• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Pelatihan Keterampilan Sosial Untuk Meningkatkan Citra Diri Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Abk).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Pelatihan Keterampilan Sosial Untuk Meningkatkan Citra Diri Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Abk)."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Naskah Publikasi

Disusun Oleh: Jarot Subakti T 100 090 117

PROGRAM PROFESI PSIKOLOGI

(2)

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Naskah Publikasi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi

Di Bidang Psikologi Klinis

Diajukan Oleh : Oleh : Jarot Subakti T 100 090 117

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI

(3)
(4)
(5)

ABSTRAKSI

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap citra diri ABK. Hipotesis yang diajukan Ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan. Subjek penelitian. Subjek penelitian adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) SMK BOPKRI 2 Yogya karta sebanyak 20 siswa, yaitu 10 subjek dalam kelompok eksperimen, dan 10 subjek dalam kelompok kontrol. Metode pengumpulan data menggunakan skala citra diri, wawancara dan observasi. Intervensi yang digunakan yaitu pelatihan keterampilan sosial. Metode analisis data menggunakan mann whitney

u test. Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah

pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan. Secara deskripsi pada kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada 4 subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%) memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi.

(6)

PENGANTAR

Setiap manusia tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Hal ini juga dialami

oleh para siswa inklusi yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari

kesulitan-kesulitan. Kondisi kelainan baik secara fisik maupun psiks yang dialaminya semenjak

lahir ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari mereka, serta sangat berpengaruh

terhadap penyesuaian dengan lingkungan dan kepribadiannya. Seseorang yang

memiliki kelainan baik fisik atau mental, seperti cacat anggota tubuh atau rusaknya

salah satu indera merupakan kekurangan yang terlihat oleh orang lain. Seseorang

dengan sendirinya amat merasakan kekurangan yang ada pada dirinya jika

dibandingkan dengan orang lain. Fenomena mengenai perlakuan masyarakat yang

terkadang hanya memandang sebelah mata pada akan berkebutuhan khusus

menyebabkan para ABK tersebut membentuk citra diri yang negatif sehingga

menarik diri, merasa rendah diri, depresi dan perasaan-perasan negatif lainnya

Individu yang tidak bisa bereaksi secara positif, timbullah rasa rendah diri (minder)

yang akan berkembang menjadi rasa tidak percaya diri dan dapat membentuk citra

diri yang negatif.

Centi (1993) mengemukakan citra diri adalah gambaran pada dirinya sendiri

akan mempengaruhi proses berpikir, perasaan, keinginan maupun tingkah laku. Citra

diri merupakan inti kepribadian seseorang dari pengalaman individu dalam

berhubungan atau berinteraksi dengan individu lain. Dari interaksi, individu

memperoleh tanggapan yang akan dijadikan cermin bagi individu tersebut untuk

menilai dan memandang dirinya. Beberapa penelitian memaparkan citra diri dapat

ditingkatkan melalui suatu metode pelatihan Menurut Noe. (2003) seseorang lebih

(7)

kesempatan untuk melatih keterampilan. Salah satu bentuk pelatihan yang

diharapkan dapat meningkatkan citra diri adalah menggunakan pelatihan

keterampilan sosial. Ulasan ini didukung oleh beberapa hasil penelitian, antara lain

Ramdhani (1995) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pelatihan keterampilan

sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosial. Sementara hasil penelitian

Anggraeni dkk. (2008) menyatakan pelatihan keterampilan sosial meningkatkan

kemampuan bersosialisasi, memecahkan masalah yang timbul antara anak satu

dengan teman sekelasnya sehingga anak dapat berhubungan dengan baik satu dengan

yang lainnya.

Menurut Petersen (2004) manfaat pelatihan keterampilan sosial antara lain

meningkatkan kemampuan bersosialisasi, memecahkan masalah yang timbul antara

anak dengan teman sekelasnya, meningkatkan kepercayaan diri. Apabila anak mampu

berpikir bagaimana menghadapi masalah serta bagaimana harus berperilaku sesuai

dengan norma dan perannya, maka dapat dikatakan ia dapat menyesuaikan diri

dengan orang lain dan lingkungannya. Dengan demikian ia akan dapat diterima di

lingkungan sosialnya.

Kelly (2003) mengatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat diberikan

melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan secara individual dan kelompok.

Pendekatan kelompok dapat diberikan dalam format pendek (workshop format) dan

dalam format panjang. Format pendek ditujukan bagi klien dengan fungsi sosial yang

tergolong tinggi. Sedangkan format panjang efektif bagi klien dengan sifat pemalu

yang sangat ekstrim atau klien dengan permasalahan gangguan kecemasan sosial;

(8)

format pendek, karena kondisi psikologis subjek belum pada tahap yang ekstrim,

misalnya mengalami ketakutan sosial (phobia sosia).

Penelitian Augustine (2011) menyatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial

efektif untuk meningkatkan citra diri. Clay dkk (2004) pada penelitian yang telah

dilakukan menyatakan bahwa faktor-faktor sosialkultural berpengaruh terhadap

penampilan dan citra diri remaja. Schoyen (2004) pada penelitian mengenai

keterampilan sosial pada anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi

menyatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan kualitas

persahabatan. Adapun Kaligis dkk (2009) dalam penelitian yang telah dilakukan

menyatakan bahwa citra diri dapat ditingkatkan melalui pelatihan kecakapan hidup.

Atas dasar ulasan tersebut maka diharapkan keterampilan sosial berperan untuk

meningkatkan citra diri individu.

Penelitian Puurula dkk. (2001) memaparkan bahwa Intervensi Peningkatan

keterampilan sosial sering memusatkan pada aspek praktek pembelajaran

keterampilan baru untuk meningkatkan perilaku siswa dalam merespon. Berkaitan

dengan hal ini Gresham dan Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) mengidentifikasi

keterampilan sosial dengan beberapa aspek , yaitu :

a. Aspek intrapersonal. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri.

Merupaka n keterampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya

keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan

dan sejenisnya. Dengan kemampuan ini, individu dapat memperkirakan

kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi dan dampak perilakunya pada situasi sosial tertentu.

b. Aspek Perilaku interpersonal. Merupakan perilaku yang menyangkut

(9)

juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan

bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. Keterampilan ini kemungkinan

berhubungan dengan usia dan jenis kelamin. Perilaku interpersonal sosial memiliki

beberapa fungsi di antaranya sebagai alat ekspresi dan katarsis bagi individu,

memberi klasifikasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan diri,

pandangan-pandangan, sikap opini maupun perasaan, memberi kemungkinan bagi individu untuk

mendapatkan dukungan atau persetujuan dari orang lain, memungkinkan individu

memiliki kontrol sosial terhadap orang lain dan situasi yang dihadapinya.

c. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis. Merupakan

perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah,

misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran,

mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru,

dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Selain siswa diharapkan mampu

membuat manajemen waktu dalam belajar, mengumpulkan tugas tepat waktu, dan

dapat membuat skala prioritas kegiatan.

Mewujudkan citra diri yang positif dapat dilakukan melalui pelatihan.

Pelatihan keterampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang

mulai banyak digunakan. Penelitian Ramdhani (1995) menyimpulkan bahwa

pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosia l.

Pelatihan keterampilan sosial juga sudah digunakan sebagai pelengkap dari pelatihan

asertif untuk menurunkan tingkat kecemasan interpersonal. Sementara menurut

penelitian Anggraeni dkk. (2008) manfaat pelatihan keterampilan sosial antara lain

(10)

anak satu dengan teman sekelasnya sehingga anak dapat berhubungan dengan baik

satu dengan yang lainnya.

METODE

1. Variabel terikat (dependen) : Citra Diri

2. Variabel bebas (independen) : Pelatihan keterampilan sosial

Subjek penelitian ini adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) SMK BOPKRI

2 Yogyakarta. 10 subjek kelompok eksperimen dan 10 subjek kelompok kontrol.

Metode pengumpulan data menggunakan skala citra diri, observasi dan

wawancara. Skala citra diri disusun berdasarkan aspek-aspek citra diri yang

dikemukakan oleh Calhoun dan Accocela (1996) meliputi aspek: a) pengetahuan

tentang diri, b) pengharapan mengenai diri, c) penilaian tentang diri sendiri.

Modul keterampilan sosial disusun mengacu pada pendapat Gresham dan

Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) melalui aspek keterampilan berhubungan

dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal); keterampilan berhubungan dengan orang lain

(bersifat interpersonal); keterampilan berhubungan dengan akademis. Teknik analisis

yang digunakan adalah mann whitney u test.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi data diperoleh dari hasil nilai atau skor perhitungan skala citra diri

yang meliputi beberapa skor, maksimum, minimum mean, SD dan selisih mean

antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Lebih jelasnya dapat dilihat

(11)

Tabel I

Deskripsi Data Empirik dan Hipotetik

Skor Data Empirik

Data Hipotetik Kel. Eksperimen Kel. Kontrol

Pre

Berikut ini skor dan perhitungan tingkat kategorisasi dari masing-masing

kelompok.

Tabel 2

Skor dan Kategorisasi Citra Diri Kelompok Eksperimen

No.

Subjek Pretest Posttest Follow up

(12)

Tabel 3

Skor dan Kategorisasi Citra Diri Kelompok Kontrol

Perhitungan analisis data menggunakan teknik analisis mann whitney u test.

Hasil dari analisis data pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Hasil Analisis Kelompok eksperimen

Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan

Pretest-Posttest -3.031 0.002 (p<0,05) Signifikan

Pretest-Follow up -2.763 0.006 (p<0,05) Signifikan

Posttest Follow up -0.568 0.570 (p>0,05) Tidak signifikan

Tabel di atas dapat diinterpretasi sebagai berikut:

1. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan posttest diperoleh

nilai Z -3.031; signifikansi (p) =0,002 (p<0,01). Artinya ada perbedaan yang sangat

signifikan citra diri sebelum pelatihan dan setelah pelatihan.

2. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan follow up diperoleh

nilai Z -2.763; signifikansi (p) =0,006 (p<0,01). Artinya ada perbedaan yang sangat

(13)

3. Hasil analisis mann whitney u test antara posttest dengan follow up

diperoleh nilai Z -0.568; signifikansi (p) =0,570 (p>0,05). Artinya tidak ada

perbedaan antara posttest dengan follow up ).

Berdasarkan dari hasil analisis mann whitney u test diketahui adanya

perbedaan citra diri yang sangat signifikan pada kelompok eksperimen pada saat

pretest dan postest, sehingga dapat disimpulkan pelatihan keterampilan sosial efektif

meningkatkan citra diri, adapun pada saat amatan ulang (follow up) kondisi kategori

citra dirinya masih tetap konsisten, atau tidak mengalami penurunan.

Perhitungan analisis data menggunakan teknik analisis mann whitney u test

pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5

Hasil Analisis Kelompok Kontrol

Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan

Pretest-Posttest -0,076 0,939 (p>0,05) Tidak signifikan

Pretest-Followup -0,379 0,705 (p>0,05 Tidak signifikan

Posttest Followup -0,530 0,596 (p>0,05 Tidak signifikan

Tabel 5 dapat diinterpretasi sebagai berikut:

1. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan posttest diperoleh

nilai Z -0,076; signifikansi (p) =0,939 (p>0,05). Artinya tidak ada perbedaan citra diri

sebelum pelatihan (pretest) dan setelah pelatihan (posttest).

2. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan amatan ulang

(followup) diperoleh nilai Z -0,379; signifikansi (p) =0,596 (p>0,0>). Artinya tidak

ada perbedaan citra diri sebelum pelatihan (pretest) dan setelah follow up.

3. Hasil analisis mann whitney u test antara posttest dengan follow up

(14)

perbedaan antara posttest dengan follow up.

Berdasarkan hasil analisis disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan

citra diri sebelum pelatihan (pretest), postest maupun saat amatan ulang (follow up)

pada kelompok kontrol; hal karena subjek pada kelompok kontrol tidak mendapatkan

pelatihan keterampilan sosial, sehingga tidak ada peningkatan citra diri. Perhitungan

analisis data antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 6

Hasil Analisis Kelompok Eksperimen - Kontrol

Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan

Pretest -0,530 0,596 (p>0,05) Tidak signifikan

Posttest -2,237 0,025 (p<0,05 Signifikan

Followup -2,916 0,004 (p<0,05 Signifikan

Tabel 6 dapat diinterpretasi sebagai berikut:

1. Hasil analisis mann whitney u test antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol pada saat pretest diperoleh nilai Z -0,530; signifikansi (p) =0,596

(p>0,05). Artinya tidak ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol pada saat pretest.

2. Hasil analisis pada saat posttest diperoleh nilai Z -2,237; signifikansi (p)

=0,025 (p<0,05). Artinya ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen

dengan kelompok kontrol pada saat posttest.

3. Hasil analisis saat follow up diperoleh nilai Z -2,916; signifikansi (p)

=0,004 (p<0,05). Artinya ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen

dengan kelompok kontrol pada saat amatan ulang (follow up).

Berdasarkan ha sil analisis data antara kelompok kontrol dengan kelompok

(15)

kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen relatif sama, setelah kelompok

eksperimen diberi pelatihan keterampilan sosial kondisi citra diri lebih tinggi (baik )

dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberi pelatihan. Hasil ini menunjukkan

pelatihan keterampilan sosial efektif untuk meningkatkan citra diri.

Tingkat keberhasilan pelatihan dapat diketahui dari perhitungan gain score,

yaitu selisih skor citra diri sebelum dan sesudah pelatihan yang diperoleh

masing-masing subjek. Gain score menunjukkan tingkat perubahan skor, semakin meningkat

gain score maka semakin tinggi peningkatan citra diri subjek pelatihan. Ada pun

gained score dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7 Hasil Gain score

No. Subjek Kelompok eksperimen Kelompok kontrol Skor Kategori Skor Kategori

Nilai positif menunjukkan adanya peningkatan skor citra diri dari pretest ke

posttest ataupun dari postest ke follow up, sedangkan nilai negatif mengartikan

(16)

peningkatan skor tidak serta merta merubah tingkat kategori, kecuali kalau penurunan

atau peningkatan skor tersebut cukup besar.

Data tabel di atas menunjukkan gain score pada kelompok eksperimen adalah

subjek AY dengan peningkatan skor sebesar 26, sedangkan gain score terendah yaitu

subjek AG dengan nilai 3. Hasil ini menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi

mencapai 26%, sedangkan tingka t keberhasilan terkecil 3%, Sementara pada

kelompok kontrol peningkatan skor tertinggi 14 point dan terendah menurun

sebanyak 1 point. Ini menunjukkan pada kelompok kontrol tidak ada perubahan skor

yang signifikan.

Pembahasan

Hasil analisis menyatakan ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah

pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan

keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan.Dengan demikian

aspek-aspek pelatihan yang digunakan sebagai dasar atau acuan dalam penyusunan

modul yaitu keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal)

aspek keterampilan yang berhubungan dengan orang lain (bersifat interpersonal); serta

aspek keterampilan yang berhubungan dengan akademis mampu membawa perubahan

yang cukup signifikan pada kondisi citra diri subjek pelatihan. Secara deskripsi pada

kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada 4

subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang

memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%)

memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun

ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri

(17)

dari kelompok eksperimen tersebut terlihat ada peningkatan citra diri sebelum dan

sesudah pelatihan, kondisi ini menunjukkan pelatihan keterampilan sosial yang

diikuti mampu meningkatkan citra diri para peserta pelatihan.

Hasil penelitian ini mendukung beberapa penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, antara lain Ramdhani (1995) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa

pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosia l.

Adanya peningkatkan citra diri merupakan salah satu hasil atau feedback dari

perubahan perilaku positif. Salah satu sum ber perubahan positif tersebut yaitu

keberhasilan subjek mengikuti pelatihan dan mengimplementasikan materi-materi

yang diperoleh selama pelatihan. Berkaitan dengan hal tersebut Secara lebih spesifik,

Gresham dan Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) memberi penjelasan sebagai

berikut:

a. Aspek intrapersonal. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri.

Merupakan keterampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya

keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan

dan sejenisnya. Dengan kemampuan ini, individu dapat memperkirakan

kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi dan dampak perilakunya pada situasi sosial tertentu.

Aspek ini diaplikasikan dalam beberapa materi, diantaranya penjelasan mengenai

regulasi drii dan coping stress, serta role play “ mendengarkan teman” Aspek in

imenekankan adanya interaksi dari pengetahuan dan pengharapan bagi diri sendiri

yang kemudian disatukan pada cira diri. Individu memiliki kemampuan untuk

mengamati, menyadari dan menilai penampilan perilakunya. Sesuai dengan pendapat

(18)

sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.

Prinsip dasar sosial learning menyatakan sebagian besar dari yang dipelajari

manusia terjadi melalui peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modelling).

Seseorang belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/

sekelompok orang mereaksi /merespon sebuah stimulus tertentu.

b. Aspek Perilaku interpersonal. Merupakan perilaku yang menyangkut

keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Perilaku ini disebut

juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan

bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. Keterampilan ini kemungkinan

berhubungan dengan usia dan jenis kelamin. Perilaku interpersonal sosial memiliki

beberapa fungsi di antaranya sebagai alat ekspresi dan katarsis bagi individu,

memberi klasifikasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan diri,

pandangan-pandangan, sikap opini maupun perasaan, memberi kemungkinan bagi individu untuk

mendapatkan dukungan atau persetujuan dari orang lain, memungkinkan individu

memiliki kontrol sosial terhadap orang lain dan situasi yang dihadapinya. Aspek ini

diterapkan pada beberapa materi, selain role play “memberi pujian” juga melalui

Video inspiratif“jangan pernah takut menjadi diri sendiri”. Video inspiratif ini

merupakan salah satu materi yang diberikan dalam pelatihan, berkisah tentang

seorang gadis tuli yang dengan segala keterbatasannya mampu memiliki keyakinan

dan kepercayaan diri yang tinggi sehingga mampu memiliki keterampilan atau

kemampuan memainkan biola dengan sangat baik sekali. Video ini relevan untuk

ditampilkan dalam sesi pelatihan karena adegan-adegan dalam video tersebut dapat

(19)

bagaimana seseorang dengan keterbatasan fisik dapat memiliki kepercayaan diri yang

tinggi terhadap diri sendiri.

Pada aspek ini tema role play atau bermain peran ini yaitu “ berani danx

bertanggung jawab”. Manfaat dalam role play yaitu melatih peserta untuk berani dan

bertanggung jawab terhadap perbuatan pada orang lain, peserta dilatih bersikap

asertif, terbuka, percaya diri dan dapat mengakui kesalahan yang telah dilakukan pada

orang lain juga berperan positif terhadap perubahan perilaku subjek terutama pada

aspek bertanggung jawab, yaitu kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu

yang telah menjadi konsekuensinya. Serta aspek Rasional dan realistis, yaitu

kemampuan menganalisa suatu masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan

menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.

Sesuai dengan pendapat Bandura (1996) memperhatikan model dan mempertahankan

apa yang telah diobservasi, kemudian individu (peserta pelatihan) memproduksi

perilaku tersebut melalui contoh perilaku nyata. Proses mengubah representasi

kognitif ke dalam tindakan yang tepat, harus bertanya pada diri sendiri beberapa

pertanyaan mengenai perilaku yang akan ditiru, sehingga muncul pertanyaan,

“Bagaimana saya dapat melakukan hal ini?” Setelah secara simbolis mengulang

respons-respons yang relevan, individu mencoba perilaku baru tersebut. Selama

melakukannya, individu biasanya mengevaluasi diri dengan pertanyaan, “Apa yang

sedang saya lakukan?” Terakhir, mengevaluasi performa dengan bertanya, “Apakah

saya melakukannya dengan benar?” Pertanyaan terakhir ini tidak selalu mudah untuk

dijawab, karena ada subjektifitas penilaian yang berbeda-beda dari masing-masing

(20)

c. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis. Merupakan

perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah,

misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran,

mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru,

dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Selain siswa diharapkan mampu

membuat manajemen waktu dalam belajar, mengumpulkan tugas tepat waktu, dan

dapat membuat skala prioritas kegiatan.

Smith (2006) mengemukakan pendidikan inklusi ialah program pendidikan

yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan

inkluasi tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua

siswa yang masing-masing mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda.

Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif

sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa

dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi

kominitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya

dalam sumber belajar dan mendapat penanganan dari semua pihak, yaitu para siswa,

guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Hasil analisis data menunjukkan perbedaan citra diri sebelum dan sesudah

pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan

(21)

pada kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada

4 subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang

memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%)

memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun

ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri

sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi. Berdasarkan data deskripsi

dari kelompok eksperimen tersebut terlihat ada peningkatan citra diri sebelum dan

sesudah pelatihan, kondisi ini menunjukkan pelatihan keterampilan sosial yang

diikuti mampu meningkatkan citra diri para peserta pelatihan.

Saran

Disarankan mencoba menerapkan pelatihan keterampilan sosial dengan

karakteristik subjek yang berbeda, karena hasil penelitian ini masih terbatas pada

populasi tempat penelitian dilkakukan yaitu siswa-siswi ABK SMK Bopkri

Yogyakarta., serta mengontrol variabel luar yang dimungkinkan berpengaruh

terhadap citra diri, misalnya status sosial ekonomi keluarga dan model pengajaran di

sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, S. Christanti, D., dan Susilo D.J. (2008). Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial Menggunakan Metode StopThink Do terhadap Penyesuaian Sosial Anak Sekolah Dasar. Manasa. Juni. Volume 2 Nomor 1.

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Augustine, V., Miriam Longmore Mannam Ebenezer & Richard. (2011). Effectiveness of Social Skills Training for reduction of self-perceived Stigma in Leprosy Patients in rural India. Lepr Rev (2012) 83, 80 – 92. Oxford University, Oxford, England, UK.

(22)

Cartledge, G.& Milburn, J. F., (1995). Teaching Social Skill to Children and Youth , Boston : Allyn and Bacon.

Centi, P.J. (1993). Mengapa Rendah Diri. Yogyakarta : Kanisius.

Clay, D. Vivian L. Vignoles, and Helga Dittmar. 2004. Body Image and Self -Esteem Among Adolescent Girls: Testing the Influence of Sociocultural Factors. Journal Of Research On Adolescence, 15(4), 451–477

Kaligis F. Wiguna, Widyawati I. (2009). Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup terhadap Citra Diri Remaja. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 3, Maret 2009

Kelly, A. 2003. Social Skills Training, A. Practical Guide for Interventions. Springer Publishing Co., New York.

Noe, R.A., Hollenbeck,.M. (2003). Human Resource Management Gaining A

Competitive Advantage. 4 th ed. New York: McGraw-Hill Higher Educatuion

Oniel, P.G. (1995). Implicit Prejudice and Stereotyping: How Automatic Are They Introduction to The Special Section. Journal of Personality and Social Psychology. 81 (5). 757-759.

Palupi, F.E dan Nashori, D. (2009). Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial Terhadap Tingkat Kepercayaan Diri Remaja Panti Asuhan. Naskah Publikasi.

Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Petersen, L. (2004). Bagaimana memotivasi anak belajar stop and think Learning. Alih bahasa: Ismail Isdito. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Puurula, A., Neill, S., Vasileiou, L., Husbands, c., Lang, P., Katz, YJ., Romi, S., Menezes, 1., & Vriens, L. (2001). Teacher and student attitudes to affective education: a European collaborative research project. Compare, 31(2), 165-187.

Ramdhani, N. (1995) Perubahan Perilaku dan Konsep Diri pada Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial, Laporan Penelitian.

Yogya-karta: Fakultas Psikologi UGM.

Schoyen, J. (2004). The Impact Of Social Skills Training On The Friendships Of Children With Special Needs: A Model To Better Inclusion. Thesis. Trinity western university

Gambar

Tabel 2 Skor dan Kategorisasi Citra Diri
Tabel  3 Skor dan Kategorisasi Citra Diri
Tabel 5 Hasil Analisis  Kelompok Kontrol
Tabel 6 Hasil Analisis  Kelompok Eksperimen - Kontrol
+2

Referensi

Dokumen terkait

Peringatan maulid Nabi memiliki dampak positif dalam pembentukan karakter umat Islam. Pada acara itu kita bisa mendengar berbagai macam ceramah yang menjelaskan tentang sosok

Namun sebaliknya, sungguh Allah dengan nyata telah mengancam manusia yang dengan sengaja meruntuhkan harmonisme kehidupan ini dengan merusak persatuan yang

Untuk membuat maupun menulis file excel sebenarnya tidak terlalu sulit, karena sudah cukup banyak tersedia library atau class yang dibuat khusus untuk menangani

Kemudian karena kedua lembaga berdiri dibawah naungan pondok pesantren, maka proses pembelajaran antara di sekolah/madrasah dan di pondok harus berjalan

(2006) menyatakan bahwa pengaruh menguntungkan dari probiotik, prebiotik, dan sinbiotik pada inangnya diduga terjadi sebagai akibat dari kolonisasi sejumlah bakteri menguntungkan

Oleh itu, unsur-unsur kepimpinan instruksional dalam peningkatan pengajaran dan pembelajaran yang berkesan dalam kalangan pensyarah di KKTM seperti merangka matlamat

H0 : Tidak terdapat perbedaan aktivitas antibakteri (diameter zona hambat) antara ekstrak isolat bakteri endofit dari tanaman Lelak ( Uvaria rufa Blume) pada masing-masing

Dari output diatas dapat diketahui nilai t hitung = 13,098 dengan nilai signifikansi 0,000 &lt; 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti Terdapat pengaruh positif