• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. NAPZA

2.1.1. Pengertian NAPZA

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004).

NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).

2.1.2. Jenis–Jenis NAPZA

NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.

1. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat

(2)

tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.

a. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.

b. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.

c. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan turunannya.

2. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche).

(3)

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :

a. Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.

b. Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.

c. Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.

d. Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.

3. Bahan Adiktif Lainnya

Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya :

a. Rokok

b. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.

(4)

c. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.

Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan juga tergolong NAPZA (Partodiharjo, 2008).

2.1.3. Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik ( Sumiati, 2009).

Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

(5)

Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009): a. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau

menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.

b. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

2.1.4. Tahapan Pemakaian NAPZA

Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut : 1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)

Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.

2. Tahap pemakaian sosial

Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.

(6)

3. Tahap pemakaian situasional

Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.

4. Tahap habituasi (kebiasaan)

Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.

5. Tahap ketergantungan

Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.

Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau

(7)

dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan.

Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh.

Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian (Harlina, 2008).

2.1.5. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA

Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu.

1. Faktor Genetik

Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot.

(8)

2. Lingkungan Keluarga

Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.

Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya komunikasi antara mereka.

Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya (Jehani, dkk, 2006).

3. Pergaulan (Teman Sebaya)

Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan

(9)

pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).

Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.

Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.

4. Karakteristik Individu a. Umur

Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang

(10)

memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak 70% penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani, dkk, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) proporsi penyalahguna NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun (54%).

b. Pendidikan

Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta pengambilan keputusan dalam keluarga.

Hasil penelitian Prasetyaningsih (2003) menunjukkan bahwa pendidikan penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar (50,7%). Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik. Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit.

(11)

c. Pekerjaan

Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).

2.1.6. Dampak Penyalahgunaan NAPZA

1. Terhadap kondisi fisik a. Akibat zat itu sendiri

Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.

Contohnya :

a.1. Ganja : pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.

a.2. Kokain : bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.

a.3. Alkohol : menimbulkan banyak komplikasi, misalnya : gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.

(12)

c. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril

Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis. d. Akibat pertolongan yang keliru

Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum. e. Akibat tidak langsung

Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.

f. Akibat cara hidup pasien

Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin. 2. Terhadap kehidupan mental emosional

Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.

3. Terhadap kehidupan sosial

Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat.

Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan

(13)

akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran, baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif (Alatas, dkk, 2006).

2.1.7. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) : 1. Pencegahan primer

Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka, individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan NAPZA lagi.

3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna

(14)

NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali.

2.1.8 Terapi dan Rehabilitasi

1. Terapi

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:

a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi

Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b. Detoksifikasi dengan Substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut (Purba, 2008).

(15)

2. Rehabilitasi

Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.

Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain : a. Rehabilitasi Medik

Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang bersangkutan.

b. Rehabilitasi Psikiatrik

Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing atau mengasuhnya.

Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA,

(16)

bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.

c. Rehabilitasi Psikososial

Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau bekerja.

d. Rehabilitasi Psikoreligius

Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.

(17)

e. Forum Silaturahmi

Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca rehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA (yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan penyalahgunaan NAPZA.

f. Program Terminal

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry program), yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja.

2.2. Konsep Perilaku 2.2.1. Pengertian Perilaku

Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

(18)

Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.

Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).

(19)

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

3. Tindakan atau praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.2.2. Determinan Perilaku

Green (1980) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)

Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.

(20)

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.

2.2.3. Konsep Dasar Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.

(21)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebgainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

(22)

f. Evaluasi

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan. Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam mengambil suatu keputusan (Notoatmodjo, 2003).

2.2.4. Konsep Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

(23)

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2007) : 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Voluing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.2.5. Konsep Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007).

(24)

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.3. Motivasi

2.3.1. Pengertian Motivasi

Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1989).

(25)

Sedangkan menurut Daft dan Marcic (2008) motivasi adalah kekuatan yang membangkitkan semangat dan ketekunan untuk mengejar tindakan tertentu.

2.3.2. Pembagian Motivasi

Ada dua jenis motivasi yaitu: 1. Motivasi Internal

Yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang. 2. Motivasi Eksternal

Yaitu motivasi yang berasal dari luar diri seseorang.

Motivasi pada penyalahguna NAPZA dapat diartikan suatu perilaku seseorang yang didorong untuk terlepas dari suatu penyakit atau rasa ketergantungan terhadap NAPZA terutama para remaja yang mengalami masa transisi atau pencarian identitas diri, dimana mudahnya terpengaruh oleh lingkugan luar atau sutau kelompok yang membawa pengaruh besar terhadap remaja tersebut untuk ke arah yang negatif, begitupun sebaliknya (Iryani, 2007).

2.4. Kambuh Kembali

2.4.1. Pengertian Kambuh Kembali

Kambuh kembali yaitu wujud perilaku menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan fungsinya dengan baik, yang berlangsung secara progresif. Gejala-gejala itu meningkat dan akhirnya ia memakai NAPZA, agar bebas dari tekanan (Martono, 2008).

(26)

Sedangkan menurut Nasution (2004) kambuh kembali adalah seseorang yang sudah sembuh dari penyalahgunaan NAPZA yang kembali menggunakannya.

2.4.2. Faktor – Faktor Penyebab

Adapun yang menjadi faktor penyebab kambuh kembali pada penyalahguna NAPZA adalah sebagai berikut (Nasution, 2004) :

a. Mantan penyalahguna NAPZA yang sudah pulih seringkali mengalami euforia. Mereka cenderung mabuk dengan keberhasilannya, lalu menjadi sombong dan serakah. Ia melupakan unsur-unsur penopang keberhasilannya. Mabuk keberhasilan, ditambah dengan keserakahan itulah yang membuatnya lengah dan kembali memakai NAPZA.

b. Stress. Mungkin mantan penyalahguna NAPZA banyak beban atau juga sering menyalahkan dirinya sendiri. Semua itu membuatnya stress. Seperti yang pernah dulu ia alami dan lakukan, setiap kali mengalami masalah, ia lari ke NAPZA. Ia ingin lari dari kenyataan.

c. Kepribadian yang tidak tahan perubahan. Mantan penyalahguna NAPZA yang tidak tahan perubahan potensial kambuh. Mereka ini termasuk yang tidak disiplin. Hal-hal yang sebelumnya sudah berusaha keras ia lakukan atau hindarkan, kembali lagi ia langgar.

d. Mereka yang demam obat. Yaitu mereka yang doyan makan obat. Setiap kali sakit, ia akan memakan obat. Suatu saat nanti ia pasti akan menjadikan NAPZA sebagai obatnya.

(27)

e. Kepribadian tanpa perlindungan. Maksudnya mereka yang sudah sembuh tidak mendapat pengawasan dari keluarganya ataupun dari teman sebaya. Mereka bisa dengan bebas kembali ke ‘habitatnya’.

f. Tidak adanya dukungan atau bimbingan dari keluarga. Hingga saat ini ada kesalahan yang tak disadari yaitu mereka yang berobat lebih banyak berorientasi pada pengobatan fisik, sementara kurang dukungan penyembuhan yang berasal dari keluarga.

2.4.3. Proses Kambuh Kembali

Menurut Groski dan Miller (1986), proses kambuh kembali terjadi dalam sebelas tahap yaitu sebagai berikut :

Tahap ke-1 : Perubahan Dalam Diri

Terlihat baik di luar, tetapi mulai menggunakan pemikiran yang tidak sehat dan adiktif untuk mengelola perasaan negatif mengenai citra diri. Beberapa gejala sebagai berikut:

a. Stres meningkat - dapat disebabkan oleh keadaan besar atau hal-hal kecil. b. Berubah dalam berpikir - program pemulihan tidak penting lagi.

c. Perubahan perasaan - perubahan suasana hati dan perasaan positif atau negatif yang berlebihan.

d. Perubahan perilaku - tidak ikut serta pada program seperti sebelumnya, mengetahui sesuatu yang salah.

(28)

Tahap ke-2 : Menyangkal

Mulai mengabaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, dan berhenti berkata jujur kepada orang lain mengenai apa yang dipikirkan dan rasakan. Beberapa gejala sebagai berikut:

a. Mengkhawatirkan tentang diri sendiri - merasa takut menggunakan NAPZA, dan memberhentikan ketakutan karena pikiran yang terlalu tidak nyaman.

b. Menyangkal diri dalam keadaan khawatir - meyakinkan diri bahwa semuanya baik, padahal sebenarnya tidak.

Tahap ke-3 : Menghindar dan Mempertahankan Diri

Menghindari orang atau situasi yang akan memaksa evaluasi akan kejujuran dari pemikiran, perasaan dan perubahan perilaku: dan jika dihadapkan, menjadi defensif dan tidak mendengarkan. Beberapa gejala sebagai berikut:

a. Yakin bahwa alkohol atau obat-obatan tidak akan digunakan lagi - meyakinkan diri sendiri bahwa energi tidak banyak yang dibutuhkan untuk menjaga ketenangan hati, dan menjaga ini meskipun rahasia.

b. Khawatir tentang orang lain - lebih berfokus pada ketenangan orang lain dari pada diri sendiri, menilai program lainnya, dan membuat segala sesuatunya menjadi rahasia.

c. Defensif - menghindari diskusi tentang masalah pribadi karena takut dikritik. d. Perilaku kompulsif - kembali ke cara lama, kaku dan merugikan diri sendiri dalam

(29)

e. Perilaku impulsif - menggunakan penilaian buruk dan menyebabkan masalah karena perilaku impulsif tanpa memikirkan dengan tuntas.

f. Menghindari orang - merasa tidak nyaman di sekitar orang lain dan mengubah perilaku untuk menyendiri, mencari-cari alasan untuk tidak bersosialisasi, dan merasa kesepian.

Tahap ke-4 : Terbangunnya Krisis

Bekerja keras untuk memecahkan masalah tetapi menyebabkan timbulnya permasalahan yang baru. Beberapa gejala sebagai berikut:

a. Perubahan visi - berfokus pada satu bagian kecil dari kehidupan dengan mengesampingkan segala sesuatunya.

b. Depresi - merasa sedih, tidur terlalu banyak dan kurang energi.

c. Hilangnya perencanaan konstruktif - bukan melihat ke depan atau berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

d. Kegagalan rencana - rencana mulai gagal dan setiap kegagalan menyebabkan reaksi yang berlebihan menciptakan masalah baru dan perasaan bersalah dan penyesalan.

Tahap ke-5 : Immobilisasi

Merasa terjebak dalam masalah yang berkelanjutan, tidak terkendali dan merasa tidak termotivasi untuk mengambil tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut: a. Berangan-angan - memiliki fantasi untuk melarikan diri jika seseorang akan

(30)

b. Kekalahan - perasaan seperti kegagalan, seseorang yang tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan benar.

c. Kebahagiaan - keinginan untuk bahagia tapi tidak tahu bagaimana mewujudkannya.

Tahap ke-6 : Kebingungan dan Reaksi Berlebihan

Bermasalah dalam hal berpikir jernih dan mengelola pikiran, perasaan dan tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut :

a. Kesulitan berpikir jernih - masalah biasanya sederhana namun membingungkan karena mental yang jatuh dan pemikiran yang tidak terkendali.

b. Kesulitan mengelola perasaan dan emosi - bereaksi berlebihan atau menjadi mati rasa, pikiran gila.

c. Kesulitan mengingat – kesulitan mengingat sesuatu dari masa lalu dan belajar hal baru yang menjadi suatu tantangan.

d. Kebingungan - tidak tahu apa yang benar atau salah, sehat atau tidak sehat, dan tidak tahu bagaimana memecahkan masalah.

e. Ketidakmampuan mengelola stress - perasaan mati rasa dan tidak mengakui itu, merasa kewalahan tanpa alasan, tidak bisa terlepas dari situasi atau lingkungan. Tahap ke-7 : Depresi

Merasakan bahwa hidup ini tidak layak atau berpikir untuk mengobati diri sendiri dengan obat - obatan atau alkohol untuk menghindari depresi. Beberapa gejala sebagai berikut :

(31)

mengganti makanan sehat dengan siap saji.

b. Tidak termotivasi - tidak bisa memulai dan menyelesaikan apapun dan merasa terjebak.

c. Susah tidur - tidak bisa tidur, mimpi buruk dan tidak nyenyak tidur. d. Hilangnya kegiatan harian - rutinitas sehari-hari menjadi berantakan.

e. Depresi mendalam - depresi diperhatikan oleh orang lain dan tidak dapat dengan mudah disangkal, merasa tidak ada yang peduli atau memahami.

Tahap ke-8 : Tingkah Laku Hilang Kontrol

Ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Beberapa gejala sebagai berikut :

a. Tidak teratur menghadiri pertemuan - mencari alasan untuk tidak pergi pertemuan dan bertemu dengan sponsor, membuat hal-hal lain menjadi lebih penting.

b. Sikap tidak peduli - tidak peduli tentang masalah untuk menyembunyikan perasaan putus asa.

c. Ketidakpuasan dengan kehidupan - perasaan ingin kembali ke alkohol dan obat-obatan karena segala sesuatu tidak akan menjadi lebih buruk.

d. Ketidakberdayaan - perasaan seolah-olah tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak ada jalan keluar.

Tahap ke-9 : Pengakuan Atas Hilangnya Kontrol

Penolakan atas gangguan dan realisasi atas kehidupan yang tidak terkendali, masalah semakin parah, dan ada sedikit kontrol atas keadaan, ketakutan dan kecemasan akibat hasil isolasi dan merasa bahwa tidak seorangpun yang membantu.

(32)

Beberapa gejala sebagai berikut :

a. Kesulitan dengan koordinasi fisik - pusing, kehilangan keseimbangan, koordinasi tangan-mata dan refleks lambat menyebabkan kecanggungan dan kecelakaan. b. Mengasihani diri sendiri - percaya bahwa tidak ada harapan dan merasa bersalah

pada diri sendiri.

c. Pengalaman penggunaan sosial - berharap kembali ke alkohol dan penggunaan narkoba dapat dikontrol dan mungkin satu-satunya alternatif untuk merasa lebih baik.

d. Sadar berbohong - hal-hal yang dikatakan adalah kebohongan, dan tidak bisa berhenti berbohong.

e. Hilangnya kepercayaan diri – percaya pada diri sendiri hal yang tidak berguna, tidak kompeten dan tidak akan pernah mampu mengelola kehidupan.

Tahap ke-10 : Isolasi Diri

Percaya hanya ada tiga jalan keluar: gila, bunuh diri, atau pengobatan sendiri dengan zat alkohol dan atau kimia. Beberapa gejala sebagai berikut :

a. Kebencian yang tidak masuk akal - kemarahan akibat ketidakmampuan untuk berperilaku dengan cara yang tidak sehat.

b. Penghentian pengobatan - berhenti menghadiri semua pertemuan dengan konselor dan kelompok, dan menghentikan semua pengobatan farmakoterapi.

c. Kesepian, frustasi, kemarahan dan ketegangan - merasa tak berdaya, putus asa dan hampir gila.

(33)

d. Kehilangan kontrol perilaku - ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran, emosi, dan penilaian.

Tahap ke-11 : Penggunaan Alkohol dan Obat-obatan

Kembali ke penggunaan alkohol atau obat-obatan dan cepat kehilangan kontrol. Beberapa gejala sebagai berikut :

a. Mencoba mengendalikan penggunaannya - berencana untuk menggunakan karena sosial atau jangka pendek.

b. Kecewa, malu dan rasa bersalah - penggunaan alkohol dan obat tidak menghasilkan hasil yang diinginkan dan kekecewaan diikuti dengan rasa malu dan rasa bersalah karena kambuh.

c. Hilangnya kontrol - alkohol dan kimia, penggunaan narkoba di luar kendali.

d. Hidup dan masalah kesehatan - kualitas hidup merosot sebagai masalah berat dengan hubungan, pekerjaan, keuangan, kesehatan mental dan fisik sehingga memerlukan perawatan profesional.

2.4.4. Pencegahan Kekambuhan Kembali

Pencegahan kekambuhan kembali adalah suatu metode yang sistematik bagi penyalahguna yang sedang pulih, untuk mengenal dan mengelola munculnya kembali perilaku adiktif. Tujuan program pencegahan kekambuhan kembali, meliputi :

a. Mengembangkan keterampilan untuk mengatasi situasi risiko tinggi, b. Mengidentifikasi tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan,

(34)

d. Meningkatkan kegiatan-kegiatan yang produktif.

Pencegahan kekambuhan harus menjadi bagian dari upaya pemulihan. Penyalahguna NAPZA yang telah pulih harus diajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah. Adapun kegiatan pencegahan kekambuhan antara lain :

1. Pemulihan fisik

a) Perawatan aspek medik dan kesehatan b) Kebiasaan makan yang sehat

c) Latihan relaksasi d) Tidur teratur e) Kegiatan rekreasi

2. Pemulihan psikologis dan perilaku a) Membangun citra diri

b) Mengembangkan nilai-nilai, seperti kejujuran c) Mengikuti kegiatan yang teratur dan terencana d) Bekerja tepat waktu

e) Mengambil tanggung jawab dan mengelolanya 3. Pemulihan sosial

a) Menyediakan waktu dengan keluarga dan teman-teman b) Pergi bersama anggota keluarga

c) Makan bersama anggota keluarga d) Mengambil peran tertentu

(35)

4. Pemulihan rohani

Meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.

Penyalahguna NAPZA yang telah selesai mengikuti terapi atau rehabilitasi harus tetap mengikuti program pemulihan dan mengerjakan latihan atau tugas yang diberikan setiap hari selama sisa hidupnya. Jika tidak, dapat terjadi kekambuhan.

Ada perjanjian antara penyalahguna NAPZA dan tempat terapi atau rehabilitasi setelah selesai terapi, agar ia mengikuti program rawat lanjut. Ia harus secara teratur menghadiri pertemuan kelompok pendukung, beroleh dukungan dan berpartisipasi aktif. Ia harus dilatih cara mengatasi rasa rindu dan mencegah kekambuhan. Orang tua pun harus memahami masalah itu dan turut membantu anak mengidentifikasi gejala kekambuhan.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan penyalahguna NAPZA yang sedang pulih agar tidak kambuh :

a. Mengelola perasaannya secara sehat

Cara : membiarkan perasaan itu muncul, menarik napas panjang beberapa kali, mencurahkan perasaan, mengecek perasaannya dengan kenyataan, tidak mempersalahkan orang lain atau keadaan, menuliskan perasaannya, tidak mengasihani diri sendiri, mengubah cara pandang, melakukan sesuatu yang positif dan menyenangkan.

(36)

b. Menghadapi persoalan secara konstruktif

Cara : tidak lari dari masalah, meletakkan masalah secara proporsional, membicarakannya, mendahulukan pemulihannya, menerima tanggung jawab dan tidak menyalahkan orang lain, membagi persoalan ke dalam beberapa langkah kecil, menunggu, dan meminta dukungan.

c. Menghindari situasi berisiko tinggi

Ia harus menghindari situasi berisiko tinggi, yaitu orang, tempat, benda, dan suasana yang berkaitan dengan pemakaian NAPZA di masa lalu.

d. Mengatasi situasi risiko tinggi

Jika tidak dapat menghindarkan diri dari situasi berisiko tinggi, penyalahguna terpaksa menghadapinya dengan pendampingan, menghubugi kelompok pendukung sebelum pergi ke tempat itu, dan meninggalkan segera tempat itu. e. Mengenal tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan

Keluarga perlu terlatih mengenal tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan. Mereka harus menolong penyalahguna dengan memperingatkannya ketika tanda-tanda itu muncul.

2.5. Landasan Teori

Green (1980) dalam teorinya menganalisis masalah kesehatan dengan membagi menjadi dua faktor yaitu masalah yang berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor non perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,

(37)

sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor penguat (reinforcing factors), yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group. Bagan Precede Green secara singkat dapat dilihat pada bagan berikut :

3.

Gambar 2.1. Bagan Precede Green

Banyak faktor yang memengaruhi perilaku penyalahgunaan NAPZA. secara garis besar dengan menggabungkan teori Green di atas dan beberapa peneliti sebelumnya tentang NAPZA (Prasetyaningsih, 2003; Tasman, 2005; dan Siregar, 2004) maka penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal meliputi pendidikan, jenis NAPZA yang dipakai, pengetahuan, sikap,

Pendidikan Kesehatan Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas - peraturan pemerintah Non Perilaku Perilaku Masalah Kesehatan

(38)

motivasi, dan agama dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan lingkungan sekolah.

Penelitian ini hanya akan melihat faktor internal yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi, lama pemakaian NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan dan faktor eksternal meliputi teman sebaya.

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Internal a. Karakteristik individu : - Umur - Pendidikan - Pekerjaan b. Pengetahuan c. Sikap d. Motivasi

e. Lama pemakaian NAPZA f. Jenis NAPZA yang digunakan

Kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.

Faktor Eksternal

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Precede Green
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Internal a.  Karakteristik individu : -  Umur -  Pendidikan -  Pekerjaan   b

Referensi

Dokumen terkait

Hasil akhir dari penelitian ini berupa sebuah Aplikasi TIKI Online berbasis mobile GIS yang memiliki beberapa fitur utama seperti menampilkan informasi status

Menurut Widodo (2013:9) Clustering atau klasifikasi adalah metode yang digunakan untuk membagi rangkaian data menjadi beberapa group berdasarkan kesamaan-kesamaan

Dalam rangka meningkatkan status gizi yang baik perlu dipertimbangkan kandungan kalori dan nilai gizi dari masing-masing bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh

Munculnya kebijakan pemerintah tentang penguatan pendidikan karakter yang tertuang dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan

Penelitian menunjukkan selama periode 2012-2014 terdapat 25 pasien abses Bartholin atau merupakan 0,70% dari jumlah kunjungan Divisi IMS dan 0,05% dari jumlah kunjungan URJ

tetapi yang dibangun / dikerjakan terlebih dahulu. Tiap jenis aktiva tetap yang dibangun / dikerjakan sendiri oleh perusahaan dibuatkan komponen biayanya, terdiri dari

Dimana hasil penelitian terdiri dari struktur mikro pearlite dan ferrite pada Gambar 1, tetapi menurut hasil penelitian Hall (2010), pada hasil pengujian struktur mikro

Tentara Pelajar No.15 A Kutoarjo, Katerban, KUTOARJO, KAB.PURWOREJO