• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA DAN KARAKTER. Gbr : Topeng-topeng gajah dari Pantai Gading (Ivory Coast), Afrika. Gbr : Topeng Lembu, sapi, dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA DAN KARAKTER. Gbr : Topeng-topeng gajah dari Pantai Gading (Ivory Coast), Afrika. Gbr : Topeng Lembu, sapi, dari"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Gbr. 3-105: Topeng-topeng gajah dari Pantai Gading (Ivory Coast), Afrika.

Gbr. 3-106: Kuda Anubis dari Mesir

Gbr. 3-110: Kuda dalam wayang Sasak, Lombok, Gbr. 3-109: Topeng kambing

dari Republik Demokrasi

Gbr. 3-107: Topeng

Lembu, sapi, dari hiasan “mangkuk” keramik Gbr. 3-108: Kuda pada dari Kayutanam, Sumbar.

(2)

Gbr. 3-111: Topeng kera

Cina, Jakarta. Gbr. 3-112: Topeng kera Bali, untuk peran lucu.

Gbr. 3-114: Patung kera dari

Gbr. 3-113: Topeng Anoman, kera bangsawan dan pahlawan, dalam wayang wong (drama-tari topeng yang membawakan ceritera

Gbr. 3-116: Anoman wayang

Gbr. 3-118: Tempayan gerabah Lombok dengan hiasan-hiasan binatang melata.

Gbr. 3-117: Topeng Kodok

(3)

binatang “kayal,” abstrak, imajiner, atau ajaib. Sebenarnya, garuda dan naga yang telah dibicarakan sebelumnya tergolong binatang ajaib, karena bentuknya tidak seperti burung dan ular pada umumnya. Di Jawa dan Bali, barong atau

berok tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis binatang tertentu. Istilah

itu mungkin berasal dari penamaan makhluk mitologis, yang tak ada dalam dunia nyata. Namun, selain Barong Ket, di Bali ada juga barong yang bentuk penggambarannya, seperti babi (Barong Bangkal), sapi (Barong Lembu), dan gajah (Barong Gajah). Bahkan, ada juga yang tidak berbentuk binatang, seperti Barong Landung (gambar dalam Bab 1), yang berwujud manusia, dan bentuknya “aneh.” Meskipun demikian, yang disebut barong pada umumnya adalah sejenis binatang yang wujudnya mirip dengan singa, harimau, serigala, naga, atau raksasa. Makhluk-makhluk itu digambarkan bergigi dan bertaring, sehingga ekspresinya tampak menyeramkan.

Ketika dipentaskan, barong kebanyakan digambarkan seperti binatang berkaki empat, karena pemainnya dua orang. Namun ada pula yang dimainkan oleh satu orang, tiga orang atau lebih sehingga perwujudan barong seperti binatang yang lebih misterius lagi.

Barong Ket Bali mungkin telah dikenal hampir semua orang Indonesia, bahkan di banyak belahan dunia. Barong Bali ini bukan hanya sering ditayangkan di stasiun televisi, tetapi juga dipentaskan dalam festival baik di dalam maupun di luar negeri. Barong Bali dengan mudah bisa disaksikan sebagai atraksi turis di sanggar-sanggar wisata. Namun demikian, walau barong secara umum bisa disaksikan dalam pertunjukan hiburan sekuler, barong Bali merupakan pertunjukan untuk upacara suci keagamaan di tempatnya.

Meskipun ekspresinya menyeramkan, barong Bali merupakan penggambaran makhluk gaib yang baik, yakni sebagai pelindung. Ia berperang melawan Rangda dari pihak yang jahat, untuk menyelamatkan manusia. Pertarungan antara yang baik dan yang jahat umumnya berakhir dengan kekalahan pada pihak yang jahat. Namun, dalam tradisi Bali peperangan ini tidak pernah “selesai” atau tidak berakhir dengan kematian pihak yang jahat, melainkan yang jahat tersebut menyingkir dan dapat datang kembali pada saat tertentu. Ini merupakan peringatan pada manusia bahwa potensi buruk atau jahat selalu ada dalam kehidupan. Karena itu, manusia harus tetap hati-hati dan waspada.

3.3.6 Binatang Campuran

(4)

Gbr. 3-120: Barong Bali.

Gbr. 3-124: Barong Gbr. 3-121: Barong Banyuwangi, Gbr. 3-119: Barong Kampung

Panaragan, Kutai Kartanagara,

Gbr. 3-122: Barong Malang, Gbr. 3-123: Barong Banyuwangi,

Gbr. 3-125: Barong Cirebon. Gbr. 3-126: Barong Gbr. 3-127: Barong Jateng.

Gbr. 3-128: Topeng sejenis barong dari India, sedang diusung untuk

Gbr. 3-129: “Barong” Serigala,

(5)

binatang yang berbentuk campuran dari beberapa jenis binatang. Bedanya dengan binatang abstrak seperti barong, binatang ini memiliki unsur-unsur yang dimiliki binatang lain, seperti belalai, paruh, sayap, taring, tanduk, dan sebagainya. Di Cirebon terdapat dua buah kereta istana (Singa Barong di Keraton Kasepuhan, dan Paksi Naga Liman di Keraton Kanoman), yang merupakan campuran dari tiga macam binatang: burung atau garuda (paksi),

naga, dan gajah (liman). Di Kutai Kartanagara (Kalimantan), juga terdapat

binatang serupa ini, Lembu Suwana atau Paksi Liman Gangga Yaksa (Burung Gajah Naga Raksasa).

Di atas telah dijelaskan bahwa kekuatan merupakan simbol yang ditonjolkan pada binatang abstrak. Penggambaran binatang campuran, bisa dilihat sebagai penggambaran gabungan dari beberapa kekuatan. Gabungan kekuatan yang dimaksud bukan hanya kekuatan fisik tetapi juga yang berhubungan dengan mitos atau kepercayaan suatu masyarakat. Di Cirebon, misalnya, sebagian orang memaknai Paksi Naga Liman sebagai simbol kesatuan dari tiga agama: Islam (burung), Budha (naga), dan Hindu (gajah). Pemaknaan lainnya, adalah kesatuan dari tiga buana (dunia, alam): atas (angkasa), tengah (darat), dan bawah (bumi, air).

Dalam wayang kulit Jawa juga banyak terdapat penggambaran binatang campuran, misalnya antara binatang dan raksasa. Dalam topeng, memang jarang ditemukan, tetapi, seperti telah dibicarakan pada Bab 1, bahwa dalam suatu tradisi seringkali terdapat hubungan erat antara patung, wayang, dan topeng. Aspek mitologis atau cerita merupakan bagian dari keterkaitan itu. Dalam Bab 4, akan dibicarakan tentang pembuat topeng yang juga mengukir patung, wayang golek, dan/atau wayang kulit.

3.4 Topeng Manusia

(6)

Gbr. 3-131: Lembu Suwana, simbol Kabupaten Kutai Kartanagara, disebut juga Paksi Liman Gangga Yaksa, yang berarti burung, gajah, naga, raksasa

Gbr. 3-132: Lembu Suwana buatan baru karya pematung terkenal, I Nyoman Nuarta, di tempat rekreasi Pulau Kumala (si delta sungai Mahakam),

Gbr. 3-133: Kereta Singa Barong dari Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jabar (replika yang dipamerkan pada Festival Keraton Nusantara di

Gbr. 3-134: Ukiran berupa binatang-campuran, tempat gantungan gendang-besar dari

Gbr. 3-135: Gajahmina, patung Bali pada suatu pura (kuil) di daerah Sanur: selain gambaran gajah dan ikan (mina), juga

Gbr. 3-137: Sebuah relief di dalam puri (istana) Karangasem, Bali: tubuh kuda, kaki burung atau Gbr. 3-136. Kereta Singa Barong dari Kraton Kasepuhan, Cirebon, Jabar (replika yang dipamerkan pada Festival Kraton Nusantara

(7)

atau karakter atas binatang tersebut. Tetapi, topeng-topeng yang wajahnya “memanusia,” termasuk dewa dan raksasa, banyak yang memiliki pembedaan karakter yang lebih rinci. Yang dimaksud dengan karakter di sini adalah yang berhubungan dengan pancaran ekspresi atau suasana kejiwaan, seperti tenang, manis, bengis, lucu, seram dan sebagainya, bukan pada hubungannya dengan tabiat atau watak (seperti baik dan buruk atau jahat), walaupun antara keduanya (pancaran kejiwaan dan tabiat) seringkali memiliki hubungan yang paralel. 3.4.1 Karakter

Pada budaya yang memiliki tradisi di mana topeng terdiri dari satu set sehingga dapat menampilkan suatu cerita, pembedaan karakter bisa dibandingkan dengan penggolongan watak tokoh-tokoh ceriteranya. Dongeng-dongeng tradisional umumnya menampilkan berbagai tokoh yang watak atau tabiatnya berbeda-beda. Watak itu digambarkan secara jelas dan seolah baku. Misalnya, seorang pahlawan itu digambarkan sebagai tokoh yang alim, bijak, dan tampan. Sebaliknya dengan musuhnya, yang digambarkan sebagai orang kasar, buruk rupa, serakah, dan sebagainya Penggambaran karakter itu, selain melalui bentuknya, juga terhadap gerak dan nada suaranya.

Pembagian karakter ini, tidak persis sama dengan pembagian tabiat baik-buruk tokoh dari sisi perilaku, meski berhubungan. Ada yang berkarakter gagah, bahkan raksasa, tapi tabiatnya baik. Sebaliknya ada yang halus tetapi perilakunya tidak baik. Tingkatan karakter ini lebih pada perwujudan atau personifikasi secara fisik, yang menyangkut bentuk dan bunyi (atau suara bicaranya), yang dapat dilihat dari bentuk topeng, gerak-gerik, tarian, dan nada bicaranya. Gerakan dan suara dari karakter gagah lebih keras daripada yang halus, dan sebaliknya. Misalnya, ketika karakter halus berperan dalam suasana marah, suaranya tetap tidak boleh berteriak lantang. Gerakannya pun harus tetap berada dalam temperamen halus, sesuai dengan wajah atau bentuk topengnya.

Ada jenis-jenis kesenian yang menyajikan suatu cerita dengan pemain yang hampir semuanya memakai topeng, di antaranya wayang wong di Cirebon (Jawa Barat) dan di Bali, wayang topeng di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, dan topeng dalang di Madura. Untuk penyajian cerita yang lengkap, masing-masing jenis itu memerlukankan sekitar 40 buah topeng (bahkan ada yang seratus atau lebih). Hal itu berarti bahwa dalam satu jenis kesenian tersebut terdapat sekitar 40 macam karakter. Dari 40 karakter, ada 4 karakter dasar, yang terdapat pada semua jenis dan gaya, yakni (1) halus dan/atau saleh, (2) halus tapi genit atau lincah, (3) gagah tapi tenang, dan (4) gagah dan beringas atau galak.

(8)

penggolongan karakter tersebut, yang membandingkan beberapa gaya topeng (Cirebon, Surakarta, dan Bali), dan membandingkannya pula dengan wayang

kulit. Melalui perbandingan seperti ini, kita akan mendapatkan pemahaman

yang sedikit lebih dalam tentang karakter dan pengelompokannya, serta sekaligus pula mengenai jenis dan gayanya.

Gambar tersebut terdiri atas tiga gaya, dua jenis kesenian, dan lima macam karakter. Jika kita amati topeng-topeng itu, dua gaya pertama (Cirebon dan Surakarta) lebih berdekatan satu sama lain, dibandingkan dengan yang ketiga. Perhatikanlah bentuk mata dan hidungnya. Topeng gaya Cirebon tidak realistis,

Gbr. 3-138. Pembagian karakter dalam topeng Jawa dan Bali.

Karakter Halus-kalem

(putri) Halus-kalem(putra) Halus-licah(putra) Gagah-kalem(putra) Gagah-galak(putra)

W ay ang kulit Cirebon Topeng Cirebon Topeng Surakar ta Topeng Bali W ay ang kulit Bali Jenis Gay a

(9)

matanya lebih sipit, dan hidungnya lebih lancip. Adapun topeng Bali mendekati bentuk muka manusia. Mungkin karena itu pula, topeng Bali terasa lebih langsung dan nyata dalam ekspresi dramatisnya, sedangkan topeng Cirebon dan Surakarta terasa lebih samar-samar.

Hal itu menambah kejelasan bahwa gaya sebagai bahasa ungkap. Ketiga gaya ini mengungkapkan hal yang sama, yaitu lima macam karakter topeng, tetapi dengan bahasa ungkap (idiom) yang berbeda. Jika di atas hanya dicontohkan bentuk alisnya, melalui gambar ini kita bisa memperhatikan bentuk-bentuk lainnya, seperti mata, hidung, rambut, dan sebagainya.

Empat tingkatan karakter dasar terdapat pada tokoh laki-laki. Adapun untuk tokoh perempuan, umumnya memiliki dua tingkatan karakter (halus

kalem dan halus lincah), tapi, ada juga beberapa tokoh yang gagah dan beringas

sebagai tokoh raseksi, seperti Durga (Dewi Uma, istri Batara Guru yang mendapat kutukan), Sarpakanaka (adik Rahwana dalam ceritera Ramayana), dan Sarag (adik Klana dalam ceritera Panji). Dalam topeng Betawi, umumnya dikenal tiga macam karakter, yakni halus kalem, halus lincah, dan gagah galak (Gbr. 3.138). Adapun di Sunda yang banyak dipertunjukkan hanyalah Topeng Klana, yang memiliki karakter gagah galak.

Bagi Anda yang dekat dengan tradisi ini, mungkin akan lebih mudah memahami pembagian karakter ini, bahkan tidak terbatas hanya pada keempat karakter tersebut, melalui menonton pertunjukannya. Akan tetapi, secara umum dalam tradisi ini terdapat rumusan tingkatan karakter yang baku (stereotype), baik melalui bentuk, suara, maupun gerak.

Jenis kesenian lain, wayang kulit, dalam Gambar 3.137, menjadi pembanding yang dapat membantu. Pertama, dengan itu kita lebih bisa melihat perbedaan dari kelima tingkatan karakter. Kedua, dari gambar itu kita juga bisa melihat bahwa topeng Cirebon dan Surakarta memiliki persamaan dengan bentuk

Gbr. 3-139. Tiga karakter Topeng Betawi, dari kiri ke kanan: Panji (halus-kalem), Samba (halus-lincah), dan Jingga (gagah-galak).

(10)

wayang kulitnya (wayang kulit Cirebon dan Jawa Tengah hampir sama), seperti

halnya topeng Bali dengan wayang kulit Bali. 3.4.2 Bentuk Elemen Muka

Lihatlah kembali perbedaan kelima tingkatan karakter dalam gambar di atas. Perhatikan bagaimana suatu karakter itu dibangun dengan melihat bentuk elemen-elemen mukanya, seperti mata, hidung, dan mulut. Elemen itu bisa dipandang sebagai pembentuk kesatuan dari suatu topeng, sehingga mengungkapan suatu karakter. Jika kita amati sepintas saja, ketiga elemen muka untuk karakter halus lebih kecil daripada karakter gagah. Selanjutnya, Anda bisa mengamatinya secara lebih seksama, bagaimana perbedaan antara karakter halus-kalem dengan halus-lincah, melalui perbandingan bentuk dari ketiga elemen muka tersebut—dan demikian pula untuk karakter halus-kalem dengan gagah-kalem, dan halus-lincah dengan gagah-galak.

Tentu saja, patokan perumusan karakter seperti ini tidak mesti berlaku untuk semua gaya. Pembagian karakter ini hanya relevan pada tradisi yang serupa, seperti di pulau Jawa, Madura, dan Bali. Jadi, perumusan karakter itu bukan merupakan rumusan standar topeng. Banyak sekali kasus yang berbeda, dan bahkan mungkin ada gaya yang memiliki konsep sebaliknya. Dalam buku ini saja, ada beberapa topeng yang tampak galak atau seram, tetapi diungkapkan dengan mata yang sipit.

3.4.3 Warna

Selain bentuk, warna juga merupakan unsur yang penting dalam membentuk suatu karakter. Dalam kebanyakan budaya tradisi, suatu warna memiliki simbol khusus, yang mempunyai makna tertentu, bahkan seolah baku. Misalnya, warna putih sebagai simbol kesucian, dan merah simbol kemarahan. Hal ini terlihat pula dalam beberapa jenis topeng, yang halus warnanya putih, dan yang gagah-bengis warnanya merah. Adapun di antara halus dan bengis itu, banyak warna lain, (biru, kuning, hijau, dan sebagainya), termasuk warna-warna campuran. Coba perhatikan lagi gambar di atas dari segi warna-warnanya. Secara umum, karakter halus memiliki warna lebih terang daripada yang gagah.

Dengan demikian, kini kita dapat melihat adanya dua aspek yang membangun suatu karakter: pertama bentuk, dan kedua warna. Mungkin kita kemudian menganggap bahwa yang paling tepat adalah yang keduanya cocok: jika yang halus haruslah lembut dengan warna putih, dan yang ganas harus gagah dengan warna merah. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidaklah sedemikian teratur. Ada topeng yang bentuknya seperti Klana tapi warnanya tidak merah (coklat muda, kebiru-biruan, bahkan ada yang putih)

(11)

dan sebaliknya topeng Panji ada yang hijau, hitam, emas, kekuning-kuningan, dan sebagainya).

Di sini, mungkin terlalu rumit untuk membicarakan variasi-variasi warna secara rinci, tapi secara umum bisa kita katakan bahwa dalam kesenian banyak terjadi kekecualian: Suatu kelainan, yakni yang tidak selalu mengikuti aturan secara lurus atau normatif saja, itu tidak berarti salah. Mungkin kelainan itu memiliki makna lain, di samping yang umum atau yang baku, mungkin pula hal itu merupakan refleksi dari inspirasi kreatif seniman pada saat membuatnya. Dalam kesenian, aturan itu tidak seperti rumus-rumus ilmu pasti, melainkan selalu ada variasinya. Dalam kriteria kesenian tradisi, “penyelewengan” seperti itu biasa terjadi. Hanya saja, kreasi unik tersebut ada yang kemudian dianggap hasil karya kreatif (yang disukai, dihargai, bahkan dibanggakan masyarakat), dan sebaliknya ada yang dianggap ngawur (yang dicela, dicemoohkan, bahkan dianggap merusak oleh masyarakat.

Konsep warna, jelas bukan hanya terdapat dalam topeng, melainkan juga dalam khazanah budaya lainnya, termasuk hal-hal yang religius. Artinya, warna bukan semata-mata memiliki makna estetis, melainkan juga simbolis, yang berbeda antara suatu kultur dengan yang lainnya.

Selain itu, suatu jenis kesenian belum tentu menggunakan simbol warna yang sama dengan jenis kesenian lain, sekalipun berada dalam wilayah budaya yang sama. Misalnya, dalam wayang kulit banyak terdapat tokoh halus (dan baik) dengan warna muka hitam. Namun dalam topeng dan wayang golek, muka yang hitam jarang terdapat. Hal itu tidak berarti secara filosofis pelaku budaya topeng berbeda dengan pelaku budaya wayang dalam memandang warna, melainkan lebih pada kepantasan tampilan. Warna hitam dianggap kurang efektif untuk topeng dan muka wayang golek karena berhubungan dengan cahaya, dan wujud yang tiga dimensi. Berbeda dengan wayang kulit, yang berwujud dua dimensi dan pertunjukannya berhubungan dengan media bayang-bayang. Jadi, warna tidak dimaknai sebagai simbol kultural atau religius yang absolut. Ia luwes terhadap adaptasi estetis atau kepantasan dari suatu media seni.

3.4.3.1 Pewarna Alami dan Pewarna Buatan Pabrik

Beberapa topeng tidak diwarnai atau dicat, sehingga bahan baku itulah (kayu, kulit, kain, dan sebagainya yang menjadi warna mukanya. Namun demikian, kebanyakan topeng dicat, sehingga melahirkan warna dasar yang macam-macam.

Pada jaman dahulu, sebelum buatan pabrik mudah dan murah dibeli, bahan pewarna untuk topeng lebih terbatas macamnya. Bahan baku warna, diambil dari benda-benda alami, seperti jelaga-api (hitam), tulang (putih),

(12)

batu-batuan (merah, kuning, coklat, hijau), buah-buahan atau dedaunan (ungu, merah), dan umbi-umbian (kuning). Karena itu, warnanya pun tidak sebanyak dan secerah atau segemerlap warna-warna sintetis buatan pabrik. Demikian pula mengenai ketahanan daya tempelnya, pewarna tradisional banyak yang lebih mudah luntur atau rontok, dan banyak pula yang justru lebih kuat dari cat sintetis.

Walaupun kita tidak bisa mengatakan mana yang lebih baik, yang alami ataukah yang sintetis, tapi yang alami umumnya dianggap lebih baik oleh para seniman, karena ekspresinya dianggap lebih hidup, lebih berjiwa, atau lebih punya daya. Pewarna tradisional biasanya tidak mengkilap seperti cat minyak buatan pabrik, sehingga ketika dipakai topeng itu lebih menyatu dengan kulit muka pemainnya. Hal itu bisa jelas terlihat misalnya dalam tari Bali, yang memakai topeng setengah muka. Karena itu pula, beberapa pembuat topeng tetap menggunakan warna tradisional, dan para penari banyak yang membelinya walaupun harganya jauh lebih mahal dibanding dengan topeng yang memakai pewarna sintetis. Mengenai bahan dan teknis pewarnaan ini akan dibicarakan lagi dalam Bab 4, berikutnya kita bicarakan pengaruh perubahan warna secara alamiah.

3.4.3.2 Warna “Rusak”

Topeng umumnya dicat dengan satu warna dasar. Warna itu bisa campuran dari beberapa warna, tapi diaduk menjadi satu, disapukan secara rata seperti

(13)

Gbr. 3-142. Topeng yang dicat “hitam-putih”

dari Jatim. Mukanya yang cekung ke dalam

merupakan hal yang

Gbr. 3-144: Tembem, topeng panakawan di Jawa secara umum Gbr. 3-143: Topeng Panji dari

Yogyakarta yang berwarna

Gbr. 3-145: Topeng baru yang diwarnai dengan cat pabrik yang

Gbr. 3-146: Topeng baru yang dicat dengan cat pabrik yang tidak

Gbr. 3-147: Rahwana, topeng wayang wong Bali, yang memakai pewarna tradisional

(14)

misalnya pengecatan dinding, pintu, dan sebagainya. Warna dasar itulah yang biasanya menjadi “identitas” warna topeng itu, walaupun banyak garis-garis muka atau hiasan yang dicat dengan warna lain.

Semua warna, juga benda dan makhluk hidup, berubah karena usia. Perubahan warna terjadi karena berbagai hal: sentuhan dengan benda lain, dengan cahaya (disengaja ataupun tidak), dan juga oleh usia. Warna dasar yang awalnya rata itu kemudian bisa menjadi tidak rata. Misalnya, bagian yang lebih banyak tersentuh tangan ketika akan dimainkan atau disimpan, setelah sekian lama akan berbeda warna atau kemengkilapannya dengan bagian yang tidak tersentuh. (Ada beberapa benda yang perubahannya sangat lambat, seperti misalnya porselen, yang setelah berumur ratusan tahun pun warnanya hampir tetap seperti baru).

Bagian yang berubah itu, dari satu sisi mungkin bisa dianggap sebagai perusakan, tapi dari sisi lain mungkin dipandang sebagai “perbaikan.” Karena, banyak orang yang lebih menyukai topeng lama, yang warnanya sudah “rusak” atau sudah tidak rata lagi. Jadi, topeng baru, yang warnanya rata, bersih, mengkilap, oleh sementara orang mungkin dianggap lebih menarik, lebih gemerlapan (glamor), indah, atau modern. Namun dari sudut pandang seniman pemakainya, topeng itu dianggap kurang hidup, atau kurang memiliki daya. Seorang seniman topeng di Bali mengatakan “Ketika membuat, topeng diwarnai sesuai dengan kehendak, pembuatnya. Tapi, perubahannya sesuai dengan kehendak topengnya sendiri,” sehingga ia dianggap makin hidup, makin alami, dan makin memiliki kekuatan.

Penuaan warna tersebut merupakan “karya” (atau proses) alamiah yang sulit ditiru, sulit dipercepat. Karena itu, topeng jenis ini memiliki nilai (dan harga) tersendiri. Di pasaran, barang-barang antik harganya bisa sangat mahal, banyak yang jauh melebihi barang baru. Selain dari harga keantikannya sendiri, juga banyak yang menyukai warnanya. Perhatikanlah gambar-gambar berikut, yang menunjukkan beberapa jenis warna topeng berusia tua.

3.4.3.3 “Antik” Baru

Karena banyak orang yang suka pada warna antik (tua), kemudian banyaklah seniman-pengrajin yang sengaja membuat barang baru dan kemudian direkayasa sehingga tampak seperti tua. Awalnya, mungkin untuk menipu

(15)

Gbr. 3-148, 3-149, 3-150: Topeng Telek (Bali), Jinggananom (Cirebon), dan Topeng Tua (Bali), yang warnanya menua dimakan usia, tapi

Gbr. 3-148 Gbr. 3-149 Gbr. 3-150

Gbr. 3-151, 3-152, 3-153: Topeng-topeng berusia lama (50 tahun atau lebih) warnanya “rusak” tapi tetap disenangi oleh senimannya karena memiliki

Gbr. 3-151 Gbr. 3-152 Gbr. 3-153

Topeng kayu dari Timor yang awalnya tidak diwarnai tapi setelah lama menimbulkan

Gbr. 3-154 Gbr. 3-155 Gbr. 3-156

Gbr. 3-155, Gbr. 3-156. Topeng lama yang disenangi: walau pecah tetap dipakai dengan disambungkan

(16)

pembeli. Tapi, sekarang orang umumnya tahu bahwa itu “antik” yang dipaksakan. Prosesnya pun, setengah alami, misalnya dengan diasap, digosok dengan sesuatu yang kotor, atau disiram dengan cairan kimia yang merusak warna, sehingga kemudian barang itu tampak tua. Namun demikian, kebanyakan orang yang tetap suka pada topeng tiruan warna antik itu adalah untuk hiasan dinding saja. Para penari topeng di Jawa dan Bali, misalnya, hampir tak pernah memakainya.

3.5 Topeng “Manusia” Abstrak

Mungkin lebih dari 80% topeng menggambarkan makhluk abstrak. Wajah topeng umumnya “tidak wajar.” Perhatikan kembali, misalnya, topeng berkarakter halus dari Jawa yang menggambarkan muka manusia. Jika dibandingan dengan wujud manusia, tidak ada manusia yang berhidung selancip itu, atau mata dan alisnya yang berbentuk demikian. Begitu pula dengan topeng Bali, meski bentuknya dianggap “lebih realistis,” namun sebenarnya tidak sepenuhnya realistis. Apalagi, jika kita lihat topeng dari Batak dan Timor , sangatlah tidak realistis. Namun demikian, bentuk-bentuk tersebut tidak distorsif, yakni tidak bertentangan dengan gambaran muka manusia, sehingga topeng-topeng tersebut pada dasarnya dapat dikatakan “normal.” Kadar dan prinsip pembedaan dari yang realistis itu dapat disebut

stilasi. Stilasi itulah dalam gaya tradisional diatur oleh norma-norma, yang

ditumbuhkan oleh suatu komunitas dalam proses lama, sehingga diterima (“disepakati” dan dipakai) secara bersama dalam komunitas bersangkutan.

Selain itu, banyak perwujudan “manusia” yang memang abstrak. Kita sebut “manusia” di sini, karena struktur anatomisnya (kepala, kaki, dan tangan) seperti manusia. Namun jika ditinjau dari segi perwujudannya, mungkin sangat

Gbr. 3-157, Gbr. 3-158: Topeng baru yang direkayasa agar tampak seperti antik.

(17)

jauh dari bentuk manusia pada umumnya. Banyak contoh-contoh yang dapat dilihat dari bab-bab sebelum dan sesudah ini, misalnya saja gundala-gundala dari Karo dalam Bab 1 (Gambar 1-16), jipae dari Asmat, dan topeng-kain dari Jepang.

Topeng Rangda Bali pada Gambar 3-159 termasuk wujud “manusia abstrak”. Perhatikan bentuk muka, mata, taring, lidah, dan lain-lain. Bentuk seperti itu tidak kita jumpai dalam realita, sehingga penampakkannya menjadi misterius, aneh dan hebat sekaligus. Dalam adegan pertunjukannya, ketika Rangda (mewakili pihak “buruk”) berperang dengan Barong (pihak “baik”), kita diajak menyaksikan pertarungan yang hebat dari kedua sifat. Hal itu mungkin berupa refleksi dari pertentangan sifat buruk dan baik dari diri manusia sendiri, yang memang hebat, dan tak pernah selesai selama hayat. Setiap saat sifat buruk hadir, kepercayaan dan moral mengajarkan bahwa manusia harus berusaha keras memeranginya. Itu tidak mudah, tapi berlangsung terus. Itu “aneh,” berat, dan mengerikan. Tapi itu adalah kenyataan. Mungkin karena itu pula topeng-topeng banyak yang tampak aneh dan menyeramkan.

Gbr. 3-159, 3-160: Rangda dan Barong sebagai lambang kekuatan jahat dan baik, dalam tradisi Bali.

Gambar

Gambar tersebut terdiri atas tiga gaya, dua jenis kesenian, dan lima macam  karakter. Jika kita amati topeng-topeng itu, dua gaya pertama (Cirebon dan  Surakarta) lebih berdekatan satu sama lain, dibandingkan dengan yang ketiga

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapat bahwa bangunan termasuk klasifikasi bahaya kebakaran ringan dan dirancang menggunakan sprinkler jenis sistem pipa

penelitian ini adalah untuk memberikan usulan posisi halte di masing-masing lokasi berdasarkan keinginan responden, melakukan perancangan halte di Binus Square, dan

Biaya produksi usahatani tanaman pangan per ha sesuai kelembagaan tenaga kerja pada usahatani diketahui bahwa biaya tersebut bagi petani yang menggunakan tenaga kerja upahan

Pembangunan ekonomi dilakukan dengan melakukan suatu transformasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut menjadi barang dan jasa, melalui proses industri, sehingga

Dari macam – macam keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini karena untuk menguji kredibilitas data tentang pengembangan minat

Bila benih yang berasal dari pohon induk Parigi ditanam pada media dengan penambahan pupuk kandang maka daya berkecambah benih aren menurun (78.62%), dan daya berkecambah

Uji toksisitas ekstrak etil asetat spons dilakukan dengan menghitung persen kematian larva Artemia salina pada tiap konsentrasi lalu dibandingkan dengan kontrol dan

Adanya upaya dari manajer perusahaan dalam meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dengan menyajikan dan mengungkapkan ( disclosure ) laporan yang mengandung informasi dan