• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR

OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO

WONOGIRI

ARTIKEL ILMIAH

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :

H A R T A T I NIM: ST. 14 027

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA 2016

(2)

1

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR

OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO

WONOGIRI

Hartati1), Happy Indri Hapsari 2), Ika Subekti Wulandari 3) 1)

Mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta 2) 3)

Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta

ABSTRAK

Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena adalah terjadinya phlebitis. Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR.

Metode deskriptif korelasional dengan pendekatan case control. Waktu penelitian bulan Oktober 2015 di Ruang Perinatologi. Jumlah sampel 18 responden dengan teknik total sampling. Alat analisis dengan analisis chi-square (X2).

Hasil penelitian: Karakteristik responden rata-rata umur 33 tahun, berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan (88,9%), dan lama bekerja 9 tahun; sebagian besar perawat mempunyai tingkat pengetahuan tinggi (83,3%); kepatuhan dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus tergolong patuh (94,4%); dan ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR (p-value = 0,021 < 0,05), adapun tingkat hubungan tergolong sedang.

Kesimpulan : ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR.

Kata kunci: Tingkat Pengetahuan, Kepatuhan, SPO Pemasangan Infus, Plebitis, BBLR

The Relationship between Knowledge Levels of Nurses on Phlebitis and Their Standard Operating Procedure Obedience when Setting Up IV fluid infusion for

Low Birth Weight Infants at dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri

ABSTRACT

One of intravenous therapy complications is known as phlebitis. A professional nurse serving as a health care service provider requires their obedience in every invasive procedural care, one of which is procedure to set up IV fluid infusion. The aim of the research is to analyze the relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants.

This research used descriptive correlational method with case control approach. It was conducted in October 2015 at perinatology suites of dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri. Samples of 18 respondents were taken with total sampling technique. The data were later analyzed using chi-square (X2) analysis.

(3)

The research findings indicate that 1) Respondents are characterized by average ages of 33 years, feminine gender (100%), educational background of three year nursing diploma (88.9%), and average length of work experience of 9 years; 2) Most nurses possess high level of knowledge (83.3%); 3) Most nurses (94.4%) are proven to be obedient when setting up IV fluid infusion; 4) there exists a significant relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants (with p-value of 0.021 < 0.05) which is considered as moderate relationship.

In conclusion, there is a significant relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants.

Keywords : knowledge levels, obedience, SOP when setting up IV fluid infusion, phlebitis, low birth weight infants

.

PENDAHULUAN

Prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) secara global hingga saat ini masih tetap berada di kisaran 10-20% dari seluruh bayi yang lahir hidup setiap tahunya (Sulani, 2014). World Health

Organisation (WHO) (2011)

memperkira-kan sekitar 25 juta bayi mengalami BBLR setiap tahun dan hampir 5% terjadi di negara maju sedangkan 95% terjadi di negara berkembang. Prevalensi BBLR di India mencapai 26%, dan di Amerika Serikat mencapai 7%. Kematian bayi di seluruh dunia adalah 20 kali lebih besar pada bayi yang mengalami BBLR dibandingkan dengan yang tidak BBLR (Jayant, 2011).

Menurut Hasil Riskedas (2013), di Indonesia prevalensi bayi dengan BBLR mencapai 2.103 bayi dari 18.948 bayi (11,1%) yang ditimbang dalam kurun waktu 6-48 jam setelah melahirkan, ini menyebar

secara tidak merata antara satu provinsi dengan provinsi lainya dengan prevalensi tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar 19.2%, dan terendah berada di Provinsi Sumatera Barat yakni 6,0% (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Tengah jumlah bayi dengan BBLR di Jawa Tengah pada tahun 2013 sebanyak 16.303 (2,81%) meningkat bila dibandingan tahun 2012 sebesar 11.865 (2.08,%). Banyaknya BBLR yang ditangani oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah, cakupannya tidak selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 sebesar 92,77% dan pada tahun 2012 sebesar 99,67 % sedang pada tahun 2013 bayi BBLR yang ditangani sebesar 96,67% (Dinkes Jateng, 2014).

Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Wonogiri (2013), di Kabupaten Wonogiri

(4)

3

ditemukan angka kejadian BBLR sebanyak 133 kasus dari 17.296 bayi lahir hidup (0,77%) dan jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2007 yaitu 94 kasus dari 16.976 bayi lahir hidup (0,55%).

Bayi dengan BBLR berisiko untuk hipotermia, apnue, hipoksemia, sepsis, intoleransi minum dan enterokolitis nekrotikan, semakin kecil bayi semakin tinggi resikonya. Salah satu tatalaksana bayi dengan BBLR adalah dengan pemberian cairan intravena yang bertujuan untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi dan obat. Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena adalah terjadinya phlebitis. Bayi dengan BBLR risiko tinggi terjadinya phlebitis karena bayi dengan BBLR memiliki sistem imun yang belum aktif selama beberapa bulan kehidupan, sehingga menyebabkan rentan terhadap berbagai infeksi dan alergi, walaupun struktur kulit bayi sudah terbentuk saat lahir tetapi belum matang.

Epidermis dan dermis tidak terikat dengan baik dan sangat tipis, kulit bayi sangat sensitif dan dapat rusak dengan mudah, kulit sering terlihat bercak-bercak, terutama di daerah sekitar ekstremitas, tangan dan kaki terlihat sedikit sianotik (IDAI, 2014).

Akibat yang ditimbulkan dari komplikasi plebitis pada pasien adalah meningkatkan hari rawat di rumah sakit, menambah lama terapi, dan meningkatkan tanggung jawab perawat serta dapat menyebabkan pasien mendapatkan risiko masalah kesehatan lain, sehingga untuk mencegah terjadinya plebitis diperlukan kepatuhan perawat dalam melaksanakan pemasangan infus sesuai dengan standar prosedur operational (Alexander at al, 2010)

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) (Hinlay, 2009). Hasil penelitian Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoen, kain kasa steril, alkohol, dan pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. Hasil

(5)

penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus diruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukkan bahwa pelaksanaan pemasa-ngan infus yang sesuai Standar Prosedur Operasional katagori baik 27 %, sedang 40% dan buruk 33 %.

Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu : faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengeta-huan dan sikap, tradisi dan kepercayaan masyarakat, sistem budaya, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi, faktor-faktor pemungkin/pendukung (enabling factors), mencakup sarana dan prasarana/fasilitas, faktor-faktor penguat (reinforcing factor) meliputi sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan-peraturan.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2010),. Penelitian yang dilakukan oleh Pamuji (2008) yang meneliti

tentang hubungan pengetahuan perawat tentang Standar Prosedur Operasional dengan kepatuhan perawat terhadap pelaksanaan SPO profesi pelayanan keperawatan, hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara pengetahuan SPO dengan kepatuhan pelaksanaan SPO yang bersifat positip yaitu tingkat pengetahuan perawat yang tinggi diikuti dengan tingkat kepatuhan yang tinggi pula.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri menemukan bahwa pada tahun 2014-2015 terdapat 155 kasus bayi dengan BBLR dan 139 kasus yang diinfus, selain itu ditemukan juga kejadian

phlebitis dari pasien yang telah dipasang

infus terdapat 27 pasien yang mengalami

phlebitis dari 139 pasien yang terpasang

infus atau sekitar 18,6% yang sudah menampakan adanya tanda-tanda plebitis seperti bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri disepanjang vena. Hasil observasi terhadap 5 perawat menunjukkan bahwa 3 perawat patuh (60%) dan 2 perawat (40%) cenderung tidak patuh. Hasil wawancara terhadap perawat yang tidak patuh menyatakan bahwa mereka kurang mematuhi Standar Prosesdur Operasional pemasangan infus karena lupa, repot, terlalu formal dan situasional.

(6)

5

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian deskriptif korela-tional dengan pendekatan case-control. Sampelnya seluruh perawat yang bekerja di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri sebanyak 18 orang. Teknik samplingnya menggunakan Total Sampling. Teknik analisis data terdiri dari analisis univariate dan bivariat. Analisis univariate menjelaskan masing-masing variabel yang diteliti, adapun analisis bivariate dengan menggunakan analisis

chi-square (χ2). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden 1. Umur

Tabel 1. Karakteristik Responden menurut Umur

Keterangan Mean Min Max SD Umur 33,3 26 49 6,16 Sumber : Data yang diolah, 2015

Tabel 1. menunjukkan bahwa rata-rata umur responden 33 tahun dengan standar deviasi sebesar 6,16 tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki usia yang matang dalam berfikir dan bekerja atau masih dalam usia produktif. Sejalan dengan pendapat Nursalam (2007) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Karena dengan bertambahnya umur seseorang maka kematangan dalam berpikir semakin baik sehingga akan termotivasi setiap melakukan pekerjaan dalam melayani pasien secara profesional.

Hal ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Triwidyawati (2013) bahwa sebagian besar perawat yang diteliti adalah usia 21-40 tahun, dengan usia yang masih muda tersebut dilihat dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari tindakan SPO pemasangan infus belum banyak dibandingkan dengan perawat yang sudah berusia lebih tua. Hal ini diungkapkan oleh Potter dan Perry (2005) bahwa usia akan mempengaruhi jiwa seseorang yang menerima untuk mengolah kembali pengertian-pengertian atau tanggapan, sehingga dapat dilihat bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka proses pemikirannya untuk bekerja melakukan tindakan di rumah

(7)

sakit lebih matang. Biasanya orang muda pemikirannya radikal sedangkan orang dewasa lebih moderat.

2. Jenis Kelamin

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Sumber : Data yang diolah, 2015

Tabel 2. menunjukkan bahwa semua responden mempunyai jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 responden (100%).

3. Pendidikan akhir

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pendidikan

Sumber : Data yang diolah, 2015

Tabel 3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan D-3 Keperawatan yaitu sebanyak 16 responden (88,9%).

Di samping itu, menurut hasil observasi diketahui bahwa syarat minimal saat ini sebagai syarat tenaga perawat profesional yang disyaratkan oleh rumah sakit minimal memiliki tingkat pendidikan D-3 Keperawatan.

Tingkat pendidikan perawat dengan rasio akademik lebih banyak akan memudahkan dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Purwadi dan Sofiana (2006) yang membuktikan bahwa perawat dengan pendidikan minimal Diploma (D3) dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai efisiensi kerja dan penampilan kerja yang lebih baik dari pada perawat dengan pendidikan SPK. Oleh karena itu, pendidikan seseorang merupakan faktor yang penting sehingga kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien agar mendapatkan hasil yang maksimal.

4. Lama Bekerja

Tabel 4. Karakteristik Responden menurut Lama Bekerja

Keterangan Mean Min Max SD Lama Bekerja 8,78 4 21 4,47 Sumber : Data yang diolah, 2015

Tabel 4. menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja responden 9 tahun dengan standar deviasi sebesar 4,47 tahun.

Hal ini juga didukung hasil observasi bahwa sebagian besar responden mem-punyai masa kerja kurang dari 10 tahun, namun juga ada beberapa responden mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Jenis Kelamin Jumlah (%) Laki-laki 0 0,0 Perempuan 18 100,0 Jumlah 18 100,0 Pendidikan Jumlah (%) D-3 Keperawatan 16 88,9 S1-Keperawatan 2 11,1 Jumlah 18 100,0

(8)

7

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pamuji dkk (2008) bahwa hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden mempunyai masa kerja antara 1-5 tahun (61,5%).

Pada awal bekerja, perawat memiliki kepuasan kerja yang lebih, dan semakin menurun seiring bertambahnya waktu secara bertahap lima atau delapan tahun dan meningkat kembali setelah masa lebih dari delapan tahun, dengan semakin lama seseorang dalam bekerja, akan semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaan (Hariandja, 2008). Seseorang yang sudah lama mengabdi kepada organisasi memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Hal ini juga dinyatakan oleh Sastrohadiworjo (2005), bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat pengalaman-nya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka semakin sedikit kasus yang ditanganinya. Pengalaman bekerja banyak memberikan kesadaran pada seseorang perawat untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arfianti (2010) yang menyatakan pengalaman merupakan salah satu faktor dari kepatuhan.

Tingkat Pengetahuan Tabel 5. Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan F % Kurang Cukup Baik 0 3 15 0,0 16,7 83,3 Jumlah 18 100,0

Sumber: Data yang diolah, 2015.

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa distribusi data tentang tentang tingkat pengetahuan tentang plebitis pada perawat di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sebagian besar mempunyai pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%).

Pengetahuan responden tergolong tinggi disebabkan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki responden, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan D3-Keperawatan dan ada juga yang mempunyai pendidikan S1-Keperawatan namun belum ada perawat yang mempunyai pendidikan profesi (Ners).

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat, dalam kesehariannya, pendidikan seseorang berhubungan dengan kehidupan sosial dan perilakunya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka perilaku seseorang itu akan semakin baik, oleh sebab itu perawat yang memiliki tingkat pendidik-an tinggi cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Pengetahuan

(9)

merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil keputusan namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya, misalnya perawat yang tingkat pengetahuannya baik tidak selamanya melaksanakan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang akan dilakukan beresiko untuk terjadi kesalahan( Notoatmodjo, 2010).

Lamanya responden bekerja juga dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat. Dalam penelitian ini responden sebagian besar bekerja antara 5-10 tahun. Masa kerja adalah (lama kerja) adalah merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa nyaman dalam pekerjaannya (Saragih, 2009).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Trianiza (2014) yang menjelaskan bahwa perawat sebagian besar mempunyai pengetahuan baik (55%), dengan lama bekerja sebanyak 68 orang atau 94 % bekerja ≤ 10 tahun. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mada (2012)

yang menjelaskan bahwa rata-rata perawat memiliki pengetahuan yang tinggi tentang infeksi nosokomial. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan latar belakang pendidikan yang didominasi oleh D-3 keperawatan, perawat tetap memiliki pengetahuan tentang infeksi nosokomial dalam kategori tinggi berkaitan dengan penerapan prinsip steril pada pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat.

Kepatuhan Perawat

Tabel 6. Kepatuhan Perawat

Kepatuhan Perawat Frekuensi Persentase (%) Kurang patuh Patuh 1 17 5,6 94,4 Jumlah 18 100,0

Sumber: Data yang diolah, 2015.

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sebagian besar patuh terhadap SPO pemasangan infus yaitu sebanyak 17 orang (94,4%). Hal ini disebabkan sebagian besar perawat melakukan pengkajian tentang pemasangan infus yang berdampak pada terjadinya plebitis pada pasien hanya berdasarkan usia, keterbatasan mobilisasi dan terpasangnya infus/iv ataupun kateter. Kepatuhan merupakan ketaatan seseorang

(10)

9

pada tujuan yang telah ditetapkan. Kepatuhan merupakan masalah utama kedisiplinan dalam pelayanan perawatan di rumah sakit.

Menurut Setyarini, dkk (2013), bahwa perawat yang sudah mendapatkan sosialisasi atau memahami terkait dengan pengkajian pemasangan infus dan dampaknya terhadap plebitis cenderung lebih baik dalam melakukan pengkajian resiko jatuh dibandingkan dengan perawat yang belum memahami dan mendapat sosialisasi SPO pemasangan infus, selain itu umur juga mempengaruhi kepatuhan perawat dalam SPO pemasangan infus. Seseorang yang dikatakan senior lebih cenderung memiliki sikap yang kurang dalam pengkajian SPO pemasangan infus. Mereka lebih sering menggunakan penilaian berdasarkan ketergantungan pasien (Setyarini, dkk, 2013).

Sebagaimana dijelaskan dalam suatu penelitian yang dilakukan Triwidyawati (2013) bahwa kepatuhan perawat dalam menjalan SOP pemasangan infus sebagian besar termasuk dalam kategori patuh (70,3%). Dijelaskan pula bahwa dalam pelayanan keperawatan, kepatuhan terhadap standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas, sehingga perawat dan bidan harus berpikir realitis tentang pentingnya evaluasi sistematis

terhadap semua aspek asuhan yang berkualitas tinggi (Simamora, 2012).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamuji, dkk (2014) yang meneliti tentang kepatuhan perawat melaksanakan standar prosedur operasional pelayanan keperawatan, hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO profesi pelayanan tergolong patuh yaitu 24 orang (92,3%) namun demikian masih adanya responden yang mempunyai tingkat kepatuhannya rendah, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan karena kurang adanya penyegaran maupun pelatihan. Selain itu juga akibat kurangnya perawat mengikuti berbagai seminar. Pelatihan dan seminar pada program pengembangan staf keperawatan sebagian besar pelatihan bersifat untuk peningkatan spiritual dan kepribadian. Sedangkan untuk pelatihan dan penyegaran tentang standar prosedur operasional pelayanan keperawatan belum pernah dilakukan.

Namun demikian, penelitan ini kurang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Muspita (2014) yang meneliti tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan infus, hasil penelitian menjelaskan bahwa kepatuhan perawat terhadap SPO

(11)

pemasangan infus diperoleh 42 orang kategori tidak patuh (100%).

Berdasarkan SPO Pemasangan Infus di rumah sakit, terdapat beberapa poin yang tidak sesuai dengan Peripheral Intravenous

Catheter Guideline (2013), poin-poin yang

terdapat pada Guideline namun tidak terdapat pada SPO pemasangan infus di rumah sakit yaitu diantaranya pendokumentasian yang lebih terperinci mengenai tanggal dan jam pemasangan infus, termasuk tipe kateter intravena, lokasi anatomi penusukan, cairan desinfektan/ antiseptik yang digunakan dan nama operator.

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Perawat

Penelitian ini menggunakan uji

Chi-Square (χ2) untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR. Berikut hasil analisis yang telah diuji yang tersajikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Hasil Crostab dan analisis Uji

Chi-Square (χ2) Tingkat Pengetahuan Kepatuhan Total χ2hit p Krng Patuh Patuh Sedang f 1 2 3 % 33.3 66.7 100 Tinggi f 0 15 15 5,29 0,021 % 0.0 100 100 Total f 1 17 18 % 5.6 94.4 100

Hasil analisis Chi-square (χ2) diketahui bahwa nilai chi-square hitung sebesar 5,294 dengan nilai probabilitas 0,021 (p value < 0,05), artinya ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi dan meningkat pengetahuan yang dimiliki perawat maka semakin patuh dan meningkat pula kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, adapun kekuatan hubungan tergolong hubungan yang sedang, karena nilai coeficient contingency (CC) = 0,477 yang berada

diantara 0,26 - 0,50.

Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional dalam melaksanakan pemasangan infus dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi cenderung lebih baik dalam melakukan pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis lebih baik dibandingkan dengan perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah.

(12)

11

Pengetahuan yang baik sebagian besar dimiliki oleh perawat berpendidikan sarjana dibandingkan D3. Tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mempermudah seseorang dalam melakukan sesuatu (Pamuji I, dkk, 2008).

Depkes RI (2008) menjelaskan bahwa kepatuhan dalam melaksanakan SPO pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis. Pengetahuan perawat yang baik akan mempengaruhi tingkat kepatuhan perawat sehingga mengurangi resiko komplikasi pada pasien. Pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis ini telah dapat dilaksanakan sejak pasien mulai mendaftar, yaitu dengan menggunakan skala jatuh. Pengalaman, pengetahuan dan sumber informasi merupakan hal yang mempengaruhi kejelian perawat dalam melakukan pengkajian pemasangan infus kejadian plebitis. Sumber informasi di sini didapat dalam pelatihan–pelatihan, seminar ataupun workshop tentang resiko jatuh pasien. Dalam pelatihan-pelatihan perawat dibekali ilmu, skill dan pengalaman terkait pasien safety (Anwar, 2012).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Triwidyawati (2013) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan perawat dalam menjalankan SPO pemasangan infus dengan kejadian plebitis. Hasil penelitian lain yang juga memperkuat

hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mada, dkk (2012), yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dengan penerapan prinsip steril pada pemasangan infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Wayunah (2012) yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian plebitis (p<0.01), dan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kenyamanan (p<0.01).

SIMPULAN

1. Karakteristik responden diketahui sebagian besar rerata umur 33 tahun, berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan (88,9%), dan rerata lama bekerja 9 tahun.

2. Sebagian besar perawat mempunyai tingkat pengetahuan tentang plebitis tergolong tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%).

3. Sebagian besar perawat mempunyai kepatuhan dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus tergolong patuh yaitu sebanyak 17 orang (94,4%).

4. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis

(13)

dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri (p-value = 0,021), adapun tingkat hubungan tergolong sedang (C = 0,447). SARAN

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan untuk dilakukannya sosiali-sasi kepada seluruh perawat yang berkaitan dengan pengkajian pemasang-an infus dpemasang-an plebitis dpemasang-an bagaimpemasang-ana cara pengisian menggunakan form SPO pemasangan infus serta menentukan intepretasi secara benar.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat mempergunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan kebijakan dalam menyusun panduan perkuliahan terutama yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan hubungan-nya dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien di rumah sakit.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti faktor yang mempenga-ruhi kepatuhan perawat dalam pelaksa-naan Standar Prosedur Operasional (SPO) pemasangan infus pada pasien misalnya sikap dan lingkungan kerja,

serta meneliti cakupan sampel yang lebih luas.

4. Bagi Peneliti

Bagi peneliti dapat menerapkan teori ke dalam kegiatan nyata di lapangan terutama penerapan metode penelitian berkaitan dengan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis hubungannya dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Alphatino, (2009). Nutrisi Parenteral Total Pada Bayi Prematur. Jurnal Neonatal. Jakarta: UI.

Andares, (2009), Analisa hubungan karakteristik perawat dan tingkat

kepatuhan perawat dalam

pelaksanaan protap pemasangan infus di Rumah Sakit Badrul Aini Medan,

Tesis Program Pasca Sarjana, Minat Magister Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan

Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta :

EGC.

Dinkes Kabupaten Wonogiri. (2013). Profil

Kesehatan Kabupaten Wonogiri.

Wonogiri: Dinkes Kab. Wonogiri. Hinlay. (2006). Terapi Intravena pada Pasien

di Rumah Sakit. Yogyakarta : Nuha

Medika.

IDAI, (2014). Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: IDAI.

(14)

13

INS. (2006). Setting the Standard for Infusion Care. Diperoleh tanggal 2 Juli 2015,

dari http://www.ins1.org.

Jayant D, Phalke DB, Bangal BV, Peeyuusha D, Sushen B. (2011). Maternal risk

factor for low birth weight neonates: a hospital based case-control study in rural area of Western Maharshtra,

India. Natl J Community Med.

Kemenkes RI. (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Mada MD, Susilo CB, Nekada CY. (2013).

Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Infeksi Nosokomial dengan Penerapan Prinsip Steril pada Pemasangan Infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat.

Mayunah, (2012). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Terapi Infus dengan Kejadian Plebitis dan Kenyamanan Pasien di Ruang Rawat Inap di RSUD Indramayu. Jurnal Kebidanan dan

Keperawatan, Vol. 8 No. 1, Juni 2012:

90-99.

Mulyani. 2011. Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Gombong.

Jurnal Keperawatan. Gombong.

Muspita, M J. 2014. Gambaran Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Naskah Publikasi.

Yogyakarta: PPS UNY.

Nassaji, M dan Ghorbani R. (2007). Peripheral Intravenous Catheter Re;ated Phlebitis and Related Risk Factors. Singapore

Medicine Journal 48 (8): 733.

Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan

dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:

Rineka Cipta.

Pamuji I, Asrin, Kamaludin A. 2008. Hubungan Pengetahuan Perawat tentang SPO dengan Kepatuhan Perawat terhadap Pelaksanaan SPO Profesi Pelayanan Keperawatan.

Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),

Volume 3 No.1 Maret 2008.

Pasaribu. 2008. Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus terhadap Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RS Haji Medan.

Jurnal Keperawatan. Medan: USU.

Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek. Edisi 4. Alih

bahasa Renata Komalasari. Jakarta : EGC.

Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan Lahir

Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Pudjiadi Antonius, H., Hegar Badriul, dkk. (2010). Pedoman Pelayanan Medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:

IDAI.

Pujasari, Hening. (2007). Angka kejadian

phlebitis dan tingkat keparahanya di ruang penyakit dalam RSCM Jakarta,

diakses dari http:/Pujasari pada tanggal 20 Juni 2015.

Purwanto. (2006). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan, Jakarta:

Buku Kedokteran.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, (2005), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth

(Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), Jakarta: EGC.

(15)

Smeth, Bart. (2005). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Surasmi A., Handayani S., Kusuma H. (2007).

Perawatan Bayi Resiko Tinggi.

Jakarta: EGC.

Trianiza, Efi. (2013). Faktor-faktor Penyebab Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng. Tesis (tidak dipublikasikan). Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Triwidyawati, Kristiyawati dan Purnomo. (2013). Hubungan Kepatuhan Perawat dalam Menjalankan SOP Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis. Jurnal

Keperawatan. Semarang: STIKES

Gambar

Tabel  2.  menunjukkan  bahwa  semua  responden  mempunyai  jenis  kelamin  perempuan  yaitu  sebanyak  18  responden  (100%)

Referensi

Dokumen terkait

5 norma perdamaian yang dikandung dalam PBB (The President of the Republic of Finland, 2009), memperluas kerjasama ekonomi dan pamor Finlandia sebagai negara yang mampu mempengaruhi

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat dengan judul “ Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kecemasan Siswa Menghadapi Ujian Akhir Sekolah Pada Siswa Kelas VIII Di

Alkali resistance test Bending test Panel shear test (In-plane shear test) Water Resistance test Moist high temperature test (Moiist heat test).. Abrasion Test Scratch hardness

Ultra Adilestari stella Perkasa diperlukan suatu perancangan sistem informasi pembelian dan penjualan stok barang yang otomatis agar lebih cepat, akurat dan efisien dalam

Senyawa hidrokarbon yang dihasilkan dari proses distilasi vakum residu panjang; digunakan sebagai bahan baku minyak pelumas berbagai jenis permesinan baik berat maupun

Interaksi antara sivitas akademika yang terdiri dari dosen dengan mahasiswa dilakukan melalui proses belajar mengajar di kelas, bimbingan akademik, tutorial,

Asuhan kebidanan pada Ny “F” dilakukan secara berkelanjutan dimulai dari asuhan kehamilan pada Ny “F” pada usia kehamilan 38 minggu, dari hasil pemeriksaan tidak

Pihak penerima dapat mengambil asumsi bahwa “zzzzz” hanyalah sebagai karakter tambahan untuk mengisi kekosongan potongan silindris Berikut ini adalah contoh-contoh lain