• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini masyarakat Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan, sehingga kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula. Kegiatan pembangunan terutama sekali pembangunan di bidang fisik baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan pembangunan tersebut. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah untuk berbagai proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk kepentingan bisnis, dalam skala besar maupun kecil.1 Karena tanah negara yang tersedia sudah tidak memadai lagi jumlahnya, maka untuk mendukung berbagai kepentingan tersebut di atas yang menjadi objeknya adalah tanah-tanah hak, baik yang dipunyai oleh orang perorangan, badan hukum, maupun masyarakat adat.2

Ada berbagai kepentingan yang kelihatannya saling bertentangan antara satu dengan yang lain berkenaan dengan persoalan tanah dalam pembangunan itu. Disatu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan dilain pihak sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan juga tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.3 Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas kita harus

1

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi SosialDan Budaya. Jakarta : Buku Kompas. 2007. Hal : 256.

2

Ibid.

3

Abdurrahman. Masalah Pencabutan Hak-Hak AtasTanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia. Edisi Revisi. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1991. Hal :9.

(2)

mengorbankan hak asasi warga masyarakat yang seharusnya jangan sampai terjadi dalam negara yang menganut prinsip “rule of law” , akan tetapi bilamana hal ini dibiarkan saja maka usaha - usaha pembangunan akan terhambat.

Agar pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan pengadaan tanah.

Sebagai landasan hukum pengadaan tanah saat ini adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres ini dimaksudkan sebagai pengganti Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993, sebagaimana disebutkan pada konsideran huruf b “Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum”.

Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini memperoleh reaksi luas dari masyarakat karena berbagai kelemahannya4, Peraturan Presiden yang baru ini mencerminkan sikap pemerintah yang represif dan otoriter karena secara paksa pemerintah dapat mencabut hak atas tanah milik rakyat, dengan mengatasnamakan kepentingan umum.5 Untuk selanjutnya Perpres RI No. 36 Tahun 2005 ini mengalami perubahan pada beberapa pasalnya, dengan diterbitkannya Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

4

Maria. Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 280.

5

Tinjauan Yuridis PerPres No. 65 Tahun 2006 Perubahan Atas PerPres No. 36 Tahun 2005 Sebagai Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan. Http : //blog Komunitas hukum. Blog spot. Com. Diakses 08 Maret 2010.

(3)

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebagai ketentuan pelaksana Perpres pengadaan tanah ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Ka. BPN) No. 3 Tahun 2007, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Yang dimaksud dengan pengadaan tanah ialah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.6

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ialah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.7

Ternyata Perpres tentang pengadaan tanah yang baru ini masih menyimpan beberapa problematika yang seharusnya jangan sampai terjadi. Salah satu diantara beberapa persoalan pokok yang sering dipermasalahkan di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah yang berkenaan dengan ganti rugi.

Dalam realitas empris harus diakui bahwa pelaksanaan pengadaan tanah masih ada persoalan yang sering menganjal, yaitu sulitnya menentukan harga ganti rugi tanah. Menurut Achmad Rubaie, alasannya karena pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah

6

Pasal 1 angka 3 PerPres RI No. 65 Tahun 2006.

7

(4)

meminta harga yang sangat tinggi melebihi harga pasaran dan nilai jual objek pajak (NJOP),8 namun disisi lain tidak sedikit pemegang hak atas tanah terpaksa menerima ganti rugi dibawah nilai jual objek pajak (NJOP), misalnya terjadi pada proyek pengadaan tanah untuk kepentingan Mako Brimob Polda Sulawesi Selatan, dan proyek jalan tol Ujung Pandang.9

Pasal 1 angka 11 Perpres RI No. 36 Tahun 2005 menyatakan “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”.

Rumusan ganti rugi pada pasal 1 angka 11 tersebut di atas, ada menyebutkan tentang ganti rugi yang bersifat non fisik. Jika dibandingkan dengan Keppres RI No. 55 Tahun 1993 melihatkan bahwa Perpres ini lebih maju dengan memperluas makna ganti rugi bahwa ganti rugi tidak hanya sebatas ganti rugi yang sifatnya kerugian fisik tetapi juga kerugian yang non fisik, hanya saja Perpres tentang pengadaan tanah ini tidak berhasil memberikan penjelasan lebih lanjut bentuk ganti rugi non fisik tersebut.

Pasal 13 PerPres RI No. 65 Tahun 2006 menyatakan “Bentuk ganti rugi dapat berupa : a). uang, dan/atau b). tanah pengganti, dan/atau c). pemukiman kembali, dan/atau d). gabungan dari 2 atau lebih ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam

8

Achmad Rubaie. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Ed. Pertama. Cet. Pertama. Malang : Bayumedia Publishing. 2007. Hal : 11.

9

Aminuddin Salle. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Cet. Pertama. Jogjakarta : Kreasi Total Media. 2007. Hal : 174.

(5)

huruf a, huruf b, dan huruf c, e). bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Pasal 45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007 menyatakan :

Ganti rugi dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 44 ayat 1 huruf b diberikan dalam bentuk :

a. tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali, sesuai yang dikehendaki pemilik dan disepakati instansi pemerintah yang memerlukan tanah; b. tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang

sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan, bagi harta benda wakaf;

c. recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat, untuk tanah ulayat, atau;

d. sesuai keputusan pejabat yang berwenang, untuk tanah Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Perpres RI No. 65 Tahun 2006 dan Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007, ada menyebutkan tentang bentuk ganti rugi yang berupa pemukiman kembali. Akan tetapi baik Perpres maupun Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 tersebut tidak memberikan perincian lebih lanjut tentang hal tersebut.

Berkaitan dengan bentuk ganti rugi yang berupa pemukiman kembali ini, perlu menjadi perhatian diantaranya bahwa pemilihan lokasi sedapat mungkin haruslah merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan pihak-pihak yang akan dipindahkan, kemudian lokasi yang baru tersebut haruslah dilengkapi dengan sarana dan prasarana atau fasilitas umum, sehingga dengan demikian akan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada mereka yang akan memasuki pemukiman baru.

Masalah lain dari Perpres pengadaan tanah yang baru ini juga menarik untuk dicermati adalah persoalan lembaga penitipan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri setempat atau yang selalu disebut dengan konsinyasi.

(6)

Pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyatakan :

1. Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara tehnis tata ruang ke tempat atau ke lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 hari (seratus dua puluh hari) kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

2. Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a dan menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

3. Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 2, maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Lembaga konsinyasi adalah merupakan salah satu cara untuk menghapuskan perikatan sebagaimana diatur dalam pasal 1404 KUHPerdata yang merumuskan:

1. Jika kreditur menolak pembayaran, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya ke pengadilan. 2. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur, dan

berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang, sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.

Penerapan dan penggunaan lembaga konsinyasi haruslah memperhatikan atau memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 1405 KUHPerdata yaitu :

1. Bahwa ia dilakukan kepada seorang berpiutang atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya untuk dia;

2. Bahwa ia dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar;

3. Bahwa ia mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan terkemudian;

4. Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentingan si berpiutang;

5. Bahwa syarat dengan mana utang telah dibuat, telah terpenuhi;

6. Bahwa penawaran dilakukan ditempat, dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan jika tiada suatu perjanjian khusus mengenai itu, kepada si

(7)

berpiutang pribadi atau di tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya;

7. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau Juru Sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi.

Berpedoman kepada pasal 1404 KUHPerdata dan pasal 1405 KUHPerdata, Gunanegara memberikan pendapatnya, tidaklah tepat kedua pasal tersebut dijadikan dasar analogi sebagaimana dianut oleh pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006, dengan alasan yuridis bahwa ketentuan pasal 1404 KUHPerdata dan pasal 1405 KUHPerdata adalah : 1). pengaturan untuk utang piutang dan tidak untuk pembayaran ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah, 2). bahwa proses ganti rugi tidak ditetapkan sebelumnya dalam perjanjian tertulis, tetapi menggunakan mekanisme musyawarah yang apabila tercapai kata sepakat baru dirumuskan dalam Berita Acara Penetapan Gant Rugi.10

Menurut Maria Sumardjono, “Perpres pengadaan tanah ini telah keliru menerapkan konsep penitipan ganti kerugian pada pengadilan yang dianalogkan dengan konsep penitipan yang terkait utang piutang dalam pasal 1404 KUHPerdata”11, karena pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah dan bukan hubungan keperdataan antara para pihak.12 Disamping itu lembaga konsinyasi ini memperlihatkan adanya pemaksaan kehendak oleh panitia pengadaan tanah, serta mengabaikan prinsip kesetaraan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.13

10

Gunanegara. Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Pertama. Jakarta : Tatanusa. 2008. Hal : 227.

11 Maria Sumardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Edisi Revisi. Cet. Ke IV. Jakarta : Buku Kompas. 2006. Hal : 105.

12

Maria Sumardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi SosialDan Budaya. Op cit. Hal : 275.

13

Syafruddin Kalo. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. I. Jakarta : Pustaka Bangsa. 2004. Hal : 109.

(8)

Berdasarkan pasal 10 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 tersebut di atas bahwa penitipan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri didasarkan pada dua alasan, yaitu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dipindahkan secara tehnis tata ruang ke lokasi lain dan musyawarah telah berjalan selama 120 hari kalender, namun tidak tercapai kata sepakat.

Selain itu konsinyasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal :14

a. yang berhak atas ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat 1 tidak diketahui keberadaannya;

b. tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang menjadi objek perkara di pengadilan dan belum memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. masih dipersengketakan kepemilikannya dan belum ada kesepakatan penyelesaian dari para pihak, dan

d. tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang.

Menurut Abdurrahman, “Konsinyasi lazimnya terjadi di dalam praktek dilakukan justru sebelum ada kesepakatan mengenai besar dan jumlah ganti kerugian yang dibayarkan dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara panitia/pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah telah menitipkan sejumlah uang yang dihitung menurut taksiran mereka di kepaniteraan Pengadilan Negeri”.15

Dengan demikian sesungguhnya tidak dimungkinkan penitipan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat jika pemegang hak atas tanah tidak menerima uang ganti rugi karena alasan-alasan tertentu.16

14

Pasal 48 ayat 1 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007.

15

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. Ke -1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994. Hal : 66.

16

Ediwarman. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan. Medan : Pustaka Bangsa Press. 2003. Hal : 104.

(9)

Didasarkan kepada uraian-uraian di atas, menarik perhatian penulis untuk menganalisis lebih lanjut problematika pengadaan tanah tersebut yang didasarkan kepada Perpres RI No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres RI No. 65 Tahun 2006, dalam bentuk penelitian hukum normatif.

B. Perumusan Masalah.

Berdasarkan kepada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perlindungan hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 ?.

2. Bagaimana keberadaan lembaga konsinyasi di dalam pengadaan tanah menurut Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap hak-hak pemilik tanah dalam hal ganti rugi tanah karena pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006.

2. Untuk mengetahui keberadaan lembaga konsinyasi di dalam pengadaan tanah berdasarkan Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006.

(10)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum pertanahan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di dalam pembuatan undang-undang atau peraturan yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dilalukan oleh Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul dan permasalahan yang persis sama belum ada ditemukan. Akan tetapi ada beberapa penelitian sebelumnya yang melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembebasan atau pengadaan tanah antara lain :

1. EDIWARMAN, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “ Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Dan Kaitannya Dengan Victimologi “ (Study Kasus di Kota Madya Medan). Tahun 1997.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah di Kotamadya Medan ditinjau dari segi hukum belum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, karena pembebasan tanah tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan kepada

(11)

pemilik tanah, tapi dilakukan dengan perantaraan calo. Sehingga musyawarah yang dilakukan dengan masyarakat cenderung kepada pemaksaan dan intimidasi. Disamping itu ganti rugi yang diterima oleh masyarakat belum sesuai dengan harga umum setempat. 2. JENDA INGAN MEHULI. Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Jurusan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan 1 Dan 2 Di. Kab. Aceh Tenggara”. Tahun 2001.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan 1 dan 2 menunjukkan bahwa mekanisme pengadaan tanah yang ditentukan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, musyawarah yang merupakan esensi dari pengadaan tanah tidak sebagaimana mestinya dilakukan. Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian ditentukan dahulu, baru dimusyawarahkan sehingga ada sebagian pemilik hak atas tanah tidak mau menerima ganti rugi.

Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengadaan tanah ini adalah para responden bermata pencaharian dari bertani dan berkebun, sehingga bila tanah mereka diambil, maka mereka tidak dapat lagi bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, tanah merupakan jiwa mereka yang mereka yakini merupakan nilai magis religius.

3. LINDAWATI LEONARDI. Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Jurusan

Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum” (Study Mengenai Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei. Deli – Sei Percut Medan ). Tahun 2005.

(12)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses musyawarah dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi tidak mencapai kesepakatan, masyarakat secara yuridis telah menerima bentuk dan besarnya ganti rugi, namun secara implisit mereka merasa kecewa dan diperlakukan tidak adil. Hambatan yang dihadapi dalam pengadaan tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei. Deli – Sei. Percut Medan ada 2 , yaitu hambatan non tehnis dan hambatan tehni. Hambatan non tehnis antara lain, berupa surat kepemilikan hak atas tanah yang akan diganti rugi kurang lengkap, dalam hal pemilik tanah, bangunan dan tanaman yang akan dibebaskan tidak berada ditempat, nilai ganti rugi dirasakan sebagian masyarakat pemegang hak atas tanah kurang sesuai dengan harga pasar, sehingga masyarakat melakukan upaya hukum, terhadap tanah yang dibebaskan sedang diikat dengan hak tanggungan, masih ada masyarakat yang menguasai secara fisik tanpa ada alas hak, ketidak akuratan pihak Panitia Pengadaan Tanah dalam melakukan inventarisasi. Hambatan tehnis antara lain adanya perobahan desain Proyek Kanal (Flood

Way) Sei. Deli – Sei. Percut Medan, terlalu cepatnya dilakukan pembayaran ganti rugi

sementara masyarakat masih ada yang tetap bertahan di lokasi, sehingga terjadi penggusuran dari proyek, proses pengukuran yang memakan waktu cukup lama dari pelaksanaan inventarisasi samapai kepada pembayaran ganti rugi, adanya tenggang waktu yang cukup lama dari penetapan lokasi sampai kepada realisasinya, dan adanya salah satu industri kertas yang terkena proyek.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

(13)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalah (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.17

Teori yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori hak menguasai negara dan teori keadilan yang dikemukan oleh Arsitoteles khusus keadilan distributif, yang dapat dijadikan sebagai pisau analisis pembahasan substansi tesis ini.

Untuk melaksanakan tujuan negara RI, negara mempunyai hubungan hukum dengan tanah diseluruh wilayah RI atas nama bangsa melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960) dan peraturan pelaksanaannya.18 Hubungan hukum tersebut dinamakan hak menguasai negara. Hak ini tidak memberi kewenangan secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 UUPA.19

Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini negara berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan, dan penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut

17

M. Solly, Lbs. Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Cet. Ke- 1. Bandung : Mandar Maju. 1994. Hal : 80.

18

Penjelasan Umum UUPA.

19

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan. Ed. 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008. Hal : 23.

(14)

dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.20

Pasal 2 ayat 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 memberikan penjabaran lebih lanjut tentang pengertian hak menguasai negara yaitu :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa,

b. menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan kepada pasal 2 UUPA tersebut di atas dapat diartikan bahwa UUPA menganut konsep negara menguasai, bukan memiliki dalam hubungan antara negara dengan tanah.21 Bachsan Mustapa mengatakan, “Istilah dikuasai yang digunakan oleh pasal 2 ayat 1 UUPA bukan berarti dimiliki, sebab negara tidak berfungsi sebagai pemilik tanah”.22

Hak menguasai negara meliputi seluruh tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau maupun sudah dihaki dengan hak perorangan. Tanah yang belum dihaki dengan hak perorangan oleh UUPA disebut dengan tanah-tanah yang dikuasai langsung negara atau tanah negara. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak atas tanah disebut tanah hak.23 Dengan demikian tidak ada sejengkal tanah pun di

20

Boedi Harsono dalam Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan. Ibid. Hal : 24.

21

Maria. S.W. Soemardjono. Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan Suatu Tinjauan Yuridis. Mahkamah Agung RI. 1996. Hal : 88.

22

Bachsan Mustafa. Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. Ke – 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 2001. Hal : 136.

23

http :// pengurusan – hat. Blog spot. Com /2008/08/ hak menguasai negara. Html. Diakses 29 – 03 – 2010.

(15)

negara ini merupakan apa yang disebut “res nullius” atau tanah tak bertuan atau tanah liar ( woeste gronden).24

Beranjak dari hak menguasai negara dan sebagai perwujudan asas fungsi sosial hak atas tanah, negara mempunyai kewenangan untuk kepentingan pembangunan demi kepentingan umum, mengambil hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat melalui lembaga pengadaan tanah. Pengadaan tanah hanya merupakan salah satu cara negara untuk memenuhi kebutuhan tanah guna melaksanakan pembangunan dan ditempuh negara ketika perbuatan hukum keperdataan mengalami kebuntuan.

Gunanegara mengatakan, “Adalah keliru apabila negara tidak mempunyai hak, karena pada dasarnya negara adalah pemegang hak (hak publik)”.25 J.J.Rosseau mengatakan bahwa “Ketika individu yang satu bergabung dengan individu yang lain, maka jadilah mereka masyarakat, dan ketika masyarakat yang satu bergabung dengan masyarakat yang lain jadilah mereka suatu negara, maka secara konseptual mereka telah menyerahkan sebagian hak individualnya kepada negara untuk diatur guna memberikan harmoni diantara mereka atau social order”.26

Konsep hak menguasai negara menurut teori perjanjian masyarakat ( du Contract

Social) sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau yang didukung pendapat M. Kaser

dan P.B.J Wubbe menyatakan, “Bahwa milik perseorangan atas tanah diserahkan berdasarkan perjanjian masyarakat yang dijelmakan dengan hukum. Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada adalah milik publik dan dikuasakan oleh negara.

24

Syafruddin Kalo. Kapita Selekta Hukum Pertanahan Studi Tanah Perkebunan Di Sumatera Utara. Medan : USU Press. 2005. Hal : 124.

25

Gunanegara. Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Pertama. Jakarta : Tata Nusa. 2008. Hal : 18.

26

(16)

Hal ini berlaku pula terhadap setiap hubungan hukum termasuk negara sehingga negara mempunyai kewenangan hukum atas kepunyaan negara”.27

Dengan demikian, hubungan teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh

J.J. Rosseau dihubungkan dengan kewenangan negara untuk mengambil tanah-tanah

masyarakat melalui lembaga pengadaan tanah tidak lain adalah sebagai implementasi hak menguasai negara, tentunya pengambilan tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan demi kepentingan umum.

Berbicara masalah kepentingan umum bukanlah hal yang mudah untuk memberikan rumusannya, karena penilaiannya sangat subjektif yang terlalu abstrak untuk memahaminya.28 Selain itu istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang bersifat begitu umum yang belum memberikan penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk operasionalnya sesuai dengan makna yang terkandung di dalam istilah tersebut.29

Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit untuk dirumuskan dan lebih-lebih kalau dilihat secara operasionalnya. Akan tetapi dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat, penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.30 Jika tidak dirumuskan atau diberikan kriteria dengan tegas, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam.

27

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 14 – 15.

28

Achmad Rusyaidi. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan Umum Dan Perlindungan HAM. http : // prp makasar. Wordpress –Com/2009/02/13. Diakses 11 Maret 2010.

29

AA. OK. Mahendra. Menguak Masalah Hukum Demokrasi Dan Pertanahan. Cet. 1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1996. Hal : 279.

30

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Cet. Ke- 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1994. Hal : 36.

(17)

Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menyatakan “Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat”.

Jika dicermati rumusan kepentingan umum tersebut di atas, definisi yang diberikan masih belum tuntas, batasannya tidak dirumuskan dengan tegas, masih memerlukan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan sebagian besar lapisan masyarakat itu.31 Maria Sumardjono mengatakan “Rumusan kepentingan umum pada Perpres pengadaan tanah tersebut tanpa pembatasan”. JanGijssel mengemukakan pendapatnya bahwa “Kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu merupakan pengertian yang kabur (vage begrif) sehingga tidak mungkin diinstusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen)”.32

J.J.H. Bruggink menyatakan, “Bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas”.33 Menurut Gunanegara cara cepat untuk mengenali arti kepentingan umum hanya dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan umum itu sendiri, dengan memberikan kriteria kepentingan umum yang tepat, maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak lagi berkembang atau dikembangkan sesuai kepentingan negara semata.34

Ada tiga prinsip yang dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :35

31

Eka Irene Sihombing. Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Ke. Dua. Jakarta : Universitas Trisakti. 2009. Hal : 141.

32

Jan Gijssel dalam Gunanegara. Op cit. Hal : 11.

33

Ibid.

34

Ibid. Hal : 12.

35

Adrian Sutedi. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Cet. Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. 2008. Hal : 75 – 76.

(18)

a. kegiatan pembangunan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah, b. kegiatan pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah,

c. kegiatan pembangunan tersebut tidak mencari keuntungan ( non profit ).

Mengenai bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, disebutkan dalam pasal 5 Perpres RI No. 36 Tahun 2005 yaitu :

a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; e. peribadatan;

f. pendidikan atau sekolah; g. pasar umum;

h. fasilitas pemakaman umum; i. fasilitas keselamatan umum; j. pos dan telekomunikasi; k. sarana olah raga;

l. penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya,

m. kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB. n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; p. rumah susun sederhana;

q. tempat pembuangan sampah; r. cagar alam dan budaya; s. pertamanan;

t. panti sosial;

u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Selanjutnya pasal 5 tersebut di atas telah mengalami perubahan yaitu dengan diterbitkannya Perpres RI No. 65 Tahun 2006. Pasal 5 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyebutkan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimilki oleh pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi :

(19)

a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, atau pun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah ; f. cagar alam dan budaya;

g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Di Malaysia dalam akta Pengambilan Tanah disebutkan “Bahwa tanah dapat diambil untuk prasarana umum yang meliputi : 1). jalan, 2). transportasi kereta api, 3). penyediaan air, 4). gas perpipaan, 5). telekomunikasi, 6). penerangan jalan, 7). sistem pembuangan air limbah, 8). pekerjaan publik, 9). dan pelayanan publik sejenis”.36

Menurut The Acquisition of land Act 1967, Queensland, Australia, menentukan tanah dapat diambil alih untuk tujuan kepentingan umum antara lain : “ 1). pembangunan sekolah, 2). rumah sakit, 3). pelabuhan, 4). jembatan, 5). penerbangan, 6). lapangan parkir, 7). jalan, 8). saluran pembuangan limbah”.37

Kegiatan pembangunan nasional khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup. Usaha-usaha pengembangan perkotaan baik berupa perluasan, pembukaan tempat pemukiman baru di pinggir kota, senantiasa membutuhkan tanah, hanya saja kebutuhan tersebut tidak dengan mudah dapat dipenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan akan pembangunan fisik tersebut, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah diharapkan dapat berperan serta dengan cara merelakan tanah yang dimilikinya untuk diserahkan kepada pihak yang membutuhkan, tentunya

36

Gunanegara. Op cit. Hal : 49.

37

(20)

dengan mengikuti ketentuan yang ada, sebab pada asasnya hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 6 UUPA No. 5 Tahun 1960.

Fungsi sosial berarti sesuatu dapat dimanfaatkan oleh orang lain dalam kehidupan sosial atau kehidupan bersama. Fungsi sosial hak atas tanah maksudnya adalah setiap hak atas tanah dapat dimanfaatkan oleh orang lain kalau dibutuhkan, bukan hanya oleh pemiliknya sendiri.38

Menurut Adrian Sutedi “Konsep fungsi sosial hak atas tanah menurut UUPA tidaklah berpangkal pada hak yang bersifat individualistis, tetapi UUPA beranggaban bahwa konsepsi fungsi sosial itu adalah sebagai jalan kompromi antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Ini lah sifat hak atas tanah yang dualistis”.39

AP. Parlindungan berpendapat bahwa “Prinsip yang terdapat dalam pasal 6 UUPA No. 5 Tahun 1960 tersebut adalah prinsip dwi tunggal, artinya di dalam hak seseorang itu terkandung juga hak masyarakat, semakin kuat tekanan dari masyarakat (kepentingan umum) maka kepentingan perorangan harus mengalah”.40

Walaupun hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum berfungsi sosial, hak atas tanah tersebut sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak mana pun dan hak atas tanah tersebut tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang serta dengan secara melawan hukum termasuk oleh penguasa.

Perlindungan hukum terhadap hak atas tanah seseorang, dapat dicermati dari pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

38

Maria. S.W. Soemardjono dan Martin Samosir. Hukum Pertanahan Dalam berbagai Aspek. Medan : Bina Media. 2000. Hal : 60.

39

Adrian Sutedi. Op cit. Hal : 80.

40

AP. Parlindungan. Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Pelaksanaan Landreform. Bahagian I, Cet. Ke- 1. Bandung : Mandar Maju. 1989. Hal : 192.

(21)

Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Apabila pemerintah menginginkan hak atas tanah masyarakat yang akan dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas bagi kepentingan umum, maka pengambilannya harus berpedoman kepada peraturan yang ada, sehingga dapat dirasakan adil oleh masyarakat. Menjadi pertanyaan apakah peraturan pengadaan tanah yang ada tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tanahnya diambil atau dilepaskan ?.

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles sebagai seorang murid Plato yang paling termasyhur41 memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pemikiran tentang hukum dan keadilan serta membedakan keadilan satu diantaranya ialah keadilan distributif .

Keadilan distributif ialah menyangkut soal pembagian barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama memperoleh perlakuan yang sama pula dihadapan hukum.42 Menurut M. Solly keadilan distributif (distributive justice) berprinsip “Bahwa setiap orang harus mendapatkan apa yang menjadi haknya atau jatahnya”.43

Penulis memandang bahwa keadilan distributif sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan didukung oleh pendapat M. Solly. Lbs, dapat dijadikan pisau

41

Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jogjakarta : Kanisius. 1982. Hal : 25.

42

Friedman, 1953 dalam Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cet. Ke IV. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996. Hal : 258.

43

(22)

analisis di dalam penelitian ini. Bahwa di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum pemilik atau pemegang hak atas tanah harus mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu ganti rugi yang adil tatkala mereka telah melepaskan hak atas tanahnya.

Maria Sumardjono mengatakan, ganti rugi dapat disebut adil apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak kondisi sosial ekonominya setara dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur.44

Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas Achmad Rubaie mengatakan, “Asas keadilan dikonkritkan dalam pemberian ganti rugi, artinya dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat tidak menjadi miskin dari sebelumnya”.45

Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu pengadaan tanah dimaksud haruslah dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak yang lain, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan asas keadilan.46

Dengan asas keadilan dimaksudkan bahwa kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap

44

Maria Soemardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Op. cit Hal : 89.

45

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 31.

46

Maria Soemardjono. Tanah Dalam Persfektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 282.

(23)

faktor fisik maupun non fisik.47 Kerugian yang bersifat non fisik misalnya, hilangnya bidang usaha atau sumber penghasilan, hilangnya pekerjaan, dll. Disisi lain prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana peruntukkannya dan memperoleh perlindungan hukum.48

Dengan ditempatkannya asas keadilan di dalam peraturan pengadaan tanah, hal tersebut mencerminkan keadilan distributif sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles.

2. Konsepsional

Untuk mendapatkan pengertian yang sama terhadap istilah yang ditemui pada judul penelitian dan permasalahan, maka berikut ini akan dijabarkan definisi dari beberapa istilah yang digunakan.

a. Problematika adalah berbagai masalah di dalam pengadaan tanah. b. Pengadaan tanah adalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

c. Kepentingan umum adalah suatu kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang bersifat non profit.

d. Ganti rugi adalah penggantian atas kerugian yang diderita oleh pemilik tanah yang diberikan terhadap hak atas tanah, bangunan, tanam-tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah sebagai akibat pengadaan tanah.

e. Perlindungan hak-hak pemilik tanah adalah perlindungan yang diberikan oleh Perpres RI No. 36 Tahun 2005 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2006 terhadap hak-hak pemilik tanah.

f. Konsinyasi adalah penitipan uang ganti rugi di dalam pengadaan tanah kepada Pengadilan Negeri setempat.

47

Ibid.

48

Syafruddin Kalo. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Op cit. Hal : 156.

(24)

F. Metode Penelitian.

1. Sifat dan Metode Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini bersifat preskriptif, artinya suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.49 Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasalahan yang sedang diteliti.50

2. Sumber Data.

Di dalam penelitian ini sumber data terdiri atas :

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangan-undangan.51

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text

books), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

jurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutahir, yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.52

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Misalnya

49

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Universitas Indonesia. 1986. Hal : 10.

50

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Cet. Ke – 3. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2007. Hal : 93.

51

Jhony Ibrahim. Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publising. 2006. Hal : 295.

(25)

abstrak perundang-undangan, eksiklopedi hukum, indeks majalah hukum, dan lain-lain.53

3. Tehnik dan Alat Pengumpul Data.

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan (library research). Alat yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

4. Analisa Data.

Analisa data di dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan metode kualitatif dimaksudkan yaitu hasil penelitian diungkapkan dengan cara menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat.54

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ke empat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995. Hal : 33.

54

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi III. Cet. Kesepuluh. Jakarta : Rineka Cipta. 1996. Hal : 243.

Referensi

Dokumen terkait

Kata sosial dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar (Soerjono Soekanto, 1990: 14) berarti berkenaan dengan masyarakat (dalam penelitian ini pedagang Pasar Tempel).

Kekuasaan eksekutif harus dibatasi terhadap kekuasaan legislasi, sebab Pasal 21 ayat (2) Undang Undang dasar 1945 yang asli, menyatakan Rancangan Undang Undang

Hasil analisis hubungan dukungan keluarga dengan perilaku senam hamil (tabel 5), diketahui dari 24 orang ibu hamil yang kurang dalam mendapatkan dukungan dari

Apersepsi: Guru menunjukkan beberapa gambar kromosom, kemudian bertanya kepada siswa tentang hal yang diketahuinya dari gambar tersebut. Guru meminta siswa untuk

Apabila pasangan mampu menyesuaikan diri maka ia akan mengalami kepuasan, sehingga dapat mengurangi kebingungan dan kesalahan yang terjadi dalam rumah tangga,

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak NOMOR SE-11/PJ/2010 Tentang :Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap II.. HASIL PENGHITUNGAN RASIO-RASIO TOTAL BENCHMARKING BEBERAPA KLU TERTENTU

1. Subjek penelitian harus berlatih secara kontinu untuk menerapkan terapi tawa sehingga bisa benar-benar memberikan manfaat bagi kesehatan fisik dan jiwa.

kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak, sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori