• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang menjalani kehidupan sangat memprihatinkan. Mereka mendiami tempat-tempat yang secara geografis relatif sulit dijangkau. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden dan menjalani kehidupan yang hanya terbatas pada pemenuhan hidup sehari-hari. Keterpencilan membuat mereka sangat terbatas dalam mengakses pelayanan sosial dasar, ekonomi dan politik. Pendidikan, kesehatan, serta sarana publik menjadi sesuatu hal yang sangat langka untuk dirasakan oleh kelompok masyarakat ini. Mereka sebagai warga negara belum mampu mengambil bagian dalam proses pembangunan dan terus mengalami ketertinggalan.

Data statistik tahun 2005 menunjukkan bahwa 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perdesaan, dimana 35%-nya masih hidup di wilayah terpencil yang mendiami daerah-daerah yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden dan menjalani kehidupan yang hanya terbatas pada pemenuhan hidup sehari-hari. Jenis kegiatan ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan meramu. Mereka itu oleh Departemen Sosial diperkenalkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) (http://www.kemsos. go.id diakses pada 10 Desember 2012 pukul 21.20WIB).

(2)

Komunitas Adat Terpencil merupakan salah satu dari 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 mengenai Pedoman Pendataan dan Pengelolaan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Keterpencilan menjadi faktor penyebab terbesar mengapa komunitas adat terpencil belum mampu mengambil bagian dalam proses pembangunan dan mengalami ketertinggalan. Mereka belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pelayanan pembangunan baik karena isolasi alam maupun isolasi sosial budaya. Sulitnya akses ke wilayah pemukiman Komunitas Adat Terpencil menjadi penghalang bagi pihak-pihak lain baik pemerintah maupun swasta yang ingin membuat jaringan dan akses pelayanan publik bagi mereka.

Beberapa masalah yang dialami oleh Komunitas Adat Terpencil yaitu adanya hambatan fungsi sosial, hambatan fisik, geografis, ilmu pengetahuan (karena kurang atau terbatasnya informasi, hambatan keterampilan mereka masih menggunakan teknologi sederhana/tradisional dan belum mengenal teknologi modern dan budi daya) serta keterpencilan terhadap akses atau fasilitas pelayanan sosial dasar atau pelayanan publik lainnya.

Komunitas Adat Terpencil memiliki sistem ekonomi yang bersifat subsisten, yaitu melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan belum semua mengenal sistem ekonomi pasar. Jenis kegiatan ekonomi yang ditekuni seperti perambah hutan, pertanian, nelayan, meramu dan berburu. Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan modern, sehingga angka kesakitan dan kematian pada mereka relatif tinggi. Mereka juga tidak

(3)

dapat mengakses pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka dan anak-anaknya buta huruf (Manurung, 2007:35).

Sebagai contoh, yakni komunitas adat terpencil yang terdapat di bagian utara pulau seram Maluku, terdapat daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau. Untuk menempuh desa-desa tersebut hanya dimungkinkan dengan berjalan kaki. Perjalanannya memakan waktu beberapa hari untuk bisa tiba di desa tujuan. Daerah ini menjadi terisolasi karena belum ada infrastruktur yang tersedia. Infrastruktur yang sangat penting seperti transportasi, komunikasi, penerangan, kesehatan, air bersih dan jasa lainnya belum dapat dinikmati oleh masyarakat, sedangkan fasilitas pendidikan hanya pada tingkat Sekolah Dasar saja. Hal ini tidak jauh berbeda dengan komunitas adat terpencil yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara antara lain di Desa Simerpara Kabupaten Pak-Pak Barat, yang mana terdapat keterbatasan sarana jalan, alat transportasi, belum adanya sekolah dasar, posyandu, sistem penerangan, ladang berpindah dan sanitasi lingkungan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat ini.

Komunitas Adat Terpencil merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang memerlukan perhatian semua pihak. Kelompok masyarakat Komunitas Adat Terpencil ini juga mengakui betapa mereka membutuhkan perhatian. Mereka menginginkan adanya pemberdayaan dan pembinaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Pola pikir mereka yang masih terkungkung tidak didukung oleh akses dan infrastruktur yang memadai (Kompas, 25 November 2012).

Globalisasi, yang dewasa ini juga sedang gencarnya terjadi dalam kehidupan kita menjadi salah satu persoalan yang mempengaruhi eksistensi Komunitas Adat Terpencil. Suatu kenyataan telah terjadinya lonjakan perkembangan ilmu

(4)

pengetahuan dan t e k n o l o gi d e n g a n p e s at . Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi ada pula masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolaknya. Globalisasi tidak jarang memaksa perubahan perilaku masyarakat pada umumnya terkhusus bagi kelompok masyarakat komunitas adat terpencil. Nilai-nilai globalisasi menuntut persamaan, persaingan dan modernisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang dianut oleh komunitas adat terpencil.

Komunitas Adat Terpencil mengalami masalah keterpencilan yang membuat mereka semakin tertinggal dan tidak tersentuh oleh proses pembangunan, belum lagi persoalan globalisasi yang tidak jarang memaksa mereka untuk harus mengikuti perkembangan zaman, persamaan dan modernisasi, padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun mereka belum mampu melakukannya dengan maksimal. Persoalan globalisasi menjadi tantangan berat bagi Komunitas Adat Terpencil, dimana seringkali globalisasi bertentangan dengan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal leluhur yang telah diwariskan turun-temurun di dalam kelompok mereka. Kedua hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab terbesar Komunitas Adat Terpencil menjadi suatu permasalahan kesejahteraan sosial.

Dewasa ini keberadaan Komunitas Adat Terpencil tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap Komunitas Adat Terpencil. Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak Komunitas Adat Terpencil sebagai komunitas manusia maupun

(5)

sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi Komunitas Adat Terpencil (http://www.scribd.com/doc/67409238/HUKUM-ADAT-LENGKAP diakses pada 11 Desember 2012 pukul 10.46 WIB).

Sebagai warga negara, Komunitas Adat Terpencil juga memiliki hak untuk hidup sejahtera, hak memperoleh pelayanan sosial dasar, hak partisipasi dalam pembangunan dan hak perlindungan dari berbagai kondisi yang mengganggu, baik secara sosial, budaya, ekonomi, hukum maupun politik. Berbagai hak yang dimiliki Komunitas Adat Terpencil tersebut perlu mendapatkan perhatian dan perlakukan dari pemerintah, sebagaimana perilaku negara dalam memenuhi hak-hak warga negara pada umumnya. Perhatian Negara terhadap Komunitas Adat Terpencil ini merupakan implementasi dari kewajiban Negara dalam memenuhi kesejahteraan seluruh warga negaranya.

Seperti yang sudah dituliskan pada Konvensi International Labour Organization No. 169 tahun 1989 disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan Komunitas

(6)

Adat Terpencil, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. (http://www.scribd.com/doc/HUKUM-ADAT-LENGKAP diakses pada

tanggal 11 Desember 2012 pukul 10.46 WIB).

Berdasarkan kondisi tersebut maka Komunitas Adat Terpencil sebagai warga bangsa perlu diberdayakan agar mereka mampu menjalani kehidupan sebagai warga bangsa pada umumnya. Sebagai respon atas kondisi kehidupan Komunitas Adat Terpencil tersebut, Departemen Sosial Republik Indonesia telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing. Meskipun program pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota Komunitas Adat Terpencil. Mereka memang telah berdaya secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum.

Pemberdayaan yang dilaksanakan tentunya perlu memperhatikan kondisi sosial budaya khas mereka yang pada umumnya masih diliputi oleh nilai dan norma yang berdasarkan adat. Oleh karena itu, dimensi-dimensi dalam pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil meliputi : sosial, ekonomi, politik, budaya, spiritual dan lingkungan. Melalui pemberdayaan ini Komunitas Adat Terpencil akan mampu mewujudkan kesejahteraan sosial yang ditandai dengan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dan melaksanakan peranan sosialnya secara optimal (Suharto, 2009:98).

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dikatakan

(7)

bahwa Pemberdayaan Komuitas Adat Terpencil (PKAT) merupakan salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang pada umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit dijangkau. Kementerian Sosial, melalui program Komunitas Adat Terpencil mengkhususkan memberdayakan mereka agar bersama-sama dengan masyarakat Indonesia lainnya ikut dalam proses pembangunan sebagaimana yang dicita-citakan dalam amanat UUD 1945 (Departemen Sosial RI, 2003).

Dalam hal ini, Pemberdayaan yang dimaksudkan adalah sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggung jawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan kewajiban negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro, 2002:6).

(8)

Menurut data dari Kementrian Sosial Republik Indonesia tahun 2012, Komunitas Adat Terpencil di Indonesia kini telah tersebar di 24 provinsi 263 kabupaten, 1.044 kecamatan, 2.304 desa dan 2.971 lokasi permukiman. Sedangkan untuk pulau sumatera, populasi Komunitas Adat Terpencil berjumlah kurang lebih 43.694 jiwa yang tersebar di sembilan provinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau dengan jumlah populasi Komunitas Adat Terpencil yang sudah diberdayakan adalah sebanyak 24.770 jiwa. Populasi Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 4.111 jiwa. Sebanyak 1.851 jiwa yang telah diberdayakan dan 2.260 jiwa yang belum diberdayakan (Irwan, http://humas.kemsos.go.id/ diakses pada 3 maret 2013 pukul 22.15 WIB).

Jumlah populasi Komunitas Adat Terpencil yang belum diberdayakan masih cukup tinggi, lebih dari setengah populasi Komunitas Adat Terpencil masih belum terjamah oleh program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam rangka pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil mustahil untuk dilakukan sendiri, namun juga harus melibatkan Instansi/Dinas terkait sejak awal persiapan hingga terminasi secara sinergis. Perlu dilakukan koordinasi dan integritas program melalui kerja sama intern maupun lintas sektor terkait dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial guna memaksimalkan program bantuan maupun pemberdayaan yang akan dilaksanakan.

Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu instansi pemerintah yang turut dan berperan besar dalam melaksanakan upaya maupun program pemberdayaan sosial yang salah satunya adalah Pemberdayaan

(9)

Komunitas Adat terpencil, khususnya yang tersebar di provinsi Sumatera Utara. Pemberdayaan Sosial tersebut ditujukan kepada kelompok orang, baik yang terbentuk secara sukarela maupun yang sengaja dibentuk dengan tujuan tertentu, miskin, terpencil, dan/atau rentan sosial ekonomi dengan kriteria masyarakat yang mengalami keterbatasan akses pelayanan sosial dasar, tertutup, homogen, dan penghidupannya tergantung kepada sumber daya alam, termarjinalkan di pedesaan dan perkotaan, serta tinggal di wilayah perbatasan antar negara, daerah pesisir, pulau-pulau terluar, dan terpencil. Lingkup daripada Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang diselenggarakan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial yakni penataan perumahan dan permukiman, kehidupan beragama, administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, peningkatan pendapatan, kesejahteraan sosial.

Adapun yang menjadi lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial di Provinsi Sumatera Utara diantaranya yaitu; Desa Tuhawaebu, Kecamatan Idanagawo, Kabupaten Nias; Huta Partukkoan Desa Salaon Dolok, Kecamatan Ronggur Ni Huta Kabupaten Samosir; Dusun III Desa Sihapas, Kecamatan Suka Bangun, Kabupaten Tapanuli Tengah; Desa Parmonangan, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan; dan Desa Sionom Hudon Selatan, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Lokasi-lokasi tersebut telah dipilih melalui beberapa tahap penyeleksian bagi pemilihan lokasi Komunitas Adat Terpencil yang telah ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Tahap-tahap tersebut yaitu; tahap persiapan yang meliputi kegiatan pemetaan sosial, penjajagan awal, studi kelayakan

(10)

dan penyusunan rencana program (http://www.kemsos.go.id/ diakses pada 3 maret 2013 pukul 22.15 WIB).

Salah satu lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang telah dilaksanakan di wilayah Sumatera Utara antara lain terdapat di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara telah melakukan pemetaan sosial serta studi kelayakan di desa ini sejak tahun 2009, menjalankan program pemberdayaan pada tahun 2010 dan telah melaksanakan terminasi di akhir tahun 2012 silam. Terdapat 50 kepala keluarga di Desa Sionom Hudon Selatan yang telah mengikuti Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dari Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara.

Dengan terlaksananya Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon warga binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan. Penulis tertarik untuk meneliti dan menyusunnya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “Respon Warga Binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan.”

(11)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Respon Warga Binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan?”

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk lebih mempertajam masalah yang ingin diteliti tentang Respon Warga Binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Penulis membatasi materi kajian, maka objek sasaran yang diteliti sebagai berikut:

a. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Desa Sionom Hudon Selatan.

b. Manfaat Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil bagi warga binaan di Desa Sionom Hudon Selatan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon warga binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan.

(12)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:

1. Pengembangan konsep dan teori-teori pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan bagi komunitas adat terpencil.

2. Memperkaya wawasan serta pengetahuan mengenai pemberdayaan komunitas adat terpencil serta dapat menjadi referensi dalam pelaksanaan program pemberdayaan komunitas adat terpencil di berbagai wilayah di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisi tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

(13)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian yang turut memperkaya karya ilmiah ini.

BAB V : ANALISIS DATA

Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang suatu sistem kendali yang fleksibel dalam pemasangannya pada lengan manusia dan presisi dalam pengendalian lengan robot

Program kegiatan pengabdian masyarakat dengan tema membangun infrastruktur jaringan RT/RW Net di Desa Sekaran, Kec. Ponorogo guna mendukung aplikasi SIMADES memiliki tujuan: 1)

Gejala Klinis yang paling banyak dijumpai pada sampel penelitian adalah demam (dengan atau tanpa gejala lain) yaitu sebesar 59,3%, selebihnya tidak mengalami demam sama sekali..

Antusias siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dikatakan 100% menyukai strategi ini. Mereka merasa senang dengan strategi ini. Jika dilihat dari aktifitas siswa yang dengan

inkuiri sebagai salah satu standar dalam pelaksanaan pembelajaran sains, termasuk pembelajaran listrik-magnet. Berdasarkan analisis data, juga ditemukan bahwa semua dosen

Suatu pemeriksaan angiografi yang lengkap pada otak untuk kasus AVM, terdiri dari ; (1) evaluasi secara selektif pada AVM dan seluruh vaskuler otak menggunakan

Paling sedikit 4 kali kunjungan pada masa nifas sehingga dapat menilai status ibu dan bayinya, untuk melaksanakan skreening yang komprehensif mendeteksi masalah,

 Adalah suatu economic increment event yang mewakili penerimaan uang dari investor atau kreditur eksternal untuk memenuhi suatu