• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tanah merupakan salah satu aset Negara Indonesia yang sangat mendasar, karena Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas tanah, masyarakat Indonesia memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting,karena merupakan faktor utama dalam peningkatan produktivitas agraria.1

Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya terutama masih bercorak agraris. Bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pengaturan mengenai hukum tanah di Indonesia mengalami dualisme, dimana peraturan mengenai tanah dapat dijumpai dalam Hukum Adat (Hukum Tanah Adat) dan Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek)2. Tanah yang diatur dalam hukum barat muncul di saat datangnya Belanda di Indonesia, mereka membawa perangkat Hukum Belanda tentang tanah yang mula-mula masih merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur, dan hukum tertulis seperti Overschrijvings Ordonnantie, Stbl.1834-27. Kemudian pada tahun 1848 mulai diberlakukan suatu ketentuan hukum barat yang tertulis 1Hayatul Ismi, “Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat

Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional”, Jurnal Ilmu Hukum, vol.3 no.1.

2

Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hlm. 11

(2)

yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perlu dijelaskan disini, bahwa motivasi yang mendorong timbulnya hukum tanah barat tersebut antara lain karena banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk Perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan Hak

Erfpacht (Pasal 720 BW) dan rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota

dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal.3

Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria, berlakulah Hukum Agraria Nasional yang mencabut peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda, antara lain Agrarische Wet Stb. 1870 No 55 dan Agrarische Besluit Stb. 1870 No 118. Tujuan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan Umumnya, yaitu:

Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;

1. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria dapat terwujud melalui dua upaya, yaitu tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang

3

Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D.Kolkman, Rafael Edy Bosko,

Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hlm.

(3)

dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-ketentuannya dan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya, dan bagi pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahan.

Adanya Hukum Pertanahan Nasional diharapkan terciptanya kepastian

hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti

dengan penyediaan perangkat hukum tertulis berupa peraturan-peraturan lain dibidang hukum pertanahan nasional yang mendukung kepastian hukum serta selanjutnya lewat perangkat peraturan yang ada dilaksanakan penegakan hukum berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.4

Menurut David S.Jones, tujuan dari pendaftaran tanah :

“An important aspect of good governance is an effective system of land administration. A central component of this is the comprehensive registration of property title by the state (sometimes called land titling). Registration has several benefits for both the landholder and the state. It clarifies the ownership or tenurial interest of the landholder, and provides a legal safeguard of that interest, so guaranteeing him/her security of tenure.”5

(Sebuah aspek penting dari pemerintahan yang baik adalah suatu sistem

administrasi pertanahan yang efektif. Sebuah komponen utama ini adalah pendaftaran tanah oleh negara ( kadang-kadang disebut sertifikasi tanah ). Pendaftaran memiliki beberapa manfaat bagi pemilik tanah dan negara . Ini menjelaskan kepemilikan kepentingan pemilik lahan , dan menyediakan perlindungan kepentingan hukum itu, sehingga menjamin dia atau keamanan kepemilikan) .

Pengertian Pendaftaran Tanah menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu

4

Ulfia Hasanah, “Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah no 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Jurnal Ilmu Hukum, vol. 3 no. 1, 2013, hlm. 3

5

David S. Jones, “Land Registration and Administrative Reform Southeast Asian States :

Progress and Constaits”. International Public Management Review. Electronic Journal at http://www.ipmr.net, Vol.1, 2010

(4)

serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Menurut A.P. Parlindungan, Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin Capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian,

Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi

dari tersebut dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.6 Selanjutnya menurut Jaap Zevenbergen dalam jurnal internasionalnya meberikan pengertian pendaftaran tanah adalah

“Land registration is a process of official recording of rights in land through deeds or title (on properties). It means that there is an offi cial record (the land register) of rights on land or of deeds concerning changes in the legal situation of defined units of land. It gives an answer to the question “who” and “how”.7 (pendaftaran tanah adalah suatu proses pencatatan resmi hak atas tanah

melalui perbuatan atau judul ( pada properti ) . Ini berarti bahwa ada pejabat resmi (tanah register) hak atas tanah atau perbuatan mengenai perubahan dalam situasi hukum dari unit tanah . Ini memberikan jawaban untuk pertanyaan " siapa" dan " bagaimana.

Prinsip utama pendaftaran hak atas tanah adalah untuk memfasilitasi jaminan keamanan atas pemilikan tanah dan pemindahan haknya, misalnya 6

A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 18-19 7

Jaap Zevenbergen , “A Systems Aproach To Land Registration and Cadastre”, Nordic Journal of Surveying and Real Estate Research”, vol. 1, 2004, hlm.1

(5)

pembeli akan menikmati tanah dengan tidak ada gangguan oleh pihak lain. Selain itu pendaftaran tanah dibuat untuk menemukan apakah ada hak-hak pihak ketiga. Pokok gagasan dalam sistem pendaftaran tanah adalah mencatat hak-hak atas tanah kemudian menggantikan bukti kepemilikan atas pemberian hak atas tanahnya. Prinsip pendaftaran tanah harus mencerminkan suatu ketelitian mengenai kepemilikan dari tanah dan hak-hak pihak ketiga yang mempengaruhinya. Prinsip jaminan pendaftaran adalah status hak memberikan jaminan dari ketelitian suatu daftar, bahkan seharusnya memberikan ganti kerugian kepada siapapun yang menderita kerugian.8 Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria mengamanahkan bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum, pemerintah wajib melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, hal ini dilakukan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat serta keperluan lalu lintas sosial ekonomis masyarakat. Secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi status/kepemilikan tanah bagi individu atau badan hukum selaku pemegang hak yang sah secara hukum. 9

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik diri sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria dijabarkan dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak

8

Adrian Sutedi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai tanda bukti Hak Atas Tanah, Cipta Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 28

9

Ulfia Hasanah, “Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, artikel pada jurnal ilmu hukum, edisi no.1 vol. 3, 2008

(6)

tersebut di atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. 10

Dalam sistem hukum tanah nasional suatu Hak Atas Tanah lahir karena empat hal, yaitu ketentuan konversi Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Atas Tanah lahir menurut Hukum Adat yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria), Hak Atas Tanah Primer lahir karena pemberian hak oleh negara, dan Hak Atas Tanah Sekunder lahir karena pemberian pemegang hak yang sudah ada. 11

Pandangan Achmad Sodiki menegaskan bahwa pengaturan keagrariaan kita di dalam Undang-Undang Pokok Agraria sudah sesuai dengan dasar ideologi negara dan jiwa bangsa kita, Pancasila, yang berwatak prismatik. Prismatika sebagaimana konsep pengintegrasian yang memadukan dua pandangan yang berbeda secara ekstrem dengan mengambil unsur-unsurnya yang baik. Dalam konteks ini hukum agrarian kita telah memadukan secara baik konsep hubungan antara tanah dengan manusia yang sejalan dengan konsep prismatika yakni memadukan unsur-unsur yang baik antara paham individualism dan paham komunalisme. Paham individualism berpandangan bahwa setiap orang berdasar kemampuannya sendiri boleh memiliki tanah tanpa bisa dibatasi, sedangkan paham komunalisme yang berpaham kesederajatan kedudukan manusia melarang adanya kepemilikan tanah oleh manusia secara perseorangan. Undang-Undang Pokok Agraria mempertemukan keduanya yakni, menyatakan bahwa setiap warga negara boleh memiliki hak atas tanah tetapi hak itu dibatasi maupun penegasan fungsinya demi kepentingan masyarakat sebagai satu kesatuan. Dikatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria bahwa hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial dan hak milik atas tanah oleh perseorangan dibatasi luasannya agar fungsi sosial hak milik atas tanah itu hidup. Untuk mengamankan prinsip fungsi sosial dan pembatasan secara wajar dalam bingkai prismatika itu maka negara mempunyai hak “menguasai” yang berintikan hak untuk mengatur 10

Urip Santoso, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah. Kencana, jakarta, 2010, hlm. 50 11

Hasan Basri Nata Menggala, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah, tugujogjapustaka, jakarta, 2005, hlm.9

(7)

peruntukan yang mencakup pemberian hak maupun pencabutannya serta larangan-larangan tertentu dalam pemanfaatan tanah. 12

Hak Atas Tanah yang diberikan kepada warga negara maupun badan hukum yang berkedudukan di Indonesia dapat kemba1i menjadi tanah negara. Sebagai contoh sebidang tanah dengan luas kurang lebih 6.065 m2 terletak dikelurahan Tegalharjo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta yang dahulu dikenal Jl Monginsidi No 30 sekarang dikenal dengan Jalan Monginsidi no. 12 Surakarta beserta bangunan yang berdiri di atasnya yang menjadi obyek penelitian Penulis dalam penelitian tesis ini.

Pada penelitian ini akan dibahas mengenai sebidang tanah yang berstatus tanah negara yang telah lama dihuni oleh para penghuninya yang sebagian besar adalah mantan pejuang bersenjata pada masa kemerdekaan yang tergabung dalam sekretariat bersama bekas pelajar pejuang bersenjata kurang lebih sejak tahun 1955. Tetapi menurut Penggugat yaitu Yayasan Sekolah Gurus Kristen Surakarta sebidang tanah tersebut adalah tanah yang telah dikuasai dan dimiliki oleh Penggugat denganbukti sertipikat Hak Pakai No 143/1974. Hak Pakai dapat diberikan atas tanah negara, tanah hak pengelolaan oleh pemerintah dan atas tanah hak milik oleh pemegang hak milik. Jangka waktu hak pakai atas tanah dan tanah pengelolaan paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang maksimum selama dua puluh tahun. Hak Pakai atas tanah negara hanya dapat dialihkan atas izin pejabat yang berwenang atau BPN. Pengalihan Hak Pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan jika hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian haknya. Peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan. 13

Kasus pada Putusan Nomor 110/Pdt/2012/PT.Smg berawal dari sebidang tanah dengan luas kurang lebih 6.065 m2 terletak di Kelurahan Tegalharjo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta yang dahulu dikenal Jalan Monginsidi Nomor 30 sekarang dikenal dengan Jalan Monginsidi Nomor 12 12

Achmad Sodiki, Politik Hukum Agrarian, Konpress, Jakarta, 2013, hlm.14 13

Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2011, hlm. 112

(8)

Surakarta beserta bangunan yang berdiri diatasnya. Pada tahun 1958 tanah tersebut oleh Ex (bekas atau mantan) 14 Tentara Pelajar Surakarta yang tergabung dalam Sekretariat bersama bekas pelajar pejuang Bersenjata Surakarta dipinjam dan digunakan sebagai kantor dan tempat tinggal sementara untuk menampung para mantan pejuang tentara pelajar yang datang dari luar kota. Pada tahun 1974 yayasan sekolah guru Kristen ingin memakai tanah untuk mengembangkan usahanya dibidang pendidikan guru. Berdasarkan bukti Sertipikat Hak Pakai No 143/1974 Majelis Hakim memperoleh fakta bahwa atas nama pemegang Hak Pakai dari tanah adalah Yayasan Sekolah Guru Kristen Surakarta, asal persill tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (Bekas P.S No 24 AZ No. 153), luas lebih kurang 6.065 M2, lamanya hak berlaku 10 tahun, berakhir tanggal 31 Desember 1979, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah tanggal 17-11-1970 No. SK 1A II/H.P./18/70 dengan batas-batas tanah sebagaimana terurai dalam Gambar Situasi No. 477/1973 tanggal 30-4-1973. Di dalam persidangan tidak terungkap fakta bahwa yayasan tersebut telah mengajukan permohonan perpanjangan hak atau pembaharuan hak atas tanah sengketa kepada Kantor Agraria atau Kantor Pertanahan. Tanah sengketa adalah Hak Pakai yang asal muasalnya dari tanah hak opstal, yang masa berlakunya telah berakhir pada tanggal 31 Desember 1979, maka menurut Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1979 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri RI (PMDN) Nomor 3 Tahun 1979, tanah sengketa tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Putusan Nomor 110/ Pdt/ 2012/ PT.Smg berbunyi Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 10 Januari 2012 Nomor 68/Pdt.G/2011/PN.Ska yang dimohonkan tersebut, Menghukum Pembanding semula Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).

14

(9)

Putusan No 68/ Pdt.G/2011/ PN.Ska menolak eksepsi para Tergugat untuk seluruhnya, menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi I dan gugatan Penggugat Rekonpensi II tidak dapat diterima, menghukum Penggugat dalam konpensi atau Tergugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini, yang hingga kini ditetapkan sebesar Rp 2.191.000,- (dua juta seratus Sembilan puluh satu ribu rupiah )

Sampai saat ini tanah tersebut masih dihuni oleh para penghuni yang juga merupakan sebagai para Tergugat pada kasus tersebut. Tentunya diperlukan perlindungan hukum terhadap para penghuni tanah yang telah lama mendiami tanah tersebut yang berstatus tanah negara. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penulis hendak mengkaji lebih dalam mengenai perlindungan hukum terhadap penghuni tanah yang berstatus tanah Negara serta pertimbangan hakim yang dapat melindungi penghuni tanah bekas hak opstal dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penghuni Tanah Berstatus

Tanah Negara (Studi Kasus Putusan Nomor 110/Pdt/2012/PT.Smg).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah- masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran. Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penghuni tanah yang berstatus tanah Negara berdasarkan Putusan Nomor 110/Pdt/2012/PT.Smg ?

2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

(10)

1. Tujuan umum

a. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap penghuni tanah yang berstatus tanah negara.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim sehingga menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya sehingga dapat melindungi penghuni tanah negara tersebut.

2. Tujuan khusus

a. Untuk memberikan gambaran, menambah pengetahuan serta mengembangkan wawasan peneliti terkait dengan perlindungan hukum terhadap para penghuni tanah yang berstatus tanah negara serta prosedur untuk mendapatkan Hak Milik atas tanah Negara yang telah lama dihuni. b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memperoleh gelar Magister di bidang Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dillakukan, sebab besar kecilnya manfaat peneitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis pribadi di bidang ilmu hukum khususnya kenotariatan.

b. Memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya kenotariatan.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan daya penalaran dan membentuk pola pikir dinamis penulis serta mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan

(11)

masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama, serta mampu menjawab masalah yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Di era globalisasi saat ini teknologi informasi dan komunikasi sedang berkembang pesat. Perkembangan tersebut secara tidak langsung berpengaruhh terhadap jalannya aktivitas manusia

permukaaan kontak knaalpot dengan minyak jarak dapat mengurangi waktu pemanasan awal menjadi 14.2 menit dari sebelumnya selama 26.4 menit pada saat suhu permukaan luar. knaalpot

The scientific method as a method of intervention to improve the character education of elementary school students is more directed to the affective domain in the field of

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi

database dan bisa ditampilkan pada web serta mengirim pesan singkat ke handphone apabila salah satu phasa arus pada kWh meter ada yang hilang atau bocor. Pada

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

Adanya ketidaksamaan peran agama dan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara dan antara persepsi sebagai ancaman dengan perasaan

30 Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan dengan kata-kata yang halus agar mereka tidak tersinggung. SS S