• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN AKSESORIS) PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG SUMATERA SELATAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BUSANA PENGANTIN AESAN GEDE (TENUN SONGKET DAN

AKSESORIS) PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT PALEMBANG

SUMATERA SELATAN

Vebby Tifanny

1

, Nanang Rizali

2

, Ganal Rudiyanto

3 Abstract

The fabric known as Palembang songket weaving (hand-woven brocade, intricate patterned with gold thread) features high cultural evidence, because the songket is associated with various things such as high sales value, high quality fabrics made of silk and gold, and duration the time it takes to make it. Songket contains a certain meaning that shows how the use and level of people who wear it. Songket tent first appeared in Ki Gede Ing Suro area and later developed to experience various changes in the type of yarns used to make Aesan Gede cloth used in traditional Palembang wedding ceremonies, while the inside of songket remains unchanged. There are a number of elements that characterize Palembang songket. The problems discussed in this research are the background of Palembang songket in the traditional wedding procession of Palembang, the form and accessories of Aesan Gede in the procession of wedding custom, and the philosophical and symbolic meaning contained in Aesan Gede clothes used in the traditional wedding procession of Palembang. The purpose of this study is to examine the role of songket cloth in the customary wedding procession of Palembang. This study used descriptive qualitative method. The results showed that: first, the background of the creation of Palembang songket cloth in the ceremony of marriage is influenced by the aristocracy in the era of Sriwijaya kingdom. At that time songket should only be used by the King and Queen. Secondly, Palembang songket used in the ceremony procession of Palembang's traditional wedding ceremony is Aesan Gede and Aesan Paksangkong. Each dress has different characteristics. Third, Aesan Gede dress worn during traditional wedding ceremonies of Palembang, contains important philosophical and symbolic meaning.

Keywords: traditional Palembang wedding procession Abstrak

Kain yang dikenal sebagai tenun songket Palembang (brokat tenunan tangan, bercorak rumit dengan benang emas) menampilkan bukti budaya yang tinggi, karena kain songket ini terkait dengan berbagai hal seperti nilai penjualannya yang tinggi, kualitas kainnya yang tinggi terbuat dari sutera dan emas, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya. Songket berisi makna tertentu yang menunjukkan bagaimana penggunaannya dan tingkat orang yang memakainya. Tenda songket pertama kali muncul di kawasan Ki Gede Ing Suro dan kemudian berkembang untuk mengalami berbagai perubahan dalam jenis benang yang digunakan untuk membuat kain Aesan Gede yang digunakan dalam upacara pernikahan tradisional Palembang, sementara bagian dalam kain songket tetap tidak berubah. Ada sejumlah elemen yang menjadi ciri khas songket Palembang. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah latar belakang adanya songket Palembang dalam prosesi adat pernikahan tradisional Palembang, bentuk dan aksesoris Aesan Gede dalam prosesi adat pernikahan, dan makna filosofis dan simbolis 1 Mahasiswa Magister Desain Produk FSRD Universitas Trisakti, e-mail: vebbytifanny20@yahoo.com

2 Staf Pengajar Magister ITB – Magister Usakti

3 Staf Pengajar Magister Usakti, e-mail: ganalrudi@yahoo.com

213

(2)

yang terkandung dalam busana Aesan Gede yang digunakan dalam prosesi pernikahan tradisional Palembang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peranan kain songket pada prosesi pernikahan adat Palembang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, latar belakang terciptanya pemakaian kain songket Palembang dalam upacara adat pernikahan dipengaruhi oleh aristokrasi pada jaman kerajaan Sriwijaya. Saat itu songket hanya boleh dipakai oleh Raja dan Ratu. Kedua, songket Palembang yang dipakai pada acara prosesi adat pernikahan Palembang itu merupakan busana Aesan Gede dan Aesan Paksangkong. Masing-masing busana memiliki ciri khas yang berbeda. Ketiga, busana Aesan Gede yang dipakai dalam upacara pernikahan adat tradisional Palembang, mengandung makna filosofis dan simbolis yang penting.

Kata kunci: songket, prosesi penikahan adat Palembang

Pendahuluan

Indonesia memiliki beragam kebudayaan. Salah satu bagian dari kebudayaan adalah kesenian. Indonesia telah mengenal kesenian membuat kain tradisional sejak dahulu, provinsi di Indonesia khususnya Sumatera telah lebih dahulu mengenal kain tenun tradisional. Kain tenun tradisional yang berkembang di Sumatera dikenal dengan kain tenun ikat yang memiliki berbagai macam jenis kain tenun tradisional seperti Kain Tapis yang berkembang di Lampung, Kain Ulos di Sumatera Utara, Kain Tenun Pandai Sikek di Sumatera Barat, dan Kain Songket di Palembang.

Palembang merupakan salah satu kota yang memiliki sejarah yang panjang, mulai dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang Darussalam. Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain songket, memberikan nilai tersendiri dan menunjukkan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket. Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau

“mencungkil“. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan

mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta.

Songket Palembang sebagai busana pernikahan adat di antaranya, aesan gede dan

pak sangkong. Aesan Gede dan Pak sangkong dipakai oleh pengantin ketika acara

resepsi pernikahan di Palembang. Pakaian ini dipakai saat upacara adat perkawinan di Palembang, yaitu “penganten munggah”. Setelah melewati beberapa

(3)

tata upacara adat perkawinan di Palembang, seperti: madik (memilih calon pengantin), menyenggung (memantapkan pilihan), meminang (melamar), berasan,

memutus kato, mengantar uang belanja, bedandan, akad nikah, mengarak pacar, munggah, upacara di ruangan gegajah, menjenguk pengantin, menjemput pengatin, berkeramas

(mandi simbur), mempertemukan pengantin, syukuran, nyanjoke pengantin dan

pengantin tandang (Saragih, 2001: 24). Munggah adalah salah satu upacara adat

perkawinan yang merupakan puncak dari pada upacara perkawinan seluruhnya (Saramat, 1997: 93). Pada acara munggah inilah aesan gede dan pak sangkong dipakai dalam acara tersebut.

Pakaian adat pernikahan Palembang, yakni aesan gede dan pak sangkong terdapat bagian bagian mulai dari yang pokok sampai aksesoris pelengkapnya. Yang kesemuanya memiliki pesan tersirat atau memiliki makna-makna simbol dari tiap-tiap bagian dari pakaian adat pernikahan Palembang.

Berdasarkan gambaran tersebut maka perlu dikaji dalam bentuk penelitian tentang makna simbolis dan filosofis yang terkandung dalam busana Aesan Gede dan aksesorisnya pada prosesi pernikahan adat Palembang.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Dipilih metode deskriptif kualitatif karena langsung menggambarkan atau mengungkapkan fakta-fakta keadaan yang ada dalam kebudayaan masyarakat di Palembang. Penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh keadaan yang ada, yaitu keadaan yang apa adanya saat penelitian dilakukan. Penelitian dilakukan secara terjun langsung ke lapangan, menyesuaikan diri dengan waktu dan ruang setempat untuk mendapatkan data (Miles & Heberman 1992: Sugiyono 2009). Data penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder. Pertama, data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara. Wujud data primer dalam penelitian ini berupa informasi lisan dan tindakan subjek penelitian. Kedua, data sekunder berupa bahan informasi secara tidak langsung, mengumpulkan data yang spesifik dari para informan. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis hingga diperoleh simpulan.

Dalam melakukan pengumpulan data, digunakan teknik wawancara (Nazir 42). Analisa kerja dan aktivitas adalah penelitian yang ditujukan untuk menyelidiki

(4)

aktivitas yang dapat memberi fakta untuk mempertegas suatu masalah yang diteliti (Nazir 71).

Dengan demikian yang menjadi teknik penelitian dalam penelitian kualitatif mencakup wawancara, dokumentasi serta observasi. Sumber penelitian ini adalah kriya tekstil pusat sentra Kain Songket di Palembang. Observasi ke pusat sentra Kain Songket di Palembang untuk mengumpulkan data-data mengenai profil sentra pembuatan kriya tekstil. Kegiatan wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan nilai budaya yang terkandung dalam busana Aesan Gede dan aksesorisnya pada pernikahan adat Palembang. Peneliti melakukan wawacara dengan narasumber masyarakat Kelurahan 30 Ilir Palembang, yaitu Zuhro, Anna Kumari, Rahman, Yudhi Syarofie, Indrawati, Cek Iya dan Cek Ma, Efendi.

Untuk menjaga kepercayaannya, penelitian ini menggunakan teknik analisis interaktif, artinya proses pengujian kepercayannya dapat dilakukan dengan cara memeriksa data yang telah diperoleh melalui berbagai metode. Analisis data dilakukan mulai dari penyajian data, reduksi data, tabulasi, penarikan kesimpulan/verifikasi. Penarikan kesimpulan dilakukan sesuai dengan catatan-catatan data lapangan yang terkumpul. Dalam reduksi data ini peneliti melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakkan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian. Langkah selanjutnya yaitu penyajian data lengkap, yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.

Hasil

Kain songket merupakan kain formal yang mewah, karena karya ini termasuk kerajinan seni yang menuntut keterampilan tinggi serta ketekunan yang luar biasa. Kain songket identik dipenuhi warna-warna yang cerah dan kilau emas atau perak dengan ragam motif yang rumit nan indah. Penggunaan gemerlap warna serta kilauan benang emas atau perak menempatkannya pada nilai kemewahan. Pada masa lalu kain songket benang emas hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu seperti raja dan keluarganya dengan sederet tingkatan peraturan. Kain songket dapat dikenakan khususnya pada acara istimewa seperti pernikahan atau upacara adat, upacara cukur rambut pada hari ke-40 bayi lahir. Kain songket

(5)

memberikan nilai tersendiri yang dapat menunjukkan kebesaran bagi orang-orang yang mengenakan dan membuatnya.

Sejak dulu songket lebih banyak dikenakan oleh kaum perempuan yang dipadankan dengan baju kurung panjang. Untuk busana pengantin, songket yang dipakai adalah songket dengan benang emas yang penuh. Songket yang dikenakan dipernikahan yaitu motif songket lepus. Songket lepus ini songket yang pertama ada di Palembang. Selain itu, songket ini juga merupakan pakaian para Raja dan Ratu zaman kerajaan Sriwijaya pada saat itu. Selain faktor sejarah yang kuat, hal paling terpenting dalam hasil cipta karya budaya manusia adalah sikap memegang teguh dan rasa bangga yang tertanam pada masyarakat Palembang untuk tetap menggunakan pakaian adat dalam setiap moment upacara adat. Bagi masyarakat Palembang penggunaan pakaian adat dianggap sebagai peng-hormatan kepada leluhur sebagai upaya menjunjung tinggi adat dan budaya mereka.

Palembang mempunyai beberapa pakaian adat yaitu, di antaranya, aesan gede dan

paksangkong. Busana adat pernikahan Palembang sangat terkenal dengan sebutan Aesan Gede. Busana ini melambangkan kebesaran raja Sriwijaya yang kemudian

diterjemahkan sebagai busana pengantin Palembang. Warna merah jambu (pink) dan keemasan serta gemerlap perhiasan dan mahkota yang dipadukan dengan baju dodot dan kain Songket semakin mempertegas keagungan bangsawan Sriwijaya. Kesan mewah pada pakaian Aesan Gede ini tidak terlepas dari penggunaan perhiasan yang berupa bungo cempako, mahkota Aesan Gede, kelapo standan, dan kembang goyang. Sama seperti Aesan Gede, Aesan Paksangkong juga melambangkan keagungan masyarakat Palembang. Warna yang mendominasi pakaian Aesan Paksangkong adalah warna merah dan emas, untuk pakaian wanita biasanya menggunakan baju kurung warna merah berhiaskan motif bertabur bunga bintang keemasan yang dipadukan dengan kain songket lepus bersulam emas. Busana ini dilengkapi dengan penutup dada, perhiasan dan mahkota dengan untaian bunga. Sedangkan untuk pakaian pria yang digunakan jubah bertabur bunga emas, celana, dan kain songket serta songkok emas sebagai penghias kepala.

Pakaian adat pernikahan Palembang aesan gede, dari masing-masing bagian mempunyai makna filosofis dan simbolik. Dalam simbol perkawinan masyarakat Sumatra Selatan, kain songket serta pakaian adat yang diberikan pada saat

(6)

lamaran, kain songket melambangkan sumber kehidupan kedua pengantin serta dilihat dari segi kepribadiannya, pendidikannya, dan status ekonominya. Aesan gede memiliki nilai filosofis bahwa Sumatera memang layak dijuluki sebutan swarnadwipa atau pulau emas. Makna simbol aesan gede dan aksesorisnya ini akan diuraikan lebih lanjut yaitu, sebagai berikut:

(7)

Keterangan singkat tentang baju adat dari Sumatera Selatan “Aesan Gede”:

1. Mahkota yang digunakan adalah Kesuhun pengantin lakilaki dan Kesuhun pengantin perempuan. Yang artinya seorang laki-laki harus mempunyai sifat berani dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan pada wanita, bahwa wanita harus memiliki sifat keibuan, kelembutan dan mempunyai rasa kekeluargaan.

2. Cempako adalah bunga cempaka. Yang dipakai dikepala ditusuk digelung malang. Memiliki makna simbol bahwa orang Palembang harus menjaga keindahan perilakunya.

3. Sanggul Malang, adalah rambut yang digelung agar terlihat rapi. Memiliki makna simbol bahwa perempuan Palembang adalah sosok yang anggun mengutamakan kerapian dan memiliki rasa ketenangan dalam menghadapi sesuatu.

4. Tebeng Malu, penutup bagian samping kepala. Berbentuk bola-bola warna-warni yang dirangkai dan dipasang disamping telinga. Memiliki makna bahwa manusia harus menjaga pandangannya.

5. Terate adalah hiasan yang digunakan oleh si laki-laki dan perempuan untuk menutupi bagian dada dan pundak. Terate sendiri bebentuk lingkaran bersudut lima dengan motif bunga melati bersepuh emas. Bagian tepinya terdapat pekatu berbentuk bintang serta rantai dan juntaian lempengan emas berbentuk biji mentimun. Hiasan ini menggambarkan kemegahan dan kesucian, kesabaran dalam hal apapun.

6. Kebo Munggah atau Kalung Tapak Jajo, taitu kalung yang terbuat dari emas 24 karat dengan bentuk lempengan bersusun 3 (khusus untuk yang sudah menikah). Anda belum menikah? Tenang, kalung ini masih boleh digunakan oleh laki-laki atau wanita yang belum menikah hanya saja terdiri dari lempengan bersusun 2 atau 1 saja. Motif kerbau ini mengandung arti kesuburan dan dipandang sebagai penolak yang jahat jahat.

7. Selempang Sawir, adalah salah satu bagian dari pakaian adat Palembang yang terbuat dari emas 22 karat dengan ragam hias sulur da nada aksen intan di bagian tengah. Selendang sawit ini berjumlah 2 yang dipakai menyilang dari bahu kiri ke pinggang sebelah kanan, dan dari bahu kanan kepinggang sebelah kiri. Memiliki makna simbol bahwa laki-laki dan perempuan harus sejajar, tidak ada yang merasa dibawah.

8. Keris. keris ini digunakan oleh pengantin pria (keturunan raja/bangsawan) yang diselipkan di pinggang depan sebelah kanan dengan gagangnya menghadap keluar. Untuk laki-laki yang bukan bangsawan atau keturunan

(8)

raja, kerisnya diletakkan dibagian pinggang belakang. Hal ini untuk menghormati para raja atau atasan. Kalo aslinya dulu, sarung keris ini dibuat dari emas 20 karat.

9. Pending, adalah ikat pinggang laki-laki dan perempuan berbentuk lempengan emas dengan ukuran 6×9 cm terbuat dari emas 20 karat. Memiliki makna simbol bahwa perempuan dan laki-laki siap untuk menjalani kehidupan.

10. Gelang Palak Ulo, adalah gelang emas 24 karat bertabur berlian dengan bentuk ular naga bersisik dan berpulir. Eits, jangan lupa gelang ini hanya digunakan oleh perempuan di bagian lengannya.

11. Gelang Kecak, kiga adalah gelang emas 24 karat berbentuk mata yang dihiasi pekatu polos dan ditengahnya ada 2 tumpukan lingkaran berhias emas. Gelang ini digunakan oleh kedua mempelai dibagian pangkal lengan. 12. Gelang Sempuru dan Gelang Kanu.

13. Saputangan Segitigo, adalah saputangan yang terbuat dari beludru berwarna merah yang salah satu sisinya bertabur kelopak bunga melati dari emas. Dipinggir saputangan ini terdapat rantai dan juntaian bandul + lempengan logam berbantuk wajik. Dipakai mempelai pria di jari tengah sebelah kanan (Aesan Gade), atau dipakai mempelai pria di telunjuk sebelah kiri (Aesan Paksangko). Sedangkan mempelai wanita menggunakannya pada kelingking sebelah kanan baik pada Aesan Gade maupun Aesan Paksangko. Memiliki makna simbol ketegaran dan ketenangan hidup.

14. Kain songket lepus. Songket lepus memiliki motif geometris abstrak, dan motif zigzag. Songket lepus merupakan songket tertua dalam sejarah. Makna simbol yang terdapat pada kain songket ini adalah keramahan, ketertiban dan saling menghormati pada masyarakat Palembang.

15. Celana Sutera adalah celana panjang yang berbahan sutra. Dibagian bawah celana sutra ini terdapat bordiran berbentuk bunga yang mempunyai tangkai dan menjalar panjang. Yang artinya, mentalitas orang Palembang sangat gigih dalam menjalani kehidupan dimanapun berada.

16. Cenela, adalah sejenis sandal yang dipakai oleh kedua mempelai pengantin biasanya berwarna senada dengan atasan. Mempunyai makna simbol bahwa dalam kehidupan dalam melangkah harus mempunyai pelindung diri yaitu agama.

(9)

Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari bab-bab sebelumnya maka, dapat disimpulkan bahwa hal yang melatarbelakangi songket sebagai Busana Prosesi adat pernikahan Palembang dikarenakan songket dulunya merupakan pakian Raja dan Ratu Kerajaan Sriwijaya, selain faktor sejarah, penggunaan pakaian adat dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur sebagai upaya menjunjung tinggi adat dan budaya mereka. Kain Songket yang dipakai saat prosesi pernikahan adat Palembang kain songket motif lepus yang memiliki benang emas yang penuh. Busana tenun songket pada prosesi upacara adat pernikahan Palembang ada dua jenis, yaitu Aesan Gede dan Aesan Paksangkong. Keduanya sama-sama memiliki kemewahan, karena warna emas yang berkilauan memberikan kesan mewah. Bentuk busana Aesan gede pada pengantin wanita terbagi atas bagian kepala badan tangan dan kaki. Pada Busana bagian kepala terdiri dari Bungo cempako, Gandik, Gelung Malang, Tebeng Malu, Kesuhun, Kelapo Standan dan Bungo Rampai. Selanjutnya, pada bagian badan terdiri dari Taratai, Kalung Kebo Munggah dan Songket Lepus. Pada bagian Tangan dan Kaki terdiri dari Gelang Kulit Bahu, Gelang Sempuru, Gelang Ulo Betapo, Dan Gelang Gepeng. Kemudian bagian alas kaki menngunakan Cenela. Selanjutnya, Bentuk Busana pada Pengantin Pria. Bagian Kepala terdiri dari Kesuun dan Tebeng Malu. Pada Bagian Badan tediri dari Kalung Kebo Munggah dan Slempang Sawir. Selanjutnya, pada bagian Tangan terdapat Gelang Kulit Bahu, Gelang Sempuru, Gelang Gepeng dan Gelang Ulo Betapo. Pada bagian kaki menggunakan Celano Sutra dan Cenela. Masing-masing bagian tersebut mengandung unsur nilai nilai religius, nilai individu, dan nilai sosial.

Makna simbol dan filosofis yang terkandung dalam aesan gede bahwasanya pada pakaian adat aesan gede ini merupakan simbol kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat. Kebaikan di dunia yaitu agar setelah pernikahan akan mendapatkan kebahagian dan kemujuran. Juga, terdapat simbol dalam berperilaku yaitu, ramah, tertib dan saling menghormati.

(10)

Referensi

Alam, Syamsir, dkk. 1996. Kain Songket Palembang.Palembang: Depdikbud BPPP Sumatera Selatan.

Budiwirman. 2003. ”Kain Tenun Songket Minangkabau (kajian fungsi kain songket

dalam perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Minangkabau)” Tesis. Padang:

UNP.

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1992. Kongres Kebudayaan 1991: Daya Cipta

dan Perkembangan Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Hermawat. 2008. ”Busana Aesan Gede di Palembang (Kajian Bentuk dan Fungsi pada

Upacara Adat)” Tesis. Surakarta

Jalaludin. 1997. Petunjuk Kota Palembang. Palembang: Humas Pemda Tingkat II Kotamdya Palembang.

Kartiwa, Suwati. 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.

M, Soegeng Toekio. 2000. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung: Angkasa.

Palembang Koleksi Museum Bala Putra Dewa. Palembang: Dinas Pendidikan

Nasional Propinsi Sumatera Selatan.

Miles, H.B. dan Heberman A M. 1992. Analisis Data Kualitatif (terj. Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.

Rosyadi, Ulin Nuha. 2012. Kekayaan Seni Budaya Bangsaku. Bekasi: Aranca Pratama. Saragih, Meriati S. dkk. 2001. Perlengkapan Upacara Daur Hidup Masyarakat.

Palembang: Koleksi Museum Bala Putra Dewa. Palembang: Dinas Pendidikan

Nasional Propinsi Sumatera Selatan.

Sedyawati, Edi dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Rupa dan Desain. Jakarta: Rajawali Pers.

Soehardjo. 2009. Pengantar Estetika. Semarang: UNM.

Soelaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco, 1987.

Sofiah, Rahmi. 2011. “Bentuk, Fungsi, dan Makna Motif Kain Songket Palembang

Dalam Upacara Adat Perkawinan”. Tesis, Padang: UNP.

Sumaryanto, Totok. 2007. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam Penelitian

Pendidikan Seni. Semarang: UNNES Press.

Syarofie, Yudhy. 2007. Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi. Palembang: Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan. Syarofie, Yudhy. 2016. Pakaian Adat Pengantin di Sumatera Selatan: Palembang, OKI

dan OKU Selatan. Palembang: Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi

Sumatera Selatan.

Uslirida. 2011. “Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna „I‟enun Songket Siak Pada

Masyaraka Melayu Riau”. Tesis, Padang: UNP.

Vander, Hoop A.N.J. 1949. Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia. Bandung: AC Nix & Co.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh aktivitas belajar dan kemandirian dalam mengerjakan tugas terhadap hasil belajar siswa ekonomi kelas XI di SMA Semen Padang.

Kesalahan peresepan dalam hal penulisan resep meliputi resep yang tidak dapat dibaca, penulisan singkatan yang ambigu atau memiliki dwi makna, kurangnya penulisan

Pada penelitian ini teknik symbol coding merupakan teknik yang digunakan untuk menghitung frekuensi kemunculan suatu aspek-aspek sinematografi yang ada pada film

Deduktif , yaitu berangkat dari dasar-dasar pengertian yang umum, proposisi yang bersifat umum yang berlaku secara umum dan meneliti persoalan-persoalan menuju kepada kesimpulan

Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat atau merancang suatu sistem informasi manajemen berbasis web yang terkait dengan proses administrasi untuk semua pekerjaan di unit

Selain Notaris, pembuat akta hibah dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPAT ini lebih focus kepada pelaksanaan sebagian kegiatan pendaftaran

Memberitahukan posisi menyusui yang benar yaitu pastikan ibu dalam posisi yang nyaman, wajah bayi menghadap payudara, hidung bayi menghadap puting, sebagian besar