengaja serta kelalaian. Unsur subyektif menentukan bahwa perbuatan harus dapat dipersalahkan. Orang harus dapat dipertanggungjawabkan kalau ia normal. Normal artinya mempunyai perasaan dan pikiran. Secara normal dapat menentukan kemauannya terhadap keadaan atau bebas menentukan kehendaknya sendiri. Dalam frasa “dapat dipertanggungjawabkan” tidak perlu dibuktikan, tetapi setiap orang dianggap bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan kalau tidak terbukti sebaliknya. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan dan kesalahan tersebut harus dibuktikan.20

Suatu fiksi yang dianut oleh Negara adalah setiap orang dianggap sudah mengetahui undang-undang. Jika tidak berpedoman kepada fiksi tersebut, maka kedudukan hukum pidana akan sangat lemah sebab setiap orang dapat mengatakan tidak mengetahui undang-undang yang berlaku sehingga dapat meloloskan diri dari hukuman. Dapat dikatakan dalam menjalankan undang-undang pidana tidak perlu

18 Ibid., hal. 285. 19 Ibid.

(9)

dibuktikan bahwa orang itu benar-benar mengetahui undang-undang negara yang berlaku saat itu.21

2.2.2. Tindak Pidana Siber

Tindak pidana siber (cybercrime) dalam pengertiannya merupakan suatu bentuk tindakan dengan memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer, internet atau perangkat digital lainnya sebagai alat, sasaran, tempat atau penggunanya. Tindak pidana siber akan muncul seiring dengan perkembangan teknologi digital, komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat. Perkembangan teknologi tersebut secara perlahan mulai mengubah cara pandang orang dalam melaksanakan aktivitas. Perkembagnan teknologi tersebut dimanfaatkan untuk peningkatan efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Dengan kata lain, tindak pidana siber adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.22

Pelaku tindak pidana siber dikenal dengan julukan hacker, berawal dari kata hack yang artinya teknik pemrograman kreatif yang mampu memecahkan masalah secara jauh dan lebih efisien dari teknik biasa atau dengan kata lain sebagai suatu perilaku obsesif dan/atau tanpa otorisasi yang sah (unauthorized acces) dalam menggunakan komputer atau sistem jaringan komputer. Sejarah hacker dimulai oleh beberapa orang mahasiswa dari Massachusets Institute of Technology (MIT)

21 Ibid.

22 Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jakarta:

(10)

Amerika.23 Tindak pidana siber diklasifikasikan dalam beberapa jenis.24 Pengertian Unauthorized Access to Computer System and Service yaitu kejahatan yang dilakukan dengan cara memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya para pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi yang bersifat penting dan rahasia. Namun, ada juga yang melakukan kejahatan tersebut hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya dalam menembus suatu sistem yang memiliki tingkat keamanan tinggi.

Kejahatan dengan cara memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar atau tidak etis serta dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum disebut dengan istilah Illegal Contents. Sebagai contohnya, adalah pemuatan suatu berita bohong atau suatu fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain. Hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dari suatu negara. Data forgery adalah kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen e-commerce dengan membuat seolah terjadi salah ketik (typosquatting atau delution) yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku. Cyber Espionage atau kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet

23 Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik; Perikatan, Pembuktian dan

Penyelesaian Sengketa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, Cet. Kesatu, hal. 18.

(11)

untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen atau data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem computerized.

Cyber Sabotage and Extortion atau kejahatan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu virus komputer ataupun program tertentu sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, pelaku kejahatan menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut dengan bayaran tertentu. Kejahatan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (Offense against Intellectual Property) yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain.

Infringements of Privacy atau kejahatan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immateriil, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi. Kejahatan Carding,

(12)

secara terminologi carding berasal dari bahasa Inggris yaitu card atau kartu. Pakar teknologi informasi memberikan label kepada para pelaku penyalahgunaan kartu kredit dengan sebutan carder yang sampai sekarang istilah itu masih digunakan kepada mereka. Tindakan penggunaan kartu kredit yang dilakukan oleh orang yang tidak seharusnya menggunakan kartu kredit tersebut untuk melakukan transaksi melalui internet.25

Kejahatan selanjutnya adalah Skimmer. Skimmer adalah alat pencuri data nasabah bank yang dipasang di mulut ATM. Alat ini dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat rapi dan nasabah awam akan menganggapnya tidak ada sesuatu yang ganjil. Ketika seorang nasabah memasukkan kartu ATM-nya di slot yang tersedia, data di kartu nasabah langsung terekam. Skimmer ini juga dilengkapi kamera mikro guna merekam gerakan jemari nasabah saat memencet kode PIN. Ketika data nasabah dan PIN telah didapatkan, maka pencuri segera membuat kartu palsu. Data nasabah yang telah didapatkan itu dimasukkan ke dalamnya dan berbekal PIN yang telah dipelajari, terjadilah upaya pembobolan rekening tersebut.

Pada dasarnya, tindak pidana siber merupakan pelanggaran ketentuan delik-delik umum pidana.26 Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukan transaksi. Pasal 378 KUHP yang dikenakan untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu

25 Setiadi, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking, Jurnal

Hukum Teknologi, Vol. 2 No. 1, Depok: LKHT FH UI, 2005, Hal. 19.

(13)

produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui email.

Pasal 313 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email secara berantai melalui mailing list atau milis tentang berita yang tidak benar. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di internet dengan penyelenggara dari Indonesia. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet. Pasal 378 dan 226 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kredit yang nomor kartu kreditnya merupakan hasil curian. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface suatu website karena pelaku setelah berhasil memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara mengganti tampilan asli dari website tersebut.

2.2.3. Tindak Pidana Kesusilaan Konvensional (KUHP) dan

Pengaturannya

Tindak pidana kesusilaan konvensional (KUHP) sebagai bagian dari norma yang bersifat publik dapat dilihat dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Pasal 281-303 bis Kitab

(14)

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa Pasal yang berkaitan dengan kasus perkara yang tengah dipelajari hanya Pasal 281-282 KUHP saja. Ketentuan pidana yang melarang orang dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 281 KUHP. Pasal 281 KUHP berisi rumusan “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: Ayat (1) barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; Ayat (2) barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP mempunyai unsur subyektif dan unsur obyektif. Dalam unsur subyektif terdapat frasa dengan sengaja. Unsur obyektif terdapat frasa barangsiapa; merusak kesusilaan; di depan umum. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, unsur subjektif dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur opzettelijk atau dengan sengaja. Unsur dengan sengaja ini ditinjau dari penempatannya di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, meliputi unsur-unsur seperti, merusak kesusilaan dan di depan umum. Kesopanan atau kesusilaan (zeden eerbaarheid) ialah perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Nafsu kelamin yang dimaksud adalah misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria dan mencium. Pengrusakan kesopanan atau kesusilaan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Merusak kesopanan juga meliputi soal pernyataan baik dengan

(15)

kata-kata, maupun dengan perbuatan-perbuatan mengenai nafsu kelamin, maka kesopanan itu merupakan suatu pengertian yang khusus dan lebih sempit. Berdasarkan atas ketentuan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP, maka dalam tulisan Penulis ini Pasal 281 KUHP lebih baik dipakai dari pada Pasal 315 KUHP.27

Orang dapat dihukum menurut pasal ini apabila sengaja merusak kesopanan atau kesusilaan di muka umum. Artinya perbuatan merusak kesopanan tersebut harus dengan sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau di tempat yang biasa didatangi oleh orang banyak. Sengaja merusak kesopanan di muka orang lain dalam arti seorang sudah cukup, yang hadir disitu tidak dengan kemauannya sendiri, memiliki maksud bahwa tidak perlu dilakukan di muka umum. Cukup dilakukan di muka seorang lain, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.28

Pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja tersebut, di dalam sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku, hakim dan penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang mempunyai kehendak atau maksud untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan serta dapat membuktikan bahwa pelaku memang mengetahui yakni bahwa perbuatannya itu dilakukan di depan umum. Jika kehendak atau maksud dan pengetahuan pelaku ataupun salah satu dari kehendak atau pengetahuhan pelaku di atas ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk menyatakan pelaku terbukti memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, dan hakim

27 R. Soesilo, Op.Cit., hal. 204-205. 28 Ibid.

(16)

akan memberikan putusan bebas bagi pelaku. Untuk dapat menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, hakim tidak perlu menggantungkan diri pada adanya pengakuan dari pelaku yang dalam praktik sulit untuk diharapkan, melainkan hakim dapat menarik kesimpulan dari kenyataan yang terungkap dalam sidang pengadilan, misalnya dari keterangan yang diberikan oleh pelaku sendiri atau dari keteragan yang diberikan oleh para saksi.

Adanya kehendak atau maksud para pelaku untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan dan hakim atau penuntut umum harus dapat membuktikan tentang adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang ia lakukan di depan umum, yakni karena menurut memori jawaban atau menurut Memorie van Antwoord dari Menteri Kehakiman maupun menurut penjelasan atau menurut Memorie van Toelichting mengenai kata opzet atau dengan sengaja, yakni bahwa opzet itu mempunyai arti sebagai willens en wetens atau sebagai menghendaki dan mengetahui.29 Unsur objektif dari tindak pidana dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum seperti yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur barangsiapa. Yang dimaksud dengan barangsiapa ialah orang atau orang-orang, yang apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP mereka itu dapat disebut sebagai pelaku atau sebagai pelaku-pelaku dari tindak pidana tersebut.

29 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984,

(17)

Tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, secara tulisan, gambar atau benda yang menyinggung kesusilaan oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 282 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) KUHP. Dalam Pasal 282 Ayat (1) KUHP berisi rumusan “barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”

Berdasarkan Pasal 282 Ayat (2) berisi rumusan “barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

(18)

Pasal 282 Ayat (3) berisi rumusan “kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.” Untuk memudahkan penjabaran dari tiga jenis tindak pidana di atas ke dalam masing-masing unsurnya, maka dapat dapat disesuaikan dengan tindak pidana yang bersangkutan. Unsur yang terkandung dalam Pasal 282 Ayat (1) KUHP yaitu barangsiapa, menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan secara terbuka, tulisan gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan.

Unsur yang terkandung dalam Pasal 282 Ayat (2) KUHP yaitu barangsipa; membuat; memasukkan; mengangkut keluar; mempunyai dalam persediaan; untuk disebarluaskan atau dipertunjukkan atau ditempelkan secara terbuka; suatu tulisan, gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan. Unsur yang terkandung dalam Pasal 282 Ayat (3) KUHP yaitu barangsiapa; tanpa diminta menawarkan; tanpa diminta menyatakan dapat diperoleh; suatu tulisan, gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan; dilakukan baik secara terbuka maupun dengan cara menyebarluaskan suatu tulisan.

Perbuatan-perbuatan pada Pasal 282 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP ada tiga macam.30 Perbuatan pertama ialah menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan, gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan. Perbuatan kedua yaitu membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau

(19)

barang untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan. Adapun perbuatan ketiga adalah dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat.

Pasal 282 Ayat (1) menjelaskan orang yang berbuat harus mengetahui, bahwa isi tulisan, gambar dan barang tersebut melanggar perasaan kesopanan.31 Penjelasan dalam Pasal 282 Ayat (2) yaitu orang tersebut tidak perlu mengetahui, sudah cukup apabila padanya ada alasan sungguh-sungguh untuk menduga, bahwa tulisan, gambar dan barang tersebut melanggar perasaan kesopanan.32 Dalam hal menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tersebut bermaksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui orang banyak. Menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, diartikan mengedarkan reklame dengan surat atau surat kabar, atau dengan lisan akan tetapi harus terang-terangan.33

Berdasarkan Pasal 282 KUHP, pelaku harus mengetahui isi dari tulisan, gambar atau benda yang ia perunjukkan secara terbuka atau yang ia tempelkan dan lain-lainnya. Tidaklah perlu bahwa pelaku telah menganggapnya sebagai bersifat menyinggung kesusilaan atau bahwa ia sendiri telah bermaksud untuk memandang tulisan, gambar atau benda tersebut sebagai mempunyai sifat yang menyinggung kesusilaan. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 pada dasarnya adalah sama dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 1 KUHP, kecuali

31 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid.

(20)

unsur subjektifnya, yakni karena bagi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 KUHP, undang-undang hanya mensyaratkan adanya unsur culpa pada diri pelaku. Hal tersebut terbukti dengan dipakainya kata-kata yang sepantasnya harus ia duga di dalam rumusan tindak pidana tersebut.

2.2.4. Tindak Pidana Kesusilaan Siber dan Pengaturannya

Tindak pidana kesusilaan siber diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Tindak pidana dalam Pasal 27 Ayat (1) apabila disalin menjadi satu naskah dengan Pasal 45 Ayat (1) maka rumusannya “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.” Apabila dilihat dari sudut formulasi rumusannya, tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik, karena objek perbuatan yang sekaligus objek tindak pidananya berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Sementara jika dilihat dari sudut letak sifat larangannya melawan hukum, atau dari sudut kepentingan hukum yang hendak dilindungi, dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana kesusilaan. Perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru

(21)

dapat dipidana, atau timbul sifat melawan hukumnya, apabila isi informasi dan atau dokumen elektronik tersebut mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.

Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (1) adalah kepentingan hukum mengenai tegak dan terjaganya nilai-nilai kesusilaan masyarakat. Tindak pidana pokoknya adalah kesusilaan, sementara sarananya dengan memanfaatkan atau menggunakan teknologi. Tindak pidana Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) dapat disebut lex specialis dari bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan dalam Bab XIV Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tindak pidana Pasal 27 Ayat (1) jika dirinci, terdiri dari unsur subyektif yaitu kesalahan: dengan sengaja, serta unsur obyektif yaitu melawan hukum: tanpa hak, perbuatan: mendistribusikan; mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dan obyek: informasi elektronik, dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Frasa di atas yang dicetak miring merupakan unsur formil pembentuk tindak pidana tersebut.

Frasa dengan sengaja adalah bagian dari unsur kesalahan khususnya pada tindak pidana dolus (doleus delict). Dalam setiap tindak pidana dolus selalu terdapat unsur kesengajaan, meskipun unsur tersebut biasanya tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan. Jika tidak dicantumkan, maka unsur sengaja terdapat secara terselubung dalam unsur perbuatan.34 Karena sifatnya sebagai kata kerja yang digunakan dalam rumusan, telah tergambar dengan sendirinya bahwa untuk mewujudkan perbuatan tersebut selalu didorong oleh suatu kehendak. Berbeda

34 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP

Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 161.

(22)

halnya pada tingkat pidana culpa. Unsur culpa harus selalu dicantumkan secara tegas dalam rumusan. Sebagaimana diketahui sistem WvS Belanda, bahwa semua tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sengaja maupun culpa, tindak pidana tersebut tetap diperlukan adanya unsur sengaja, artinya merupakan tindak pidana dolus.35

Ada perbedaan antara unsur kesengajaan yang terdapat secara terselubung dengan kesengajaan yang secara tegas dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Perbedaan itu adalah jika tidak dicantumkan dalam rumusan, maka unsur sengaja tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan unsur perbuatan. Oleh karena unsur sengaja dianggap telah melekat pada unsur perbuatan, jika perbuatan telah dapat dibuktikan, maka unsur kesengajaan dianggap juga telah dapat dibuktikan. Apabila dicantumkan secara tegas di samping membuktikan wujud perbuatan, unsur kesengajaan perlu pula dibuktikan secara khusus. Perbedaan lain adalah tentang akibat hukum dari tiadanya kesengajaan dari tindak pidana dolus yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan dalam rumusan, maka terhadap terdakwa dijatuhkan amar putusan “pelepasan dari tuntutan hukum” (onslag van rechtsvervolging).36

Keterangan tentang sengaja di dalam Memorie van Toelichting (MvT) Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, menyatakan bahwa opzettelijk plegen van een misdrijf is het teweegbrengen van verboden handeling willens en wetens.37

35 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983, hal.182.

36 Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik

Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik (Edisi Revisi), Malang: Media Nusa Creative, 2015, Cet. Pertama, hal. 13.

37 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal.

(23)

Artinya sengaja melakukan suatu kejahatan adalah melakukan perbuatan yang dilarang dengan “dikehendaki” dan “diketahui”.38 MvT menyatakan ada dua aspek

kesengajaan, ialah sengaja sebagai kehendak (willens) dan sengaja sebagai pengetahuan (wetens).39 Mengetahui mengandung arti memahami atau mengerti. Memahami atau mengerti, tidak perlu dilakukan melalui konsep yuridis yang rumit seperti ahli hukum. Cukup pengetahuan orang awam pada umumnya.40 Sengaja adalah sikap batin orang yang menghendaki dan mengetahui suatu perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Sengaja berfungsi sebagai penghubung antara sikap batin seseorang yaitu mengetahui dan menghendaki dengan perbuatan yang hendak dilakukannya.

Doktrin hukum pidana mengenal tiga bentuk kesengajaan. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) atau dolus eventualis.41 Sengaja dalam Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) berlaku bagi kesengajaan sebagai kehendak. Tindak pidana ini merupakan tindak pidana formil murni. Sementara dua bentuk kesengajaan lainnya dikhususkan bagi tindak pidana materiil. Dalam tindak pidana materiil, pengetahuan atau keinsyafan pembuat itu selalu ditujukan pada akibat. Dengan keadaan jiwa tertentu pembuat ketika berbuat, memiliki kesadaran bahwa perbuatannya menimbulkan akibat yang terlarang atau tidak. Namun demikian, dalam keadaan khusus dapat menjadi kesengajaan sebagai kemungkinan dan

38 Ibid. 39 Ibid.

40 Jan Remmelink, Op.cit., hal. 153. 41 Moeljatno, Op.Cit. 1983. hal.174-175.

(24)

kepastian juga berlaku dalam tindak pidana formil. Alasannya adalah dalam tindak pidana formil tetap diperlukan pengetahuan terhadap unsur-unsur selain akibat yang dicantumkan dalam rumusan. Sebagai contoh tindak pidana Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1). Pembuat memerlukan pengetahuan, bahwa yang didistribusikan adalah informasi elektronik dan menyadari bahwa isi informasi tersebut mengandung muatan pelanggaran kesusilaan. Apabila benar-benar terbukti pembuat tidak menyadari bahwa isi informasi elektronik yang didistribusikannya bermuatan pelanggaran kesusilaan, maka ia tidak boleh dipidana. Cukup dijatuhi amar pelepasan dari tuntutan hukum. meskipun kejadian seperti ini dalam keadaan normal tidak mudah terjadi. Namun tidak tertutup kemungkinan benar-benar terjadi. Misalnya karena pengaruh virus atau diganggu/dirusak oleh cracker, sesuatu yang tidak disadari dan dikehendaki bisa muncul dengan tiba-tiba.

Pasal 27 Ayat (1) menggunakan istilah tanpa hak. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah mengenai tegak dan terjaganya nilai-nilai kesusilaan yang dijunjung tinggi masyarakat. Agar kepentingan hukum mengenai tegaknya nilai-nilai kesusilaan tidak dilanggar oleh perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik. Hubungan antara tanpa hak dengan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) terdapat dalam hal obyek tindak pidananya. Bahwa dicelanya atau terlarangnya perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau data elektronik disebabkan karena isi obyeknya melanggar kesusilaan. Sifat dicela atau terlarangnya perbuatan semacam itu adalah pada isinya informasi elektronik (obyek). Bukan pada subyek hukum atau pembuatnya.

(25)

Mendistribusikan berasal dari kata distribusi yang artinya penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat.42 Menjadi kata kerja mendistribusikan yang artinya menyalurkan atau membagikan atau mengirimkan sesuatu kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat.43 Apabila dihubungkan dengan unsur obyek, maka perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan atau membagikan atau mengirimkan informasi elektronik yang isinya melanggar kesusilaan. Dalam hal mengirim informasi elektronik melalui sistem elektronik (perangkat lunak) dengan menggunakan perangkat keras komputer. Demikian juga penerima hanya bisa menerima informasi yang dikirim tersebut hanya dengan melalui sistem elektronik yang dikirim menggunakan perangkat keras komputer. Sehingga yang dikirim tadi dapat dilihat dan/atau didengar secara virtual (nyata).

Penyelesaian tindak pidana tidak tergantung pada sudah ada pihak atau orang yang telah melihat secara virtual informasi atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan tersebut. Sebab tindak pidana Pasal 27 Ayat (1) termasuk juga Ayat (2), (3) dan (4) merupakan tindak pidana formil. Cukup didasarkan telah selesainya perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan. Membuktikan perbuatan itu telah sesuai dengan sistem elektronik yang digunakan sebagaimana dalam teknologi informasi. Namun demikian semata-mata perbuatan menggunakan teknologi informasi tidak mudah diketahui sementara sama sekali belum ada pihak atau orang yang mengaksesnya. Dengan alasan tersebut kiranya keadaan telah ada

42 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008,

Edisi Keempat, hal. 336.

(26)

pihak yang mengakses informasi tersebut melalui alat komputernya merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan dalam pertimbangan.

Akar kata mentransmisikan adalah transmisi (transmit) yang artinya pengiriman, penularan, penyebaran pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang lain. Sementara mentransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang kepada orang lain.44 Istilah ini kemudian dipergunakan secara meluas di dalam bidang informasi dan transaksi elektronik. Perbuatan mentransmisikan dan perbuatan mendistribusikan mempunyai sifat yang sama. Maksudnya dengan kedua perbuatan tersebut, suatu informasi menjadi tersalur ke penerima. Maka untuk mengukur bahwa kedua perbuatan ini sudah terwujud secara sempurna adalah dari sudut tersalurnya informasi yang dimaksudkan. Untuk membuktikan perbuatan yang dimaksud, kiranya sangat perlu mendengarkan keterangan ahli di bidang informasi dan transaksi elektronik. Keterangan ahli semacam ini hanya dapat ditiadakan apabila sudah terbukti tersebar di dunia maya yang dengan mudahnya menerima informasi tersebut secara virtual. Misalnya tersebar gambar bergerak dua orang remaja yang melakukan hubungan seks. Gambar bergerak itu dapat diakses melalui handphone atau komputer.

Berbeda halnya perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan yang dirumuskan dalam bentuk yang lebih konkret. Perbuatan ketiga membuat dapat diaksesnya dirumuskan secara abstrak. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pengertian mendistribusikan dan mentransmisikan masuk di dalamnya. Semua perbuatan apapun wujudnya bila menyebabkan tersalurnya informasi elektronik ke

(27)

penerima informasi dengan menggunakan perangkat komputer, perbuatan itu termasuk perbuatan membuat dapat diaksesnya. Apabila dengan perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menggambarkan tindak pidana formil. Melihat dari sudut wujud perbuatannya. Namun dengan perbuatan membuatdapat diaksesnya menggambarkan tindak pidana materiil. Melihat dari sudut akibat perbuatan. Selesainya tindak pidana apabila secara nyata dapat diaksesnya informasi elektronik.

Kata akses artinya jalan masuk.45 Kata akses menunjukkan bahwa perbuatan

itu merupakan perbuatan yang terdapat dalam penggunaan teknologi informasi berbasis sistem komputer. Membuat dapat diaksesnya adalah menjadikan informasi elektronik dengan sistem elektronik berbasis komputer dapat diterima oleh penerima informasi elektronik. Meskipun perbuatan membuat dapat diaksesnya mengarah pada tindak pidana materiil, namun cara membuktikannya seperti dua perbuatan lainnya. Pertama melalui ilmu pengetahuan tentang sistem informasi. Dengan cara mewujudkan suatu perbuatan yang benar dan sesuai dengan perbuatan yang dapat menyalurkan informasi elektronik sehingga sampai pada seperangkat alat elektronik penerima informasi. Keterangan ahli teknologi informasi atau ahli telematika sangat diperlukan.

Cara kedua yakni melihat pada kenyataan bahwa informasi elektronik sudah tersebar di dunia maya. Tidak lagi melihat dari wujud nyata perbuatan. Membuktikan dengan melihat pada akibat perbuatan, melihat dari sudut ujungnya. Pembuktian cara kedua lebih mudah dilakukan. Pembentuk undang-undang

(28)

bermaksud mencantumkan perbuatan ketiga ini ditujukan untuk menjaga apabila terdapat kasus yang dari sudut bahasa atau teknologi informasi yang berbasis sistem komputer tidak termasuk ke dalam perbuatan mendistribusikan atau mentransmisikan. Dalam kenyataannya, informasi elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan tersebut telah tersebar di dunia maya dan dapat diterima melalui perangkat komputer.

Terdapat dua obyek perbuatan yang sekaligus menjadi obyek tindak pidana kesusilaan siber. Obyek tersebut ialah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Antara dua frasa tersebut dipisahkan dengan kata “dan/atau” mengandung arti bahwa dalam suatu peristiwa ada satu obyek saja dan bisa jadi pula pada kedua obyek itu. Sementara frasa “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” adalah unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada obyek tindak pidana tersebut. Pada keadaan inilah terletak sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana Pasal 27 Ayat (1). Pada Ayat (2) memiliki muatan perjudian. Pada Ayat (3) memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pada Ayat (4) memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberi tafsir secara otentik dalam Pasal 1 mengenai kedua obyek yang dikemukakan di atas. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah

(29)

yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.46 Bila batasan tersebut disarikan, maka dapat diketahui tiga unsur pengertian informasi elektronik yaitu informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik; informasi elektronik memiliki wujud diantarnya tulisan, suara, gambar; informasi elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.

Informasi elektronik tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan, misalnya sebuah flashdisk. Benda tempat penyimpanan ini nyata, dapat dilihat dan diraba. Namun data elektronik yaitu isi di dalam flashdisk yang berwujud tulisan, gambar dan suara atau ketiganya adalah tidak nyata atau tidak dapat dilihat dan didengar. Baru menjadi nyata apabila melalui perangkat elektronik dengan sistem elektronik ditampilkan atau diakses oleh orang yang mempunyai kemampuan untuk itu. Bukan saja ditampilkan secara elektronik pada benda elektronik, misalnya di layar monitor. Melainkan juga dapat ditampilkan dalam bentuk tulisan dan/atau gambar di atas benda cetakan melalui sarana elektronik yang dapat menjadi alat bukti tulisan atau surat.47

Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,

46 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

47 Pasal 5 Ayat (1) jo Pasal 44 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

(30)

angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.48

Batasan mengenai informasi elektronik maupun dokumen elektronik sangat luas cakupannya. Terlebih lagi menggunakan rumusan terbuka. Dengan frasa “termasuk tetapi tidak terbatas pada”, maka bisa jadi dalam praktik nanti ada kasus yang bentuk informasinya bukan (tidak termasuk) tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, e-mail, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang juga dapat dipidana apabila isinya melanggar kesusilaan.49

Pembuatan tafsir yang demikian luas menjadi sangat tipis kemungkinan adanya kasus pelanggaran kesusilaan yang obyeknya informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dengan menggunakan sarana komputer tanpa bisa dijerat UU ITE. Persoalan bisa muncul dari unsur “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Tidak mudah menetapkan batas-batas pengertian melanggar kesusilaan khususnya istilah “kesusilaan” dalam tindak pidana kesusilaan, karena pengertian dan cakupannya sangat luas dan dapat berbeda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.50

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak ada keterangan atau petunjuk mengenai unsur ini. Maka secara normatif harus melihat pada sumber induknya hukum pidana yaitu KUHP khususnya mengenai frasa kesusilaan.

48 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

49 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

50 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006,

(31)

Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan, sebagai kejahatan ditempatkan dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 bis Bab XIV Buku II. Sementara dalam bentuk pelanggaran ditempatkan pada Pasal 532 sampai dengan Pasal 544 Bab VI Buku III. Banyak jenis kejahatan maupun pelanggaran kesusilaan. Ancaman pidananya sangat beragam mulai dari kurungan pidana terendah yaitu tiga hari51 sampai pidana dua belas tahun52 yang bisa menjadi diperberat lima belas tahun.53

2.2.5. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.54 Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.55 Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian

51 Pasal 532 KUHP 52 Pasal 285 KUHP 53 Pasal 291 KUHP

54 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Jakarta: Penerbit Bina Cipta, 1996, hal. 15.

55 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas

(32)

hukum saja akan membawa kepada ketidakadilan.56 Tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah mencegah masyarakat menjadi objek/korban; menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana; mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.57

Sistem peradilan pidana mengenal asas-asas yang sejak dahulu sudah tersirat dengan kata-kata lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Peradilan cepat terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada putusan hakim merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula dalam peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. Penjelasan umum dijabarkan dalam banyak pasal di KUHAP antara lain58 Pasal 24 Ayat (4), Pasal 25 Ayat (4), Pasal 26 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (4) dan Pasal 28 Ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.

Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka atau terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan. Pasal 102 Ayat (1) menyatakan penyidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya

56 Ibid, hal. 4.

57 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 14.

(33)

suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan. Pasal 106 menyatakan hal yang sama di atas bagi penyidik. Pasal 10 Ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat (1) huruf a. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata segera, begitu pula dengan Pasal 138. Pasal 140 Ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Hakikat asas praduga tak bersalah fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas “praduga tak bersalah” tampak pada Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang 48 Tahun 2009 dan penjelasannya umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.59 Asas ini dapat diuraikan lebih lanjut selama proses peradilan masih berjalan dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang.

(34)

Asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.60

Pengertian asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum yaitu dalam frasa pemeriksaan pengadilan berarti bahwa pemeriksaan pendahuluan, penyidikan dan praperadilan terbuka untuk umum. Dapat diperhatikan Pasal 153 Ayat (3) dan Ayat (4) KUHAP. Ayat (3) berisi rumusan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Ayat (4) berisi rumusan tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat (2) dan Ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Pada penjelasan Ayat (3) dinyatakan cukup jelas dan untuk Ayat (4) lebih dipertegas lagi yaitu jaminan yang diatur dalam Ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas tersebut tidak dipenuhi.61

Pengertian asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim yaitu dalam hukum acara pidana tidak mengenal perlakuan yang bersifat khusus karena negara Indonesia sebagai negara hukum mengakui bahwa manusia sama di depan hukum (equality before the law).62 Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pengertian asas terdakwa berhak dapat

60 Ibid, hal. 20. 61 Ibid.

62 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat

(35)

bantuan hukum yakni berdasarkan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, mengatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yaitu bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan setiap tingkat; pembicaraan antar penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara; tuntutan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum guna kepentingan pembelaan; penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa.63

Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan memiliki arti bahwa dalam suatu praktik pemeriksaan perkara pidana di persidangan yang dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi. Pemeriksaan oleh hakim tersebut dilaksanakan dengan cara lisan dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, hukum acara pidana Indonesia yang berlaku saat ini tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata. Implementasi asas ini dapat lebih luas dilihat melalui penjelasan umum angka 3 huruf h Pasal 153, Pasal 154 serta Pasal 155 KUHAP dan seterusnya.64

Komponen sistem peradilan pidana yang diakui saat ini baik di dalam pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dalam praktik

63 Ibid. 64 Ibid.,18.

(36)

penegakan hukum terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.65 Kepolisian sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana merupakan lembaga yang secara langsung berhadapan dengan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan definisi kepolisian sebagai hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Fungsi kepolisian berdasarkan Pasal 2 undang-undang tersebut adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bekerja setelah ada pelimpahan perkara dari kepolisian. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan di bidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam Pasal 13 KUHAP disebutkan bahwa jaksa merupakan penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim.

Pengadilan merupakan tempat berlangsungnya proses peradilan, sedangkan kewenangan mengadakan pengadilan itu sendiri berada ditangan lembaga kehakiman. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas ini meliputi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Selain itu pengadilan

(37)

berkewajiban pula untuk mewujudkan membantu pencari keadilan serta berkewajiban untuk mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang ditetapkan oleh KUHAP.

Lembaga pemasyarakatan merupakan lembaga terakhir yang berperan dalam proses peradilan pidana. Sebagai tahapan akhir dari proses peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan mengemban harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana yang diantaranya adalah berusaha agar pelaku tindak pidana tidak lagi mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya.

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan landasan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat juga menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut, yang menyebutkan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

2.2.6. Pembuktian Tindak Pidana Kesusilaan Konvensional

Pembuktian dalam hukum pidana merupakan sistem kebijakan kriminal yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau upaya untuk meyakinkan hakim dalam hubungannya dengan hukum yang sebenarnya antara

(38)

para pihak dalam suatu perkara.66 Para pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan kebenaran dalil tersebut. Hakim patut menerima dalil para pihak baik jaksa maupun terdakwa tanpa harus dibatasi alat-alat bukti sepanjang dalil tersebut memenuhi prinsip logika. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.67

Hukum Acara Pidana mengenal lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Di luar alat-alat bukti ini, tidak dibenarkan digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat umum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat bukti ini saja. Mereka tidak leluasa menggunakan alat bukti yang dikehendaki di luar alat bukti yang ditentukan.68 Pasal 185 Ayat (1) KUHAP merumuskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dalam penjelasan KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu). Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

66 Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hal. 7.

67 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, Edisi Kedua, hal. 252.

(39)

Pasal 186 KUHAP merumuskan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam sidang pengadilan. Selanjutnya penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan. KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti keterangan ahli dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti surat. Menurut teori hukum pidana yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya.

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, dibedakan atas empat macam surat.69 Jenis surat pertama yaitu berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan tentang keterangan itu. Jenis surat kedua adalah surat yang dibuat menurut peraturan undang-undang atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan. Jenis surat ketiga ialah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang

69 M.Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan

Penjelasan Resmi dan Komentar serta Peraturan Pemerintah R.I No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaannya, Bogor: Politeia, 1997, hal. 166.

(40)

diminta secara resmi dari padanya. Jenis surat keempat merupakan surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari pembuktian yang lain.

Pasal 188 Ayat (1) KUHAP merumuskan petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan karena penyesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam Pasal 188 Ayat (3) KUHAP merumuskan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya. Keterangan terdakwa berdasarkan Pasal 189 Ayat (1) dirumuskan apa yang terdakwa nyatakan di dalam sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa tidak perlu sama seperti pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat. Syarat tersebut adalah bahwa ia yang melakukan delik yang didakwakan dan mengaku ia bersalah.

Hukum pembuktian dalam tindak pidana siber adalah bersifat khusus (Lex Specialis).70 Dalam sistem pembuktian terdapat empat macam sistem atau teori pembuktian.71 Teori pembuktian pertama, berdasarkan undang-undang secara

positif adalah keyakinan hakim diabaikan jika tidak terbukti suatu perbuatan sesuai alat-alat bukti yang disebut undang-undang. Teori pembuktian kedua, berdasarkan undang-undang secara negatif menjelaskan bahwa teori ini menyadarkan hakim

70 Dikdik M. Arif Mansyur, dan Elisatris Gultom, Op.Cit., hal. 104. 71 Loc.Cit., hal. 105.

(41)

dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri. Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa yakni adanya alat bukti yang sah yang telah diterapkan dan adanya keyakinan hakim berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Teori pembuktian yang ketiga berdasarkan keyakinan hakim di dalam menjatuhkan putusannya Hakim tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidaklah menjadi masalah karena ia dapat menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan. Teori pembuktian yang keempat berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis yaitu hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya. Keyakinan didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu alasan-alasan logis. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinnya.

Pengungkapan suatu perkara pidana paling tidak ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut keabsahan suatu putusan pengadilan yaitu sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara, alat bukti dan kekuatan pembuktian serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu. Dalam hukum acara pidana, pembuktian

Gambar

Gambar bergerak itu dapat diakses melalui handphone atau komputer.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Banyaknya diagram sekuen yang haru digambar adalah minimal sebanyak pendefinisian use case yang memiliki proses sendiri atau yang penting semua use case yang telah didefinisikan

Yaitu: Heuristik yang mencakup proses pengambilan dan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini; Kritik, yaitu proses pengolahan data- data

(2) Sampul naskah dinas Bamuskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b berisi lambang daerah di bagian kiri atas, nama pemerintah kabupaten, nama

Pada kesempatan yang baik ini, tak lupa penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat

Dari pelaksanaan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan PPL dapat memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam

Bahwa Terdakwa setuju dan mengajak bertemu dengan saksi-1 di perempatan Celilitan Jakarta Timur, setelah Terdakwa bertemu kemudian saksi-1 mengajak Terdakwa ke

Pada proses penambangan, sering sekali terjadi kendala produksi yang diakibatkan oleh faktor teknis yang ada di lapangan, terutama pada efisiensi kerja operator,