• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman di berbagai bidang. Keanekaragaman bahasa dan budaya tercermin dari kegiatan dan aktifitas kehidupan masyarakat. Salah satu keanekaragaman tersebut nampak pada bahasa yang digunakan sehari-hari. Keanekaragaman muncul akibat perbedaan wilayah yang dijadikan tempat tinggal. Masyarakat menyebar di berbagai pulau, maka bahasa yang digunakan akan mencirikan wilayah setempat. Bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia dan dipakai menjadi bahasa komunikasi sebagian masyarakat di pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Perkembangan bahasa Jawa terjadi selama delapan abad lamanya. Adapun perkembangan bahasa Jawa meliputi bentuk lisan dan tulis yang terbagi dalam bidang bahasa, sastra dan budaya (Koentjaraningrat, 1984: 20). Bahasa Jawa dapat disebut sebagai bahasa dengan jumlah penutur terbesar di Nusantara, terbukti dari pendapat Nothofer (dalam Fernandez, 1993: 1) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa memiliki jumlah penutur yang lebih kurang 500.000.000 jiwa pada tahun 1975.

Bahasa Jawa dengan jumlah penutur yang cukup banyak dan menyebar di seluruh Indonesia, baik di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY) juga meliputi pulau di luar Jawa. Pulau-pulau tersebut antara lain Lampung, sekitar Medan, daerah transmigrasi seperti: Jambi, Riau, Kalimantan

(2)

2

Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri, yaitu Suriname, New Caledonia, Pantai Barat Johor, dan Belanda (Marsono, 2011: 12). Jumlah penutur dan wilayah yang luas memungkinkan bahasa Jawa memiliki variasi pemakaian, seperti bahasa Jawa dialek Surabaya, bahasa Jawa dialek Banyumas, Bahasa Jawa dialek Lampung dan lain-lain. Dialek dibedakan atas dasar tiga hal: golongan tertentu, waktu tertentu, dan tempat tertentu (Kridalaksana, 2001: 42). Penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa ada pembagian dialek yaitu dialek sosial, dialek temporal (waktu) dan dialek regional (tempat).

Ketiga jenis dialek tersebut saling berkaitan satu sama lain dan menjadi penentu bahwa dialek mampu bertahan atau berkembang. Dari ketiga jenis dialek tersebut, dialek sosial dapat dijadikan dasar perkembangan dalam bahasa Jawa. Berdasarkan jumlah penutur yang besar dan tersebar, maka memungkinkan adanya variasi bahasa Jawa akibat persebaran penduduk. Variasi bahasa tersebut dapat ditemukan pada tataran kebahasaan dari fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Seperti pada bentuk dan cara pengucapan bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek DIY, ada beberapa perbedaan dari unsur fonologi. Pada pelafalan kata sega ‘nasi, bahasa Jawa dialek DIY berbunyi /segɔ/ sedangkan bahasa Jawa dialek Banyumas /sega/.

Zulaeha (2010: 74) menjelaskan adanya saling kepemahaman antar pemakai bahasa walaupun dialek berbeda, penutur masih menganggap kepemilikan bahasa yang sama. Kasus di atas menunjukkan adanya pengaruh luas wilayah pakai bahasa Jawa yang yang berdasarkan pada 1) politik dan budaya, 2) lingkungan alam, 3) bahasa-bahasa lain yang berdekatan dengan bahasa Jawa.

(3)

3

Pengaruh-pengaruh demikian yang menyebabkan bahasa Jawa memiliki variasi fonologi, moorfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur (ngoko, krama, dan krama inggil). Fernandez ( 1993/1994: 10) juga menerangkan tentang penyebab munculnya varian atau dialek Bahasa Jawa dipengaruhi oleh faktor politik dan budaya.

Uhlenbeck dalam Zulaeha (2010: 74) menyatakan bahwa bahasa Jawa mempunyai 4 dialek dan 13 subdialek. Dialek tersebut antara lain 1) Banyumas, 2) Pesisir, 3) Surakarta, dan 4) Jawa Timur. Sementara subdialek 1) Purwokerto, 2) Kebumen, 3) Pemalang, 4) Banten Utara, 5) Tegal, 6) Semarang, 7) Rembang, 8) Surakarta (Solo), 9) Yogyakarta, 10) Madiun, 11) Surabaya, 12) Banyuwangi, dan 13) Cirebon. Dialek Yogyakarta dan Solo dianggap sebagai bahasa Jawa baku. Munculnya perbedaan dari pemakaian dialek-dialek dapat diketahui melalui penelitian yang mendalam.

Batas daerah pemakaian bahasa Jawa secara sederhana dapat dibagi dengan merunut batas wilayah administrasi. Bahasa Jawa dialek Banyumas (BJDB) berada di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Bahasa Jawa dialek Yogyakarta (BJDY) dengan daerah pakai wilayah keistimewaan Yogyakarta, bahasa Jawa dialek pesisiran (BJP) terletak di Jawa Tengah bagian utara, bahasa Jawa dialek Jawa Timur (BJDJT) melingkupi wilayah Jawa Timur.

Berdasarkan sudut pandang di atas, kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan kabupaten Kulon Progo (DIY) di sebelah timur, kabupaten Magelang di sebelah timur laut, kabupaten Wonosobo di sebelah utara, kabupaten Kebumen di bagian barat, dan Samudera Hindia di bagian selatan. Bahasa Jawa

(4)

4

Purworejo merupakan bahasa transisi atau campuran dari berbagai bahasa Jawa. Dialek Yogyakarta (BJDY) menyebar ke wilayah Purworejo di sebelah timur, dialek Kebumen (BJDK) mempengaruhi wilayah di bagian barat Purworejo, sementara bahasa Jawa dialek Wonosobo mempengaruhi pemakaian bahasa Jawa di bagian utara, dan bahasa Jawa dialek Magelang (BJDM) mempengaruhi sebagian wilayah timur laut.

Bahasa Jawa kabupaten Purworejo (BJKP) memiliki kekhasan bahasa dengan munculnya pengaruh bahasa dari wilayah lain. Wilayah Purworejo bagian timur laut (kecamatan Bener) akan mendapatkan pengaruh dialek Magelang. Wilayah timur Purworejo (kecamatan Bagelen, kecamatan Kaligesing, dan Kecamatan Loano) mendapat pengaruh dialek Yogyakarta. Wilayah barat (kecamatan Butuh dan kecamatan Pituruh) terpengaruh dialek Kebumen. Purworejo bagian utara (kecamatan Bruno dan sebagian kecamatan Bener) mendapat pengaruh dialek Wonosobo.

Wilayah bagian tengah dari kabupaten Purworejo, seperti kecamatan Purworejo, Gebang, Banyuurip, Bayan, dan Kutoarjo kemungkinan memiliki tuturan yang digunakan oleh masyarakat asli Purworejo. Namun dilihat dari kontak bahasa dari penutur asli bahasa Jawa dengan pendatang akan memunculkan variasi yang berbeda. Demikian halnya yang dimaksud dengan bahasa transisi dimungkinan berkembang di wilayah yang dekat dengan wilayah perbatasan. Adapun bentuk dan pemakaian BJKP akan disesuaikan dengan waktu dan penuturnya.

(5)

5

Dari penelitian sebelumnya telah dikemukakan bahwa penelitian berkaitan variasi bahasa Jawa telah mengundang banyak linguis untuk melakukan penelitian. Hasil yang diperoleh mengenai bahasa Jawa sebagian besar menyimpulkan adanya temuan variasi bahasa pada dialek ataupun subdialek. Berkaitan dengan hal tersebut bahasa Jawa (BJ) dengan dialek dan subdialek telah mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti politik, globalisasi, juga kemajuan jaman (Poedjosoedarmo, 1979: 61). Adapun menurunnya minat pemakaian bahasa Jawa juga disebabkan oleh faktor globalisasi (Fernadez, 1993/1994: 2).

Dahulu BJ memiliki pengaruh yang cukup besar di kehidupan masyarakatnya, selain sebagai bahasa pengantar/komunikasi, BJ berperan untuk hal-hal bersifat formal dan nonformal, juga berpotensi untuk mengembangkan sastra. Seiring bergantinya waktu, perubahan bahasa Jawa dilakukan secara bertahap selama 25 tahun, khususnya perubahan pada bahasa Jawa Baku (Uhlenbeck dalam Waljinah, 2012: 4). Bahasa Jawa Baku yang bersentra di daerah keraton (DIY dan Surakarta) mengalami perkembangan bentuk pemakaian khususnya penguasaan bentuk leksikon krama dan ngoko.

Perkembangan pemakaian bahasa Jawa kemungkinan telah terjadi di masyarakat Kabupaten Purworejo. Dengan kondisi goegrafis seperti uraian di

atas, maka wilayah pakai bahasa Jawa dialek lain akan leluasa masuk. Kontak bahasa akan terjadi apabila mengalami singgungan antara masyarakat satu dengan masyarakat di wilayah lain. Batas wilayah dengan beberapa kabupaten

(6)

6

memungkinkan masyrakat Purworejo memiliki mobilitas yang cukup besar, baik untuk tujuan perdagangan (bisnis) atau pendidikan.

Kenyataan tersebut yang dapat menunjukkan pemakaian bahasa Jawa Purworejo (BJKP) dipengaruhi oleh faktor sosial. Faktor sosial merupakan salah satu komponen utama dalam penelitian sosiodialektologi. Purworejo ditetapkan sebagai pusat penelitian karena wilayah tersebut memiliki syarat untuk dilakukan penelitian sosiodialektologi. Alasan: 1) Letak geografis kabupaten Purworejo sebagai jalur utama ke arah barat (Jakarta) yang berbatasan dengan wilayah Magelang, Wonosobo, Kebumen dan DIY, 2) masyarakat yang bervariasi terutama masyarakat desa dan kota, antara masyarakat pegawai dan non pegawai, ataupun yang berusia muda dengan tua, dan 3) ditemukan sejarah-sejarah kota Purworejo sebagai bukti adanya perjalanan budaya dari suatu wilayah yang masih memiliki kedekatan dengan Mataram (sekarang DIY).

Berdasarkan uraian geografis dari wilayah Purworejo, maka secara garis besar pengelompokkan karakter wilayah dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, wilayah yang letaknya jauh dari pusat kota dan kebudayaan. Masuknya pendatang ke wilayah ini akan jarang ditemukan, kalaupun ada tidak akan mengubah pola kehidupan masyarakat secara signifikan. Kehidupan ekonomi dan sosial yang berlangsung akan meniru pada wilayah tetangga. Kedua, wilayah transisi yaitu wilayah yang dijadikan pemukiman yang awalnya merupakan persawahan atau perkebunan. Wilayah transisi ini dapat pula berupa wilayah yang berdekatan langsung dengan wilayah administratif lain, misalnya antar kabupaten atau provinsi. Wilayah ketiga ialah wilayah yang dekat dengan pusat

(7)

7

kota dan pemerintahan. Wilayah yang dekat dengan kota akan memiliki tingkat ekonomi dan sosial lebih tinggi dibanding dengan wilayah yang lain.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hanifan (2015), menghasilkan temuan mengenai variasi pada BJKP dengan tinjauan sosiodialektologi meliputi tataran, baik fonologi, morofologi, sintaksis, leksikal, dan ting____kat tutur.

1. Pada bidang fonologi BJKP memiliki varisi bunyi, antara lain bunyi vokal [a] [?] pada [c?ḍak] [c?ḍ?k] ‘dekat’; [o] [N] pada [sore] [sNre] ‘sore’; [i]

[I] pada [piriM] [pirIM] ‘piring’; [a] [N] pada [jawah] [jawNh] ‘hujan’.

Bunyi-bunyi vokal tersebut secara fonetis berbeda,namun tidak membedakan makna. Beberapa variasi konsonan juga nampak pada beberapa kata tertentu. Misalnya fonem /g/ berkoresponden dengan fonem /y/, misalnya pada kata [k?prige] [k?priye] ‘bagaimana’.

2. Pada bidang morfologi BJKP memiliki variasi yang berbeda degan BJB. Penambahan sufiks [-an] mengubah makna dan kelas kata dalam BJB, namun pada BJKP sufiks {-an} tidak mengubah makna dan kelas kata. Misalnya pada kata emper ~ emperan ‘teras, darat~ daratan ‘darat’, kebon~kebonan ‘kebun’. 3. BJKP memiliki variasi pada tataran sintaksis. Variasi bentuk kalimat terjadi

pada bentuk kalimat deklaratif, interogratif, dan imperatif. Adapun variasi yang muncul tidak jauh berbeda dengan BJB. Struktur pada kalimat deklaratif tediri dari struktur aktif dan pasif. Variasi pada kalimat deklaratif sebagian besar terdapat pada kalimat deklaratif aktif berupa verba berafiks, misalnya afiks {N-/-i} pada kalimat:

(8)

8

(1a) Paklik ngewehi hadiyah nang Ali (TP3) (1b) Paklik ngekeki hadiyah nggo Ali. (TP 3) ‘ Paman memberi hadiah kepada Ali.’ (526)

Pada data:

(1a) N- + aweh + i > ngewehi ‘memberi’ (1b) N - + akek + i > ngekeki ‘memberi’

Data (1a) dan (1b) merupakan kalimat deklaratif berverba aktif. Variasi terletak pada pemilihan verba ngewehi dan ngekeki yang memiliki arti yang sama yaitu ‘memberi, kata tersebut mengalami proses afiksasi {N -/ -i}.

Variasi yang terjadi pada kalimat imperatif terjadi dalam tingkat tutur ngoko yang berverba aktif dengan akhiran –a,-en,-na, dan –ana dalam BJB direalisasikan dalam BJKP menjadi {-na}, {-ke}, {a’e}, {-nen}, dan {1}. Misalnya pada kalimat:

(2a) Balekna klasa kiye. (2b) Balekke klasa kiye. (2c) Balek a’e klasa kiye. ‘Kembalikan tikar itu’ (530) (3a) Nget jangan kuwe

(3b) Nget a’e jangan kuwe. (3c) Ngetke jangan kuwe. ‘Panaskanlah sayur itu’ (537)

Dari data di atas, terlihat bahwa pemakaian kalimat imperatif di BJKP memunculkan beberapa variasi. Misalnya bentuk sufiks {-1} jarang ditemukan di

(9)

9

wilayah lain, namun justru pada penelitian ini tingkat kemunculannya cukup tinggi.

4. Pada tataran leksikal, BJKP memiliki variasi leksikon yang berbeda dengan BJB. Misalnya pada kata mengkreng cabai, jendral dan jendal ‘ketela pohon’, rajeg ‘pagar’, gulung ‘jatuh’, dan gongkro’an ‘tenggorokan’. Kata mengkreng ‘cabai’ dan golung ‘jatuh’ hanya ditemukan di TP Bruno sehingga bisa disimpulkan kata tersebut dimungkinkan kosakata asli daerah setempat. Kata jendral dan jendal ‘ketela pohon’ ditemukan di masing-masing TP, kemungkinan kata tersebut merupakan leksikon asli daerah Purworejo.

5. Pada variasi tingkat tutur, BJKP memiliki variasi tingkat tutur krama (kesopanan tinggi), madya (setengah-setengah), dan ngoko (kesopanan rendah).

Pada BJKP ditemukan variasi pemilihan kosa kata pada tingkat tutur ngoko tampak pada data berikut.

(4a) Bapak wis mangkat kerja. (TP 1, 2, 3) (4b) Bapak wis mangkat nyambut gawe. (TP 1) (4c) Bapak wis lunga kerja. (TP 2)

(4d) Bapak wis lung anyambut gawe. (TP 3) ‘ Bapak sudah berangkat kerja’. (518)

Dari temuan di atas, pemakain BJKP memunculkan potensi variasi karena beberapa faktor, yaitu faktor geogarafi dan sosial. Faktor geografis didasarkan pada sebaran wilayah terkait dengan jarak suatu daerah yang dekat atau jauh dari pusat budaya, kondisi alam dengan ketinggian dan akses yang sulit dijangkau oleh

(10)

10

transportasi, serta pengaruh daerah perbatasan. Faktor sosial terjadi kemungkinan dikarenakan kualitas pendidikan, pekerjan dan usia. Kedua faktor inilah yang melatarbelakangi penelitian Pemakaian Bahasa Jawa di kabupaten Purworejo berdasarkan tinjauan sosiodialektologi.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajiannya pada pemakaian dialek yang bersifat sinkronis. Kajian sosiodialektologi dilakukan secara sinkronis dengan membandingkan variasi tuturan antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lain dalam waktu yang sama. Sosiodialektologi (Fernandez dalam Zulaeha, 2001: 25) atau dialeksosiolinguistik (Nothofer dalam Zulaeha, 2001: 25) merupakan kajian antar bidang, yakni dialektologi dan sosiolinguistik. Adapun penelitian yang telah dilakukan di kabupaten Purworejo dengan tinjauan geografi dialek. Penelitian geografi dialek tidak memperhitungkan perbedaan latar belakang informan, sementara melalui tinjauan sosiodialektologi ini variasi lingual informan sangat diperhitungkan.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa hal yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang masalah, menunjukkan bahawa pemasalahan kebahasaan di Purworejo menarik untuk diteliti. Untuk mengkaji variasi kebahasaan BJKP dengan pendekatan sosiodialektologi tetap memperhatikan faktor geografi dan sosial. Analisis terhadap vaariasi BJKP mengggunakan variabel sosial seperti pekerjaan, usia dan pendidikan. Adapun permasalahan akan dirincikan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah variasi pemakaian BJKP pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal dilihat dari titik pengamatan desa dan kota?

(11)

11

2. Bagaimanakah variasi pemakaian BJKP berdasarkan tingkat tutur ngoko, madya dan krama ditinjau dari varabel sosial penuturnya?

3. Mengapa variasi BJKP cenderung memperlihatkan pengaruh daerah pusat budaya (Mataram)?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan variasi pemakaian BJKP pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal dilihat dari titik pengamatan desa dan kota.

2. Memerikan variasi pemakaian BJKP berdasarkan tingkat tutur ngoko, madya dan krama ditinjau dari varabel sosial penuturnya.

3. Menjelaskan variasi BJKP jika dikaji dari perspektif sejarah budaya yang dipengaruhi oleh daerah pusat budaya (Mataram) dan masih menampakkan bahasa Jawa dengan tingkat tutur yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah lainnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis ataupun praktis. Secara teoretis, penelitian tentang variasi BJKP dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan pengetahuan khususnya di bidang sosiodialektologi. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan rujukan atau acuan bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang BJKP. Selain itu, penelitian sosiodialektologi BJKP dapat membantu dalam memahami pemakaian BJKP dikarenakan variasi-variasi yang terdapat di wilayah Purworejo akibat

(12)

12

perbedaan geografis dan faktor sosial masyarakatnya. Serta, bagi pemerintah kabupaten Purworejo dapat digunakan sebagai acuan dalam pembinaan dan pelestarian bahasa daerah serta pembuatan buku pelajaran bahasa Jawa yang dipakai di wilayah kabupaten Purworejo.

1.5 Tinjauan Pustaka

Karya atau penelitian mengenai bahasa Jawa yang berhubungan dengan kajian tingkat tutur, variasi bahasa, dan sosiodialektologi yang dijadikan acuan antara lain:

Uhlenbeck dalam Walinah (2012: 12) dalam Kajian Morfologi Bahasa Jawa yang menjelaskan sistem oposisi krama-ngoko, pemakaian bentuk hormat, kekerabatan, dan bentuk penghormatan dalam bahasa Jawa. Hal pokok yang menempati kedudukan penting dalam analisis hormat bahasa Jawa adalah honorifik, gaya madya, pronomina persona.

Nothofer dalam Mahsun (2012: 56) menerangkan bahawa perbedaan tingkat tutur ditinjau pula dari segi sebaran geografis bahwa dialek / subdialek memiliki perbedaan sosial. beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, perbedaan bersifat dialektal/ subdialektal yang berkaitan dengan tingkatan bahasa antar daerah satu dengan yang lain. Kedua, adakah tingaktan bahasa di daerah pengamatan. Ketiga, adakah pengaruh antar daerah pengamatan berhubungan dengan tingkatan bahasa. Keempat ialah perbendaharaan kosa kata halus dalam kelompok sosial dan antara kelompok sosial menurut daerah.

Mahsun (2012: 56) menambahkan perbedaan kosa kata kasar akan lebih banyak dengan kosa kata halus. Kosakata halus terdapat pada daerah pengamatan

(13)

13

yang kadar pemilikannya relatif rendah. Kosa kata halus daerah Jawa Tengah (barat) lebih sedikit dibanding dengan kosa kata daerah Jawa Tengah (timur).

Penelitian ini terinspirasi dari penelitian sebelumnya tentang Geografi Dialek di Kabupaten Purworejo oleh Hanifan (2014) yang meneliti dialek-dialek di Kabupaten Purworejo dengan 9 titik daerah pengamatan. Peneliti membandingkan BJP dengan Bahasa Jawa yang dipakai di Wonosobo (BJDW), di Kebumen (BJK) dan Bahasa Jawa di DIY (BJDIY). Hasil temuannya berupa fonem vokal dan konsonan yang terdapat di BJP, leksikon yang berbeda dengan ketiga dialek bandingan, dan dialektometri yang menunjukkan hubungan kekerabatan di BJP.

Penelitian yang lainnya ialah Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Blora di Propinsi Jawa Tengah Kajian Sinkronis, Diakronis, dan Sosiolinguistik oleh Dr. Inyo Yos Fernadez (beserta tim) pada tahun 1992/1993. Penelitian ini menggabungkan kajian dialektologi secara diakronis dan sinkronis serta menggunakan sosiolinguistik untuk mengetahui tingkat tutur bahasa Jawa di wilayah Blora. Pemilihan wilayah desa dan kota digunakan untuk mencari pemertahanan bahasa Jawa di wilayah Blora dalam bentuk relik ataupun inovasi. Hasil penelitian ini adalah sajian data berupa telaah fonologi dan morfologi bahasa Jawa di Kabupaten Blora, analisis sosiolinguistik berupa tingkat tutur bahasa Jawa kaitannya dengan status sosial pemakai bahasa Jawa, dan analisis diakronis berupa bentuk proto ataupun relik dari Bahasa Jawa Blora

Penelitian oleh Mubarok pada tahun 2007 berjudul Penggunaan Bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Kajian Geografi Dialek yang

(14)

14

mencari perbedaan leksikal pada Bahasa Jawa Dialek Banyumasan (BJDB). Penghitungan dialektometri digunakan untuk mencari jumlah perbedaan leksikalnya dan pemetaan perbedaan tersebut nampak pada peta isoglos dan heteroglos.

Rohmatunnazilah (2007) melakukan penelitian sosiodialektologi dengan judul Pemakaian Bahasa Jawa di Provinsi DIY (Tinjauan Sosiodialektologi). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan variasi pemakaian bahasa Jawa di DIY dengan variabel pembedanya bersumber dari sosial yaitu latar belakang pendidikan, dan usia. Hasil penelitian ini mengahsilkan temuan fonem vokal dan konsonan BJDIY, proses morfologis BJDIY, variasi leksikal BJDIY ditinjau dari vatiabel sosial.

Penelitian sosiodialektologi yang lain juga dilakukan oleh Pujiyatno (2007) Variasi Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Kajian Sosiodialektologi). Hasil penelitian ini ialah perian tentang perbedaan dialek Bahasa Jawa Kabupaten Kebumen (BJKB) dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Penelitian tentang BJKB juga menghasilkan pemetaan variasi dialek BJKB serta perian faktor yang menyebabkan perbedaan dialek atas dasar geografis dan sosiokultural.

Mardikantoro (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Bahasa Jawa di Kabupaten Magelang: Kajian Sosiodialektologi menyatakan bahwa pemakaian bahasa tidak ahanya ditentukan oleh faktor linguistik saja, namun juga faktor non linguistik. Faktor nonlinguistik ini meliputi faktor sosial dan situsional. Penenlitian ini menggunakan sosiodialektologi dengan faktor sosial penutur

(15)

15

dengan berdasar pada variabel pekerjaan dan usia penutur. Hasil pennelitian yang terhimoun dari empat pembahan yang terdiri dari pegawai, tua, pegawai muda, non pegawai tua, dan non pegawai muda yang masing-masing berjumlah satu orangmeyatakan bahwa ada variasi kebahasaan pada tataran fonologi, leksikon, dan gejala pengkramaan.

Ahdi Riyono (2007) melakukan penelitian Pemakaan Bahasa Jawa di Kabupaten Pati. Pemakaian BJKP pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan tingkat tutur ditinjau dari titik pengamatan kota-desa yang memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan BJB. Adapun perbedaan yang ada tidak membuat penuturnay merasa memilikibahasa yang berbeda. jadi perbeedaan tersebut hanya tampak pada tataran tingkat dialek. Temuan yang dihasilkan ialah pada tataran fonologi BJKP memiliki 7 fonem vokal dan 21 fonem konsonan. Proses morfologis dalam BJKP meliputi afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Tataran sintaksis BJKP ditemukan kalimat yang didasarkan pada fungsi dan situasi. Kalimat tersebut adalah kalimat interogratif, deklaratif, dan imperatif. Variasi leksikal meliputi adanya gejala onomasiologis, aferesis, sinkop, epentesis, protesis, dan persandian. Pada tataran tingkat tutur, BJKP menggunakan tataran ngoko, krama dan krama inggil.

Beberapa penelitian sosiodialektologi yang telah dilakukan tersebut djadikan bahan acuan dan referensi untuk penelitian ini. Dari tinjauan pustaka di atas menerangkan bahwa penelitian dengan analisis sosiodialektologi di kabupaten Purworejo belum pernah dilakukan. Penelitian yang serupa dikhususkan pada kajian geografi dialek, sehingga penelitian yang dilakukan ini

(16)

16

bukan hasil jiplakan dari penilitian sebelumnya, melainkan peniltian lanjutan dari penelitian yang sudah ada.

1.6 Landasan Teori

Pada dasarnya penelitan dialektologi dapat dilakukan secara gabungan dengan bidang ilmu yang lain seperti pada pernyataan Nadra dan Reniwati (2009: 5). Penelitian dialektologi dikaitkan dengan sosiolinguistik yang nantinya akan menghasilkan penelitian bahasa dilihat dari perbedaan lokal (regional) dan perbedaan variasi sosial. Pernyataan Antoine Meillet (1970: 70) menerangkan bahwa dialek sesungguhnya menitikberatkan pada dialek, yaitu: a) perbedaan dalam dalam kesatuan, b) kesatuan dalam perbedaan, dan c) dialek tidak harus mengambil seluruh bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

Sejalan dengan pemikiran Meillet, Nadra dan Reniwati (2009: 2) memberikan landasan bahwa penelitian dialek juga dapat dibedakan menjadi: a) dialek regional, yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal atau tempat, b) dialek sosial yaitu variasi bahasa berdasarkan golongan tertentu, dan c) dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok bangsawan pada masa itu. Atas dasar itulah perkembangan penelitian dialektologi dapat digabungkan dengan ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu sosiolinguistik, antropologi, etimologi, linguistik historis komparatif dan sejarah.

William Labov (1994) menerangkan bahwa perbedaan sosial menunjukkan kemampuan berbahasa. Kelas sosial menentukan bentuk ujara dari kelompok masyarakat. Sejalan dengan teori tersebut, Sumarsono dan Partana (2002: 25) menambahkan perbedaan kelompok sosial dapat ditemtuan oleh usia,

(17)

17

jenis kelamin, pekerjaan, tingkat ekonomi, atau kasta. Semua kelompok sosial mempanyai potensi untuk mempunyai ‘bahasa’ dengan ciri tertentu dan membedakan dengan kelompok lain.

Mansoer (dalam Rohmatunnazilah, 2007: 82) menyatakan bahwa keberadaan tempat dapat menyebabkan variasi bahasa. Variasi yang muncul dapat berupa dialek. Holmes (dalam Waljinah, 2012: 14) mengemukakan bahwa penelitian dialek sosial memberikan banyak informasi tentang pola ucapan dan tata bahasa yang digunakan oleh kelompok umur yang berbeda-beda. Sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa kelompok umur usia remaja memakai bentuk vernakular dengan frekuensi tertingi terutama jika bentuk tersebut non standar. Bentuk tersebut dikenal sebagai pemarkah solidaritas.

Mahsun (1995: 18) mengemukakan pendapat tentang perbedaan diatopik (geografis) dapat dilakukan dan diterangkan dengan dasar perbedaan sintopik (sosiolinguistik). Penelitian secara sosiodialektologi ataupun geografi dialek, keduanya saling menguntungkan dan melengkapi. Hal yang tidak dapat diungkap melalui kajian geografi dialek dapat dibantu dengan kajian sosiolinguistik. Misalnya seperti variasi leksikal di suatu daerah dapat bermakna lain di wilayah lain. Selain itu pada penelitian sosiodialektologi memungkinkan untuk ditemukannya pemertahanan bahasa atau dialek dengan melihat bentuk perbedaan yang menujukkan bahasa relik atau bahasa yang telah melakukan inovasi.

Sebagai kajian gabungan antara sosiolingustik dan dialektologi, variasi bahasa dikarenakan dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal di dalam bahasa tersebut. Nababan (1984: 6) menyebutkan bahwa variasi internal berkaitan

(18)

18

dengan unsur di dalam bahasa tersebut seperti variasi fonologis, suatu fonem yang terpengaruh dari fonem lain. Sementara faktor eksternal berkaitan dengan faktor di luar bahasa seperti daerah asal penutur, kelompok penutur, usia, suasana tuturan dan lain-lain.

Soemarsono dan Partana (2002: 19), memandang bahasa sebagai tingkah laku soial (social behaviour) yang dipakai dalam komunikasi sosial. Maka kegiatan pemakaian bahasa juga akan terpengaruh dengan kondisi sosial yang ada. Leech dalam Ari Widiastuti (2009: 15) menambahkan bahwa kegiatan pemakaian bahasa termasuk dalam bidang pragmatik umum. Secara garis besar bentuk pemakaian bahasa dibagi menjadi tiga kelompok: bentuk tingkat tutur, bentuk kontak bahasa, dan bentuk ragam.

Trudgill (1982) mengemukakan bahwa perbedaan internal suatu masyarakat tercermin dari bahasa. Trudgill dalam penelitiannya mengkaji kemungkinan adanya korelasi antara kelas sosial dengan pemakain variabel /-s/ dalam bahasa Inggris Norwegia sebagai penanda verba simple present tense orang ketiga tunggal. Penelitian yang serupa dilakukan oleh Fisher (1958) tentang variabel [M] dan [n] dalam bahasa Inggris Norwegia. Variabel [M] dipakai oleh kelompok sosial atas dalam kata singing, sementara variabel [n] digunakan oleh kelompok bawah pada kata singin. Kajian tersebut menunjukkan bahawa kelompok sosial atas akan menyebutkan fishing, shooting, dan singin, sedangkan kelompok bawah akan mngucapkan fishin, shooton, dan singin.

Wardaugh (1986: 22) berpendapat bahwa variasi bahasa dengan seperangkat kaidah linguistik atau pola tutur manusia berkaitan dengan faktor di

(19)

19

luar bahasa. Holmes (1992: 186) menerangkan bahwa faktor sosial yang berpengaruh pada pemakaian bahasa ialah usia penutur. Penelitian dialek sosial telah memberikan banyak informasi tentang pola ucapaan dan tata bahasa yang digunakan oleh kelompok umur yang berbeda-beda. Sebagian besar peneliti dialek sosial menemukan bahwa anak remaja memakai bentuk vernacular dengan frekusensi yang tinggi jika bentuk tersebut dianggap tidak baku. Bentuk tersebut merupakan pemarkah solidaritas.

Penelitian berikutnya mengenai variasi dilakukan oleh Labov (1966) dalam Wardaugh (1986: 157-163) di kota New York mengenai variabel r pada kata car dan guard. Dari penelitian ini dibuktikan bahwa ucapan [r] dikaitkan dengan kelas menengah atas meskipun kemunculannya tidak tinggi atau tidk digunakan dalam setiap kesempatan. Grijns (dalam Nadra, 2009: 34) mengemukakan bahwa dialektologi dalam arti yang luas berusaha memerikan variasi pola ling[uistik, baik secara sintopik maupun diatopik yang berada di bebrapa wilayah. Pada kenyataannya tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang tidak memiliki variasi atau diferensiasi.

Wijana (1996: 7) menyatakan bahwa masyarakat selalu bersifat heterogen dan bahasa yang digunakan menunjukkan berbagai variasi interna sebagai bentuk keberagaman latar belakang sosial budaya penutur. Poedjosoedarma (1979: 23, 2005: 3) menegaskan bahwa dialek adalah variasi bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh latar belakang asal penutur. Menurutnya dialek ini tidak dimaksudkan memiliki konotasi rendah, kurang pentig dan sabagainya. Penejlasan lebih lanjut bahwa semua penutur ialah sekurang-kurangnya memiliki satu dialek.

(20)

20

Kridalaksana (1983: 34) menyatakan dialek sebagai variasi bahasa yang berbeda –beda dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu. Tidak ada satupun dialek yang lebih tinggi nilainya bila dibanding dengan dialek yang lain. oleh karena itu dialek dipandang sebagai salah satu cabang kecil dari suatu bahasa. Dalam hal ini dialek bersifat saling memahami (mutual intelligible) antara satu dengan yang lain, adapun perbedaan antara dialek atau aksen ditentukan oleh banyaknya perbedaan yang muncul. Variasi dikatakan aksen jika variasi tersebut meliputi aspek fonetis, fonologis, apabila variasi tersebut meliputi aspek fonologis, morfologis, fonetis, dan leksikal dikatakan sebagai dialek.

Petyt (1980: 21-22) menyatakan bahawa variasi fonetis adalah variasi bunyi, sedangkan variasi fonologis merupakan variasi sistem fonologis seperti perbedaan jumlah fonem, perbedaan wujud fonem, dan lain-lain. Perbedaan bentuk dialek biasanya terletak pada gejala tertentu pada sistem fonologinya (ucapannya, intonasi kalimat) dan pada bentuk leksikal. Sehubungan dengan hal di atas, bahasa Jawa (BJ) merupakan bahasa yang dapat memunculkan keunikan dalam variasi intonasi dan leksikal. Misalnya pada kata tiba ‘jatuh’ ada yang menyebutkan dengan kata jiglok, ciblok atau gulung ‘jatuh’. Kata lagi, agi, ijik, dan isih dipakai untuk menerangkan ‘sedang’.

Rancangan penelitian Pemakaian BJ di Kabupaten Purworejo merupakan kajian antara bidang yaitu sosiolinguistik dan dialektologi. Trudgill (1984: 31) menegaskan bahwa kajian sosiodialektologi yang diilhami metode sosiolinguistik dan pemetaan variabel sosial penutur dialek. Fernandez (1993/1994: 1) menambahkan bahwa kajian itu mempelajari variasi bahasa dalam dialek yang

(21)

21

berbeda dari suatu bahasa sebagai suatu sistemm yang meliputi berbagai tataran kebahasaan. Variasi bahasa yang dikaji adalah variasi bahasa berdasarkan perbedaan kelompok msyarakat atau sosial yang terjadi antar wilayah atau ruang geografis yang berbeda sehinga timbul daerah pembaharuan (inovasi) atau daerah peninggalan (reliks).

Analisis aspek dialektal yang dipengaruhi oleh faktor sosial seperti usia, pendidikan dan pekerjaan merupakan bagian dari kajian sosiolingusitik. Aspek selanjutnya yaitu geografis, seperti daerah desa dan kota, pegunungan dan pedesaan. Fernandez (1993/1994) menyatakan bahwa perhatian terhadap kajian dialektologi mulai berkembang semenjak upaya pemahaman tentang perubahan bahasa secara diakronis terhadap sistem bahasa yang meliputi tataran kebahasaan (fonologi, morfologi, leksikon, gramatika dan semantik) semakin maju. Pengamatan terhadap sosiodialektologi tampak dalam pemerian tentang masalah tingkat tutur bahasa halus atau krama dan kasar atau ngoko dalam bahasa Jawa. Untuk memnentukan tingkat tutur (speech level) terdapat variasi pemakaian ragam tingkat tutur yang hanya mempunyai imbangan bentuk ngokonya saja atau kramanya saja,bahkan mungkin hanya mempunyai imbangan bentuk krama saja.

Hudson (1980: 120) menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki butir-nbutir linguistik yang mencerminkan karakter sosial penuturnya. Faktor sosial yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain status sosial, tingkat pendidikan, usia, pekerjaan, jenis kelamin dan lain-lain. di samping itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi faktor situasional seperti tempat dan waktu, topik dan lain-lain (Soewito,1983: 3).

(22)

22

Sebagaimana yang telah disampaikan Nothofer (1992) yang menyatakan bahwa penelitian dialek juga menemukan adakah tingkat tutur tuturannya. Tingkat tutur merupakan contoh yang jelas dari hubungan antara bahasa dan pemakaian bahasa dengan faktor sosial dan situasi pemakaian. Geertz (dalam Rohmatunnazilah, 2007: 125) menyatakan bahwa dalam bahasa Jawa hampir tidak mungkin mengataakan apapun tanpa menunjukkan perhubungan sosial antara pembicara dan pendengar dalam hubungannya dengan kedudukan (status) dan keakraban.

Nurhayati (2009: 77) dalam Bahasa Jawa tingkatan tutur secara umum ada 3 yaitu:

1) Bahasa Jawa Krama

Bahasa Jawa krama merupakan bahasa yang tingkatannya lebih tinggi dibanding tingkatan yang lain. Bahasa Jawa krama digunakan saat orang akan berbicara kepada orang yang jauh lebih tua atau tingkatan jabatannya lebih tinggi. Bahasa Jawa krama memiliki tingkat kesopanan yang lebih halus (Poedjosoedarmo, 1978: 8).

2) Bahasa Jawa Madya

Bahasa Jawa madya merupakan bahasa yang tingkatannya sedang dibanding tingkatan yang lain. Bahasa Jawa madya digunakan saat orang akan berbicara kepada orang yang sepadan. Tingkat kesopanan ragam madya pada urutan menengah. Bahasa ragam madya memiliki fungsi yaitu jarak antara penutur dengan mitra tutur tidak begitu dekat, memiliki status sosial yang berbeda, serta mencerminkan suasana yang tidak saling kenal. Bahasa Jawa ngoko

(23)

23

merupakan bahasa yang tingkatannya lebih rendah dibanding tingkatan yang lain (Nurhayati, 2009: 78).

3) Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa ngoko digunakan saat orang akan berbicara kepada orang jauh lebih muda atau tingakatan jabatannya lebih rendah. memiliki fungsi yaitu tidak ada jarak antara penutur dengan mitra tutur, memiliki status sosial yang sama, serta mencerminkan suasana akrab. Bahasa Jawa ngoko memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah (Poedjosoedarmo, 1978: 8). Bahasa Jawa ngoko memiliki ciri sebagai berikut: menggunakan kata-kata ngoko; digunakan untuk orang yang lebih rendah umur ataupun jabatannya.

Faktor terpenting dalam menentukan undha usuk atau tingkat tutur adalah anggapan penutur (O1) kepada kedudukan mitra tutur (O2) berkaitan dengan kedudukan masing- masing di lingkungan sosial. kedudukan yang dimaksud ialah alur kekerabatan, keturunan, tingkat ekonomi, dan sebagainya. Mitra tutur (O2) yang berkedudukan tinggi akan disapa dengan tingkat tutur krama oleh orang yang berkedudukan di bawahnya. Sebaliknya, orang ynag berkedudukan rendah akan disapa menggunakan tingkat tutur ngoko oleh orang berkedudukan lebih tinggi. Tingkat tutur ngoko,madya, dan krama merupakan suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, atutran sintaksis tertentu, aturan morfologis, aturan fonologis (Poedjosoedarmo, 1979: 8-9).

(24)

24

Untuk keperluan analisis mengenai kemampuan tingkat tutur dalam uraian ini, maka pembagian tingkat tutur dalam bahasa Jawa hanya mengikuti pembagian tingkat ngoko dan krama.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan metode pupuan lapangan (Ayatrohaedi, 1979: 33-34) yaitu dengan dua cara yaitu pencatatan langsung dan perekaman. Data linguistik pada penelitian ini dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik simak libat cakap (SLC) dan dilengkapi dengan teknik teknik catat dan teknik rekam. Metode simak digunakan untuk menyimak pemakain bahasa, sedangkan teknik simak libat cakap (SLC) merupakan kegiatan menyimak dengan keikutsertaan peneliti dalam pembicaraan. Teknik catat digunakan untuk mencatat semua jawaban atau keterangan dari informan. Teknik rekam digunakan untuk pengecekan ulang jika terdapa kekurangjelasan dalam catatan (Sudaryanto, 1988: 2-3). Data yang telah terkumpul ditranskripsikan secara fonetis dan dilakukan pengelompokkan ke dalam bidang yang telah ditentukan sesuai kriteria penelitian. Bidang-bidang tersebut antara lain; fonologi, morfologi, sintaksis, leksikal dan tingkat tutur.

1.7.2 Populasi dan Sampel

Objek dalam penelitian ini adalah bahasa Jaw ayang dipakai oleh penutur dan penduduk asli Purworejo atau sekurang-kurangnya telah berdomisili di Purworejo selama sepuluh tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah semua

(25)

25

penutur bahasa Jawa (BJ) dengan aspek-aspek di wilayah kabupaten Purworejo. Sementara sampel penelitian ini dipilih berdasarkan tuturan bahasa Jawa yang telah ditetapkan pada alat penelitian yang berupa daftar pertanyaan yang berkaitan dengan pemakain bahasa Jawa di kabupaten Purworejo.

1.7.3 Titik Pengamatan

Titik pengamatan dipilih dengan pertimbangan beberapa hal seperti letak geografis (jarak dengan kabupaten dan jarak dengan TP lain), sarana transportasi, dan pengaruh dari dialek lain. Berdasarkan kondisi kebahasaan di daerah Purworejo, maka TP adalah wilayah desa dan kota agar dapat menampilkan variasi kebahasaannya. Penentuan TP berdasarkan hasil pengamatan (observasi) dan letak geografis pada peta. Selanjutnya pertimbangan jarak antar TP satu dengan yang lain diukur menurut skala di peta. Secara rinci titik pengamatan (TP) ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan kuantitatif dilihat pada ukuran jarak antar titik pengamatan, yaitu kurang lebih 20 km jika isolek yang digunakan bersifat homogen atau memiliki ciri khusus penggunaan BJ. Sebaliknya ukuran jarak tidak diperhitungkan apabila isolek bersifat heterogen. Secara kualitatif kriteria yang digunakan ialah:

a. Mobilitas penduduk tergolong rendah (untuk sampel desa), dan tidak terlalu tinggi (untuk sampel kota).

b. Jumlah penduduk maksimal 6.000 jiwa, dan c. Usia desa paling rendah 30 tahun.

TP dalam penelitian ini memperbandingkan wilayah desa dan kota. TP mengambil dua desa yang jauh dari pusat kota dan satu desa yangberdekatan

(26)

26

dengan pusat kota. Penelitian yang berlangsung di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Bruno, kecamatan Bagelen, dan Kecamatan Bener. Masing-masing kecamatan dipilih desa yang berbatasan dengan kota lain atau mendapat pengaruh dialek lain. Pemilihan satu desa tiap kecamatan untuk menghindari pengaruh bahasa lain dari kecamatan yang berdekatan. Hipotesis awal ialah ketiga TP tersebut dapat menampilkan variasi kebahasaan BJKP. Sistem penomoran yang digunakan ialah penomoran atas bawah dimulai dari kecamatan Bruno (untuk TP 1), kecamatan Bener (TP 2), dan kecamatan Bagelen (TP 3).

Tabel 1. Titik Pengamatan pada BJKP

No. TP Nama Desa TP Kecamatan

1 Tegalsari Bruno

2 Mayungsari Bener

3 Kemanukan Bagelen

Adapun pertimbangan dari masing-masing TP ialah sebagai berikut: 1) TP 1 Desa Tegalsari Kecamatan Bruno merupakan wilayah yang paling dekat

dengan kabupaten Wonosobo (utara) dan kabupaten Kebumen (barat laut). Desa tegalsari terletak jauh dari kota dengan jarak kurang lebih 50 km, dengan topografi wilayah pegunungan (Menoreh). Berdasarkan penjelasan tersebut, kemungkinan bahasa dan budaya masyarakat setempat terpengaruh dari Wonosobo atau Kebumen.

2) TP 2 adalah desa Mayungsari Kecamatan Bener yang berlokasi dekat dengan kabupaten Magelang. Letak desa Mayungsari di bagian utara kota Purworejo

(27)

27

dengan jarak kurang lebih 27 km, dengan kondisi dataran tinggi dan pegunungan. Mobilitas penduduk di desa Mayungsari sebagian besar ke wilayah Magelang, sehingga kemungkinan besar mendapatkan pengaruh bahasa dari Magelang.

3) TP 3 adalah Desa Kemanukan Kecamatan Bagelen merupakan daerah yang terdekat dari kota Purworejo karena berjarak 3 km dari pusat pemerintahan dan menjadi salah satu lintasan menuju wilayah DIY. Desa Kemanukan juga berdekatan dengan wilayah pesisir (pantai) dengan jarak kurang lebih 7 km. Alasan daerah ini menjadi TP selain jarak menuju pusat kota cukup dekat, juga ditemukan bukti sejarah bahwa desa ini merupakan desa yang dulunya menjadi pusat pemerintahan yang membawahi daerah di sekitarnya. Alasan ini didukung dengan temuan aliran kepercayaan yang paling tua di Indonesia yaitu Hardo Pusara. Berdasarkan cerita leluhur bahwa desa Kemanukan merupakan desa yang terbentuk dari prajurit Mataram, sehingga kedekatan dengan Keraton Mataram kemungkinan masih terefleksi dari sisi kehidupan masyarakatnya.

1.7.4 Informan

Ayatrohaedi (1979) menyebutkan informan sebagai pembahan. Pembahan adalah orang yang memberikan informasi dari dialek yang diteliti. Informan menampilkan data berupa tuturan atau lisan yang menjadi syarat utama dalam penelitian dialektologi. Dalam pemilihan informan harus memenuhi kriteria tertentu (Ayatrohaedi, 1979: 48). Agar data yang diperlukan mencukupi dan memberikan gambaran yang objektif maka informan dipilih tiga orang, satu

(28)

28

orang sebagai informan primer, satu orang informan sekunder, dan satu orang sebagi informan tersier (Mahsun, 1995: 106). Pemilihan seseorang menjadi informan harus memenuhi syarat:

a. Usia seorang informan kisaran 40-50 tahun karena pada usia tersebut informan diaangap telah menguasai dialeknya.

b. Informan memiliki alat artikulasi yang lengkap (tidak ompong atau cadel) c. Berpendidikan cukup agar tidak terlalu susah menghimpun data apabila

informan tidak pernah sekolah, begitu pula jika pendidikan informan tinggi dialeknya dapat terpengaruh dengan dialek lain (tidak asli).

d. Tidak buta huruf karena pada proses wawancara peneliti meminta untuk menuliskan beberapa data yang mereka ucapkan, hal ini bertujuan untuk mengecek data apabila peneliti menemukan keraguan saat mendengarkan tuturan informan.

e. Merupakan penduduk asli pribumi.

f. Menguasai bahasanya secara ‘murni’, maksudnya informan sedikit mendapat pengaruh dari dialek lain.

g. Mobilitas ke luar daerah kecil, agar informan memiliki kemurnian data. h. Tidak pernah melakukan bepergian jauh dalam jangka waktu yang lama, agar

informan menampilkan data asli.

i. Bukan termasuk golongan wong cilik karena ada kecenderungan menutup diri terhadap orang asing.

Informan dalam penelitian ini juga mempertimbangkan kriteria yang dikemukakan oleh Nothofer (dalam Mahsun, 199:106) yaitu :

(29)

29 - Berjenis kelamin laik-laki atau perempuan - Berusia 30- 60 tahun

- Orang tua, istrii atau suami sebagai pembantu bahasa lahir dan besar di desa setempat

- Mobilitasnya tidak terlalu tinggi (kota) atau rendah (desa) - Dapat berbahasa Jawa

- Sehat rohani dan jasmai dalam arti alat bicara yang sempurna - Dapat berbahasa Indonesia

Informan dalam penelitian ini diambi l dari anggota masyarakat yang berpendidikan minimal SD atau tidak tamat dan bermatapencahatian sebagai petani untuk non priyayi, sedangkan informan yang masuk kategori priyayi adalah tamatan SMA/sederajat, dan perguruan tingi serta bekerja sebagai peagawai atau wiraswastan. Usia informan yang akan diambil antara 30-70 tahun. Disamping itu, anggota masyarakat yang dijadikan informan adalah masyarakat suku Jawa yang telah menetap di Purworejo sekuran-kurangnya selama sepuluh tahun.

Tabel 2. Informan Pada Titik Pengamatan

Pekerjaan Pegawai Bukan pegawai

Pendidikan Tinggi Rendah Tinggi Rendah

Usia Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda

(30)

30 1.7.5. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan saat penelitian ialah berupa daftar pertanyaan kebahasaan BJ, baik dalam ragam ngoko dan krama ynag meliputi kosa kata, frasa, dan kalimat. Daftar pertanyaan yang diajukan ke informan didasari pada daftar Swadesh yang dimodifikasi oleh Blust (dalam Nadra, 2009: 103). Daftar kosa kata dasar berdasarkan Swadesh dengan ditambah daftar kosakata tambahan yang tergabung dalam medan makna. Fungsi daftar kosa kata tambahan ini agar data yang dijaring lebih menampilkan kekhasan masing-masing TP. Adapun medan makna yang dipakai 1) bagian tubuh manusia, 2) kata ganti orang atau kekerabatan, 3) musim, waktu, arah, 4) pertanian dan peternakan, 5) bilangan dan ukuran, 6) sifat, keadaan, dan warna, 5) obat-obatan dan penyakit, 6) rumah dan bagiannya, 7) aktivitas, 8) upacara adat atau ritual, 9) kata tanya dan penghubung, 11) alat sehari-hari, dan 10) makanan tradisional.

1.7.6 Proses Penelitian

Penelitian sosiodialektologi ini dilaksanakan berdasarkan beberapa langkah penelitian yang dinyatakan oleh Fernandez (1993/1994: 38-39). Beberapa langkah penelitian tersebut antara lain;

1. Menentukan daerah pemakaian Bahasa Jawa,

2.Mempersiapkan instrument penelitian yang berupa daftar tanyaan, 3.Mengurus perijinan,

4.Menyiapkan peta lokasi penelitian yang akan dikunjungi, 5.Survey awal ke lokasi sebelum kunjungan resmi dilakukan, 6.Pelaksanaan penelitian lapangan,

(31)

31

7.Menyiapkan peta dasar yang memuat titik pengamatan dan lokasi desa yang didatangi,

8.Seusai kunjungan ke lokasi penelitian menata dan hasil catatan dan rekaman dalam bentuk transkripsi,

9.Menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian, 10.Menyajikan hasil analisis data.

1.7.7 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis satuan lingual yakni dengan menggunakan metode padan dengan teknik pilah unsur penentu, yaitu teknik analisis bahasa data denga ncara memilah satu kebahasaan yang dianalisi dengan alat penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti (Sudaryanto, 1993: 1, Kesuma, 2007: 51). Analsis perbedan unsur kebahasaan anata BJKP dan BJB dengan metode reflektif-instropektif. Data BJKP kemudian diklasifikasikan dan dibandingkan dengan BJB dengan menggunakan kamus dan buku tata bahasa Jawa baku serta referensi bahasa Jawa.

Analisis data dengan perbandingann BJKP dan BJB dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang variasi dialektal dan tingkat pengaruh BJB terhadap BJKP. Tingkat pengaruh tersebut dianalisis berdasarkan tiga hal, yaitu prosentasi perbedaan, kemiripan,dan kesamaan dalam unsur fonologi, morfologi, sintakis dan leksikal. Data yang telah dianalisis akan menemukan variasi pemakaian BJKP berdasarkan variasi sosial, yaitu, usia pekerjaan, dan

(32)

32

pendidikan dengan mempertimbangkan aspek tingkat tutur oyang digunakan oleh penutur.

1.7.8 Metode Penulisan Hasil Penelitian

Metode penulisan hasil penelitian dnegan menggunakan dua metode yatu informal dan formal. Penyajian formal digunakan dalam pengolahan data, dengan perumusan, penggunaan tanda dan lambang-lambang yang diwujudkan dalam bentuk rumus, tabel, gambar, dan bagan. Penyajian dengan cara tersebut memudahkan dalam hal penafsiran. Adapun pennyajian berupa informal, pemaparan hasil analisi data dengan merumuskan kata-kata biasa termasuk penggunaan terminologi yang sifatnya teknis untuk memudahkan pemahaman. Secara ringkasnya, metode informal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata, sedangkan metode formal dengan menggunakan tanda atau lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan informal. Penyajian dengan metode formal adalah perumusan dengan meggunakan dengan tanda dan lambang, sedangkan penyajian dengan metode informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis (Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian dengan metode formal digunakan dalam pengolahan data. Perumusan dengan menggunakan tanda dan lambang yang diwujudkan dalam bentuk rumus, tabel, gambar, dan bagan bertujuan untuk memudahkan penafsiran. Penyajian dengan

(33)

33

metode informal digunakan dengan metode formal untuk memaparkan hasil analisis data.

Tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu “Bab I: Pendahuluan”, berisi latar belakang masalah, ruanglingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, prosedur data, dan metode penelitian, dan sistematika penyajian. “Bab II: Deskripsi Daerah Penelitian”, memaparkan sejarah singkat Kabupaten Purworejo, gambaran/letak geografis, demografi penduduk, dan situasi kebahasaan di Kabupaten Purworejo. “Bab III: Deskripsi Bahasa Jawa Kabupaten Purworejo”. Bab ini membahas identifikasi bunyi-bunyi bahasa dalam bahasa Jawa Purworejo secara fonetis dan deskripsi aspek-aspek fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon serta tingkat tutur BJKP. “Bab IV: Variasi Pemakaian Bahasa Jawa Kabupaten Purworejo”, yang meliputi Variasi pemakaian ditinjau dari faktor lingual yang meliputi tataran fonologi, morfologi, leksikon, dan pemakaian tingkat tutur BJKP di Kabupaten Purworejo. “Bab V: Penutup”, berisi simpulan dan saran.

Gambar

Tabel 1. Titik Pengamatan pada BJKP
Tabel 2. Informan Pada Titik Pengamatan

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai ujian nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 43 Tahun

Menurut Keller (1993) dalam Li (2011:9), kesadaran merek dengan asosiasi merek yang kuat merefleksikan kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi merek melalui

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap rule yang ada dalam sistem memiliki tingkat keyakinan yang berbeda-beda-beda,

Nuansa musik dalam karya ini juga mengalami perubahan, dimana nuansa awal lagu Kacang Dari yang sangat sederhana agar anak dapat mengantuk dan terlelap mengalami

Saat ini kain tenun hasil produksi lokal mulai digemari baik digunakan oleh konsumen lokal hingga internasional, Kabupaten Klungkung sebagai salah satu wilayah di

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, diperoleh informasi bahwa diksi yang terdapat dalam hikayat Soeltan Atjeh

Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan data tentang penggambaran kontur dengan surfer pada perkuliahan Praktikum Ilmu Ukur

Pada tahun 1976 merupakan era baru bagi bangsa Indonesia karena dengan dikeluarakanya peraturan Pemerintah No. Habibie, untuk mengembangkan segala potensi yang ada dan