BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pada bab sebelumnya, Penulis akan menyimpulkan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut :
1. Perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI) Indonesia yang termaktub pada Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 dilatarbelakangi dengan harapan untuk meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia serta pelaksanaan komitmen Indonesia dalam kaitannya dengan AEC 2015. Penyusunan DNI ataupun penyusunan perubahan DNI sendiri telah disesuaikan dengan prinsip dasar yang termaktub pada Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007. Di dalam DNI, terdapat dua pokok pengaturan atau prinsip utama perubahan yakni dengan adanya prinsip negative list dan grandfather clause sehingga dua prinsip utama ini akan memberikan kepastian hukum bagi investor dan pengamanan bagi sektor usaha nasional.
2. Dalam keterkaitan Daftar Negatif Investasi 2014 dengan ACIA, guna memaksimalkan integrasi investasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) 2015 sendiri, telah disepakati integrasi investasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 akan berfokus pada sektor manufaktur, pertanian
atau agrikultur, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan penggalian, jasa-jasa yang terkait dengan kelima sektor tersebut serta sektor lain yang dapat disetujui berdasarkan perjanjian diantara negara anggota, namun di Indonesia tepatnya yang diatur dalam DNI 2014 hanya meliputi dua sektor yaitu di bidang parekraf (sarana promosi film) dan angkutan multimoda. ACIA pada pokoknya menetapkan prinsip liberalisasi investasi, perlindungan, promosi dan fasilitas dalam investasi. Di dalam ACIA juga diatur mengenai prinsip national treatment dan most favoured-nation yang mana pada kesimpulannya, segala ketentuan pada ACIA sudah terakomodir baik pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 maupun pada Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014.
3. Daftar Negatif Investasi 2014 yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 sendiri masih memiliki beberapa kelemahan baik dalam sistem penyusunannya maupun dalam sistem pengawasannya. Dalam proses perumusannya, tidak adanya kajian jelas tertulis dari kementrian-kementrian terkait yang mendasari perubahan persentase penanaman modal pada Daftar Negatif Investasi, kecuali pada sektor kesehatan. Kelemahan lain juga pada kurang sesuainya antar peraturan pendukung Daftar Negatif Investasi, misalnya dengan aturan KBLI. Dalam sistem pengawasannya, kelemahan dapat ditemui pada sistem koordinasi yang kurang baik antara badan pengawasan penanaman modal yang mana mengawasi penanaman modal secara langsung yakni BKPM dengan badan pengawasan penanaman modal secara tidak langsung yakni OJK, hal ini
ditambah dengan kurang tegasnya penegakkan sanksi atas pelanggaran dalam hal penanaman modal. Seluruh kelemahan ini tentunya merupakan tantangan untuk dapat diatasi sehingga tujuan awal AEC 2015 yakni integrasi investasi dapat tercapai.
4. Pada dasarnya, ketentuan nasional yang mengatur mengenai penanaman modal yakni pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai Payung Hukum dalam hukum investasi serta Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 sudah cukup baik dalam mengamankan sektor vital nasionalnya. Berdasarkan riset yang ada, Indonesia bahkan tergolong sebagai negara yang memiliki kebijakan proteksi terhadap sektor nasional cukup ketat dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya. Perlindungan hukum terhadap sektor ekonomi nasional yang didasarkan ditawarkan oleh Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 berupa adanya penetapan modal minimal investasi sehingga investor tidak secara sembarangan dapat menanamkan modal untuk investasi di Indonesia, penutupan penanaman modal asing pada sektor-sektor UKM yang mana digolongkan atas sektor-sektor yang paling rawan dikarenakan sektor-sektor UKM inilah yang merupakan industry kreatif dengan modal kecil yang merupakan harapan pedagang yang mana harus dilindungi dari ancaman investor asing, adanya pengurangan dan bahkan penutupan penanaman modal asing pada sektor tertentu yang mana sektor-sektor dirasa sudah mandiri dan mampu mengembangkan sektor-sektornya sendiri sehingga tidak lagi mengandalkan investor asing, penyusunan
daftar negatif investasi yang telah merujuk pada prinsip dasar penyusunan, dan adanya kewajiban divestasi pada jangka waktu tertentu.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta analisis diatas, Penulis memberikan saran terkait dengan permasalahan yang ditemukan sebagai berikut :
1. Berkenaan dengan perubahan persentase penanaman modal pada setiap sektor usaha, diharapkan setiap koordinator sektor atau setiap kementrian yang memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinir masing-masing sektor usaha memberikan kajian tertulis secara jelas mengenai alasan-alasan perubahan persentase penananaman modal, mengingat masih banyaknya pertanyaan yang timbul di masyarakat akan perubahan persentase penanaman modal di beberapa sektor usaha.
2. Berkenaan dengan tidak adanya sanksi jelas untuk penengakkan aturan investasi AEC diantara anggotanya, Penulis menyarankan agar badan pengawas yang memiliki tupoksi pengawasan di bidang investasi AEC, yakni
AIA Council (ASEAN Investment Area Council) untuk dapat menindak
pelanggaran misalnya dengan sanksi administratif atau adanya sanksi lainnya yang dapat ditentukan secara bersama-sama oleh negara anggota. Namun perlu diingat perwujudan AEC didasarkan dari bentuk diplomasi ekonomi, sehingga sebaiknya sanksi yang akan dikenakan tidak secara langsung diberikan, tetapi dapat dilakukan upaya-upaya seperti penentuan timbal balik (countervailing) atau adanya mekanisme mediasi dari badan pengawas
kepada anggota yang melakukan pelanggaran.
3. Berkenaan dengan masih banyaknya peraturan mengenai penanaman modal asing yang tidak berkesuaian, perlu adanya penyesuaian antara peraturan induk atau peraturan yang berlaku sebagai payung hukum, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan peraturan seperti Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 serta dengan peraturan pelaksana lainnya seperti peraturan-peraturan yang dibuat oleh BKPM. Diharapkan pemerintah dapat mengatasi ketidaksesuaian peraturan ini dengan melakukan review dan mensinergikan seluruh peraturan yang berkaitan sehingga tidak terdapat perbedaan dan agar tidak lagi timbul ambiguitas pada investor yang akan menanam modal karena tentunya kepastian hukum menjadi faktor penting dalam melakukan penanaman modal.
4. Berkenaan dengan masih banyaknya penyimpangan dalam penanaman modal, Penulis menyarankan perlu adanya kerjasama antara BKPM sebagai badan koordinator penanaman modal secara langsung dengan OJK sebagai badan koordinator penanaman modal secara tidak langsung untuk mengawasi sistem penanaman modal sehingga penyimpangan-penyimpangan yang ada dapat teratasi.
5. Penulis menyarankan untuk diadakannya kajian ulang terhadap sektor investasi yang mendapat perlakuan khusus untuk investor ASEAN. Hal ini dikarenakan tujuan dari terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ialah untuk integrasi sektor investasi, sehingga jika dilihat dari sektor yang diharapkan untuk diintegrasikan yakni yang termaktub pada ACIA dengan
sektor yang sekarang dibuka oleh Indonesia dirasa masih belum merepresentasikan tujuan integrasi investasi dari AEC 2015 tersebut. Penulis juga menyarankan adanya kajian ulang terhadap sektor-sektor usaha yang mengalami perubahan persentase yang drastis, misalnya ialah sektor pengeboran migas darat. Perlu adanya pertimbangan kemampuan sektor nasional baik secara fasilitas, modal, maupun sumber daya.
6. Penulis menyarankan agar dilaksanakannya peningkatan promosi terhadap sektor usaha nasional yang dibuka untuk penanaman modal asing terlebih berkenaan dengan masa Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Diharapkan dengan adanya promosi baik melalui seminar, workshop, dan hal-hal lannya akan meningkatkan ketertarikan investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia.