• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

12 Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori Fiksi

Nurgiyantoro (2005:2) menjelaskan bahwa karya fiksi menyaran kepada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata, dan kebenarannya tidak dapat dibuktikan dengan empiris. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang digunakan pun bersifat imajinatif.

Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro (2005:2) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia, namun hal ini dilakukan secara selektif dan dibentuk dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman manusia.

Abrams dalam Nurgiyantoto (2005:4) menambahkan bahwa fiksi awalnya menyaran pada prosa naratif, yang biasanya dilambangkan dengan novel dan cerpen, kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel.

2.2 Teori Penokohan

Nurgiyantoro (2005:164) mengungkapkan, penokohan yang berasal dari kata tokoh, memiliki berbagai sinonim yang menunjuk kepada pengertian yang hampir sama, seperti watak dan perwatakan, karakter dan karakterisasi, sehingga arti dari penokohan sering disamakan dengan perwatakan dan karakterisasi. Namun demikian, penokohan tetap memiliki arti yang lebih dalam dari tokoh. Karena menurut Fananie (2000:86) tokoh

(2)

13 tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga harus menyampaikan ide, motif, plot dan tema cerita.

Istilah tokoh sendiri, menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (2002:165), dalam bahasa inggris, dilambangkan dengan kata character, yang memiliki dua makna yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Inilah yang disebut Jones sebagai pelukisan gambaran tentang seseorang, dan diperlukan sebuah cerita atau karya yang memuatnya. Sehingga menurut Nurgiyantoro (2005:166) penokohan harus memiliki tokoh sebagai aspek isi, dan karya fiksi sebagai aspek bentuk. Ia pun menambahkan bahwa penokohan memerlukan kewajaran dan kesepertihidupan dalam penyampaiannya, karena fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif dimana si pengarang melukiskan padangannya terhadap kehidupan itu sendiri, jadi harus bersifat alami yaitu memiliki kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya.

Jones dalam Nurgiyantoro (2005:165) pun menyimpulkan, bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

2.3 Konsep Amae

甘えというのは、日本語独自の語彙であって、他者に対する依存願望を表 明する。それは、バリントの用語でいえば、受動対象愛(Passive object love)にほかならない (Doi, 1999:165)。

Terjemahan:

Amae adalah kata yang hanya ditemukan dalam bahasa Jepang, yang berarti pernyataan hasrat akan ketergantungan terhadap orang lain. Dalam istilah yang digunakan Balint adalah cinta objek pasif (Passive object love).

(3)

14 Bester dalam Doi (1992:viii) mengibaratkan Amae dengan perasaan setiap bayi dalam pelukan ibunya, ketergantungan dan keinginan untuk dicintai secara pasif, keengganan untuk dipisahkan dari kehangatan sang ibu, untuk dilepaskan ke dunia nyata yang objektif yang dimiliki manusia dewasa yang membuat perasaan ini terlihat egois bagi orang lain.

Amae sendiri memiliki akar makna yang berasal dari kata kerja amaeru dan kata benda amai. Amaeru berarti sikap memanjakan diri dan amai berarti manis dalam indera perasa juga berarti sikap lunak atau sikap menerima. Sikap manja yang diperlihatkan amaeru dan sikap menerima atau sikap lunak yang diperlihatkan amai berperan penting dalam Amae. Hubungan Amae dengan akar makna ini dapat kita lihat dalam skema Amae yang dijelaskan oleh Doi (1992:23), di bawah ini:

Kalau orang mengatakan bahwa A bersikap amai terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru (manja) terhadap A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang itu. Hubungan antara A dan B diatas lah yang disebut dengan Amae. Seseorang yang memiliki hasrat Amae akan mencari pola hubungan A dan B. Orang tersebut akan mencari orang lain yang mau menerima dengan tulus, diri yang ingin dimanjakan.

Pola umum dari sikap memanjakan diri dilihat Balint dalam Doi (1992:13) sebagai passive object love (sasaran cinta yang pasif). Balint tidak menggunakan kata khusus untuk menjelaskan hubungan ini, karena menurutnya semua bahasa-bahasa Eropa tidak mampu membeda-bedakan antara cinta aktif dan cinta pasif. Salah satu alasan Doi (1992:15) berpendapat bahwa bukan berarti Amae tidak ditemukan di negara lain adalah, karena menurutnya psikiater Amerika lambat dalam menemukan hasrat Amae atau passive love yang terselubung dalam batin pasien mereka. Karena menurut Doi ketergantungan ini tanpa disadari dibawa seseorang hingga ia menginjak usia dewasa.

(4)

15 Ketergantungan ini tidak lagi hanya pada ibu atau anggota keluarga, tetapi sasaran cinta pasif pun mulai beragam. Bisa terjadi antara sahabat sesama kelamin, antara senior dan junior, antara bos dan anak buah, juga antara guru dan murid.

Doi menggambarkan jurang perbedaan kuat antara Jepang dan Amerika ini dalam teori Freud mengenai perasaan homoseksual yang membuktikan, Amerika sangat jeli terhadap dugaan dan kecurigaan ketertarikan fisik antara sesama jenis, sedangkan Jepang adalah tempat yang ideal untuk mengecap tali persahabatan antara sesama kelamin secara terbuka tanpa perlu merasa malu. Karena menurutnya, perasaan homoseksual yang seharusnya dilihat akar Amae-nya ini bukanlah perasaan homoseksual dalam arti sempit yaitu daya tarik seksual untuk persetubuhan dengan kelamin yang sama, tetapi perasaan homoseksual yang luas yang pemakaian maknanya mencakup kasus-kasus dimana hubungan emosional antara anggota-anggota kelamin yang sama lebih dipilih atau dipentingkan daripada hubungan dengan anggota kelamin yang berlawanan. Dasar Amae dari homoseksual disini adalah tali persahabatan yang meletakkan tekanan hanya pada kemauan baik yang timbul di antara teman-teman, dan memiliki fakta bahwa hubungan emosional yang merupakan landasan persahabatan lebih penting daripada cinta antar-seks. Gejala ini tidak hanya ditemukan di kalangan teman yang berkelamin sama, tetapi juga bisa timbul dalam hubungan antara guru dan anak didiknya, antara senior dan junior suatu organisasi yang sama, juga orang tua dan anak yang berkelamin sama. Doi (1992:124) menekankan bahwa walaupun dalam beberapa kasus hubungan ini berkembang menjadi homoseksual dalam arti sempit, tetapi perasaan ini tidak selalu harus tumbuh menjadi hubungan homoseksual dalam arti sempit. Bahkan kemungkinannya sedikit sekali. Perasaan ini tergolong ke dalam pola hidup normal dan dialami oleh siapapun juga, walaupun nampaknya ada perbedaan antara orang yang satu

(5)

16 dengan orang yang lain, maupun secara sosial kultural, dan panjang pendeknya jangka waktu perasaan itu amat berpengaruh dalam proses pertumbuhannya. Adalah mungkin bagi seseorang yang hidup normal dalam arti seksual, yang telah memasuki kehidupan berumah tangga yang normal pula, secara emosional masih memperlihatkan pengaruh perasaan homoseksual yang besar. Doi (1992:125) menjelaskan bahwa perasaan ini tergambar jelas dalam novel Kokoro karya Natsume Soseki lewat hubungan Amae antara Sensei dan K yang gagal dan hubungan Amae yang ingin dilakukan Aku terhadap Sensei namun mengalami penolakan.

Dalam dunianya, Amae yang perwujudannya serong atau mengalami penolakan bahkan kegagalan diuraikan Doi (1992:24) dalam beberapa kata psikologi Amae. Kegagalan ini akan diekspresikan dalam beberapa unsur tertentu.

Throughout Doi’s work there has been an explicit concern with descriptions of indulgent dependency demonstrated as exaggerated or distorted expressions of Amae—illustrated by him in numerous cultural examples using common Japanese words and expressions (Johnson, 1993:161).

Terjemahan:

Dalam seluruh aspek tulisan Doi, ada perhatian yang jelas dalam uraian mengenai pemanjaan ketergantungan yang didemonstrasikan dengan melebih-lebihkan atau keserongan ekspresi dari Amae—diilustrasikannya dalam beberapa contoh kultural menggunakan kata dan ekspresi khas Jepang yang umum.

Gibran (1998:59) mengemukakan, “Exaggeration is a truth that lost temper” yang artinya, “Melebih-lebihkan adalah kebenaran yang marah.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa Amae yang diekspresikan dengan dilebih-lebihkan sebenarnya menunjukkan kebenaran bahwa seseorang ingin manja, namun memiliki kemarahan karena tidak berjalan sesuai skema Amae yang seharusnya. Kemarahan ini muncul akibat kenyataan bahwa dalam diri seseorang, keberadaan Amae juga dilihat dari norma lain. Hal ini dijelaskan oleh Johnson (1993:159), yaitu bahwa deskripsi Doi mengenai Amae secara

(6)

17 jelas bersangkutan dengan psikologi dan budaya. Tekanan psikologi dan budaya ini menghubungkan persetujuan dua pihak dalam melakukan amae, dengan matriks norma kultural yang dianut oleh bangsa Jepang, yaitu pengorbanan akan diri sendiri dan kerendahan hati (enryo), status dan kewajiban yang bervariasi (on, giri) dan naik turunnya hubungan timbal balik dan perasaan batin (ninjo) dalam suatu hubungan. Sehingga terjadinya Amae, tidak terlepas dari norma kultural lain yang dianut oleh orang Jepang. Berikut kutipan mengenai hubungan Amae dengan norma lain dalam matriks, yang terjadi dalam diri orang Jepang.

The desire to depend on, affiliate and be indulged is shown by Doi to be opposed and regulated by enryo, which imposes a hesitation and restraint onto attempts to amaeru. On and giri are also regulatory in restricting or thwarting amae according to the structural features of specified, nonintimate social relationships. The quality of feeling (ninjo) is expected to wax and wane situationally, and presupposes the underlying but unexpressed desire to affiliate, lean on or claim special attention and affection (Johnson, 1993:159).

Terjemahan:

Hasrat untuk bergantung, menggabungkan diri dan untuk dimanja diperlihatkan Doi sebagai penentangan dan pengaturan oleh enryo, yang menciptakan keragu-raguan dan pengekangan untuk usaha melakukan amaeru. On dan giri juga berhubungan dengan pengaturan dalam pembatasan atau penghalangan amae dari penentuan keistimewaan yang terstuktur dalam hubungan sosial yang tidak intim. Kualitas perasaan (ninjo) diharapkan dapat bertambah dan berkurang dalam situasi tertentu dan mendasari pengisyaratan yaitu hasrat ingin menggabungkan diri, menyandarkan diri atau menuntut perhatian spesial dan kasih sayang yang tidak diekspresikan.

Dengan demikian ada kalanya dalam diri seorang Jepang, dia mengalami hasrat Amae, namun memiliki keragu-raguan, penentangan ataupun pembatasan yang terjadi dalam dirinya, akibat dari norma yang dianutnya sendiri, sehingga ada kebenaran bahwa dirinya menginginkan Amae, tetapi tidak dapat diekspresikan dengan baik. Doi dalam Johnson (1993:164-165) mengungkapkan ada beberapa kata-kata psikologi yang dapat menggambarkan keadaan ini. Menurut Doi dalam Johnson (1993:163), seluruh unsur

(7)

18 kata-kata psikologi ini merupakan ungkapan perasaan yang terjadi akibat dari reaksi frustasi, melebih-lebihkan dan penyangkalan dari hasrat Amae, yang seluruhnya mencerminkan ungkapan perasaan seseorang, yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang memiliki perhatian khusus akan Amae dalam dirinya. Kata-kata tersebut adalah suneru, uramu, futekusareru, hinekureru, sumanai, kodawaru, toraware, yakekuso ni naru, wagamama, higamu, higaisha-ishiki, kuyashii, amanzuru, kigane, wadakamaru, toriiru, dan tereru. Diantara kata-kata psikologi yang Doi ungkapkan ini, penulis akan menggunakan beberapa diantaranya dalam analisis di bab selanjutnya. Kata-kata tersebut adalah kigane, toriiru, higamu, uramu dan sumanai.

2.3.1 Kigane

「気がね」は通常相手に遠慮する気持をあらわすが、それは相手がこち らの甘えすんなりと受け容れてくれるかどうかわからないという不安が あるからである(Doi, 2007:48)。

Terjemahan:

Kigane biasanya memperlihatkan perasaan keseganan terhadap orang yang menjadi objek Amae, hal itu dikarenakan kecemasan bahwa dirinya belum tahu apakah orang yang menjadi objek Amae akan menerima Amae-nya atau tidak. Doi (1992:25) juga mengatakan bahwa sikap kigane ini mengandung makna untuk merasa segan, sehingga tidak leluasa untuk melakukan apa yang sebenarnya ingin dilakukan karena takut sikapnya akan memperoleh tanggapan negatif, bahkan ditolak.

2.3.2 Toriiru

次に「とりいる」というのは、たくみに相手の機嫌をとることによって 自分の欲望を達することであるが、これは相手を甘えさせると見せて、

実はこちらの甘えを実現することであるといえないであろうか(Doi,

(8)

19 Terjemahan:

Selanjutnya, toriiru berarti membujuk seseorang dengan maksud mencapai tujuan tertentu; ini adalah suatu cara untuk memperlihatkan sikap memanjakan orang, padahal sesungguhnya dia tidak bisa mengatakan bahwa ingin manja pada orang tersebut.

Johnson (1993:174) mengungkapkan, sikap toriiru ini memperlihatkan sikap mau memberi kesempatan kepada orang lain dengan mengambil muka untuk manja terhadap dirinya, padahal sesungguhnya dirinyalah yang ingin dimanjakan. Perbedaan sikap membujuk dalam toriiru dengan membujuk sesungguhnya adalah ada maksud yang menguntungkan diri sendiri dalam melakukannya. Ada tujuan yang dirahasiakan yang hendak dicapai.

2.3.3 Higamu

Doi (2007:47) mengungkapkan, 「ひがむの自分が不当な取扱いを受けていると 曲解することであるが、それは自分の甘えの当てがはずれたことに起因してい る」, yang berarti ”Diri yang higamu akan menafsirkan secara tidak tulus perlakuan yang diterima dan menganggapnya tidak sesuai, penafsiran ini disebabkan karena kecewa akan harapan untuk memanjakan diri.”

Johnson (1993:170) mengungkapkan bahwa seseorang yang higamu, akan berperilaku curiga, berprasangka dan sinis pada kebaikan yang diterimanya. Hal ini dikarenakan dia tidak menerima harapannya. Dia bermaksud untuk memanjakan diri, namun tidak mendapatkannya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Johnson (1993:165) mengenai higamu yaitu, “To feel unfairly treated; to be prejudiced against, biased; to be warped or suspicious”, yang artinya, “Untuk merasa tidak diperlakukan dengan adil; berprasangka; terselubung atau curiga.” Dan Johnson (1993:165)

(9)

20 menambahkan, higamu merupakan, ”Inability to enjoy Amaeru gratifications leads to pervasive suspiciousness and distrust of others’ motives or favors”, yang artinya, “Ketidakmampuan untuk menikmati kepuasan untuk Amaeru yang membawanya kepada kecurigaan yang luas dan ketidakpercayaan pada motif dan bantuan orang lain.”

2.3.4 Uramu

Selanjutnya adalah uramu yang merupakan salah satu istilah yang menggambarkan keadaan jiwa seseorang yang tidak dapat memenuhi hasrat untuk Amaeru. Doi (1992:24) mengungkapkan bahwa uramu memperlihatkan sikap membenci yang mengandung sikap permusuhan, muncul karena hasrat Amae tidak diacuhkan; sikap ini agak kompleks dan agak berbeda dengan perasaan permusuhan murni. Dalam bahasa Jepang, Doi mengungkapkan sebagai berikut.

うらむというのは甘えが拒絶されたということで相手に敵意を向けるこ とであるが、この敵意は憎むという場合よりも、もっと纒綿としたとこ ろがあり、それだけ密接に甘えの心理に密着しているということができ る(Doi, 2007:47)。

Terjemahan:

Uramu adalah penunjukkan perseteruan dengan orang yang telah menolaknya untuk Amae. Perseteruan ini lebih banyak keterlibatannya dari sikap membenci murni, dan justru karena keeratan itulah psikologi Amae dapat melekat dalam perseteruan ini.

Johnson (1993:163) menambahkan keterangan Doi mengenai uramu bahwa unsur ini adalah reaksi frustrasi yang diekspresikan seseorang sebagai wujud dari kesedihan yang ditimbulkan orang yang dianggap tidak menanggapi Amae yang dilakukannya yang merupakan sumber kesedihannya. Reaksi ini bahkan akan memendam perasaan sedih dan mengarah kepada balas dendam terhadap orang tersebut. Pembalasan dendam ini

(10)

21 biasanya berlaku dalam periode waktu yang cukup panjang, dan dilakukan ketika kesempatan datang. Pembalasan dendam ini akan menunggu orang yang menjadi sumber kesedihannya lengah, karena hal ini benar-benar dilakukan secara terselubung. Seseorang yang merupakan sasaran balas dendam biasanya benar-benar tidak tahu akan apa yang terjadi, karena sikap ini benar-benar disimpan secara rahasia dalam hatinya sendiri. Johnson (1993:166) juga mengatakan bahwa uramu dalam kebudayaannya, tidak akan dilakukan terhadap orang yang lebih tinggi jabatannya, atau lebih tua umurnya. Uramu berpotensi besar terjadi antara dua orang yang memiliki level sama dalam tingkatan masyarakat. Seperti rekan sekerja, dan pertemanan. Dan uramu biasanya terjadi hanya pada hubungan relasi yang sudah dilakukan cukup lama.

2.3.5 Sumanai

Sumanai berasal dari kata kerja sumu yang berarti mengakhiri atau menyelesaikan suatu tindakan atau pekerjaan, sehingga menurut Doi (1992:26), sumanai berarti, adanya persoalan yang belum selesai atau masih ada sesuatu yang tertinggal karena seseorang belum melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan menyebabkan orang lain kesusahan atau tersakiti. Walaupun kata ini mewakili perasaan bahwa dirinya belum memenuhi kewajibannya, kata ini secara umum digunakan sebagai tanda perasaan bersalah. Sehingga kata ini mengungkapkan suatu perasaan kuat untuk mohon maaf dan menurutnya berkaitan erat dengan yang perasaan berdosa.

Lebra (2007:23) mengungkapkan, bahwa pada kebudayaan Jepang, pengakuan adalah sangat penting, karena dipercaya, perasaan berdosa yang disebabkan oleh kesalahan yang dibuat, mempunyai bentuk yang jelas yaitu dimulai dengan pengkhianatan dan berakhir dengan permohonan maaf. Inilah gambaran keadaan dimana istilah sumanai

(11)

22 berperan kuat sebagai pengakuan rasa berdosa. Sehingga kesalahan yang tidak disusul oleh perasaan sumanai, sama saja dengan tidak diakui.

Doi (1992:47) memberi contoh; seseorang yang baru saja melakukan dosa akan merasa malu dalam dirinya. Bagi orang Jepang, rasa berdosa dirasakan paling kuat apabila, seseorang mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya oleh kelompok dimana dia menjadi anggota. Umpamanya berhadapan dengan anggota keluarga yang paling dekat terutama orang tua, seseorang lazimnya tidak mempunyai banyak rasa bersalah akan dosanya karena antara kedua pihak terdapat suatu hubungan yang begitu dekat sehingga Amae memberikan keyakinan bahwa dosa apapun dapat dimaafkan. Namun yang kerap terjadi adalah perasaan berdosa akan mulai dirasakan kembali setelah orangtua meninggal. Bila harus ada penggantian cara permohonan maaf yang tidak tersalurkan, seperti misalnya langsung dimaafkan bahkan sebelum memohon maaf, atau bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk mengakuinya, pengakuan ini dilakukan dengan cara pengunduran diri.

Doi (1992:55-56) mencontohkan keadaan ini dalam kejadian yang terjadi atas Jenderal Nogi. Pada masa mudanya, ia mengalami perasaan berdosa yang begitu besar dalam perang Seinan ketika benderanya berhasil dirampas dari tangannya oleh musuh bagaimanapun ia mempertahankannya, yang dianggapnya sebagai kesalahannya. Dia tidak pernah diberi kesempatan yang wajar untuk menghapus rasa berdosa akan kesalahan tersebut, sehingga dia merasa malu akan dirinya. Rasa malu itu kemudian bertambah parah setelah kekalahannya di tahun-tahun setelahnya. Dia juga tidak pernah diizinkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, sehingga penghapusan rasa berdosa akan kesalahannya tidak pernah terjadi. Akhirnya dia bunuh diri, ketika Kaisar Meiji meninggal, sebagai penghapusan rasa berdosa tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 3- Kromatogram Gas Eugenol pada Sampel Minyak Atsiri Bunga Cengkeh dari Daerah di Maluku. Gambar 4-Kromatogram Gas Eugenol pada Sampel Minyak Atsiri Bunga

Soal untuk tes setelah pembelajaran menggunakan moodle di validasi oleh dua validator, validator terdiri dari seorang dari dosen unesa dan seorang lagi dari guru SMKN 1

STEL Batas paparan jangka pendek: 2) batas paparan jangka pendek: nilai batas yang di atasnya paparan hendaknya tidak terjadi dan yang terkait dengan jangka 15-menit kecuali

Nomor 5: Pembeli B karena dengan gaya dorong yang sama antara pembeli A dan B, faktor yang mempengaruhi besarnya akselerasi kereta adalah massa benda. Pembeli A membawa kereta

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya

Dengan hasil ini pada pelebaran kapasitas jalan di walisongo semarang masih tinggi nya angka kemacetan.Karena jalan walisongo banyak di lalui bus-bus dan truck

Media utama ini dibuat melalui beberapa tahapan perancangan dan kartu pos ini dirancang semanarik mungkin agar dapat menarik perhatian khalayak sasaran dengan menggunakan

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model