• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tebu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

Gula diproduksi di 121 negara dengan produksi dunia melebihi 120 juta ton per tahun. Sekitar 70% gula dihasilkan dari tebu yang dibudidayakan di negara-negara tropis. Produksi gula lainnya diperoleh dari bit gula, terutama di daerah beriklim sedang. Secara historis, gula hanya dihasilkan dari tebu dan dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan gula menjadi barang mewah, terutama di Eropa karena tebu sulit ditanam. Saat ini, beberapa negara mengimpor raw sugar (gula mentah) untuk memproduksi gula kristal putih.

Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang tumbuh bergerombol membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya bulat panjang dan berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna batangnya beragam, ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan batangnya kadang-kadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan tunas. Helaian daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2m dan lebar 4-8cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang panjang dan tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih. Masa berbunga biasanya antara bulan Februari dan Juni (LIPI, 1978).

Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung. Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman saja. Secara komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk stek batang. Rata-rata di Jawa setiap 1 ha kebun bibit dapat memenuhi kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan di luar Jawa lebih kecil lagi, 1 ha kebun bibit hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih, 2008).

Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak sinar matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan optimal. Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S. spontaneum, S. barberi, dan S. sinense. Tanaman komersial ini memiliki banyak kultivar yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam usahataninya. Kemasakan

(2)

tebu biasanya terjadi pada umur 12 bulan. Rata-rata tebu yang masak memiliki kandungan gula 10% dari bobot tebunya. Jika estimasi produktivitas tebu 100 ton per hektar, maka gula yang diperoleh sebesar 10 ton per hektar. Beberapa faktor yang membedakan kandungan gula dari satu kebun dengan kebun lainnya yaitu varietas tebu, perubahan musim, dan perbedaan keadaan lokasi (SKIL, 1998).

Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak dikembangkan oleh masyarakat merupakan tanaman C4, yang menyimpan hasil produksinya dalam batang. Tebu merupakan salah satu tanaman yang sangat efisien memproduksi karbohidrat melalui fotosintesis dibandingkan tumbuhan lain. Fotosintesisnya melibatkan 2 kumpulan sel yang ditunjukkan dengan adanya Kranz Anatomi, yaitu perpindahan struktur dalam prosesnya, yang melibatkan sel-sel mesofil dan sel-sel seludang pembuluh. Tanaman C4 lebih efisien ketika proses reduksi CO2

dan tingkat fotorespirasinya rendah. Tanaman ini cukup beradaptasi dengan iklim yang agak panas.

Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah menyerap tapi juga mudah melepaskan air. Di Indonesia tebu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m (LIPI, 1978). Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, seperti pada beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu pun akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari batas kritisnya(Balai Penelitian Tanah, 2010).

Sifat iklim yang diinginkan tanaman tebu adalah iklim kering pada musim kemarau selama 3-6 bulan dengan suhu optimum 25-300C. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi, akan sangat menguntungkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Cuaca kering yang dingin atau cool dry weather dapat mempercepat pematangan (Balai Penelitian Tanah, 2010). Menurut Bey dan Las (1991) menyatakan bahwa curah air hujan bagi pertumbuhan tanaman tebu rata-rata 45-145 mm/bulan dengan radiasi surya berkisar antara 1.0-1.4 kal/cm2/menit.

(3)

Budidaya Tebu Lahan Kering

Hasil gula yang tinggi dapat diperoleh dengan memahami pengetahuan tentang teknik budidaya tebu yang mencakup ketersediaan air, sifat fisik tanah, kemasaman/pH tanah, pemupukan berdasarkan uji tanah, penggunaan varietas unggul, serta pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk mempercepat proses pencapaian kuantitas, kualitas dan kontinyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional. Luas lahan kering yang tersedia menurut skala ekonomi dan potensi sumberdaya yang memungkinkan serta teknologi proses produksi yang sudah dikuasai dengan baik menjadi pertimbangan dalam pengembangannya. Apabila masalah bibit dan penyediaan air menurut ruang (spasial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa seperti yang terjadi selama ini.

Lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan relatif rendah. Kebanyakan pengembangannya dilakukan pada daerah dengan topografi tidak rata, peka terhadap erosi, dan kerusakan lainnya. Titik kritis dari pengelolaan tebu lahan kering yaitu kondisi kekeringan yang kelak akan berdampak terhadap penurunan produksi tebu per hektar, terutama pada fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen (kandungan gula persatuan bobot tebu) meningkat (Irianto, 2003).

Kondisi ideal syarat tumbuh tebu dari variabel sifat fisik lahan ditentukan oleh drainase tanah yang baik dengan kelebihan air keluar dari tubuh tanah tidak lebih dari 24 jam, sifat olah tanah ideal yang berada pada kisaran antara tanah ringan dan berat (mengurangi tenaga, biaya dan beban pengolahan tanah) dan lahan cukup air (kecukupan air tersedia sepanjang tahun). Adapun penilaian terhadap hirarki klas lahan tinggi sampai rendah, meliputi :

a. Klas S1, lahan sangat sesuai (highly suitable), tidak mempunyai pembatas pertumbuhan berarti yang mempengaruhi pengelolaan tebu. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu padat mencapai >100.000 kg/ha.

(4)

b. Klas S2, lahan cukup sesuai (moderatelly suitable), mempunyai pembatas ringan (bersyarat rendah) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan memerlukan masukan biaya sedang. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi, potensi tebu dapat mencapai 80.000 - 100.000 kg/ha

c. Klas S3, lahan sesuai marginal (marginaly suitable) mempunyai pembatas berat (bersyarat tinggi) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan memerlukan biaya besar. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu dapat mencapai 45.000 – 80.000 kg/ha

d. Klas N, lahan tidak sesuai saat ini (currenty not sutitable), mempunyai pembatas sangat berat. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu mencapai < 45.000 kg/ha.

Berdasarkan definisi klas pengelompokan lahan di atas, klasifikasi klas lahan memberikan informasi terhadap faktor pembatas, tingkat pengelolaan dan potensi produksi. Prinsip lain dari pengklasan tanah juga adalah mengandung makna (berdasarkan faktor pembatas yang ada) terhadap upaya-upaya yang diperlukan untuk mendapatkan produktivitas lahan sesuai kemampuan yang berkesinambungan (Ditjenbun, 2003).

Menurut Irianto (2003), masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam proses produksi tebu lahan kering. Pengelolaan sumber air untuk menekan resiko kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep

“rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”, yaitu

dengan menyimpan air aliran permukaan pada saat musim hujan dan didistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi dan pencucian hara (nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat digunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun parit bertingkat (channel reservoir in cascade).

(5)

Kemasakan dan Pemanenan Tebu

Secara konvensional untuk meningkatkan banyaknya gula yang dapat diperah, dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat. Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI, 2008a).

Komposisi kandungan tebu terdiri dari 11-19% sukrosa, 65-75% air, serta komponen lainnya. Demi mencapai nilai sukrosa yang tinggi, dalam sistem pemanenan tebu, faktor kemasakan tebu menjadi sangat penting. Tebu yang masak akan memberikan tingkat kandungan gula yang tinggi. Kemasakan tebu secara umum diukur berdasarkan nilai brix, pol, harkat kemurnian, dan rendemen. Brix adalah zat kering yang larut dalam air yang terdiri dari kristal gula dan bukan gula. Pol menyatakan kadar gula, baik dari zat kering yang larut atau yang berada dalam air. Harkat kemurnian (HK) menyatakan prosentase kemurnian gula dalam komposisi zat kering yang larut dalam air atau dengan kata lain prosentase perbandingan pol dengan brix. Rendemen menunjukkan banyaknya gula dari bobot tebu tertentu.

Kemasakan tebu menjadi permasalahan prapanen. Pengawasan kemasakan tebu pada petak-petak tebang menjelang giling di pabrik-pabrik gula sudah sejak lama dilakukan secara intensif. Rendemen tebu akan maksimal, hanya dapat diperoleh pada tebu yang telah masak, sehingga analisis kemasakan diperlukan sebelum pemanenan. Berbagai cara penentuan kemasakan dapat digunakan analisis brix atau analisis tiga bagian yang lebih teliti (Mochtar, 1989). Analisis tingkat kematangan tebu dilaksanakan terus menerus selama tahun giling dan beberapa bulan sebelumnya. Perubahan tingkat kematangan tebu, dapat diketahui dari semua data hasil analisis tebu dari berbagai areal, yang pengambilan contohnya ditentukan dari peta tanaman. Tiap contoh biasanya diperlukan 15

(6)

batang tebu dan dianalisis 7 kali berturut-turut dalam hal polarisasi, brix, nilai nira dan harkat kemurnian (HK). Tujuan dari perhitungan ini yaitu mengetahui berapa besar selisih rendemen batang atas dan bawah. Pada tebu yang tua, perbedaan atau selisih tersebut berkurang, dan rendemen rata-ratanya bertambah, dan pada titik tertentu tetap. Pada tingkat inilah tebu dinyatakan mencapai tingkat kematangan tertinggi, meskipun itu belum berarti tanaman tebu di areal tersebut sudah saatnya ditebang (Moerdokusumo, 1993).

Ketika tebu mencapai kemasakan yang maksimal, maka rendemen dan kadar P2O5akan tinggi dan kadar gula reduksi akan turun. Jadi keuntungan yang

akan diperoleh apabila penebangan dilakukan pada saat masak optimal dengan potensi produksi gula tertinggi. Kadar P2O5 yang memegang peranan penting

dalam proses pemurnian nira di pabrik juga dalam kondisi tertinggi dan akan mengurangi biaya penambahan P2O5. Penambahan P2O5 dimaksudkan untuk

membantu proses pemurnian nira dan agar inkrustasi di pan penguapan sesedikit mungkin dan tidak terlalu sulit dibersihkan (Mochtar, 1989).

Kemasakan tebu dalam beberapa kondisi tertentu dapat mengalami kendala sehingga kandungan sukrosanya tidak mencapai sepenuh potensinya. Cuaca yang basah pada saat tanaman tebu mendekati umur panen, misalnya, dapat mengakibatkan tanaman gagal mencapai puncak kemasakan potensialnya. Demikian pula intensitas penyinaran yang tidak maksimal akibat cuaca yang sering berawan selama periode pemasakan, seperti yang sering dialami oleh pertanaman tebu di wilayah tropika, dapat menyebabkan pencapaian kadar gula atau rendemen yang relatif rendah.

Teknologi zat pemacu kemasakan tebu (ZPK, cane ripener) mulai diperkenalkan di pertengahan tahun 1970an, terutama di perkebunan-perkebunan di Hawaii, Florida, Lousiana, Afrika Selatan, dan Brasil. Tujuan aplikasi ZPK adalah untuk memacu kemasakan tebu, khususnya di dalam situasi yang tidak ideal untuk berlangsungnya proses pemasakan secara alami. Bahan kimia yang digunakan sebagai ZPK pada umumnya adalah sama dengan herbisida, namun diaplikasikan dalam dosis sub-letal (non-herbisida) (Widyatmoko, 2009).

Zat Pemacu Kemasakan (ZPK) pada tebu atau cane ripener merupakan suatu bahan kimia yang dapat mempercepat kemasakan tebu dengan mekanisme

(7)

ZPK biasanya ditujukan pada tebu yang secara fisiologis belum masak atau mengalami penundaan kemasakan akibat berbagai faktor seperti kondisi tanah kelebihan air dan kebanyakan pupuk nitrogen (N). Percepatan proses kemasakan pada akhirnya akan berdampak terhadap rendemen atau perolehan gula. Namun walaupun demikian pemberian ZPK tidak bisa meningkatkan rendemen di atas batas optimum yang dihasilkan tebu secara alamiah. Bila secara alami suatu varietas tebu memiliki potensi rendemen 11% pada umur 12 bulan, maka pemberian ZPK tidak akan menyebabkan rendemen menjadi lebih dari 11%.

Aplikasi ZPK diperlukan pada saat awal giling, terutama pada hamparan tebu dengan komposisi varietas yang memiliki komposisi kemasakan kurang baik atau didominasi oleh varietas tebu masak tengah hingga akhir. Pada awal musim giling dibutuhkan tebu masak relatif banyak, sementara sebagian besar tebu yang ada masih belum masak. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya diaplikasikan ZPK.

Secara alamiah sebenarnya kemasakan tebu bisa dipercepat dengan cara mengeringkan tanah, menurunkan suhu sekitar perakaran, membuat tanaman stress (kekurangan) hara atau memperpendek penyinaran matahari. Akan tetapi, cara-caratersebut relatif sulit dilakukan dan perlu waktu cukup panjang. Iklim tropika basah seperti di Indonesia sangat bertentangan dengan kondisi yang dibutuhkan untuk proses pemasakan tebu secara alami. Karena itu alternatif yang paling efektif adalah dengan menyemprotkan ZPK (Toharisman, 2009).

Pembakaran

Tanaman tebu ketika dewasa hampir seluruh daun-daunnya mengering, namun masih mempunyai beberapa daun hijau. Sebelum panen, jika memungkinkan, seluruh tanaman tebu dibakar untuk menghilangkan daun-daun yang telah kering dan lapisan lilin. Api membakar pada suhu yang cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat sehingga tebu dan kandungan gulanya tidak ikut rusak. Di beberapa wilayah, pembakaran areal tanaman tebu tidak diijinkan karena asap dan senyawa-senyawa karbon yang dilepaskan dapat membahayakan penduduk setempat. Banyak bahan yang biasa ditemukan dalam udara yang

(8)

tercemar diketahui merupakan penyebab sakitnya seseorang, jika terdapat dalam kadar yang cukup tinggi. Biasanya, kadar yang menunjukkan pengaruh yang membahayakan pada uji laboratorium jauh lebih tinggi daripada yang teramati dalam atmosfer. Karbon monoksida yang lebih mudah bergabung dengan hemoglobin dibandingkan oksigen, dapat mengurangi daya darah untuk mengangkut oksigen, meningkatkan bahaya kematian akibat penyakit jantung, mengurangi kemampuan untuk melakukan kegiatan fisik, mempengaruhi mental, kesiagaan, dan ketajaman penglihatan. (SKIL, 1998).

Pembakaran yang dilakukan merupakan salah satu bentuk sumbangsih gas rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika kadar gas rumah kaca (seperti karbon dan turunannya) cukup tinggi, sehingga mempengaruhi ketebalan atmosfer bumi dan menyebabkan naiknya suhu bumi. Suhu udara yang tinggi akan meningkatkan suhu tanaman, sehingga akan mengganggu banyak proses dalam tanaman. Suhu merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman. Berbagai proses fisiologi pada tanaman terjadi pada kisaran suhu 0-400C. Pada sebagian besar tanaman laju pemanjangan tercepat dari daun muda terjadi pada kisaran 20-300C. Pada suhu 40-450C laju pemanjangan daun muda akan menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh rusaknya protein dan terjadinya defisit air pada sel jaringan tanaman. Suhu juga mempengaruhi distribusi asimilat serta proses transformasi dan penyimpanannya. Ini terutama menyangkut kegiatan enzim serta laju transpirasi maupun respirasi yang dapat berakibat matinya tanaman.

Keadaan cuaca (terutama unsure suhu) di suatu tempat serta perubahannya dalam jangka pendek berpengaruh kuat terhadap proses metabolisme sel seperti tersebut di atas. Di samping itu, keadaan cuaca juga berpengaruh kuat terhadap kadar air dalam tanah. Dengan demikian tedapat pola hubungan yang jelas antara keadaan cuaca dan proses fisiologi tanaman. Dalam hal ini, data cuaca sehari-hari bermanfaat untuk membantu tindakan operasional di dalam suatu usahatani. Dan dalam jangka panjang akan dapat diketahui hubungan mantap antara data iklim dan data pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman (Nasir, 1991).

Salah satu bentuk konservasi tanah di lahan tebu adalah dengan penambahan mulsa dan bahan organik. Dalam upaya melakukan konservasi pada

(9)

dihilangkan. Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta akan menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti nitrogen dan belerang. Daun tebu dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya dijadikan mulsa atau dikomposkan (Ditjenbun, 2003).

Sistem Tebang, Muat, dan Angkut

Sistem tebangan berhubungan dengan cara-cara praktis di lapang untuk memanen tebu. Pelaksanaan sistem tebang, muat, angkut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama dalam penentuan jadwal tebang (T-score) yang meliputi masa tanam, selisih harkat kemurnian bawah dan harkat kemurnian atas, rendemen rata-rata, selisih antara rendemen atas dan bawah, faktor kemasakan, koefisien peningkatan, koefisien daya tahan, hama penggerek pucuk, kondisi tanaman, jarak. Sedangkan layout kebun, prasarana (kondisi jalan, jembatan), topografi, iklim dan cuaca, dan peralatan penanggulangan kebakaran menentukan sistem tebangan yang akan digunakan (Supatma, 2008).

Pemanenan dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan ataupun dengan mesin. Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan pekerjaan kasar yang sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di area di mana banyak terjadi pengangguran.Tebu dipotong di bagian atas permukaan tanah, dedauan hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang tersebut diikat menjadi satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat tersebut kemudian dibawa dari areal perkebunan dengan menggunakan pengangkut-pengangkut kecil dan kemudian dapat diangkut lebih lanjut dengan kendaraan yang lebih besar ataupun lori tebu menuju ke penggilingan.

Pemotongan dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi potongan pendek-pendek. Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi lahan memungkinkan dengan topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan, solusi ini tidak tepat untuk kebanyakan pabrik gula karena modal yang dikeluarkan untuk pengadaan mesin dan hilangnya banyak tenaga kerja kerja (SKIL, 1998).

(10)

Sistem tebangan yang diterapkan di beberapa perusahaan yaitu sistem tebangan secara mekanis, semimekanis, dan manual. Menurut Soepardan (1989), tebangan secara mekanisasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang, muat, angkut, dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanisasi. Namun cara ini seperti yang telah diamati di PG Subang, tidak dapat diterapkan karena faktor tenaga kerja relatif cukup banyak tersedia, keadaan topografi yang tidak menunjang karena sangat bergelombang, juga mutu tebangan yang dihasilkan sangat rendah. Bahkan dari beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1985, trash (kotoran) mencapai 30 %.

Mekanisasi dalam bidang pertanian bertujuan meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja untuk memberikan hasil yang maksimal. Penggunaan mesin tebang memerlukan syarat-syarat yang hingga saat ini belum sepenuhnya dipenuhi dengan baik. Salah satu syarat utama yang perlu dipenuhi adalah layout dari kebun secara keseluruhan. Apabila mesin tebang yang digunakan jenis chopper, maka mesin tebang yang memotong batang tebu menjdi 30 cm ini, memerlukan adanya road transport (Kartohadikusumo, 1975).

Kapasitas penebangan dengan menggunakan mesin tebang bisa mencapai 20-45 ton per jam. Jika dalam satu harinya bisa bekerja dengan lancar selama 8jam, maka sudah dapat menghasilkan 160-360 ton tebu. Jadi untuk suatu pabrik dengan kapasitas 2 000 TCD akan diperlukan 12 atau 8 mesin tebang. Oleh karena mesin tebang ini harganya mahal, maka untuk merendahkan biayanya perlu mencapai hasil pekerjaan yang maksimal (Kartohadikusumo, 1975).

Tebangan semimekanis yang pernah dilaksanakan di PG Subang (Soepardan, 1989) ialah pelaksanaan tebangan sejak tebang, muat, angkut, serta bongkarnya dilakukan secara mekanisasi, sedangkan pembersihan klaras (tras cleaning) dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan oleh tenaga manusia. Akan tetapi sistem ini hanya sebagian kecil saja dari kegiatan pekerjaan tebangan manual secara keseluruhan.

Tebangan secara manual (Soepardan, 1989), merupakan kegiatan tebangan sejak menebang, pembersihan klaras (sisrikan), pengikatan dan muat tebu hasil tebangan dilakukan seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutannya dilakukan dengan menggunakan truk-truk milik kontraktor, serta

(11)

yang dilaksanakan di lahan kering seperti di PG Subang ini, pelaksanaannya meliputi penebangan batang tebu rata dengan permukaan tanah, membersihkan klaras, akar serta kotoran lain yang melekat pada setiap batang tebu yang ditebang, memotong pucuk yang kemudian disisihkan bersama klaras dan kotoran lain pada lajur khusus. Selanjutnya meletakkan batang-batang tebu tebangan pada lajur atau juringan-juringan yang telah dibersihkan dari klaras dan kotoran lain sebelumnya, yang terdapat diantara dua lajur tempat timbunan klaras dan potongan pucuk. Namun menurut Suharyono (1989), tebangan manual yang dilakukan di PG Bone, dilakukan dengan tebang pangkal, memotong pucuk, kelentek, sisik, pengikatan dan dipindahkan sampai di pinggir jalan kebun atau jalan diperkeras. Hal ini disebabkan karena unit angkutan tebu tidak diperbolehkan masuk ke tengah kebun. Keuntungan dari sistem ini yaitu tidak terjadi pemadatan tanah di kebun dan angkutan tebu lebih diperlancar, namun kerugiannya kapasitas tebang per orang menurun dan tebu tertinggal di kebun meningkat terutama pada kebun bertopografi miring atau bergelombang.

Muat tebu didefinisikan sebagai kegiatan yang dimulai dari pekerjaan mengambil ikatan tebu pada lahan, mengangkat ikatan tebu menuju truk pengangkut, sampai meletakkan di atas truk. Kegiatan selanjutnya, pengangkutan tebu yang harus dilakukan dengan cepat dan aman. Hal ini berarti bahwa pengangkutan tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan nira pada tebu, memenuhi target giling pabrik setiap harinya, tidak merusak lingkungan dan dalam jangkauan biaya (Irawan, 2008). Alat muat yang biasa digunakan yaitu grabloader. Kapasitasnya sekitar 10-60 ton per jam tergantung dari jenisnya. Jika rata-rata memuat 25 ton per jam-nya, maka dalam satu hari (8 jam) bekerja bisa memuat 200 ton tebu. Prinsip dalam penggunaannya perlu memperhatikan layout mekanisasi yang baik (Kartohadikusumo, 1975).

Menurut Sutaryanto (2009), tebang dan angkut dengan mutu tebu yang MBS (Masak, Bersih, dan Segar) dilakukan dengan cara, yaitu:

1. Memperkecil front tebang dan Tebang Sendiri Angkut Sendiri (TSAS) melalui kelompok tebang. Batasan jumlah kebun ditebang maksimal

(12)

3-6 kebun tebangan per wilayah. Hal ini bertujuan agar kontrak petugas tebangan terjangkau masing-masing wilayah.

2. Penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu faktor kemasakan (FK), koefisien peningkatan (KP), koefisien daya tahan (KDT).

3. Pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total 4. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 0-10% kapasitas giling. 5. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang

lebih dari sama dengan 17%.

Trash dan Tebu Tertinggal

Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash (kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada tanaman tebu. Trash yang dianalisis pada umumnya meliputi kelaras (kelopak daun) daun kering/hijau, sogolan yang kurang dari 1.5m, pucuk, akar, tali ikat, dan tebu mati. Trash dinyatakan dengan nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat kotoran dibanding dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan, dinyatakan tebu bersih bila EM< 5% (Haryanti, 2008). Menurut Mochtar (1989), kotoran bersabut (seperti daun, pucuk, kelaras, akar, sogolan, gulma, kayu) akan menurunkan rendemen tebu karena akan menaikkan kadar sabut dengan menurun kadar nira tebu. Ini berarti sebagian gula yang seharusnya dapat diperoleh hiang dalam ampas. Di samping itu ada bagian nongula yang larut dalam nira tebu, sehingga menurunkan nira tebu. Kotoran tidak bersabut (tanah, pasir, batu, bahan logam) mungkin tidak larut, akan tetapi akan merusak peralatan gilingan, sehingga dapat menurunkan keragaan peralatan tersebut dan menambah biaya untuk perbaikan. Tanah yang tidak larut, akan masuk sampai stasiun pemurnian dan sebagai koloid akan mempersulit proses pengendapan, sehingga sukar untuk mendapatkan nira yang jernih sehingga dapat menekan kapasitas pengolahan.

Tebu tertinggal yang biasa terjadi di lapangan berupa tunggak, yaitu sisa tebu akibat tebangan yang melebihi tinggi standar tebangan. Tunggak merupakan masalah yang harus dipecahkan karena merupakan bagian yang memiliki kadar

(13)

hektar (Renatho, 2007). Pada PG Sindang Laut dan Tersana Baru, untuk tinggi tunggak maksimal yang diperbolehkan adalah 5 cm (Supatma, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai penutup dari kajian ini, semoga dengan kepeloporan yang telah dilakukan oleh Haji Abdul Karim Amrullah dalam mempelopori pendirian organisasi Muhammadiyah di

Untuk menghindari kerugian dalam kegiatan pekerjaan renovasi tahap II Asrama Wana Mulia SMK Samarinda dapat meramalkan (forecasting) terhadap biaya penyelesaian proyek

Prevalensi balita dengan berat badan rendah (kekurangan gizi).. Kajian Capaian Target MDGs 3 balita gizi buruk. Target MDGs untuk indikator ini pada tahun 2015 adalah

Ketika anjing bisa belajar dari pemiliknya untuk mengerti lalu patuh, taat dan setia, kita seharusnya bisa lebih baik lagi menerima pengajaran-pengajaran Tuhan, mengerti

Berdasarkan penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d yang dimaksud dengan jaksa dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur oleh undang- undang ialah

Penciptaan karya batik tugas akhir ini penulis mengangkat tema ikan Koi dengan teknik batik tulis dan teknik pewarnaan Tye Die, penulis tertarik pada bentuk tubuh ikan

 Dalam rangka terciptanya model bisnis baru yang tidak perlu mengharuskan adanya pelepasan hak atas tanah oleh masyarakat kepada perusahaan: peraturan perundangan dan kebijakan

1 Saya berpikir bahwa saya akan sering mengakses website ini tidak sering sering 2 Saya berpikir website ini terlalu kompleks tidak setuju setuju 3 Saya berfikir