• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNIVERSITAS MERCU BUANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNIVERSITAS MERCU BUANA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Program Studi

Magister Ilmu Komunikasi

UNIVERSITAS MERCU BUANA

MAKALAH TUGAS KELOMPOK

TEORI KOMUNIKASI KRITIS

Dosen

DR. Umaimah Wahid

Dikerjakan oleh

Juliet Rachel

(2)

55210110080

Teori Kritis

Teori yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan. Teori kritis kental dengan pembelaan terhadap kalangan lemah.

Tujuan dari teori kritis?

menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. 1

Inti dari teori ini adalah kepercayaan bahwa masyarakat merupakan wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan.

Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, menurut Sendjaja (1994:392)2 semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama, yaitu:

1. Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Yaitu bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas.

2. Pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi. Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk merubah kekuatan penindas. 3. Pendekatan kritis secara sadar berupaya menggabungkan teori dan

tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita.

Beberapa karakteristik aliran kritik dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi3 :

1. Aliran Kritis lebih menekankan pada unsur-unsur filosofis komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh kaum kritis adalah siapa yang mengontrol arus komunikasi? siapa yang diuntungkan oleh arus dan struktur komunikasi yang ada? ideologi apa yang ada dibalik media?.

2. Aliran Kritis melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi manusia. Bagi aliran ini, suatu penelitian komunikasi manusia, khususnya komunikasi massa yang mengabaikan struktur sosial sebagai variabel 1 Terjemahan dari James E.Dougherty dan Robert Pfaltzgraff Jr. 1981.

Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Survery.

New York: Harper and Row Publisher Inc.

2Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1993. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka

3Akhmad Zaini Abar. Aliran Empiris dan Kritis dalam Penelitian Komunikasi

(3)

berpengaruh, dikatakan bahwa penelitian tersebut historis dan a-kritis.

3. Aliran Kritis lebih memusatkan perhatiannya pada siapa yang mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan bahwa komunikasi hanya dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa, baik untuk mempertahankan kekuasaannya maupun untuk merepresif pihak-pihak yang menentangnya.

4. Aliran Kritis sangat yakin dengan anggapan bahwa teori komunikasi manusia, khususnya teori-teori komunikasi massa, tidak mungkin akan dapat menjelaskan realitas secara utuh dan kritis apabila ia mengabaikan teori-teori tentang masyarakat. Oleh karena itu, teori komunikasi massa harus selalu berdampingan dengan teori-teori sosial Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik4.

Teori Marxist

Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Karl Marx melihat dalam masyarakat kapitalis dimana hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja (kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam kondisi inilah terjadi penghisapan manusia atas manusia lainnya.5

Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dab penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar dari marxisme.6

Perspektif Marxisme dalam Kajian Komunikasi :

Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip Stephen W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad ke-20 ajaran Karl Marx telah memengaruhi hampir semua cabang ilmu sosial, meliputi sosiologi, pilitik, ekonomi, sejarah, filsafat dan termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama bersumber dari analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh.7

4

http://www.polis.leeds.ac.uk/assets/files/research/working-papers/wp6djones.pdf

5 Terjemahan dari McLelland, David. 1977. Karl Marx Selected Writings, Oxford University Press

6Magnis Suseno, Franz. 2003. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke

(4)

Maka, jika diandaikan dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri tersebut. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya.

Frabkfurt School

Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923. Di antara mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas.

Mazhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik yang menganggap bahwa metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan sosial budaya tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat berbeda dengan manusia dan kegiatannya. Dalam pandangan Habermas paradigma positivisme itu mengabaikan peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Mazhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model cara berpikir positivisme (rasionalitas instrumental) dimana terjadi penjajahan dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem.

Mereka berkeyakinan bahwa ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum pekerja menganggapnya sebagai sesuatu yang normal. Atas dasar pertimbangan itu maka para eksponen mazhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada masyarakat modern.

Adorno dan Hokheimer mengatakan dalam Dialectical Imagination, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi menjadi subjek, tapi menjadi budak dan objek.8

7Littlejohn, Stephen W. 2001. Theories of Human Communication, 7th Edition. Belmont : Wadsworth Publising Company, Belmont

(5)

Jürgen Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai.

Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut empat macam klaim untuk mncapai consensus dalam komunikasi:9

1. Klaim kebenaran (claim of truth) yaitu ketika kita sepakat kepada dunia alamiah dan objektif.

2. Klaim ketepatan (claim of rigtness), kala kita sepakat pada pelaksanaan norma-norma dalam kehidupan sosial.

3. Klaim kejujuran (claim of sincerity) yaitu kalau kita sepakat tentang kesesuaian antara bathiniah dengan ekspresi seseorang.

4. Klaim komprehensibilitas (claim of comprehensibility) jika kita sepakat dan mampu menjelaskan ketiga klaim sebelumnya. Komunikasi yang efektif melibatkan keempat klaim tersebut karena merupakan standar kompetensi komunikatif.

“……maka untuk mencapai konsensus segala persoalan harus didialogkan dalam ruang yang bebas dari dominasi. Dialog dalam hal ini mengandaikan adanya kedudukan yang setara. Karena itu Habermas menekankan pentingnya etika dalam komunikasi seperti yang disebut di atas. Etika tersebut yaitu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi individu melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.”10

Terkait dengan dialog tersebut, Habermas memandang, salah satu mediumnya yaitu media massa. Media massa sebagai tempat untuk mengungkapkan pendapat dalam public sphere. Karenanya Habermas mengandaikan media massa mestinya menjadi ruang yang bebas dari dominasi sehingga segala macam pemikiran dapat didialogkan tanpa ada paksaan. Namun, sepertinya idealisasi Habermas terhadap media massa sangat utopis dalam masyarakat kapitalisme lanjut sekarang. Apalagi media massa umumnya cenderung berada dalam genggaman para pemilik modal yang lebih menekankan pada keuntungan dari budaya yang ditampilkannya.

---Teori Feminist

Teori feminist merupakan perpanjangan dari feminisme ke teori, atau filsafat wacana, bertujuan untuk memahami sifat ketidaksetaraan gender. Itu 8: Terjemahan dari Adorno, T.W dan Max Hokheimer. 1973. Dialectic of

Enlightment. London : Allen, Lane

9Hardiman, Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta : Kanisius

10Dikutip dari tulisan Garin Nugroho : “Awas, Krisis Masyarakat Komunikatif”. Kompas, Jakarta, 25 Maret 2006

(6)

menguji perempuan peran sosial dan pengalaman hidup, dan politik feminis dalam berbagai bidang, seperti antropologi dan sosiologi, psikoanalisis, ekonomi, kritik sastra, dan filsafat.11

Teori Feminist : Muted Group Theory

Berawal dari Edwin & Shirley Ardener, antropologis sosial Oxford University, yang melihat bahwa ternyata para antropolog melakukan penelitiannya dengan lebih banyak berbicara dan bertanya kepada kalangan laki-laki dewasa pada suatu budaya tertentu untuk kemudian mencatatnya dalam etnografi sebagai gambaran budaya secara keseluruhan.

Ardener awalnya berasumsi bahwa kurangnya perhatian terhadap pengalaman perempuan adalah sebuah masalah gender yang unik pada antropologi sosial. Tetapi hal ini kemudian ditelusuri lebih lanjut oleh rekan kerjanya, Shirley Ardener, yang menyadari bahwa kebungkaman kelompok yang kurang kekuasaan menimpa kelompok-kelompok yang menempati tempat yang paling akhir dari tingkatan masyarakat. Orang-orang yang hanya memiliki kekuasaan yang rendah bermasalah dengan persoalan menyuarakan persepsi-persepsi mereka.

Teori kelompok yang dibungkam ini lalu dikembangkan secara lebih lengkap oleh Cheris Kramarae. Kramarae adalah profesor speech communication dan sosiolog di Universitas Illinois. Dia juga profesor tamu di Pusat Studi Perempuan (Center for the Study of Women) di Universitas Oregon, dan baru-baru ini sebagai dekan di Universitas Perempuan Internasional (the International Woman’s University) di Jerman. Dia memulai karier penelitiannya pada tahun 1974 ketika dia memimpin sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun.

Kramarae (1981) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu:12

1.

Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat.

2.

Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat,

sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan.

3. Sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut.

Teori Economy Politic Media

pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya

11: Terjemahan dari Worell, J. & Johnson, N. 1997. Shaping the future of

feminist psychology: Education, research, and practice. Washington, DC:

American Psychological Association

12Rohim, Syaiful. 2009.Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam & Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta

(7)

(resources). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya.13 Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik.

Contoh penerapan teori economy politic media: Pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja MNC yang menguasai bisnis televisi di Indonesia melalui RCTI, MNC TV, Global TV, Women Radio, Trijaya FM & dll. Turunnya peran sektor publik di dalam media massa dan juga merosotnya kontrol publik dalam telekomunikasi melalui paket kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi: Penjualan saham Indosat di tahun 2003-2004 kepada Singtel, Singapura

Teori Cultural Studies

Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras (namun juga termasuk umur, kecacatan, nasionalitas, dll)14

Istilah Cultural Sudies pertama kali dicetuskan oleh Stuart Hall professor sosiologi di Open University, Milton Keynes, Inggris. Hall mengkritik para ilmuwan komunikasi yang mayoritas menggunakan pendekatan empiris, kuantitatif, dan cenderung hanya melihat hubungan kausalitas dalam praktek komunikasimassa. Menurutnya, mereka gagal untuk melihat apa yang seharusnya menjadi penting di dalam pengaruh media massa terhadap masyarakat. Pengaruh media massa tidak dapat dilihat hanya melalui survey terhadap pembaca surat kabar, pendengar radio atau penonton televisi. Karena persoalannya ternyata lebih dari itu.

Cultural studies adalah suatu pergerakan yang kompleks. Untuk memahami teori Hall, kita harus mengerti akarnya terlebih dahulu. Pada akhir Perang Dunia II, karena revolusi atau pemberontakan yang dilakukan kaum Proletar, Marx memprediksi bahwa akan terbentuk suatu masyarakat tanpa kelas dan dominansi ekonomi kaum kapitalis akan berkurang. Nyatanya, kedua prediksi tersebut tidak pernah benar-benar terjadi. Mengapa?

Para teorist dari Frankfurt School berargumentasi bahwa kalangan kelas pekerja tidak memberotak karena para korporasi media secara efektif menyesuaikan pesan yang mereka sampaikan pada khalayak dengan hal yang mendukung sistem kapitalis. Berita maupun hiburan yang ditampilkan media, menghadirkan gambaran dunia di mana kapitalisme adalah suratu hal yang alami, abadi, dan tak bisa diubah. Ini adalah suatu proses produksi culture (budaya) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh di 13 Terjemahan dari Mosco, Vincent & Wasko, Janet. 1988. The Political Economy of Information. The University of Wisconsin Press

14Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta : Kreasi Wacana

(8)

bidang ideologi dan politik─culture industries. Hall menyebut peran cultural media sebagai suatu hegemony. Meski media memiliki beragam ide, tetapi media cenderung mempertahankan status quo. Hasilnya, peran media massa adalah production of consent bukan a reflection of consensus.

Cultural studies adalah suatu kajian baru yang tengah “naik daun”. Ia telah menjadi pusat perhatian setidaknya karena budaya (culture) sebagai tema atau topik studi telah menggantikan masyarakat sebagai subjek telaah umum. Cultural studies merupakan tema akademis dalam segala aspek bukan hanya komunikasi, suatu kajian terutama di bidang seni, humaniora, ilmu-ilmu sosial, dan bahkan sain dan teknologi.

Menjadi pertanyaan, apakah subjek dari cultural studies itu? Tidak seperti disiplin akademis tradisional, cultural studies tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Tetapi secara umum Cultural studies dapat dikatakan memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Titik pijaknya adalah sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas dan mencakup segala hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari beraneka kajian. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam linguistik, semiotik, antropologi, dan psikoanalisa. Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotik, marxisme,dan feminisme) cultural studies memasuki periode perkembangan teoritis yang intensif. Cultural studies berfungsi dengan meminjam secara bebas dari disiplin ilmu sosial, seluruh cabang humaniora, dan seni. Ia mengambil teori-teori dan metodologi dari beragam kajian keilmuan dan mengadopsinya yang disesuaikan dengan tujuannya.

Analisis Framing

Pada dasarnya analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955, (Sudibyo, 1999a:23). Mulanya, frame dimaknai sebagai sturktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi relaitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi rakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.

(9)

Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang di ambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawah kemana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:21). Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tidak terelakkan (imawan, 2000:66).

Analisis Wacana

Lebih bersifat kualitatif dan lebih menekankan pemaknaan teks. Dasar dari analisis wacana adalah Interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan laten ( tersembunyi ) Makna suatu pesan dengan demikian tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang tersembunyi.15

Dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana

Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.

Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah (orang/kelompok) yang menguasai media? Apa keuntungan yang didapat oleh seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak mana yang tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?

Critical Discourse Analysis, yang melihat produksi dan distribusi budaya-termasuk artefak budaya semacam teks isi media-selalu berlangsung dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Oleh karena itu pula, Critical Discourse Analysis memiliki asumsi epistemologi dan ontologi tersendiri; sehingga juga membawa implikasi metodologis yang khas-yang berbeda dengan asumsi-asumsi paradigmatik analisis wacana dalam persfektif positivis ataupun konstruktivis.

15Eriyanto. 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS: Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bagian dari minzoku shuukyoo atau agama yang berkembang dalam masyarakat tertentu, Shinto memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut: Shizen hassei tekini seiritsushita

Salah satu permasalahan yang dialami Indonesia dalam Perang Kemerdekaan adalah dalam hal persenjataan yang sangat tidak seimbang antara Indonesia dengan

Maksud dari skala pengukuran ini untuk mengklasifikasikan variabel yang akan diukur supaya tidak terjadi kesalahan dalam menentukan analisis data dan langkah penelitian selanjutnya

Dan Langkah-Langkah Kerja Yang Diperlukan Untuk Mengoperasikan Suatu Instalasi / Peralatan

Setiap orang atau badan dilarang menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin

Berbeda dengan proses update informasi kurs mata uang, file informasi suku bunga, teks berjalan, dan file video ini tidak dikirim secara terus menerus tiap 15 menit sekali oleh server

Rencana struktur wilayah provinsi adalah rencana sistem susunan pusat-pusat permukiman atau sistem perkotaan wilayah provinsi yang berkaitan dengan kawasan perdesaan

Dalam hal ini berarti Hakim yang memutus perkara penyalahgunaan airsoft gun menggunakan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 menganggap