PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Naskah Publikasi
Disusun Oleh: Jarot Subakti T 100 090 117
PROGRAM PROFESI PSIKOLOGI
PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Naskah Publikasi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi
Di Bidang Psikologi Klinis
Diajukan Oleh : Oleh : Jarot Subakti T 100 090 117
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
ABSTRAKSI
PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN CITRA DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap citra diri ABK. Hipotesis yang diajukan Ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan. Subjek penelitian. Subjek penelitian adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) SMK BOPKRI 2 Yogya karta sebanyak 20 siswa, yaitu 10 subjek dalam kelompok eksperimen, dan 10 subjek dalam kelompok kontrol. Metode pengumpulan data menggunakan skala citra diri, wawancara dan observasi. Intervensi yang digunakan yaitu pelatihan keterampilan sosial. Metode analisis data menggunakan mann whitney
u test. Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah
pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan. Secara deskripsi pada kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada 4 subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%) memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi.
PENGANTAR
Setiap manusia tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Hal ini juga dialami
oleh para siswa inklusi yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari
kesulitan-kesulitan. Kondisi kelainan baik secara fisik maupun psiks yang dialaminya semenjak
lahir ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari mereka, serta sangat berpengaruh
terhadap penyesuaian dengan lingkungan dan kepribadiannya. Seseorang yang
memiliki kelainan baik fisik atau mental, seperti cacat anggota tubuh atau rusaknya
salah satu indera merupakan kekurangan yang terlihat oleh orang lain. Seseorang
dengan sendirinya amat merasakan kekurangan yang ada pada dirinya jika
dibandingkan dengan orang lain. Fenomena mengenai perlakuan masyarakat yang
terkadang hanya memandang sebelah mata pada akan berkebutuhan khusus
menyebabkan para ABK tersebut membentuk citra diri yang negatif sehingga
menarik diri, merasa rendah diri, depresi dan perasaan-perasan negatif lainnya
Individu yang tidak bisa bereaksi secara positif, timbullah rasa rendah diri (minder)
yang akan berkembang menjadi rasa tidak percaya diri dan dapat membentuk citra
diri yang negatif.
Centi (1993) mengemukakan citra diri adalah gambaran pada dirinya sendiri
akan mempengaruhi proses berpikir, perasaan, keinginan maupun tingkah laku. Citra
diri merupakan inti kepribadian seseorang dari pengalaman individu dalam
berhubungan atau berinteraksi dengan individu lain. Dari interaksi, individu
memperoleh tanggapan yang akan dijadikan cermin bagi individu tersebut untuk
menilai dan memandang dirinya. Beberapa penelitian memaparkan citra diri dapat
ditingkatkan melalui suatu metode pelatihan Menurut Noe. (2003) seseorang lebih
kesempatan untuk melatih keterampilan. Salah satu bentuk pelatihan yang
diharapkan dapat meningkatkan citra diri adalah menggunakan pelatihan
keterampilan sosial. Ulasan ini didukung oleh beberapa hasil penelitian, antara lain
Ramdhani (1995) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pelatihan keterampilan
sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosial. Sementara hasil penelitian
Anggraeni dkk. (2008) menyatakan pelatihan keterampilan sosial meningkatkan
kemampuan bersosialisasi, memecahkan masalah yang timbul antara anak satu
dengan teman sekelasnya sehingga anak dapat berhubungan dengan baik satu dengan
yang lainnya.
Menurut Petersen (2004) manfaat pelatihan keterampilan sosial antara lain
meningkatkan kemampuan bersosialisasi, memecahkan masalah yang timbul antara
anak dengan teman sekelasnya, meningkatkan kepercayaan diri. Apabila anak mampu
berpikir bagaimana menghadapi masalah serta bagaimana harus berperilaku sesuai
dengan norma dan perannya, maka dapat dikatakan ia dapat menyesuaikan diri
dengan orang lain dan lingkungannya. Dengan demikian ia akan dapat diterima di
lingkungan sosialnya.
Kelly (2003) mengatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat diberikan
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan secara individual dan kelompok.
Pendekatan kelompok dapat diberikan dalam format pendek (workshop format) dan
dalam format panjang. Format pendek ditujukan bagi klien dengan fungsi sosial yang
tergolong tinggi. Sedangkan format panjang efektif bagi klien dengan sifat pemalu
yang sangat ekstrim atau klien dengan permasalahan gangguan kecemasan sosial;
format pendek, karena kondisi psikologis subjek belum pada tahap yang ekstrim,
misalnya mengalami ketakutan sosial (phobia sosia).
Penelitian Augustine (2011) menyatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial
efektif untuk meningkatkan citra diri. Clay dkk (2004) pada penelitian yang telah
dilakukan menyatakan bahwa faktor-faktor sosialkultural berpengaruh terhadap
penampilan dan citra diri remaja. Schoyen (2004) pada penelitian mengenai
keterampilan sosial pada anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi
menyatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan kualitas
persahabatan. Adapun Kaligis dkk (2009) dalam penelitian yang telah dilakukan
menyatakan bahwa citra diri dapat ditingkatkan melalui pelatihan kecakapan hidup.
Atas dasar ulasan tersebut maka diharapkan keterampilan sosial berperan untuk
meningkatkan citra diri individu.
Penelitian Puurula dkk. (2001) memaparkan bahwa Intervensi Peningkatan
keterampilan sosial sering memusatkan pada aspek praktek pembelajaran
keterampilan baru untuk meningkatkan perilaku siswa dalam merespon. Berkaitan
dengan hal ini Gresham dan Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) mengidentifikasi
keterampilan sosial dengan beberapa aspek , yaitu :
a. Aspek intrapersonal. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri.
Merupaka n keterampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya
keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan
dan sejenisnya. Dengan kemampuan ini, individu dapat memperkirakan
kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi dan dampak perilakunya pada situasi sosial tertentu.
b. Aspek Perilaku interpersonal. Merupakan perilaku yang menyangkut
juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan
bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. Keterampilan ini kemungkinan
berhubungan dengan usia dan jenis kelamin. Perilaku interpersonal sosial memiliki
beberapa fungsi di antaranya sebagai alat ekspresi dan katarsis bagi individu,
memberi klasifikasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan diri,
pandangan-pandangan, sikap opini maupun perasaan, memberi kemungkinan bagi individu untuk
mendapatkan dukungan atau persetujuan dari orang lain, memungkinkan individu
memiliki kontrol sosial terhadap orang lain dan situasi yang dihadapinya.
c. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis. Merupakan
perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah,
misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran,
mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru,
dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Selain siswa diharapkan mampu
membuat manajemen waktu dalam belajar, mengumpulkan tugas tepat waktu, dan
dapat membuat skala prioritas kegiatan.
Mewujudkan citra diri yang positif dapat dilakukan melalui pelatihan.
Pelatihan keterampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang
mulai banyak digunakan. Penelitian Ramdhani (1995) menyimpulkan bahwa
pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosia l.
Pelatihan keterampilan sosial juga sudah digunakan sebagai pelengkap dari pelatihan
asertif untuk menurunkan tingkat kecemasan interpersonal. Sementara menurut
penelitian Anggraeni dkk. (2008) manfaat pelatihan keterampilan sosial antara lain
anak satu dengan teman sekelasnya sehingga anak dapat berhubungan dengan baik
satu dengan yang lainnya.
METODE
1. Variabel terikat (dependen) : Citra Diri
2. Variabel bebas (independen) : Pelatihan keterampilan sosial
Subjek penelitian ini adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) SMK BOPKRI
2 Yogyakarta. 10 subjek kelompok eksperimen dan 10 subjek kelompok kontrol.
Metode pengumpulan data menggunakan skala citra diri, observasi dan
wawancara. Skala citra diri disusun berdasarkan aspek-aspek citra diri yang
dikemukakan oleh Calhoun dan Accocela (1996) meliputi aspek: a) pengetahuan
tentang diri, b) pengharapan mengenai diri, c) penilaian tentang diri sendiri.
Modul keterampilan sosial disusun mengacu pada pendapat Gresham dan
Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) melalui aspek keterampilan berhubungan
dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal); keterampilan berhubungan dengan orang lain
(bersifat interpersonal); keterampilan berhubungan dengan akademis. Teknik analisis
yang digunakan adalah mann whitney u test.
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi data diperoleh dari hasil nilai atau skor perhitungan skala citra diri
yang meliputi beberapa skor, maksimum, minimum mean, SD dan selisih mean
antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Lebih jelasnya dapat dilihat
Tabel I
Deskripsi Data Empirik dan Hipotetik
Skor Data Empirik
Data Hipotetik Kel. Eksperimen Kel. Kontrol
Pre
Berikut ini skor dan perhitungan tingkat kategorisasi dari masing-masing
kelompok.
Tabel 2
Skor dan Kategorisasi Citra Diri Kelompok Eksperimen
No.
Subjek Pretest Posttest Follow up
Tabel 3
Skor dan Kategorisasi Citra Diri Kelompok Kontrol
Perhitungan analisis data menggunakan teknik analisis mann whitney u test.
Hasil dari analisis data pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Hasil Analisis Kelompok eksperimen
Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan
Pretest-Posttest -3.031 0.002 (p<0,05) Signifikan
Pretest-Follow up -2.763 0.006 (p<0,05) Signifikan
Posttest Follow up -0.568 0.570 (p>0,05) Tidak signifikan
Tabel di atas dapat diinterpretasi sebagai berikut:
1. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan posttest diperoleh
nilai Z -3.031; signifikansi (p) =0,002 (p<0,01). Artinya ada perbedaan yang sangat
signifikan citra diri sebelum pelatihan dan setelah pelatihan.
2. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan follow up diperoleh
nilai Z -2.763; signifikansi (p) =0,006 (p<0,01). Artinya ada perbedaan yang sangat
3. Hasil analisis mann whitney u test antara posttest dengan follow up
diperoleh nilai Z -0.568; signifikansi (p) =0,570 (p>0,05). Artinya tidak ada
perbedaan antara posttest dengan follow up ).
Berdasarkan dari hasil analisis mann whitney u test diketahui adanya
perbedaan citra diri yang sangat signifikan pada kelompok eksperimen pada saat
pretest dan postest, sehingga dapat disimpulkan pelatihan keterampilan sosial efektif
meningkatkan citra diri, adapun pada saat amatan ulang (follow up) kondisi kategori
citra dirinya masih tetap konsisten, atau tidak mengalami penurunan.
Perhitungan analisis data menggunakan teknik analisis mann whitney u test
pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5
Hasil Analisis Kelompok Kontrol
Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan
Pretest-Posttest -0,076 0,939 (p>0,05) Tidak signifikan
Pretest-Followup -0,379 0,705 (p>0,05 Tidak signifikan
Posttest Followup -0,530 0,596 (p>0,05 Tidak signifikan
Tabel 5 dapat diinterpretasi sebagai berikut:
1. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan posttest diperoleh
nilai Z -0,076; signifikansi (p) =0,939 (p>0,05). Artinya tidak ada perbedaan citra diri
sebelum pelatihan (pretest) dan setelah pelatihan (posttest).
2. Hasil analisis mann whitney u test antara pretest dengan amatan ulang
(followup) diperoleh nilai Z -0,379; signifikansi (p) =0,596 (p>0,0>). Artinya tidak
ada perbedaan citra diri sebelum pelatihan (pretest) dan setelah follow up.
3. Hasil analisis mann whitney u test antara posttest dengan follow up
perbedaan antara posttest dengan follow up.
Berdasarkan hasil analisis disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan
citra diri sebelum pelatihan (pretest), postest maupun saat amatan ulang (follow up)
pada kelompok kontrol; hal karena subjek pada kelompok kontrol tidak mendapatkan
pelatihan keterampilan sosial, sehingga tidak ada peningkatan citra diri. Perhitungan
analisis data antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 6
Hasil Analisis Kelompok Eksperimen - Kontrol
Perlakuan Nilai Z Signifikansi Kesimpulan
Pretest -0,530 0,596 (p>0,05) Tidak signifikan
Posttest -2,237 0,025 (p<0,05 Signifikan
Followup -2,916 0,004 (p<0,05 Signifikan
Tabel 6 dapat diinterpretasi sebagai berikut:
1. Hasil analisis mann whitney u test antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol pada saat pretest diperoleh nilai Z -0,530; signifikansi (p) =0,596
(p>0,05). Artinya tidak ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol pada saat pretest.
2. Hasil analisis pada saat posttest diperoleh nilai Z -2,237; signifikansi (p)
=0,025 (p<0,05). Artinya ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol pada saat posttest.
3. Hasil analisis saat follow up diperoleh nilai Z -2,916; signifikansi (p)
=0,004 (p<0,05). Artinya ada perbedaan citra diri antara kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol pada saat amatan ulang (follow up).
Berdasarkan ha sil analisis data antara kelompok kontrol dengan kelompok
kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen relatif sama, setelah kelompok
eksperimen diberi pelatihan keterampilan sosial kondisi citra diri lebih tinggi (baik )
dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberi pelatihan. Hasil ini menunjukkan
pelatihan keterampilan sosial efektif untuk meningkatkan citra diri.
Tingkat keberhasilan pelatihan dapat diketahui dari perhitungan gain score,
yaitu selisih skor citra diri sebelum dan sesudah pelatihan yang diperoleh
masing-masing subjek. Gain score menunjukkan tingkat perubahan skor, semakin meningkat
gain score maka semakin tinggi peningkatan citra diri subjek pelatihan. Ada pun
gained score dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7 Hasil Gain score
No. Subjek Kelompok eksperimen Kelompok kontrol Skor Kategori Skor Kategori
Nilai positif menunjukkan adanya peningkatan skor citra diri dari pretest ke
posttest ataupun dari postest ke follow up, sedangkan nilai negatif mengartikan
peningkatan skor tidak serta merta merubah tingkat kategori, kecuali kalau penurunan
atau peningkatan skor tersebut cukup besar.
Data tabel di atas menunjukkan gain score pada kelompok eksperimen adalah
subjek AY dengan peningkatan skor sebesar 26, sedangkan gain score terendah yaitu
subjek AG dengan nilai 3. Hasil ini menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi
mencapai 26%, sedangkan tingka t keberhasilan terkecil 3%, Sementara pada
kelompok kontrol peningkatan skor tertinggi 14 point dan terendah menurun
sebanyak 1 point. Ini menunjukkan pada kelompok kontrol tidak ada perubahan skor
yang signifikan.
Pembahasan
Hasil analisis menyatakan ada perbedaan citra diri sebelum dan sesudah
pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan
keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan.Dengan demikian
aspek-aspek pelatihan yang digunakan sebagai dasar atau acuan dalam penyusunan
modul yaitu keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal)
aspek keterampilan yang berhubungan dengan orang lain (bersifat interpersonal); serta
aspek keterampilan yang berhubungan dengan akademis mampu membawa perubahan
yang cukup signifikan pada kondisi citra diri subjek pelatihan. Secara deskripsi pada
kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada 4
subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang
memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%)
memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun
ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri
dari kelompok eksperimen tersebut terlihat ada peningkatan citra diri sebelum dan
sesudah pelatihan, kondisi ini menunjukkan pelatihan keterampilan sosial yang
diikuti mampu meningkatkan citra diri para peserta pelatihan.
Hasil penelitian ini mendukung beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, antara lain Ramdhani (1995) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa
pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan citra diri dan perilaku sosia l.
Adanya peningkatkan citra diri merupakan salah satu hasil atau feedback dari
perubahan perilaku positif. Salah satu sum ber perubahan positif tersebut yaitu
keberhasilan subjek mengikuti pelatihan dan mengimplementasikan materi-materi
yang diperoleh selama pelatihan. Berkaitan dengan hal tersebut Secara lebih spesifik,
Gresham dan Elliot (dalam Cartledge & Milburn, 1995) memberi penjelasan sebagai
berikut:
a. Aspek intrapersonal. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri.
Merupakan keterampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya
keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan
dan sejenisnya. Dengan kemampuan ini, individu dapat memperkirakan
kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi dan dampak perilakunya pada situasi sosial tertentu.
Aspek ini diaplikasikan dalam beberapa materi, diantaranya penjelasan mengenai
regulasi drii dan coping stress, serta role play “ mendengarkan teman” Aspek in
imenekankan adanya interaksi dari pengetahuan dan pengharapan bagi diri sendiri
yang kemudian disatukan pada cira diri. Individu memiliki kemampuan untuk
mengamati, menyadari dan menilai penampilan perilakunya. Sesuai dengan pendapat
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar sosial learning menyatakan sebagian besar dari yang dipelajari
manusia terjadi melalui peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modelling).
Seseorang belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/
sekelompok orang mereaksi /merespon sebuah stimulus tertentu.
b. Aspek Perilaku interpersonal. Merupakan perilaku yang menyangkut
keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Perilaku ini disebut
juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan
bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. Keterampilan ini kemungkinan
berhubungan dengan usia dan jenis kelamin. Perilaku interpersonal sosial memiliki
beberapa fungsi di antaranya sebagai alat ekspresi dan katarsis bagi individu,
memberi klasifikasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan diri,
pandangan-pandangan, sikap opini maupun perasaan, memberi kemungkinan bagi individu untuk
mendapatkan dukungan atau persetujuan dari orang lain, memungkinkan individu
memiliki kontrol sosial terhadap orang lain dan situasi yang dihadapinya. Aspek ini
diterapkan pada beberapa materi, selain role play “memberi pujian” juga melalui
Video inspiratif“jangan pernah takut menjadi diri sendiri”. Video inspiratif ini
merupakan salah satu materi yang diberikan dalam pelatihan, berkisah tentang
seorang gadis tuli yang dengan segala keterbatasannya mampu memiliki keyakinan
dan kepercayaan diri yang tinggi sehingga mampu memiliki keterampilan atau
kemampuan memainkan biola dengan sangat baik sekali. Video ini relevan untuk
ditampilkan dalam sesi pelatihan karena adegan-adegan dalam video tersebut dapat
bagaimana seseorang dengan keterbatasan fisik dapat memiliki kepercayaan diri yang
tinggi terhadap diri sendiri.
Pada aspek ini tema role play atau bermain peran ini yaitu “ berani danx
bertanggung jawab”. Manfaat dalam role play yaitu melatih peserta untuk berani dan
bertanggung jawab terhadap perbuatan pada orang lain, peserta dilatih bersikap
asertif, terbuka, percaya diri dan dapat mengakui kesalahan yang telah dilakukan pada
orang lain juga berperan positif terhadap perubahan perilaku subjek terutama pada
aspek bertanggung jawab, yaitu kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu
yang telah menjadi konsekuensinya. Serta aspek Rasional dan realistis, yaitu
kemampuan menganalisa suatu masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan
menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.
Sesuai dengan pendapat Bandura (1996) memperhatikan model dan mempertahankan
apa yang telah diobservasi, kemudian individu (peserta pelatihan) memproduksi
perilaku tersebut melalui contoh perilaku nyata. Proses mengubah representasi
kognitif ke dalam tindakan yang tepat, harus bertanya pada diri sendiri beberapa
pertanyaan mengenai perilaku yang akan ditiru, sehingga muncul pertanyaan,
“Bagaimana saya dapat melakukan hal ini?” Setelah secara simbolis mengulang
respons-respons yang relevan, individu mencoba perilaku baru tersebut. Selama
melakukannya, individu biasanya mengevaluasi diri dengan pertanyaan, “Apa yang
sedang saya lakukan?” Terakhir, mengevaluasi performa dengan bertanya, “Apakah
saya melakukannya dengan benar?” Pertanyaan terakhir ini tidak selalu mudah untuk
dijawab, karena ada subjektifitas penilaian yang berbeda-beda dari masing-masing
c. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis. Merupakan
perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah,
misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran,
mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru,
dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Selain siswa diharapkan mampu
membuat manajemen waktu dalam belajar, mengumpulkan tugas tepat waktu, dan
dapat membuat skala prioritas kegiatan.
Smith (2006) mengemukakan pendidikan inklusi ialah program pendidikan
yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan
inkluasi tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua
siswa yang masing-masing mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif
sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi
kominitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya
dalam sumber belajar dan mendapat penanganan dari semua pihak, yaitu para siswa,
guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Hasil analisis data menunjukkan perbedaan citra diri sebelum dan sesudah
pelatihan keterampilan sosial. Citra diri subjek setelah mengikuti pelatihan
pada kelompok eksperimen sebelum pelatihan (pretest), dari 10 subjek diketahui ada
4 subjek (40%) yang memiliki citra diri rendah, dan terdapat 6 subjek (60%) yang
memiliki citra diri sedang. Setelah pelatihan (posttest) diketahui 5 subjek (50%)
memiliki citra diri sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi, adapun
ketika dilakukan amatan ulang (follow up) ada 5 subjek (50%) memiliki citra diri
sedang dan 5 subjek (50%) memiliki citra diri tinggi. Berdasarkan data deskripsi
dari kelompok eksperimen tersebut terlihat ada peningkatan citra diri sebelum dan
sesudah pelatihan, kondisi ini menunjukkan pelatihan keterampilan sosial yang
diikuti mampu meningkatkan citra diri para peserta pelatihan.
Saran
Disarankan mencoba menerapkan pelatihan keterampilan sosial dengan
karakteristik subjek yang berbeda, karena hasil penelitian ini masih terbatas pada
populasi tempat penelitian dilkakukan yaitu siswa-siswi ABK SMK Bopkri
Yogyakarta., serta mengontrol variabel luar yang dimungkinkan berpengaruh
terhadap citra diri, misalnya status sosial ekonomi keluarga dan model pengajaran di
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, S. Christanti, D., dan Susilo D.J. (2008). Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial Menggunakan Metode StopThink Do terhadap Penyesuaian Sosial Anak Sekolah Dasar. Manasa. Juni. Volume 2 Nomor 1.
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.
Augustine, V., Miriam Longmore Mannam Ebenezer & Richard. (2011). Effectiveness of Social Skills Training for reduction of self-perceived Stigma in Leprosy Patients in rural India. Lepr Rev (2012) 83, 80 – 92. Oxford University, Oxford, England, UK.
Cartledge, G.& Milburn, J. F., (1995). Teaching Social Skill to Children and Youth , Boston : Allyn and Bacon.
Centi, P.J. (1993). Mengapa Rendah Diri. Yogyakarta : Kanisius.
Clay, D. Vivian L. Vignoles, and Helga Dittmar. 2004. Body Image and Self -Esteem Among Adolescent Girls: Testing the Influence of Sociocultural Factors. Journal Of Research On Adolescence, 15(4), 451–477
Kaligis F. Wiguna, Widyawati I. (2009). Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup terhadap Citra Diri Remaja. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 3, Maret 2009
Kelly, A. 2003. Social Skills Training, A. Practical Guide for Interventions. Springer Publishing Co., New York.
Noe, R.A., Hollenbeck,.M. (2003). Human Resource Management Gaining A
Competitive Advantage. 4 th ed. New York: McGraw-Hill Higher Educatuion
Oniel, P.G. (1995). Implicit Prejudice and Stereotyping: How Automatic Are They Introduction to The Special Section. Journal of Personality and Social Psychology. 81 (5). 757-759.
Palupi, F.E dan Nashori, D. (2009). Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial Terhadap Tingkat Kepercayaan Diri Remaja Panti Asuhan. Naskah Publikasi.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Petersen, L. (2004). Bagaimana memotivasi anak belajar stop and think Learning. Alih bahasa: Ismail Isdito. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Puurula, A., Neill, S., Vasileiou, L., Husbands, c., Lang, P., Katz, YJ., Romi, S., Menezes, 1., & Vriens, L. (2001). Teacher and student attitudes to affective education: a European collaborative research project. Compare, 31(2), 165-187.
Ramdhani, N. (1995) Perubahan Perilaku dan Konsep Diri pada Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial, Laporan Penelitian.
Yogya-karta: Fakultas Psikologi UGM.
Schoyen, J. (2004). The Impact Of Social Skills Training On The Friendships Of Children With Special Needs: A Model To Better Inclusion. Thesis. Trinity western university