• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar manusia secara mudah mampu ditembus. Hampir setiap orang mampu melihat kejadian di belahan bumi lain dan menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara mereka baik dari sisi ekonomi, sosial, ras, budaya, norma, maupun ideologi. Keadaan ini juga semakin membuka kemungkinan setiap manusia untuk menyadari bahwa setiap hukum, aturan, norma, budaya, maupun penjelasan terhadap perilaku manusia pada suatu budaya memiliki sisi keasliannya dan kesesuaian masing-masing sehingga tidak lagi mampu dipahami secara lengkap dengan teori-teori sosial yang bersifat umum atau universal yang selama ini telah dikenal (Astiyanto, 2012; Naisbitt, 1994).

Sebuah teori sosial sebagai alat penjelas tidak terlepas dari perspektif yang mengandung asumsi, nilai, dan gagasan tempat teori tersebut terbentuk. Sebuah teori yang bersifat lokal justru mampu menguat ketika sebuah teori umum semakin ditekankan untuk menganalisis segala fenomena lintas konteks. Paradoks ini mengindikasikan bahwa semakin teori umum mencoba menjelaskan semua konteks kehidupan manusia, semakin terlihat kekurangan-kekurangannya sehingga semakin dibutuhkan teori yang bersifat kontekstual yang lebih tepat dalam menjelaskan. Hal tersebut sebagaimana dapat dilihat dari contoh keadaan di Indonesia pada tahun 1998-an ketika penetapan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang hal tersebut justru menguatkan peran bahasa Indonesia sebagai

(2)

bahasa kesatuan, meskipun bahasa Indonesia tersebut pada akhirnya juga menjadi ancaman bagi tidak diperhatikannya bahasa-bahasa lokal yang mencerminkan sisi keunikan setiap etnis budaya di Indonesia (Astiyanto, 2012; Mulyana, 2013; Naisbitt, 1994). Kasus lain yang berbeda terkait dengan teori-teori sosial yang ada saat ini khususnya di bidang ilmu psikologi yang masih berorientasi sekedar membantu sistem kapitalis yang ada untuk menundukkan agar manusia “bahagia” bekerja pada pihak-pihak tertentu dan belum sampai pada penekanan pentingnya diri manusia terbebas dari belenggu keinginan-keinginannya yang tidak pernah puas dan melupakan nilai-nilai kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan sesuai budaya tempat menjalani kehidupan (Jatman, 1985).

Permasalahan di atas juga diperkuat dengan adanya pandangan bahwa benda adalah sumber kesenangan dan kesedihan manusia dan tidak memperhatikan bahwa kesenangan dan kesedihan manusia sebenarnya tergantung pada pemahaman manusia terhadap penyebab dan dampak dari keinginan-keinginan yang dimilikinya (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1990).

Teori-teori sosial yang digunakan untuk menganalisis permasalahan Indonesia saat ini masih cenderung mengacu pada teori Barat sehingga sebuah permasalahan sering kali kurang kaya akan eksplorasi dan penjelasan dari berbagai sudut pandang. Teori psikodinamika tersusun atas pengalaman-pengalaman subjek perorangan pasien Sigmund Freud. Teori psikologi humanistik dibangun dari pengalaman-pengalaman individu (klien) Carl Rogers yang terjadi di negara maju, Amerika Serikat, yang memiliki teknologi dan budaya kompetisi individual yang lebih kuat daripada budaya komunal masyarakat Indonesia (Jatman, 1985; Sobur,

(3)

2013). Sedangkan teori psikodinamika menekankan dasar analisis kepribadian manusia dari id yang senantiasa mengejar kesenangan belaka dan norma masyarakat dipandang sebagai seperangkat kesepakatan agar penyaluran id diterima secara komunal. Semisal, jika seseorang memiliki dorongan (id) seksual, maka masyarakat menciptakan norma masyarakat tentang pernikahan demi dibolehkannya penyaluran hasrat seksual tersebut. Teori humanistik menekankan pentingnya sisi kreativitas manusia dalam mengeksplorasi dirinya, sedangkan teori humanistik terlahir di negara maju, Amerika Serikat, yang telah unggul dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya sekaligus menekankan pentingnya persaingan dan pencapaian individu.

Kedua teori di atas berbeda dengan teori Kawruh Jiwa Suryomentaram yang menempatkan norma masyarakat sebagai hal yang harus dipatuhi bersama dan bukan sekedar sebagai aturan yang dibuat manusia untuk memudahkan tersalurkannya keinginan-keinginan (id). Norma adalah acuan penilaian perilaku dalam Kawruh Jiwa Suryomentaram karena norma akan menjadikan berbagai kepentingan individu yang ada di dalamnya tetap berjalan selaras tanpa saling merugikan atau mengganggu. Kawruh Jiwa Suryomentaram juga merupakan suatu teori yang lahir di Indonesia sehingga bersifat lebih kontekstual untuk diterapkan dalam menganalisis dinamika masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya (Adimassana, 1986; Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989).

Kawruh Jiwa Suryomentaram mengasumsikan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat “pengawas” yang mampu dididik dan dilatih sepanjang hidup

(4)

manusia yang akan menjadikan keinginan-keinginan (id) menurut teori Freud yang awalnya sebagai subjek pengendali diri manusia menjadi objek yang mampu dikendalikan dan setiap manusia haruslah berperilaku sosial secara baik tanpa mengabaikan lingkungan sekitarnya. Penekanan terhadap hal ini yang menjadikan Kawruh Jiwa Suryomentaram mampu menutup celah kekurangan baik dari teori psikoanalisis yang menekankan id (keinginan) manusia sebagai dasar utama manusia berperilaku maupun teori humanistik yang terbentuk di negara maju yang menekankan persaingan dan pencapaian individual (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989). Meskipun begitu, Kawruh Jiwa Suryomentaram memiliki kesamaan dengan psikoanalisis yang menekankan id yang senantiasa mencari kesenangan sebagaimana konsep raos aku kramadangsa dan memiliki kesamaan dengan teori humanistik yang tidak sekedar menjelaskan kenyataan dalam kehidupan, melainkan juga etika dan kebijaksanaan hidup yang seharusnya dicapai manusia (Jatman, 1985).

Kawruh Jiwa Suryomentaram tersusun dari kegelisahan Suryomentaram terhadap pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Suryomentaram memulai proses mengkritisi pemikiran terhadap pengalaman-pengalaman yang dirasakannya ini melalui diskusi dengan rekan-rekannya dalam Perkumpulan malam Selasa Kliwon. dikenal sebagai Junggring Saloka. Junggring Saloka adalah perkumpulan yang berfungsi sebagai sarana diskusi yang dilakukan Suryomentaram dan rekan-rekannya yang mencoba mengkritisi pemikiran tentang makna kehidupan (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989). Kawruh Jiwa Suryomentaram menitikberatkan terbentuknya ekspresi emosi yang baik dalam

(5)

menyikapi keinginan dan keadaan sosial yanga ada. Manusia dalam berperilaku baik secara sosial tidak akan memiliki kehidupan yang berbeda jauh dari masyarakatnya hanya demi memenuhi keinginan diri sendiri (Suryomentaram, 1989).

Manusia sepanjang perjalanan hidupnya senantiasa mengalami rasa senang jika keinginan-keinginannya terpenuhi dan bersedih jika keinginannya tidak terpenuhi. Prioritas keinginan yang ingin terpenuhi yang ditandai oleh emosi susah atau senang adalah beragam pada setiap orang, waktu, dan keadaan. Intinya adalah manusia pasti mengalami rasa senang, bahagia, gembira, lega, bangga yang pasti mulur jika keinginannya terpenuhi dan rasa susah, sedih, takut, kecewa yang pasti mungkret jika keinginannya tidak terpenuhi. Ambillah contoh misalnya seseorang remaja yang memiliki baju baru ketika lebaran dan sudah terpenuhi keinginannya tersebut akan menjadi sedih dan belum lega karena belum memiliki jam tangan baru. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang terpaksa memakan makanan dengan lauk seadanya setidaknya akan merasa senang dan lega karena dirinya sudah bisa makan dan tidak kelaparan yang berarti mulur (Suryomentaram, 1989).

Manusia bukanlah suatu masalah yang akan secara tuntas dipecahkan, melainkan suatu misteri yang tidak mungkin disebutkan ciri dan sifatnya secara tuntas. Oleh karena itu, harus dipahami dan dihayati (Astiyanto, 2012). Dinamika kehidupan manusia tersebut yang ditampakkan dalam sikap dan perilaku keseharian tidak terlepas dari pada pengalaman-pengalaman terpenuhi atau

(6)

tidaknya keinginan-keinginannya di usia-usia yang sebelumnya (Adimassana, 1986).

Suryomentaram (1990) menjabarkan tahap-tahap kehidupan manusia adalah sebagai berikut :

1. Tahap merasakan, tetapi belum bisa bertindak (Dimensi I). Tahap ini disebut sebagai juru cathet. Tahap ini digambarkan oleh kehidupan bayi yang mampu merasakan, tetapi belum mampu bertindak. Misalnya adalah ketika bayi digigit nyamuk merasakan gatal, tetapi belum mampu menggaruknya sehingga bayi hanya akan menangis. Manusia pada tahap ini hidupnya masih bagaikan tumbuhan sebab secara pasif menerima rangsangan-rangsangan dari lingkungan, namun belum mampu berbuat dan berpikir, dan kemampuannya hanya senantiasa membuat kumpulan cathetan (kumpulan pengalaman-pengalaman) yang dialaminya yang juga akan berpengaruh pada perilakunya di usia selanjutnya.

2. Tahap keingintahuan tanpa diiringi pengetahuan dan konsekuensi (Dimensi II). Tahap ini meliputi terbentuknya kelompok cathetan-cathetan dalam diri manusia. Pada tahap ini seorang anak memiliki rasa ingin tahu, tetapi belum disertai dengan pemahaman pengetahuan dan konsekuensinya. Contohnya adalah anak-anak yang merasa senang pada nyala api lalu mendekatinya dan memegang api yang akhirnya menyebabkan tangannya melepuh. Anak tersebut merasa senang dan antusias ketika melihat api sehingga muncul keinginan yang berarti

(7)

mulur, tetapi setelah memegang dan akhirnya kesakitan, maka dirinya pun merasa kecewa, takut, kaget, dan sakit dan tidak memiliki keinginan lagi untuk memegang api yang berarti mungkret. Tahapan ini mencerminkan bahwa manusia telah memiliki pikiran, kehendak, dan perasaan untuk mengetahui suatu hal, tetapi masih belum diiringi pemahaman terhadap akibat yang akan dirasakan.

Pengalaman memegang api tersebut akan berkembang menjadi salah satu cathetan yang dimiliki oleh seseorang. Cathetan-cathetan tersebut akan mengelompok menjadi 11 cathetan, yaitu harta benda (semat), kehormatan (drajat), kekuasaan (kramat), keluarga, golongan, bangsa, jenis, kepintaran, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup (raos gesang).

3. Tahap memahami pemuas kebutuhan dan cara pemenuhannya (Dimensi III). Manusia dalam tahap dikendalikan oleh raos aku kramadangsa. Raos aku kramadangsa adalah struktur kepribadian manusia yang bersentuhan dengan realitas dan senantiasa berusaha ingin memenuhi keinginan-keinginan setiap cathetan. Raos aku kramadangsa menjadi “budak” bagi 11 cathetan yang ada pada Dimensi II sehingga raos aku kramadangsa menjadikan manusia senantiasa merasakan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu demi memenuhi keinginan setiap cathetan tersebut. Raos aku kramadangsa adalah diri manusia yang sifatnya egosentris. Jika seseorang bernama Suto, maka Aku Raos aku kramadangsa ini bisa diganti “Aku Si Suto”.

(8)

Raos aku kramadangsa tidak bisa diwakilkan dan tidak mau disalahkan; yang akan merasa senang, bahagia, bangga yang berarti mulur jika berhasil memenuhi keinginan-keinginan cathetan dan merasa sedih, susah, kecewa yang berarti mungkret jika gagal memenuhi keinginan-keinginan cathetan. Tahapan ini terjadi pada masa remaja, dewasa, atau bahkan pada saat seseorang sudah menjadi tua.

4. Tahap manusia sehat seutuhnya (Dimensi IV). Tahap ini disebut dengan istilah Manungso Tanpa Tenger. Tenger adalah cela dalam bahasa Jawa. Tenger tersebut dalam konsep Kawruh Jiwa Suryomenaram adalah cathetan-cathetan manusia yang terdiri dari 11 cathetan yang akan menjadikan manusia akan menilai orang lain berdasarkan harta benda (semat), kehormatan (drajat), kekuasaan (kramat), keluarga, golongan, bangsa, jenis, kepintaran, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup (raos gesang). Sebaliknya, Manungso Tanpa Tenger adalah manusia yang mampu elastis terhadap keinginan-keinginan yang dimilikinya yang berarti akan merasa senang jika keinginannya terpenuhi dan akan menerima keadaan jika keinginannya tidak terpenuhi sebab dirinya memahami bahwa memang begitulah kehidupan. Tahapan ini ditandai oleh 6 Sa, yaitu sabutuhe (sebatas waktu munculnya kebutuhan), sakarepe (sebatas jika keinginannya tidak melanggar hak orang lain), sapenake (sebatas kemampuan dirinya), samesthine (sebatas cara pemenuhan yang tidak

(9)

melanggar norma masyarakat), sacukupe (sebatas kecukupan kebutuhannya), dan sabenere (sebatas kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan).

Contohnya adalah manusia kaya yang telah mampu menilai bahwa orang miskin pun akan mengalami kesenangan dalam kehidupannya sehingga ia tidak terpaku menilai kemiskinan sebagai suatu kehinaan karena jika seseorang masih menilai bahwa kemiskinan adalah kehinaan, maka sebenarnya perasaan tersebut masih tercampuri rasa ingin kaya dan rasa takut miskin. Manusia yang telah mencapai tahap ini telah memahami bahwa dalam kehidupan pasti akan mengalami kesusahan dan kesenangan yang silih berganti. Manusia pada tahap ini memahami bahwa sifat dasar keinginan adalah senantiasa merasa celaka, sedih, susah, kecewa, tertekan, yang berarti mungkret jika keinginannya tidak terpenuhi dan begitu pun sebaliknya, senantiasa akan merasa bahagia, bangga, bahagia, dan mulur jika keinginannya terpenuhi.

Manusia pada tahap dimensi IV memahami bahwa sifat dasar manusia adalah senantiasa menyukai dan mendambakan kesenangan-kesenangan yang berarti mendambakan keadaan yang senantiasa menimbulkan rasa mulur dan membenci kesusahan-kesusahan yang berarti membenci keadaan yang menimbulkan rasa mungkret. Manusia pada tahap ini juga memahami bahwa sumber kesenangan dan kesusahan sejati bukanlah berasal dari benda, melainkan dari

(10)

kemampuan dirinya sendiri dalam mengetahui dan memahami keinginan-keinginannya. Pada tahap dimensi IV, Raos aku kramadangsa tidak lagi sebagai subjek aktif yang mengendalikan, melainkan sebagai objek pasif sehingga mampu diamati, dipahami, dan diawasi.

Cathetan-cathetan keinginan manusia (raos aku kramadangsa) yang mulai muncul pada Dimensi II mengelompok menjadi 11 kategori. Sebelas cathetan tersebut adalah (1) kekayaan, yakni kelompok cathetan yang meliputi rumah, baju, benda-benda lain yang merupakan kepemilikan yang ditandai sebagai “harta bendaku” yang kalau diambil, seseorang akan marah, namun kalau ditambah akan merasa senang, lega, bangga, bahagia, mulur; (2) kehormatan, yakni cathetan yang berisikan cara-cara memberikan hormat. Salaman, disapa, berjongkok, disanjung, membungkukkan badan, dll. Sifat cathetan kehormatan ini jika dituruti akan senang dan jika tidak diikuti akan merasa marah, sedih, kecewa, tertekan, mungkret. Isinya seperti jabatan bupati akan dihormati, jabatan raja akan disanjung, rajanya dari para raja akan disembah; (3) kekuasaan, yaitu cathetan yang berisikan kekuasaan terhadap hal yang dimiliki. Misalnya kekuasaannya terhadap kepemilikan barang. Seseorang semisal memagari rumahnya dan jika ada orang lain yang masuk ke rumahnya tanpa izin, dirinya akan merasa marah, kecewa, susah, mungkret karena kekuasaannya diganggu; (4) keluarga, yakni cathetan yang berisikan mengenai ayahku, adikku, ibuku, suamiku, dll. sifat cathetan ini adalah jika diganggu akan merasa marah, sedih, kecewa, tertekan, mungkret dan jika dibantu akan merasa senang, bangga, lega, mulur; (5)

(11)

golongan, yakni cathetan kelompok yang mana seseorang berada di dalamnya baik memilih atau karena keadaan sejak lahir. Golongan meliputi kelompok partai, priyayi, orang kaya, agama tertentu, dll. Cara masuk ke dalam golongan meliputi dua cara, yaitu tidak sengaja dan sengaja. Cara masuk golongan secara tidak sengaja semisal seseorang karena kemelaratannya masuk ke dalam golongan masyarakat ekonomi lemah dan sengaja jika seseorang karena ideologi yang ia anut masuk ke partai politik berideologi yang sama dengan dirinya. Sifat cathetan golongan sama, yaitu jika dipuji akan merasa bahagia, senang, bangga, mulur dan sebaliknya merasa marah, sedih, kecewa, mungkret apabila diejek, dihina; (6) kebangsaan, yakni cathetan yang berisi keberadaan manusia yang bukan atas kehendaknya menjadi bagian masyarakat dalam sebuah negara. Sifat cathetan kebangsaan adalah jika dicela akan merasa marah, kecewa, sedih, kesal, mungkret dan jika disanjung akan merasa senang, bangga, bahagia, mulur; (7) jenis, yakni cathetan tentang sifat yang dirasakan saat bertemu orang lain sebagai sesama manusia dan dengan hewan atau tumbuhan sebagai sesama makhluk hidup. Jika cathetan ini dipuji, maka akan merasa senang, lega, bangga, bahagia, dan jika diganggu maka akan merasa marah, sedih, kecewa, mungkret. Misalnya seseorang akan menolong ketika ada orang lain yang sedang dikejar hewan buas yang perilaku tersebut muncul karena rasa sebagai sesama manusia; (8) kepandaian, yakni cathetan yang berisi kepandaian yang dimiliki manusia dan merupakan keunggulan kompetensi atau pencapaian pada dirinya, misalnya kemampuan menari, memprogram komputer, melukis, dan lain-lain; sifat cathetan ini sama dengan cathetan-cathetan lain yang akan mulur jika dipuji dan mungkret jika

(12)

dihina atau diganggu. (9) kebatinan, yakni cathetan yang mengungkapkan hal-hal yang dirasakan mengenai diri sendiri dan lingkungan. Cathetan kebatinan berisi tentang keyakinan akan kepercayaan atau hakikat suatu hal; (10) ilmu pengetahuan, yakni cathetan yang berisi pengetahuan dan ilmu dalam berbagai hal. Sifatnya sama dengan cathetan lain yang jika dipuji akan merasa senang, bangga, bahagia, dan mulur dan jika dicela akan merasa marah, susah, sedih, kecewa, dan mungkret; dan (11) rasa hidup (raos gesang), yakni cathetan yang berisi pengalaman untuk memenuhi kebutuhan raga atau kebutuhan melestarikan jenis yang meliputi pakaian, makanan, dan tempat tinggal dan pengalaman untuk memahami perilaku makhluk lain. Rasa hidup ini juga terdapat pada tumbuhan dan hewan yang ditandai oleh kemauan bertahan hidup dan melestarikan jenis (Suryomentaram, 1990).

Teori Bronfenbrenner menyatakan bahwa budaya adalah suatu makrosistem yang jangkauannya berada paling jauh dari individu karena hal utama yang diterima individu adalah nilai-nilai keluarga tanpa harus terlalu memperhatikan nilai atau norma masyarakat sehingga lebih permisif terhadap keputusan-keputusan individu, meskipun keputusan tersebut tidak sesuai nilai atau norma masyarakat. Sedangkan Kawruh Jiwa Suryomentaram menjelaskan bahwa budaya (nilai, norma, kebiasaan, dan aturan masyarakat) akan mempengaruhi secara langsung kehidupan manusia sejak lahir sehingga akan menjadi acuan bahwa dalam bersikap dan berperilaku seorang individu harusnya tidak mengabaikan nilai, norma, dan aturan sosial masyarakat ketika berusaha

(13)

memenuhi keinginan-keinginan yang dimilikinya (Fiest & Fiest, 2008; Santrock, 2003).

Keberadaan kemampuan mulur mungkret jika ditinjau dari teori psikologi yang sudah ada (teori psikologi dari budaya Barat) sekilas hampir sama dengan konsep personal adjustment atau kemampuan penyesuaian diri. Schneider (Fiest & Fiest, 2008) berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat berarti sebagai adaptasi, penyesuaian diri sebagai konformitas, dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan diri. Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi, tetapi adaptasi umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik seperti seseorang mencari kehangatan ketika merasa kedinginan. Sedangkan penyesuaian diri sebagai konformitas menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat dari lingkungannya untuk selalu mengikuti perilaku kelompok, meskipun konformitas adalah suatu hal yang wajar terjadi secara natural pada manusia. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan diri masih mengarah pada tataran kemampuan penguasaan manusia sebatas kognitif. Konsep penyesuaian diri berarti telah ada dalam mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram yang juga telah memasukkan kemampuan penyesuaian diri secara fisik sebagai dorongan bertahan hidup dalam cathetan rasa hidup (raos gesang) dan menitikberatkan dinamika di dalam diri sebagai sesuatu yang lebih luas karena meliputi pengelolaan jiwa individu yang bersangkutan (raos), etis karena tidak membiarkan manusia berperilaku yang sebenarnya wajar, tetapi merugikan, dan bijaksana karena menitikberatkan pemaknaan terhadap keadaan yang dialami individu yang bersangkutan (Jatman, 1985).

(14)

Erikson dalam Fiest & Fiest (2008) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa internalisasi nilai-nilai oleh seorang remaja karena pada masa ini seorang remaja akan banyak mengeksplorasi diri secara mendalam yang berarti masa yang mana manusia berkembang dan tumbuh berbagai macam keinginan-keinginan. Remaja akan begitu banyak memperoleh berbagai nilai, terlebih ketika teknologi saat ini memungkinkan remaja menerima secara cepat dan mudah berbagai nilai lintas budaya termasuk nilai-nilai budaya Barat. Nilai budaya Barat ini pun juga dominan diterima oleh remaja di Indonesia sehingga memudahkan pergeseran bahkan pergantian nilai-nilai budaya remaja Indonesia sehingga semakin tidak mengenali nilai-nilai budayanya. Keadaan ini juga ditambah dengan keadaan minimnya usaha internalisasi nilai-nilai budaya Indonesia di jenjang pendidikan (Astiyanto, 2012; Sadhvi, 2013).

Keadaan remaja yang masih belum matang bisa ditemui oleh peneliti ketika melakukan pengambilan data. Beberapa remaja siswa MAN 1 Yogyakarta mendatangi salah satu rekan penelitian dan menanyakan perihal alasan kelasnya tidak turut serta dimintai data. Hal tersebut dilakukan siswa yang bersangkutan karena menginginkan hadiah yang diberikan peneliti. Hal ini berarti bahwa adanya hadiah setelah mengisi kuesioner telah memantik keinginan di dalam diri siswa untuk memenuhi keinginan dirinya. Hadiah tersebut memunculkan keinginan di dalam diri remaja yang berarti mulur yang akan merasa senang apabila diberi dan ketika siswa mengetahui bahwa kelasnya ternyata tetap tidak akan diminta mengisi kuesioner yang berarti tidak akan memperoleh hadiah, maka siswa tersebut menganggap keinginannya tidak terpenuhi yang berarti mungkret yang

(15)

bisa ditunjukkan melalui rasa kecewa. Selain itu, penelitian Mulyana (2013) memaparkan bahwa keadaan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa remaja diukur standar penyesuaian dirinya sebagai manusia dari kepemilikannya terhadap benda-benda seperti handphone atau sepeda motor yang tak lain adalah wujud dari cathetan semat, prestasi berupa rangking di kelas atau perolehan medali yang tak lain adalah cathetan drajat, dan banyak sedikitnya teman yang bisa dipengaruhinya yang tak lain adalah cathetan kramat. Hal tersebut menandakan bahwa dalam kenyataan sehari-hari remaja khususnya siswa sekolah menengah atas menunjukkan adanya fenomena tentang kemampuan dan dinamika mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram. Tuntutan-tuntutan prestasi tersebut menjadi prioritas dalam berbagai jenjang pendidikan yang berdampak terhadap diperlakukannya pendidikan karakter hanya sebagai pilihan tambahan atau sekedar alternatif sehingga melahirkan generasi Indonesia yang kalau pun cerdas, tetapi miskin moralitas dan kering kepeduliannya terhadap masyarakat.

Masa remaja adalah masa eksplorasi yang ditandai oleh berkembangnya keinginan-keinginan yang dimilikinya sebagai seorang manusia sehingga menjadi fenomena yang menarik dan penting untuk dipahami secara kontekstual berdasarkan teori yang lahir dalam konteks yang sama dengan remaja tersebut (Jatman, 1985; Santrock, 2003; Suryomentaram, 1989).

(16)

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman dan menampakkan ke permukaan tentang keberadaan kemampuan dan dinamika mulur-mungkret pada remaja tengah di MAN 1 Yogyakarta.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian yang bertemakan keberadaan dan dinamika kemampuan mulur-mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram pada masa remaja ini diharapkan memberi manfaat berupa :

1. Manfaat Teori

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman dan penjelasan terkait dengan pemahaman terhadap dinamika kemampuan mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram. Hal itu diharapkan dapat menjadi data dan bukti empiris atas konsep mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram serta memberi perluasan wacana pemahaman yang terkait psikologi budaya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pemahaman bagi subjek penelitian untuk memahami dinamika mulur mungkret yang dialami remaja tengah.

(17)

b. Bagi guru/pendidik

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar penyusunan kebijakan model pendampingan terhadap siswa.

c. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan akan dijadikan referensi dalam kajian yang menganalisis keberadaan dan dinamika kemampuan mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram dengan subjek atau konteks yang berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perspektif hukum Internasional Pemerintah Indonesia diwajibkan ikut melakukan perlindungan hukum dalam rangka memberikan perlindungan hak asasi manusia

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang dimaksud dengan pajak

• Pada X23 Pada X7 (Mengendalikan dan mengawasi rencana kerja penyedia jasa pemborongan/ kontraktor pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas, kuantitas serta

Hasil lain juga ditemukan oleh Hendrawaty (2007) pada penelitian yang dilakukannya, yaitu penelitian dilakukan terhadap perusahaan yang terdaftar BEI dengan periode pengamatan

Pada tanggal 2 Maret 2010 didapatkan bengkak pada bagian bawah rahang makin membesar, sukar membuka mulut, nyeri menelan berkurang, pasien dapat makan makanan cair dan

Ovitrap surveillance of the dengue vectors, Aedes (Stegomyia) aegypti (L.) and Aedes (Stegomyia) albopictus Skuse in selected.. areas in Bentong, Pahang,

bahwa berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease

Menurut Saidi (2004, 44), isyarat atau sinyal adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana