• Tidak ada hasil yang ditemukan

Family : Iridaceae Genus : Eleutherine Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Family : Iridaceae Genus : Eleutherine Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.) 2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi

Eleutherine palmifolia (L.) Merr. merupakan tanaman khas

Kalimantan. Bawang dayak secara turun temurun dipergunakan oleh masyarakat suku Dayak sebagai tanaman obat. Tanaman ini memiliki daun berwarna hijau dengan bunga berwarna putih serta umbi yang berwarna merah yang menyerupai bentuk umbi bawang merah. Penyebaran bawang dayak ditemukan mulai dari semenanjung Malaysia hingga Filipina, dan ditemui juga di Indonesia dengan nama daerah seperti di Sumatera dengan nama bawang kapal, Kalimantan dengan nama bawang dayak atau bawang makkah, Jawa dengan nama berambang sabang, berambang siyem, lulupan sapi, teki sabrang, bebawangan beureum, dan juga di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Secara ekologis tumbuhan bawang dayak tumbuh di daerah pegunungan pada ketinggian 600-2000 meter di atas permukaan laut. Penanamannya mudah dibudidayakan, tidak tergantung musim, dan dalam waktu 2 hingga 3 bulan sudah dapat dipanen (Galingging, 2007).

Klasifikasi tanaman Eleutherine palmifolia (L.) Merr. adalah sebagai berikut (BPOM RI, 2008) :

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobinota Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Liliales Family : Iridaceae Genus : Eleutherine

(2)

Gambar 2. 1. Eleutherine palmifolia (L.) Merr. (Genbinesia, 2018)

Tanaman bawang dayak berupa habitus herba semusim, merambat, dengan tinggi 30-40 cm. mempunyai batang semu, membentuk umbi. Daun tunggal, bentuk pita, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berwarna hijau. Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang, panjang tangkai ± 40 cm, bentuk silindris, kelopak terdiri dari dua daun kelopak, hijau kekuningan, mahkota terdiri dari empat daun mahkota, lepas, panjang ±5 mm, putih, benang sari empat, kepala sari kuning, putting bentuk jarum, panjang ± 4 mm, putih kekuningan. Akar serabut dan berwarna coklat muda. Umbinya berlapis, berwarna merah, berbentuk bulat telur dan memanjang dapat dilihat pada gambar 2.1. Dikonsumsi dengan cara memakan mentah atau dengan penyeduhan (BPOM RI, 2008).

2.1.2. Kandungan Kimiawi Bawang Dayak

Bawang dayak memiliki kandungan senyawa aktif seperti alkaloid, glikosida, flavonoid, fenolik, steroid, dan tannin yang merupakan sumber potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman obat (Galingging, 2007). Kandungan kimia Eleutherine palmifolia (L.) Merr yang telah dilaporkan adalah tanin, polifenol, flavonoid, kuinon, glikosida, asam stearat, asam galat, eleutherinone, eleutherol, eleutherine dan isoeleutherine (Raga, 2012).

Golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak tersebut dimana dapat dijadikan sebagai parameter mutu yang erat kaitannya dengan efek farmakologis hasil penampisan tersebut sebagai berikut (Situmeang, 2017) :

(3)

Tabel II. 1. Hasil skrining fitokimia dan ekstrak umbi bawang dayak Golongan Senyawa Identifikasi Simplisia Ekstrak Alkaloid + + Flavonoid + + Tanin + + Saponin + + Glikosida + + Steroid + +

Keterangan: (+) positif ; terdeteksi (-) negatif ; tidak terdeteksi a. Alkaloid

Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. (Darsana dkk, 2012). Mekanisme lain antibakteri alkaloid yaitu komponen alkaloid diketahui sebagai interkelator DNA dan menghambat enzim topoisomerase sel bakteri. (Karou dkk, 2005).

b. Flavonoid

Flavonoid memiliki beberapa manfaat selain sebagai agen antibakteri yaitu sebagai agen antifungi, dan antivirus (Cushnie, 2005). Mekanisme antibakteri dari flavonoid ada tiga macam, yaitu yang pertama dengan cara menghambat sintesis asam nukleat. Cara kedua yaitu dengan menghambat fungsi membran sitoplasma dengan merusak fluiditas membran pada regio hidrofilik dan hidrofobik sehingga fluiditas lapisan luar dan lapisan dalam membran akan menurun, dengan mekanisme ini diharapkan mampu untuk menghambat adanya pertumbuhan spora baru dari jamur. Cara ketiga dengan menghambat metabolisme energy (Vasconcelos, 2006).

(4)

c. Saponin

Mekanisme saponin sebagai agen antibakteri adalah dengan cara berinteraksi dengan kolesterol pada membran sel dan menyebabkan membran sel mengalami modifikasi lipid yang akan mengganggu kemampuan bakteri untuk berinteraksi dengan membran yang sudah mengalami modifikasi tersebut. Terganggunya interaksi antara bakteri dengan membranselnya akan menyebabkan kemampuan bakteri untuk merusak atau berinteraksi dengan host akan terganggu. Ketika membran sel terganggu, zat antibakteri akan dapat dengan mudah masuk kedalam sel dan akan mengganggu metabolisme hingga akhirnya terjadilah kematian bakteri (Karlina, 2013).

d. Tanin

Kemampuan tanin sebagai antibakteri dapat dilihat dari aksinya pada membran. Menurut Vasconcelos dkk, tanin dapat melewati membran sel karena tanin dapat berpresipitasi pada protein (Abdollahzadeh, 2011). Tanin juga dapat menekan jumlah beberapa enzim seperti glukosiltransferase.

e. Steroid

Senyawa steroid memiliki fungsi sebagai antijamur dengan cara menghambat pertumbuhan jamur, baik melalui membran sitoplasma maupun mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur (Ismaini, 2011).

2.1.3. Manfaat Bawang Dayak 2.1.3.1. Antifungi

Senyawa yang berpotensi sebagai antijamur dalam ekstrak bawang hutan yaitu senyawa alkaloid, tanin, fenolik, dan flavonoid (Diana dkk, 2014). Alkaloid dan flavonoid mempengaruhi komponen sel jamur dengan cara merusak membran sel dan mendenaturasi protein. Gugus flavonoid dapat bertindak sebagai antijamur karena mempunyai fenol yang dapat mendenaturasi protein dan dapat merusak membran sel yang bersifat

irreversible (tidak dapat diperbaiki lagi) (Dewi, 2009). Semakin lipofilik

(5)

2.1.3.2. Antioksidan

Menurut Febrinda dkk, 2014 dalam penelitiannya, menyatakan bahwa ekstrak etanol umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr memiliki aktivitas antioksidan atau penghambatan terhadap radikal bebas menggunakan metode DPPH. Nilai IC50 akstrak etanol bulbus bawang dayak sebesar 25,3339 μg/ml. Nilai ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, karena memiliki nilai IC50 kurang dari 200 μg/ml (Fadeyi dkk, 2013). Aktivitas antioksidan ini dapat mencegah teroksidasinya sel tubuh oleh oksigen aktif seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil serta radikal bebas lainnya. Salah satu penyakit yang disebabkan karena adanya aktivitas radikal bebas adalah Ulcerative Colitis (UC).

2.1.3.3. Antikanker

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi dari ekstrak umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) yang memiliki aktivitas sitotoksik paling tinggi terhadap sel T47D adalah fraksi semipolar dengan nilai IC50 147,124 μg/mL (Fitri dkk., 2014). Menurut penelitian Sudarmawan, 2009 juga membuktikan bahwa umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr memiliki aktivitas antikanker terhadap sel T47D ditunjukkan dengan nilai IC50 untuk fraksi etanol sebesar 125 μg/mL.

2.1.3.4. Antidiabetik

Umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr memiliki aktivitas sebagai inhibitor alfa glukosidase yang berfungsi untuk menurunkan kadar gula dalam tubuh. Inhibitor alfa glukosidase merupakan salah satu agen antidiabetik yang bekerja dengan cara menghambat kerja enzim alfa glukosidase (Febrinda dkk., 2013)

.

Hasil penelitian menujukkan pemberian ekstrak umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr dengan dosisi 500mg/kgBB efektif mampu menurunkan kadar gula darah dan malondialdehid dalam tubuh (Arwati, 2018)

(6)

2.2. Fungi Candida albicans

2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi Jamur Candida albicans

Klasifikasi dari Candida albicans menurut (Waluyo, 2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi Division : Thallophyta Subdivision : Fungi Class : Deuteromycetes Order : Moniliales Family : Cryptococcaceae Genus : Candida

Species : Candida albicans

Gambar 2. 2. Jamur Candida albicans (Waluyo, 2014)

Pada sediaan apus eksudat, Candida tampak sebagai ragi lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 µm yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa). Candida albicans membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal melepaskan diri, menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang yang terjepit atau tertarik pada septasi-septasi diantara sel. Candida albicans bersifat dimorfik, selain ragi-ragi dan pseudohifa, ia juga bisa menghasilkan hifa sejati (Brooks dkk, 2007).

Pada media Sabaroud dextrose agar atau glucose-yeast extract-peptone water Candida albicans berbentuk bulat atau oval yang biasa disebut dengan bentuk khamir dengan ukuran (3,5-6) x (6-10) µm. Koloni berwarna krem, agak mengkilat dan halus. Pada media corn-meal agar dapat membentuk clamydospora dan lebih mudah dibedakan melalui bentuk pseudomycelium (bentuk filamen). Pada pseudomycelium terdapat kumpulan blastospora yang bisa terdapat pada bagian terminal atau intercalary (Lodder, 1970).

(7)

Dua tes morfologi sederhana membedakan Candida albicans yang paling patogen dari spesies Candida lainnya yaitu setelah inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada suhu 37ºC, sel-sel ragi Candida albicans akan mulai membentuk hifa sejati atau tabung benih dan pada media yang kekurangan nutrisi Candida albicans menghasilkan chlamydospora bulat dan besar. Candida albicans meragikan glukosa dan maltosa, menghasilkan asam dan gas, asam dari sukrosa dan tidak bereaksi dengan laktosa. Peragian karbohidrat ini, bersama dengan sifat-sifat koloni dan morfologi, membedakan

Candida albicans dari spesies Candida lainnya (Brooks dkk, 2007).

2.2.2. Patogenesis Candida albicans

Candida albicans adalah sebuah jamur dimorfik yang sering terdapat

pada makhluk hidup berdarah panas termasuk manusia. Infeksi oleh jamur

Candida albicans memiliki 4 bentuk infeksi diantaranya Pseudomembranous Candidiasis, Hyperplastic Candidiasis, Erythematous Candidiasis dan Angular Cheilitis. Candida albicans dapat hidup sebagai saprofit (saprobe)

tanpa menyebabkan kelainan di dalam berbagai organ tubuh manusia maupun hewan. Faktor rentan dapat menyababkan Candida albicans dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi akut atau subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh (Siregar, 2004). Misalnya kandidiasis mulut (sariawan), kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan Rahardja, 2003).

Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langerbach (1939) menemukan jamur penyebab thrush, kemudian Berhout (1923) memberi nama organisme Gambar 2. 3. Jamur Candida albicans membentuk hifa sejati (Waluyo, 2014)

(8)

tersebut Candida (Simatupang, 2009). Pada mulanya penyakit kandidiasis dianggap hanya penyakit ringan, tetapi setelah ditemukan kasus yang fatal pada penderita kandidiasis, maka dapat disimpulkan bahwa kandidiasis juga dapat menyerang organ dalam seperti jantung, ginjal, paru-paru (Mansur, 1990).

Kandidiasis, merupakan mikosis dengan insidens tertinggi pada infeksi oportunistik yang bersifat akut atau sub akut disebabkan oleh Candida. Hal tersebut disebabkan karena jamur tersebut merupakan bagian dari mikroba flora normal yang beradaptasi dengan baik pada inang manusia, terutama saluran cerna, saluran urogenital, dan kulit. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa sedikitnya 60% isolat yang diambil dari sumber infeksi adalah Candida

albicans. (Nasronudin dkk, 2006). Terdapat sekitar ±200.000 spesies jamur

didalam rongga mulut yang telah ditemukan dan yang menjadi patogen sekitar 50 spesies jamur (Gandjar dkk, 2006). Jamur tersebar luas pada tubuh manusia, namun dalam rongga mulut biasanya jumlah terbanyak yang ditemukan adalah jamur dengan spesies Candida albicans. Jenis jamur tersebut merupakan spesies jamur bersel satu yang merupakan bagian dari flora normal yang terdapat dalam rongga mulut yaitu sekitar 40%, dapat menjadi patogen apabila jumlah di dalam rongga mulut semakin meningkat sehingga berpotensi timbulnya kandidiasis (Simatupang, 2009).

Secara epidemiologi menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2001 frekuensi Kandidiasis Oral antara 5,8% sampai 98,3%. Di Amerika 75% wanita pada masa reproduksi pernah mengalami vulvavaginistis candidiasis. Antara 40-50% mengalami infeksi berulang dan 5-8% terkena infeksi candida kronis (Wilson, 2005). Infeksi Candida sp. juga sering merupakan penyebab komplikasi yang fatal pada kasus transplantasi organ. Di London, 40,5% terkena infeksi jamur pasca transplantasi hati dan 90% dari angka tersebut disebabkan oleh infeksi Candida sp. sementara 66% oleh

Candida albicans (Verma dkk, 2005).

Dari 345 kasus candidemia yang diteliti di sebuah rumah sakit di Spanyol mortalitas mencapai 44% dengan perincian dari angka tersebut 51% disebabkan oleh infeksi Candida albicans (Almirante dkk, 2005). Sementara

(9)

itu, di Jerman angka kematian akibat necrosectomy yang diikuti oleh infeksi jamur termasuk Candida mencapai 62% (Kujath dkk, 2005).

Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi adalah adhesi, perubahan dari bentuk khamir ke bentuk filamen dan produksi enzim ektraselular (Naglik dkk, 2004). Adhesi melibatkan interaksi antara ligand dan reseptor pada sel inang dan proses melekatnya sel Candida albicans ke sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke filamen diketahui berhubungan dengan patogenitas dan proses penyerangan Candida terhadap sel inang yang diikuti pembentukan lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida sp. untuk mempertahankan diri dari obat-obat antifungi. Produksi enzim hidrolitik ektraseluler seperti aspartyl proteinase juga sering dihubungkan dengan patogenitas Candida albicans (Naglik dkk, 2004).

2.2.3. Terapi Fungi Candida albicans

Candida albicans merupakan organisme komensal rongga mulut

individu yang sehat dan hidup bersama dengan mikrobial flora normal mulut dalam keadaan seimbang dan jika terjadi gangguan pada keseimbangan antara

Candida albicans dengan anggota mikrobial mulut lainnya, maka organisme

ini dapat berproliferasi, berkolonisasi, menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi oportunistik yang dikenal dengan kandidiasis (Siar dkk, 2003).

Pemakaian antibiotik spektrum luas terutama pemakaian lebih dari 1 minggu dapat meningkatkan faktor risiko dari infeksi kandida. Hal ini terjadi karena pemakaian antibiotik spektrum luas mengakibatkan eliminasi bakteri flora normal dalam tubuh. Penurunan jumlah bakteri flora normal menyebabkan ketidak seimbangan flora normal dalam tubuh sehingga berakibat terjadinya kolonisasi Candida sp. karena Candida terus tumbuh tanpa kompetitor (Abelson J.A.dkk, 2005; Chiu N.C. dkk, 1997). Apabila tumbuh terus menerus Candida sp sering berubah menjadi patogen serta dapat menyebabkan penyakit invasif (Saiman L. Dkk, 2000).

Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua. Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu, Nistatin, Ampoterisin B (dikenal dengan Lozenge), dan Klotrimazol. Ketiga obat ini mempunyai mekanisme kerja yang sama yaitu menginhibisi pertumbuhan

(10)

jamur Candida albicans. Disamping itu ada pengobatan lini kedua kandidiasis jika dengan terapi lini pertama tidak berhasil. Adapun obat untuk terapi lini kedua yaitu, Ketokonazol, Flukonazol, dan Itrakonazol (Pappas, 2004).

2.2.3.1. Nistatin

Antijamur yang digunakan pada penelitian ini adalah Nistatin. Hal ini dikarenakan Nistatin lebih sering digunakan dan merupakan antijamur yang efektif dalam pengobatan kandidiasis. Obat ini efektif dalam pengobatan topikal maupun oral pada infeksi candidiasis (Coelho dkk, 2012). Nistatin banyak digunakan dalam pengujian terhadap strain Candida albicans menggunakan metode disk difusi dimana nilai diameter zona hambat merupakan indikator penentu dalam memutuskan kepekaan suatu antibiotika (Cockerill dkk, 2012).

Nistatin (Candistatin, Mycostatin), diisolasi dari Streptomyces noursei, dan tersedia dalam berbagai bentuk, seperti suspensi oral, krim topikal, dan pil oral. Nistatin digunakan secara oral maupun lokal, untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Candida sp. Nistatin tidak terserap ketika berada di saluran gastrointestinal saat diberikan secara oral. Oleh karena itu, penggunaan nistatin topikal dianggap sebagai jalur administrasi yang paling umum dalam kedokteran gigi, karena paparan sistemik minimal. Selanjutnya, nistatin juga berperan penting dalam profilaksis kandidiasis oral dan sistemik pada bayi baru lahir dan prematur, bayi, dan pasien dengan

immunocompromised (misalnya, pasien AIDS, pasien kanker, dan penerima

transplantasi organ), karena dikaitkan dengan rendahnya insiden interaksi obat dan biaya yang dapat diterima, terutama di negara-negara berkembang. Dosis umum yang disarankan untuk penggunaan nistatin topikal adalah 200.000-600.000 IU/hari untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 100.000- 200.000 IU/hari untuk bayi dan bayi baru lahir. Durasi pengobatan dapat bervariasi dari 1 atau 2 sampai 4 minggu (Zhao dkk, 2016). Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitif. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel jamur atau ragi terutama sekali ergosterol. Kompleks polien-ergostrerol yang terjadi dapat membentuk

(11)

satu pori, dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur bocor keluar sehingga menyebabkan hambatan pertumbuhan jamur (Zhao dkk, 2016).

Gambar 2. 4. Struktur Kimia Nistatin (Mozer, 2015) 2.3. Tinjauan Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (BPOM RI, 2000).

2.3.1. Ekstraksi

2.3.1.1. Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan memeprmudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (BPOM RI, 2000). Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar. Serbuk simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritasnya (Harbone, 1996). 2.3.1.2. Tujuan Ekstraksi

Eksraksi bahan alam bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat kedalam cairan penyari. Perpindahan tersebut mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut (BPOM RI, 1986).

2.3.2. Jenis-jenis Metode Ekstraksi 2.3.2.1. Maserasi

Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada

(12)

metoda ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali. Sehingga maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas (Hamdani, 2014). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (Afifah, 2012).

Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan secara praktis serta menggunakan alat dan bahan sederhana serta dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak. Selain itu, senyawa dalam simplisia relatif terhindar dari perubahan kimia oleh senyawa-senyawa atau adanya pemanasan (Pratiwi,2009)

Pada ekstraksi dengan metode maserasi, bahan diekstraksi langsung sesuai dengan jam yang telah ditentukan, kemudian disaring dan pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator hingga tidak terdapat pelarut yang menetes (Pratiwi, 2009).

a. Maserasi Kinetik

Penyarian maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Waktu proses maserasi dapat dipersingkat 6 sampai 24 jam (BPOM RI, 1986).

Salah satu unsur dalam maserasi adalah pengadukan. Pada alat maserasi orbital shaker pengadukan memiliki satuan rpm (kecepatan putar). Selain itu, unsur lain yang berperan dalam proses maserasi ini adalah waktu. Diharapkan semakin lama sejumlah simplisia dimaserasi maka ekstrak yang didapat semakin banyak. Namun demikian waktu tetap perlu dibatasi, apabila terlalu lama simplisia tersebut akan ditumbuhi mikroorganisme (BPOM RI, 1986).

b. Maserasi Sonikasi (Ekstraksi Ultrasonifikasi)

Ini adalah metode maserasi yang dimodifikasi dimana ekstraksi difasilitasi dengan menggunakan ultrasound (pulsa frekuensi tinggi, 20 kHz). Ekstrak ditempatkan dalam botol. Vial ditempatkan dalam

(13)

penangas ultrasonik, dan USG digunakan untuk menginduksi mekanik pada sel melalui produksi kavitasi dalam sampel. Kerusakan seluler meningkat pelarutan metabolit dalam ekstraksi pelarut dan meningkatkan hasil. Efisiensi ekstraksi tergantung pada frekuensi instrumen, dan panjang dan suhu sonikasi. Ultrasonication jarang diterapkan untuk sebagian besar digunakan untuk awal ekstraksi dari sejumlah kecil bahan. Hal ini umumnya diterapkan untuk memfasilitasi ekstraksi metabolit intraseluler dari kultur sel tanaman. Penggunaan ultrasonik pada dasarnya menggunakan prinsip dasar yaitu dengan dengan mengamati sifat akustik gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan memberikan pengadukan yang intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan proses ektraksi.

2.3.2.2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umum dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000). Pada metode perkolasi serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai bagian cairan penyari dimasukan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit kedalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan kedalam bejana ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung cahaya. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugianya adalah jika sampel dalam pelkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan

(14)

banyak pelarut dan memakan banyak waktu (Harbone., 1987; BPOM RI., 1986).

2.3.2.3. Penyulingan

Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka prnyari dilakukan dengan penyulingan (Harbone., 1987; BPOM RI., 1986).

2.3.2.4. Reflux dan Destilasi Uap

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama smapai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

Pada metode reflux, sampel dimasukan bersama pelarut ke dalam labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mecapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu. Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai dua bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Mukhriani, 2014).

2.3.2.5. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh cairan akan

(15)

turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon. Keuntungan dari metode ini adalah proses ekstraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugianya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegredasi karena ekstrak yang diproleh terusmenerus berada pada titik didih (Harbone., 1987; BPOM RI., 1986).

2.4. Fraksinasi

Fraksinasi adalah pemisahan antara zat cair dengan zat cair berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstrak dipartisi dengan menggunakan peningkatan polaritas seperti petroleum eter, n-Heksana, kloroform, etil asetat, dan etanol. Pemilihan pelarut pada ekstraksi bergantung pada sifat analitnya dimana pelarut dan analit harus memiliki sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-Heksana sedangkan analit yang semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar (Venn, 2008).

Suatu fraksi dapat tampak jelas, yakni memiliki perbedaan secara fisik, apabila dipisahkan dengan dua tahap ekstraksi cair-cair, atau eluasi kolom kromatografi, misalnya, vakum kromatografi cair, kromatografi kolom, ukuran eksklusi kromatografi, ekstraksi fase padat. Untuk fraksinasi awal setiap ekstrak kasar, disarankan untuk tidak menghasilkan terlalu banyak fraksi, karena dapat melebarkan noda senyawa target sehingga banyak fraksi yang mengandung senyawa tersebut, sehingga dalam konsentrasi yang rendah dapat mempengaruhi proses deteksi senyawa. Agar dapat menghasilkan fraksi yang lebih baik, maka biasanya menggunakan teknik deteksi langsung, misalnya, ultraviolet (UV), preparatif modern, atau semi preparatif kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dapat digunakan (Sarker dkk, 2006).

2.5. Tinjauan Pelarut

Pelarut adalah suatu zat untuk melarutkan zat lain atau suatu obat dalam preparat larutan (Ansel, 2005). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Ada 2 syarat agar pelarut dapat digunakan didalam proses ekstraksi, yaitu pelarut tersebut harus merupakan pelarut

(16)

terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi, dan pelarut tersebut harus dapat terpisah dengan cepat setelah pengocokan. Dalam pemilihan pelarut yang harus diperhatikan adalah toksisitas, ketersediaan, harga, sifat tidak mudah terbakar, rendahnya suhu kritis, dan tekanan kritis untuk meminimalkan biaya operasi serta reaktivitas (Amiarasi dkk, 2006).

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik atau sesuai untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Untuk mendapatkan ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Pada prinsipnya cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”. Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah yang mempunyai daya larut tinggi dan tidak berbahaya dan beracun. Pelarut yang sering digunakan pada proses ekstraksi adalah aseton, etil asetat, etanol. n-Heksana, isopropil alkohol, dan metanol umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap preparasi dan tahap pemurnian (fraksinasi) (Depkes RI, 2000).

Pelarut organik berdasarkan konstata dielektriknya dapat dibedakan menjadi pelarut polar, semi polar, dan non poalar. Semakin tinggi konstata dielektrikumnya maka pelarut semakin bersifat polar. Kepolaran suatu senyawa dipengaruhi oleh simetris tidaknya bentuk molekul dan titik lebur. Pelarut yang termasuk polar adalah etanol, methanol dan air. Pelarut yang termasuk semi polar adalah etil asetat, sedangkan senyawa yang termasuk non polar adalah benzene, sikloheksena, n-Heksana dan kloroform (Sudarmadji dkk, 1989).

Tabel II. 2. Konstanta Pelarut

Pelarut Besarnya konstanta

N-heksan 2,0

Etil asetat 6,0

(17)

2.5.1. Etil Asetat

Etil asetat (C4H8O6), secara umum, dapat digunakan sebagai pelarut,

walaupun terkadang juga digunakan sebagai flavoring agent. Etil asetat berbentuk cairan, tidak berwarna, cairan yang mudah menguap, dan berbau sedap, serta mudah terbakar. Etil asetat dapat bereaksi keras dengan oksidasi kuat, asam kuat, dan nitrat yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Etil asetat dapat dihasilkan dari destilasi dari campuran etanol dan asam asetat dengan adanya asam sulfat pekat. Hal ini juga disusun dari etilen menggunakan katalis aluminium alkoksida (HPE, 2009).

Kelarutan bahan dalam pelarut tertentu sebagian besar tergantung fungsi dari polaritas pelarut. Pelarut bekerja di bawah aturan umum like

dissolved like. Aturan tersebut mengacu pada polaritas keseluruhan zat terlarut.

Berdasarkan konstanta dielektrik, yang mengacu pada polaritas, pelarut biasanya diklasifikasikan menjadi tiga kategori: polar, pelarut semi polar, dan non – polar. Etil asetat merupakan pelarut yang tergolong pelarut pada kategori pelarut semi polar. Pelarut semi polar terdiri dari molekul dipolar yang kuat namun tidak membentuk ikatan hidrogen. Etil asetat mampu melarutkan zat baik polar dan non polar. Oleh karena itu, dapat berfungsi sebagai media untuk sistem homogenitas multikomponen yang mengandung pelarut polar dan non-polar (Baki dkk, 2015).

2.6. Uji Kepekaan Antimikroba Secara In-vitro

Antifungi adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi atau sering disebut antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan tanpa mematikannya (Marsh, 1977). Mekanisme antifungi dikelompokkan menjadi empat yaitu gangguan pada membran sel, penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel fungi, penghambatan sintesis asam nukleat dan potensi fungi dan penghambatan mitosis fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Uji potensi antifungi adalah menguji suatu zat yang diduga mempunyai daya antifungi dengan memanfaatkan fungi sebagai indikator pengujian. Kegunaan

(18)

uji antifungi adalah diperolehnya suatu system pengobatan yang efektif dan efisien (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Uji kepekaan antimikroba terhadap obat-obatan secara in vitro bertujuan untuk mengetahui obat antimikroba yang masih dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh suatu mikroba (Dzen dkk, 2003). Uji kepekaan terhadap antimikroba dasarnya dapat dilakukan, melalui tiga cara yaitu: metode dilusi, metode difusi cakram, metode bioautografi (Soleha, 2015).

Pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro dapat dilakukan dengan salah satu dari metode dibawah ini :

2.6.1. Metode Difusi Cakram

Prinsip dari metode difusi cakram yaitu obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat tertentu di tanam pada media pembenihan agar padat yang telah di campur dengan mikroba yang diuji, kemudian di inkubasikan 37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen dkk, 2003).

Pada metode ini yang diamati adalah diameter daerah hambatan pertumbuhan kuman karena difusinya obat ini titik awal pemberian ke daerah difusi sebanding dengan kadar obat yang diberikan. Metode ini dilakukan dengan cara menanam kuman pada media agar padat tertentu kemudian diletakkan kertas samir atau disk yang mengandung obat atau dapat juga dibuat sumuran kemudian di isi obat dan dilihat hasilnya (Jawetz dkk, 2012).

2.6.2. Metode Dilusi

Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh Minimal) dari obat antimikroba. Pripsip dari metode Dilusi Tabung yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya seri tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya

kekeruhan pada tabung (Dzen dkk, 2003).

Pada metode ini yang diamati adalah ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri atau kuman atau jika mungkin, tingkat kesuburan dari pertumbuhan

(19)

kuman, dengan cara menghitung jumlah koloni, maka dapat ditentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM), (Jawetz dkk, 2012).

2.6.3. Metode Bioautografi

Bioautografi merupakan suatu metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, dan antiviral. Bioautografi juga merupakan suatu metode yang cepat untuk mendeteksi antibiotik yang belum diketahui yang mana metode kimia atau fisika yang terbatas untuk substansi yang murni. Sementara deteksi kimia reaksi warna hanya spesifik digunakan sebagai pembanding hasil bioautografi sehingga kedua meode tersebut saling melengkapi ( Stahl, 1965 ).

Ada 3 metode bioautografi :

1.Bioautografi langsung / direct : mikroorganisme tumbuh secara langsung di atas lempeng KLT.

2.Bioautografi kontak / contact : senyawa dipindahkan dari lempeng KLT ke medium.

3.Bioautografi pencelupan/overlay: medium agar yang telah diinokulasikan dengan mikroorganisme dituang di atas lempeng KLT ( Mulyaningsih, 2004).

Deteksi dari antibiotik yang dikembangkan diatas kromatogram menggunakan deteksi kimia sulit dilakukan karena secara kimiawi atibiotik sangat beraneka ragam. Dengan demikian dapat digunakan sebuah metode biologis untuk mendeteksi antibiotik, yang menempatkan kromatogram yang telah dikembangkan pada sebuah medium agar yang telah ditanami mikroorganisme uji yang sesuai. Antibiotik akan berdifusi dari kromatogram ke dalam agar nutrient. Setelah dilakukan inkubasi, zona jernih pada agar memiliki penghambatan dari pertumbuhan organisme uji menunjukkan posisi antibiotik pada kromatogram ( Tyler dkk, 1988 ).

Dalam prateknya, kromatogram diletakkan pada permukaan media agar di dalam petri dish yang telah diinokulasi selama 15 – 20 jam pada temperatur

(20)

37˚C akan tampak zona yang jernih pada lapisan tersebut dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme ( Zweig & Whitaker, 1971).

Diantara berbagai teknik kromatografi, Kromatografi Lapis Tipis adalah yang paling cocok untuk analisis metode ini hanya memerlukan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis dan memerlukan jumlah cuplikan sedikit. Selain itu, kebutuhan ruang minimum dan penanganannya sederhana (Stahl, 1985).

2.7. Klasifikasi Kepekaan Antijamur

Klasifikasi kepekaan antijamur bedasarkan diameter zona hambat dapat dibedakan menjadi beberapa kategori sebagai berikut :

Tabel II. 3 Klasifikasi Antijamur (CLSI, 2018)

Intepretive Category Zone Diameter (mm)

Suspectible >20

Intermediate 15-19

Resistant ≤ 14

Gambar

Gambar 2. 1. Eleutherine palmifolia (L.) Merr. (Genbinesia, 2018)
Tabel II. 1. Hasil skrining fitokimia dan ekstrak umbi bawang dayak  Golongan Senyawa  Identifikasi  Simplisia  Ekstrak  Alkaloid  +  +  Flavonoid  +  +  Tanin  +  +  Saponin  +  +  Glikosida  +  +  Steroid  +  +
Gambar 2. 2. Jamur Candida albicans (Waluyo, 2014)
Gambar 2. 4. Struktur Kimia Nistatin (Mozer, 2015)  2.3. Tinjauan Ekstrak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Maka dibuatlah alat deteksi gempa bumi dengan arduino uno yang merupakan alat yang dapat mendeteksi akan getaran gempa bumi.. Dengan alat ini menggunakan sensor

Dari semua data hasil perhitungan kalor yang diserap pada kompor alkohol dengan variasi jumlah jet hole dan diameter inner pipe dilakukan perhitungan efisiensi dengan cara

Perbedaan trendline dapat dilihat pada posisi chamber 2 yang memiliki temperatur lebih tinggi dibanding pada posisi lain pada termocouple ke 4.. Hal ini

Spesifikasi benda uji penelitian yang dibuat adalah variasi komposisi jumlah partikel bambu, dengan variabel tetap adalah jumlah semen sebanyak 3 kali berat bahan

di Kabupaten Pamekasan, data jumlah produksi garam untuk tiap lokasi dan data hasil prediksi jumlah produksi garam menggunakan metode moving average.

< EOQ ROP tanggal EOQ ROP EOQ ROP Kartu Stock tanggal no bukti saldo akhir <M> FK_BARANG_MEMILIKI_JENIS_BA FK_PENGELUA_MELAKUKAN_PEGAWAI

Sebagai kelanjutan program Pembaharuan Mahkamah Agung, dalam upaya meningkatkan citra Mahkamah Agung serta Pengadilan di bawahnya lembaga dan Pengadilan Tinggi

Menurut Margono (2005:170) tes ialah seperangkat rangsangaan (stimulasi yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapat jawaban yang dapat dijadikan dasar