• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Five Factor of Personality Terhadap Psychological Well-Being pada Anggota Komunitas Lansia Gereja Katolik di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontribusi Five Factor of Personality Terhadap Psychological Well-Being pada Anggota Komunitas Lansia Gereja Katolik di Kota Bandung."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

vii

Universitas Kristen Maranatha The purpose of this research is to obtain an overview about the contribution of the five factor of personality/trait (extraversion, neuroticism, agreeableness, openness to experience, and conscientiousness) toward Psychological Well-Being (PWB) in the elderly community members of the Catholic Church at Bandung. Type of this research is an explanatory using contributions study. Subjects are 202 people obtained through cluster random sampling technique.

Trait measuring instrument is modified from BFI-44 (Costa and McCrae), while PWB measuring instrument is modified from SPWB (Ryff). Validity test results are 0,330–0,836 (trait) and 0,334–0,826 (PWB) while reliability test result are 0,747–0,858 (trait) and 0,774–0,855 (PWB). The data obtained were analyzed using simple linear regression.

Based on statistical data processing, contributions of trait towards PWB in sequence from the highest are trait extraversion 36,3%, opennes 36,2%, neuroticism 31%, agreeableness 14,6%, and conscientiousness 11,3%.

In conclusion are if the elderly have a high degree of neuroticism trait, it will make the degree of PWB low. If the elderly has a high degree on the trait of extraversion, openness to experience, agreeableness, and conscientiousness it will make its degree of PWB high. Three traits that contribute most to the PWB are traits of extraversion, openness, and neuroticism. Based on the factor of religiosity, there is less association with PWB.

(2)

viii

Universitas Kristen Maranatha Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran mengenai kontribusi five factor of personality/trait (extraversion, neuroticism, agreeableness, openness to experience, dan conscientiousness) terhadap psychological well-being (PWB) pada anggota komunitas lansia Gereja Katolik di Kota Bandung. Tipe penelitiannya adalah eksplanatif dengan menggunakan studi kontribusi. Subjek penelitian berjumlah 202 orang yang diperoleh lewat teknik cluster random sampling.

Alat ukur trait merupakan modifikasi dari BFI-44 (Costa dan McCrae) yang terdiri dari 44 item, sedangkan alat ukur PWB merupakan modifikasi dari SPWB (Ryff) yang terdiri dari 76 item. Berdasarkan hasil pengujian validitas diperoleh 0,330–0,836 (trait) dan 0,334–0,826 (PWB) sedangkan hasil pengujian reliabilitas diperoleh 0,747–0,858 (trait) dan 0,774–0,855 (PWB). Data yang diperoleh diolah menggunakan uji regresi linier sederhana.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, kontribusi trait terhadap PWB secara berurutan dari yang terbesar adalah trait extraversion 36,3%, opennes 36,2%, neuroticism 31%, agreeableness 14,6%, dan conscientiousness 11,3%.

Kesimpulan yang diperoleh adalah jika lansia memiliki derajat trait neuroticism yang tinggi, maka akan membuat PWB-nya rendah. Jika lansia memiliki derajat yang tinggi pada trait extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness maka akan membuat PWB-nya tinggi. Ketiga trait yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PWB adalah trait extraversion, openness, dan neuroticism. Berdasarkan faktor religiusitas, kurang terdapat keterkaitannya dengan PWB.

(3)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR DIAGRAM ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 12

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12

1.3.1. Maksud Penelitian ... 12

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Kegunaan Penelitian... 13

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 13

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 13

1.5. Kerangka Pikir ... 14

(4)

x

Universitas Kristen Maranatha

1.7. Hipotesis.... ... 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 27

2.1 Psychological Well-Being ... 27

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 27

2.1.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 28

2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being ... 31

2.2 Big Five Personality ... 35

2.2.1 Definisi kepribadian ... 35

2.2.2Pendekatan Trait Terhadap Kepribadian ... 36

2.2.3 Postulat dari Big Five Personality ... 37

2.2.4 Penggolongan Trait dalam Big Five Personality ... 39

2.3 Lansia….….. ... 44

2.3.1 Pengertian Lansia ... 44

2.3.2 Perkembangan Fisik ... 44

2.3.3 Perkembangan Kognitif ... 47

2.3.4 Teori Perkembangan Sosioemosional : Activity Theory ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 49

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 49

3.3 Variabel Penelitian ... 50

3.3.1 Variabel Penelitian ... 50

3.3.2. Definisi Konseptual ... 50

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

3.4.1 Alat Ukur Variabel Big Five Personality Factor ... 53

3.4.2 Alat Ukur Variabel Psychological Well-being ... 53

3.4.3 Sistem Penilaian ... 55

3.4.4 Data Penunjang ... 56

3.4.5 Validitas & Reliabilitas alat ukur ... 56

3.5 Populasi dan Teknik penarikan sampel ... 59

3.5.1 Populasi Sasaran ... 59

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 59

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 59

3.6 Tekhnik Analisis Data ... 60

3.7 Hipotesis Statistik ... 61

3.7.1 Hipotesis Statistik I ... 61

3.7.2 Hipotesis Statistik II ... 62

3.7.3 Hipotesis Statistik III ... 62

3.7.4 Hipotesis Statistik IV ... 62

3.7.5 Hipotesis Statistik V ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1 Gambaran Hasil Penelitian ... 63

4.1.1 Kontribusi Extraversion (X1), Agreeableness (X2), Conscientiousness (X3), Neuroticism (X4), dan Openness to experience (X5) terhadap Psychological Well-Being (PWB) ... 63

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

4.2 Pembahasan ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

5.1 Kesimpulan ... 74

5.2 Saran ... 75

5.2.1 Saran Teoretis ... 75

5.2.2 Saran Praktis ... 76

DAFTAR PUSTAKA...66

DAFTAR RUJUKAN...67

(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi Item Alat Ukur Trait... 53

Tabel 3.2 Distribusi Item Alat Ukur PWB... 54

Tabel 3.3 Skor Pilihan Jawaban... 55

Tabel 3.4 Kriteria Lisa Friendenberg... 57

Tabel 3.5 Kriteria Guildford... 58

Tabel 3.6 Reliabilitas Alat Ukur Trait... 58

Tabel 3.7 Reliabilitas Alat Ukur PWB... 58

Tabel 3.8 Pembagian Wilayah Gereja... 58

Tabel 4.1 Tabel Kontribusi Trait terhadap PWB... 63

Tabel 4.2 Signifikasi Trait Extraversion terhadap PWB... 64

Tabel 4.3 Signifikasi Trait Agreeableness terhadap PWB... 64

Tabel 4.4 Signifikasi Trait Conscientiousness terhadap PWB... 65

Tabel 4.5 Signifikasi Trait Neuroticism terhadap PWB... 65

Tabel 4.6 Signifikasi Trait Openness to experience terhadap PWB... 66

Tabel L.2.1 Blueprint alat ukur Trait... 93

Tabel L.3.1 Blueprint alat ukur Psychological Well-being... 97

Tabel L.4.1 Rekapitulasi Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 104

Tabel L.6.1 Tabulasi Silang Extraversion – PWB... 113

Tabel L.6.2 Tabulasi Silang Openness to Experience – PWB... 113

Tabel L.6.3 Tabulasi Silang Neuroticism – PWB... 113

(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

Tabel L.6.5 Tabulasi Silang Conscientiousness – PWB... 113

Tabel L.7.1 Tabulasi Silang Usia – PWB...114

Tabel L.7.2 Tabulasi Silang Jenis Kelamin – PWB... 114

Tabel L.7.3 Tabulasi Silang Status Marital – PWB... 114

Tabel L.7.4 Tabulasi Silang Pendidikan Terakhir – PWB... 114

Tabel L.7.5 Tabulasi Silang Penghayatan Pekerjaan – PWB... 115

Tabel L.7.6 Tabulasi Silang Penghayatan SSE – PWB...115

Tabel L.7.7 Tabulasi Silang Penyakit – PWB... 115

Tabel L.7.8 Tabulasi Silang Partisipasi dalam Kegiatan Gereja – PWB... 115

Tabel L.7.9 Tabulasi Silang Penghayatan Partisipasi – PWB... 115

Tabel L.7.10 Tabulasi Silang Penghayatan Hubungan dengan Tuhan – PWB.... 116

Tabel L.7.11 Tabulasi Silang Support – PWB... 116

Tabel L.8.1 Uji Normalitas Regresi Extraversion - PWB... 117

Tabel L.8.2 Uji Normalitas Regresi Openness to Experience - PWB... 117

Tabel L.8.3 Uji Normalitas Regresi Neuroticism - PWB... 118

Tabel L.8.4 Uji Normalitas Regresi Agreeableness - PWB... 118

(9)

xv

(10)

xvi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner…………...………..……….. 80

Lampiran 2 : Blueprint Alat Ukur Trait………...……..…….….. 93

Lampiran 3 : Blueprint alat ukur Psychological Well-being………..…..……... 97

Lampiran 4 : Rekapitulasi Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...…...……… 104

Lampiran 5 : Output Regresi Sederhana Trait (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness to Experience) – PWB ………...……… 108

Lampiran 6 : Crosstab Trait – PWB………..………. 113

Lampiran 7 : Crosstab Data Penunjang – PWB…..…………..………. 114

(11)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia senantiasa berkembang sepanjang masa hidupnya, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, sampai dewasa. Tahap terakhir dalam perkembangan manusia adalah masa dewasa akhir atau masa lansia. Tahap tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap manusia apabila mereka berumur panjang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, mereka yang disebut lansia adalah orang-orang yang berusia 60 tahun ke atas1.

Maria Meiwati Widagdo, salah satu pembicara dalam seminar ‘Peran Lembaga Pendidikan Tinggi dalam Mempromosikan Kesejahteraan untuk Warga Lanjut Usia’ di Auditorium UKDW pada Rabu 17 Oktober 2012 menjelaskan bahwa kemajuan teknologi di bidang kesehatan telah meningkatkan angka harapan hidup orang di seluruh dunia sehingga persentase jumlah penduduk berusia lanjutpun meningkat tajam. Sebagai contoh di tahun 2010 ada 6,9 miliar orang di dunia, dan 11% diantaranya berusia di atas 60 tahun atau berjumlah sebanyak 759 juta orang, serta 105 juta orang lainnya berusia di atas 80 tahun atau lebih. Pada tahun 2050 diperkirakan akan ada 9,1 miliar penduduk di dunia

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha dengan 22% diantaranya berusia 60 tahun atau berjumlah sekitar 2 miliar orang, serta 400 juta orang lainnya berusia di atas 80 tahun.2

Menurut data BPS, pada tahun 1971 penduduk lansia berjumlah 5,3 juta jiwa atau 4,48% dari jumlah total penduduk Indonesia. Pada tahun 1990 telah meningkat menjadi 12,7 juta jiwa (6,56%). Pada tahun 2000 menjadi 14,4 juta jiwa (7,18%) dan tahun 2010 jumlah lansia di Indonesia menjadi 24 juta jiwa atau 9,77% dari total jumlah penduduk. Hasil prediksi menunjukkan bahwa persentase penduduk lansia akan mencapai 11,34% pada tahun 2020. Banyaknya jumlah warga lansia membuat Indonesia menempati posisi keempat di Asia setelah China, India, dan Jepang, bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terdapat seorang lansia diantara delapan orang penduduk Indonesia.3

Peningkatan kuantitas lanjut usia belum tentu diikuti dengan meningkatnya kualitas hidupnya. Di Indonesia, kualitas hidup lansia masih tergolong rendah yang dapat dilihat dari beberapa indikator seperti banyaknya lansia yang tidak produktif dan ketergantungan yang kuat pada anak atau keluarga lain. Ditinjau dari segi pendidikan, secara umum lansia yang berpendidikan rendah berkorelasi positif dan signifikan dengan buruknya kondisi sosial ekonomi, derajat kesehatan, dan kemandirian.4 Kehidupan lansia yang tidak berkualitas

2 Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “Tahun 2050 Akan Ada 2 Miliar

Penduduk Lanjut Usia”, diakses dari http://www.menkokesra.go.id/content/tahun-2050-akan-ada-2-miliar-penduduk-lanjut-usia, pada tanggal 10 Maret 2013.

3 Komisi Nasional Lanjut Usia, “Lampu Kuning Ledakan Kaum Renta”, diakses dari http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=26 pada tanggal 1 April 2013.

4 Bonar Hutapea, “Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut

(13)

Universitas Kristen Maranatha dapat menghambat perkembangan negara lewat bebannya pada generasi muda. Berdasarkan pemaparan tersebut, pembahasan mengenai lansia menjadi penting mengingat adanya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas penduduk lansia, khususnya di Indonesia.

Setiap tahap perkembangan diikuti dengan berbagai tuntutan dan masalah, begitu pula dalam masa dewasa akhir yang mengalami perubahan mendasar dalam kehidupannya. Pada profesi tertentu, mereka yang berusia di atas 60 tahun umumnya sudah menjalani masa pensiun sehingga mengakibatkan perubahan pada status sosial, lingkup pergaulan, dan jenis aktivitas yang mereka lakukan. Demikian pula terjadinya penuaan pada sejumlah organ tubuh akibat kemunduran sel-sel tubuh yang terus berproses dan menurunkan fungsi tertentu pada diri lansia. Hal tersebut menyebabkan pada fase usia lanjut, manusia amat rentan dengan berbagai penyakit dan gangguan fungsi organ tubuhnya. Sumber Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa lansia mudah terserang penyakit degeneratif seperti kanker, jantung reumatik, osteoporosis, katarak dan sebagainya5.

Pada saat bersamaan, lansia juga harus menghadapi perubahan suasana di dalam rumah tangga yang semakin sepi, karena anak-anak yang sudah dewasa satu-per satu mulai meninggalkan rumah untuk berumah tangga, adanya pasangan yang meninggal, maupun karena pekerjaan. Perasaan kesepian yang dirasakan individu bukan sekedar sepi dalam pengertian fisik, tetapi perasaan tersebut dapat muncul pada diri seseorang sekalipun berada di tengah keramaian. Kesepian

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha merupakan hal yang bersifat pribadi dan akan ditanggapi berbeda oleh setiap orang, bagi sebagian orang kesepian merupakan hal yang bisa diterima secara normal namun bagi sebagian orang kesepian bisa menjadi sebuah kesedihan yang mendalam.6

Menurut Arya Verdi Ramadhani, M.Psi., Psikolog, adanya masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh salah satu cara untuk mencegah atau mengurangi dampak dari masalah-masalah tersebut yaitu dengan berusaha mencapai psychological well-being7. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Dr. David Satcher, kepala dinas kesehatan Amerika Serikat, menurutnya psychological well-being (selanjutnya akan disingkat menjadi PWB) penting bagi kesehatan dan fungsi lansia, PWB dapat mengurangi gangguan kesehatan mental seperti depresi8. Ketika lansia memiliki PWB yang rendah, mereka cenderung menjadi tidak produktif dan menjadi beban bagi anggota keluarga.

PWB adalah suatu keadaan yang menunjukkan kemampuan individu untuk menerima keadaan diri apa adanya (self-acceptance), membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain (positive relation with others), mengontrol lingkungan (environmental mastery), memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial (autonomy), memiliki tujuan hidup (purpose in life), dan mengembangkan bakat

6 Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 410.

7 “Well-being pada lansia”, diakses dari http://koran-jakarta.com/, pada tanggal 20 Oktober 2013.

(15)

Universitas Kristen Maranatha serta kemampuan untuk perkembangan pribadi (personal growth)9. Adanya perbedaan penghayatan dalam mengevaluasi setiap peristiwa atau kejadian dalam hidup dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis lansia itu sendiri. Ada lansia yang menerima penurunan kesehatan fisik, tidak mengeluh, berpikir positif, dan bersyukur atas keaadaan yang dihadapi dan ada pula yang merasa tidak puas, mengeluh, bahkan menyalahkan orang lain atas penurunan fisik tersebut (self-acceptance). Ada lansia yang merasa percaya dan mudah menjalin relasi dengan

sesama lansia. Mereka bergabung dalam komunitas atau perkumpulan lansia, ikut berbagi cerita, dan saling memberikan dukungan Di sisi lain ada pula lansia yang kesulitan untuk terbuka dengan orang lain, mereka tidak mudah percaya dan cenderung menarik diri (positive relationships with others).

Beberapa lansia mampu mengambil keputusan sendiri tanpa terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang dirinya, namun ada pula yang peduli dengan penilaian orang lain tentang dirinya dalam melakukan sesuatu (autonomy). Beberapa lansia mampu memilih dan menciptakan situasi yang sesuai dengan diri dan keinginannya, tahu sebatas mana kemampuannya dalam melakukan sesuatu sebelum merasa lelah, ada pula yang kesulitan, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan (environmental mastery). Beberapa lansia mempunyai tujuan atau alasan untuk hidup seperti menjaga kesehatan fisik dan membahagiakan cucu, ada pula yang kesulitan menetapkan tujuan karena menganggap dirinya terlalu tua (purpose in life). Ada lansia yang menyadari potensi yang dimiliki dan

9 Carol D. Ryff dan Corey Lee M. Keyes. “The structure of psychological well-being revisited”,

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha memiliki keinginan untuk mencoba sesuatu hal yang baru, namun ada pula yang enggan mencoba dan merasa hidupnya sudah baik apa adanya (personal growth).

Menurut Santoso, lansia sering mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dengan aktif mengikuti kegiatan di tempat ibadah ketika menghadapi masalah. Hal tersebut merupakan gejala menjadi tua yang amat wajar, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan benteng yang ampuh untuk melindungi diri dari ancaman di masa tua. Pada sebagian lansia khususnya yang beragama Katolik, mereka lebih banyak mengikuti kegiatan rohani di Gereja. Gereja berperan dalam membangun serta memelihara mental dan rohani para lansia lewat berbagai kegiatan di komunitas lansia10. Hasil survey awal terhadap 10 orang anggota komunitas lansia Gereja Katolik Kota Bandung menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang ada di komunitas tersebut antara lain paduan suara, sharing pengalaman, seminar, games, senam pagi, kebaktian bersama, dan kunjungan ke rumah sakit. Kegiatan tersebut diadakan secara bervariasi di setiap komunitas, mulai dari seminggu sekali sampai enam bulan sekali. Dari 10 lansia, semuanya mengaku bahwa kegiatan yang diadakan sangat bermanfaat bagi mereka terutama untuk mengisi waktu di masa tua dan menambah teman, hal tersebut merupakan salah satu bentuk partisipasi lansia dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka merasa bahagia jika masih bisa melakukan hal-hal yang berguna. Mereka merasa tetap dihargai dan tidak dianggap sebagai beban masyarakat karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Walaupun demikian, hanya 70% saja yang rutin menghadiri kegiatan tersebut,

10 Hanna Santoso dan Andar Ismail. Memahami Krisis Lanjut Usia, (Jakarta : Gunung Mulia,

(17)

Universitas Kristen Maranatha sisanya mengaku terkadang tidak hadir karena tidak ada yang mengantar, sibuk mengurus cucu, atau karena teman dekatnya juga tidak hadir.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang PWB yang didasarkan pada teori Ryff, diketahui bahwa salah satu faktor yang memengaruhi PWB adalah kepribadian11. Allport mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi dinamik dalam diri individu yang merupakan sistem psikofisik dan hal tersebut menentukan penyesuaian diri individu secara unik terhadap lingkungan12. Menurut Sheldon dan Tan jika mencermati sikap dan perilaku seseorang, kepribadian merupakan ciri khas yang membedakan setiap orang, dengan demikian kepribadian menentukan bagaimana individu menghayati, merespon stimulus yang dihadapinya, dan menunjukkan fungsi adaptif seseorang dalam menghadapi masalah13.

Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian, salah satunya traits model. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain sehingga trait relatif stabil dari waktu ke waktu dan konsisten dari situasi ke situasi. Salah satu peneliti yang menggunakan perspektif ini adalah Paul T. Costa & Robert R. Mc Crae, mereka mengungkapkan lima dimensi kepribadian yang tersusun secara bipolar dan terdiri dari : extraversion (menyukai interaksi

11 Jesus Lopez; dkk. “Psychological Well-Being, Assessment Tools and Related Factors”, dalam Psychological Well-Being. (New York : Nova Science Publisher Inc, 2010), hlm. 102

12 Jess Feist dan Gregory J. Feist, Teori Kepribadian, Ed.7, Terjemahan Prathita Sjahputri, (Jakarta : Salemba Humanika, 2010), hlm. 85.

13 Kennon M. Sheldon dan Tan H. Hoon, “The Multiple Determination of Well-Being:

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha sosial, ceria, banyak berbicara), neuroticism (kecenderungan untuk mudah merasa khawatir, marah, dan labil secara emosional), openness to experience (terbuka terhadap pengalaman baru, penuh rasa ingin tahu, dan toleran terhadap sesuatu yang baru dikenalnya), conscientiousness (terorganisir, tekun, disiplin, dan berambisi), dan agreeableness (murah hati, senang menolong orang lain, dan penyayang)14.

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori five factor of personality dari Costa dan McCrae karena teori ini membahas trait dengan

menggunakan biological bases dan menekankan bahwa trait merupakan basic tendencies. Kecenderungan dasar ini senantiasa mengalami proses dinamis

dengan characteristic adaptation dan membentuk kepribadian individu.15 Lansia memiliki semua dimensi trait tersebut namun yang berbeda adalah derajatnya, dengan demikian trait yang dominan akan lebih nampak dalam perilaku mereka sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, kelima trait tersebut dapat dikaitkan dengan bagaimana perkembangan PWB yang dimiliki lansia itu sendiri.

Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda dan menunjukkan cirinya masing-masing. Pertanyaan yang sering muncul berikutnya adalah, “Tipe orang seperti apa yang cenderung menjadi well-being? Adakah orang tertentu yang dikarakteristikkan seperti tersebut?”16 Penelitian yang dilakukan Costa dan Mc Crae menyimpulkan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticism

14 Feist dan Feist, op. cit. hlm. 135-137 15

Robert R. McCrae dan Paul T. Costa Jr, Personality in Adulthood, A Five-Factor Theory Perspective, 2nd ed, (New York : The Guilford Press, 2003), hlm. 187.

(19)

Universitas Kristen Maranatha berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Lansia dengan kecenderungan neurotik (emosional, impulsif, marah dan takut) akan memengaruhi PWB secara negatif, sebaliknya lansia yang ekstrovert (energik, menyukai interaksi sosial) memengaruhi PWB secara positif.17 Penelitian lain dilakukan oleh Siegler dan Beverly yang menggunakan model Ryff sebagai alat ukur kesejahteraan psikologis dan menggunakan skala dari NEO PI-R untuk mengukur kepribadian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dimensi extraversion dan neuroticism berkorelasi dengan well-being dan dinyatakan

signifikan. Begitu pula dengan dimensi openness to experience dan agreeableness juga dinyatakan berkorelasi dengan well-being meskipun nilai korelasinya tidak sebesar dengan kepribadian lainnya.18

Berdasarkan hasil survey awal dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi terhadap 10 orang lansia yang mengikuti kegiatan di beberapa komunitas lansia Gereja Katolik Kota Bandung menunjukkan bahwa terdapat respon yang berbeda terhadap masalah yang dihadapinya. Sebanyak 50% (5 orang) lansia di dalam kehidupan sehari-hari senang berkumpul dengan teman-teman, aktif dalam berbagai kegiatan di Gereja seperti persekutuan doa, paduan suara dan doa rosario bersama, serta memiliki semangat yang tinggi dalam menjalani kehidupan (extraversion). Ketika menghadapi masalah penurunan fisik dan kesepian, mereka mampu menerima kondisi yang dihadapinya lewat keceriaan mereka dalam menjalani hidup, semangat ini pula yang menuntun

17 Lopez, dkk., loc.cit

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha mereka memiliki makna dalam menjalani hari tuanya yaitu dengan keterbatasan yang dimiliki mereka ingin tetap membuat bahagia orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini, 2 dari 5 lansia mengaku bahwa mereka tetap berusaha menjalani hari dengan menerima keadaan diri mereka yang tinggal sendirian walaupun terkadang masih memikirkan anak-anak mereka. Kelima orang tersebut mampu menjalin hubungan yang positif dengan teman-teman mereka dengan menghadiri berbagai perkumpulan secara rutin, relasi ini juga menuntun mereka menuju pertumbuhan pribadi lewat saran dan dukungan dari teman-teman. Mereka mampu mengambil keputusan secara mandiri dan cenderung memegang kontrol dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka mampu memilih situasi yang sesuai dengan keinginan mereka dengan cara beradaptasi dalam lingkungan.

(21)

Universitas Kristen Maranatha melakukan apa-apa dan mereka pun menjadi tidak bersedia mengembangkan diri mereka.

Sebanyak 20% (2 orang) lansia orang yang ramah, penyayang, dan senang menolong orang lain (agreeableness). Mereka memiliki hubungan yang positif dengan orang lain lewat interaksi mereka yang hangat tanpa berusaha mendominasi orang lain. Dukungan dari teman-teman mereka mendorong mereka mampu menerima masalah yang dihadapi seperti kesepian dan penurunan kesehatan fisik. Ketika menghadapi masalah mereka cenderung menerima, tidak banyak menuntut dan mampu menguasai lingkungan dengan menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapinya. Mereka mampu memeroleh makna hidup dari setiap pengalaman yang dimilikinya dan menyadari potensi diri yang berorientasi dalam kegiatan menolong orang lain. Mereka merasa bahwa dirinya bermakna dengan menolong orang lain lewat kegiatan bakti sosial dan sekolah murah. Hal ini mendukung mereka untuk terus mengembangkan diri dengan aktif mencari donatur dan melakukan survey ke berbagai tempat lain yang membutuhkan bantuan agar dapat menolong lebih banyak orang lagi. Walaupun demikian ketika dihadapkan dalam situasi pengambilan keputusan, mereka menjadi kurang mandiri dan cenderung mengikuti orang lain untuk meminimalisasi konflik.

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha untuk meneliti lebih lanjut dengan melakukan penelitian kontribusi five factor of personality terhadap PWB pada anggota komunitas lansia Gereja Katolik di Kota

Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana kontribusi masing-masing dimensi five factor of personality yaitu : extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan opennes to experience terhadap PWB pada

anggota komunitas lansia Gereja Katolik di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah ingin melihat gambaran five factor of personality (extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan

opennes to experience) dan PWB.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk memeroleh gambaran mengenai kontribusi five factor of personality (extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan opennes to experience) terhadap PWB pada

(23)

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan penelitian

1.4.1 Kegunaan teoretis

Kegunaan teoretis dari penelitian ini antara lain :

1) Memberikan sumbangan bagi Psikologi Lanjut Usia (Gerontologi) dan Psikologi Positif yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengaruh kepribadian terhadap PWB pada anggota komunitas lansia Gereja Katolik di Kota Bandung.

2) Memberikan masukan kepada peneliti lain yang memiliki minat melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh kepribadian terhadap PWB pada anggota komunitas lansia Gereja Katolik.

1.4.2 Kegunaan praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini antara lain :

1) Memberikan informasi bagi ketua dan anggota komunitas lansia di Gereja Katolik di Kota Bandung mengenai trait dan PWB lansia, untuk mendukung mereka mengembangkan diri lewat perancangan kegiatan di komunitas tersebut.

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pikir

Masa lansia (dalam hal ini sebagai anggota komunitas lansia Gereja Katolik di Kota Bandung) dimulai dari usia 60 tahun19, merupakan suatu masa penyesuaian diri terhadap penurunan kesehatan fisik serta perubahan peran sosial yang baru karena pensiun, anak-anak yang semakin dewasa, atau karena pasangan hidup yang meninggal. Pada masa ini, lansia mengalami perubahan fisik, kognitif, dan sosioemosional. Aspek fisik mencakup masalah perubahan penampilan, perubahan fungsi fisiologis dan panca indera yang menua.20 Pada aspek kognitif, perubahan yang terjadi meliputi perubahan kemampuan mental, seperti kemampuan memelajari hal baru yang relatif lambat, kapasitas berpikir kreatif yang cenderung berkurang, lemah dalam mengingat sesuatu yang baru, dan lebih memercayai serta melaksanakan nilai atau cara lama dalam melakukan sesuatu daripada nilai atau cara yang baru.21 Pada aspek sosioemosional, lansia yang masih terlibat aktif dalam masyarakat akan mencapai kepuasan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan lansia yang pasif dan tidak produktif dalam masyarakat.22

Lansia dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya dan masalah akan muncul bila lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Berbagai kondisi yang mungkin dialami oleh lansia tersebut dapat memengaruhi penilaian mereka terhadap

19 John W. Santrock, Life-span Development, Ed.13, (New York : McGraw-Hill, 2011), hlm. 535. 20 Ibid. hlm 557-558.

(25)

Universitas Kristen Maranatha kehidupan yang mereka jalani, hal ini yang disebut oleh Ryff sebagai PWB. PWB merupakan hasil penilaian individu terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya lewat enam dimensinya yaitu penerimaan diri (self-acceptance), pembentukan relasi positif dengan orang lain (positive relation with others), penguasaan lingkungan (environmental mastery), kemandirian (autonomy), penetapan tujuan hidup (purpose in life), dan pengembangan bakat serta kemampuan untuk perkembangan pribadi (personal growth).23

Dimensi yang pertama, self acceptance merupakan dimensi yang merujuk pada kemampuan seseorang melakukan penerimaan diri yang ditandai dengan kemampuan untuk menerima diri apa adanya, menerima kelebihan dan kekurangan dirinya, serta memiliki perasaan positif mengenai masa lalu. Lansia yang dapat mengatur dan menerima beberapa aspek yang baik dan buruk dalam dirinya, serta dapat melihat masa lalu dengan perasaan yang positif merupakan lansia yang dapat bersikap positif terhadap dirinya. Menurut Ryff dan Keyes, hal tersebut menandakan nilai yang tinggi pada dimensi self acceptance. Sebaliknya lansia dikatakan memiliki nilai yang rendah pada dimensi self acceptance bila lansia mengevaluasi dirinya pada ketidakpuasan yang besar pada dirinya, tidak merasa nyaman dengan keadaan yang telah terjadi di masa lalunya dan fokus pada beberapa kualitas hidupnya serta ingin merubahnya.24

Dimensi positive relation with others yaitu dimensi yang menunjukkan sejauhmana seseorang mampu membina hubungan interpersonal yang baik, saling percaya, penuh kehangatan, dan penuh cinta. Lansia yang mengevaluasi dirinya

23 Carol D. Ryff, “Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of Psychological Well-Being”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57 No.6, 1989, hlm. 1071. 24

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha memiliki kehangatan saat menjalin relasi, puas akan dirinya sendiri, jujur dalam menjalin hubungan, memikirkan well-being orang lain, memiliki kemampuan berempati, afeksi, intim, serta memahami makna take and give ketika menjalin hubungan dengan orang lain merupakan lansia yang memiliki nilai tinggi pada dimensi positive relation with others. Sebaiknya, lansia yang mengevaluasi dirinya sebagai seseorang yang tertutup, tidak jujur dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit merasa hangat, sulit terbuka, tidak memikirkan well-being orang lain, merasa terisolasi dan frustrasi dengan hubungan sosialnya, dan tidak ingin menjalin komitmen penting dengan orang lain merupakan lansia yang memiliki ninlai rendah pada dimensi positive relation with others.25

Dimensi autonomy, merupakan dimensi yang menunjukkan sejauhmana individu mampu dalam menentukan arah sendiri, mampu mengendalikan atau memengaruhi apa yang terjadi pada dirinya. Lansia yang mengevalusi dirinya mampu mengambil keputusan sendiri, tidak bergantung, mampu mengatasi tekanan sosial ketika berpikir dan bertindak, mampu mengatur perilaku, dan mampu mengevaluasi diri dengan standar pribadi menandakan bahwa mereka memiliki nilai yang tinggi pada dimensi autonomy. Sebaliknya, lansia dikatakan memiliki nilai yang rendah apabila lansia tersebut mengevaluasi dirinya masih terfokus pada harapan orang lain, ketergantungan pada teman memberikan penilaian sebelum memutuskan hal penting, dan mengikuti tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak.26

25 Ibid, hlm. 82.

26

(27)

Universitas Kristen Maranatha Dimensi environmental mastery merujuk pada kemampuan seseorang dalam memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dirinya. Lansia yang tinggi dalam dimensi ini termasuk sebagai seorang yang berkompeten dan memiliki penguasaan yang baik dalam mengontrol lingkungan dan aktivitas eksternal serta mampu memilih dan menciptakan situasi yang sesuai dengan diri dan keinginannya. Sebaliknya lansia yang rendah dalam dimensi ini termasuk individu yang merasa sulit untuk mengatur hidup sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan situasi di sekelilingnya, tidak peduli pada sekitar, dan kehilangan kontrol diri.27

Dalam dimensi purpose in life, lansia yang berfungsi secara positif adalah lansia yang memiliki tujuan, intensi, dan arahan yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknaan hidupnya. Lansia yang tinggi dalam dimensi ini termasuk sebagai seorang yang memiliki target dan arah dalam hidupnya. Lansia mampu memberikan makna pada hidupnya baik masa sekarang maupun masa lalu. Individu mempunyai kepercayaan untuk pegangan hidupnya dan mempunyai target serta alasan untuk hidup. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini termasuk individu yang tidak mempunyai makna dan arah dalam hidupnya. Mereka tidak mendapatkan makna dari setiap pengalaman masa lalunya.28

Dari dimensi personal growth, lansia yang dapat berfungsi positif secara optimal adalah seorang yang menyadari potensi dan talenta yang dimilikinya serta mengembangkan sumber baru. Mereka yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini termasuk sebagai individu yang memiliki pandangan bahwa dirinya selalu

27 Ibid. hlm 83. 28

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha berkembang, terbuka pada pengalaman baru, memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensi diri, mampu melihat perkembangan diri dan perilakunya sepanjang waktu serta melakukan perubahan dengan cara-cara tertentu yang merefleksikan pengetahuan diri. Sebaliknya lansia yang rendah dalam dimensi ini termasuk individu yang merasa hidupnya berhenti (stagnation), kehilangan kemampuan untuk meningkatkan diri sepanjang waktu, merasa jenuh dan merasa hidupnya tidak menarik dan merasa tidak mampu untuk membangun sikap atau perilaku baru.29

PWB tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi beberapa faktor seperti faktor sosiodemografis (usia, jenis kelamin, status marital, status sosial ekonomi, riwayat penyakit kronis), dukungan sosial, religiusitas, dan kepribadian lansia itu sendiri.30 Semakin bertambah usia seseorang maka individu semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya, oleh karenanya individu tersebut semakin dapat mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Lansia memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi purpose of life dan personal growth karena kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan merasakan

pengalaman yang bermakna semakin terbatas akibat bertambahnya usia.31 Berdasarkan jenis kelaminnya, stereotipe gender yang terbentuk pada masa anak-anak akan memengaruhi bagaimana lansia berperilaku. Sejak kecil, stereotipe gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki yang digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu anak perempuan digambarkan sebagai

29 Ibid. hlm. 83-84.

30 Ibid. hlm. 87-103 31

(29)

Universitas Kristen Maranatha sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain.32 Pernikahan mempunyai korelasi yang besar dengan well-being individu lewat dimensi self acceptance. Lansia yang menikah lebih positif dalam menerima keadaan dirinya yang merupakan bagian dari suatu keluarga sehingga mereka memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada lansia yang tidak menikah atau janda atau duda.33

Lansia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki PWB yang lebih baik juga karena mereka cenderung memiliki aspirasi tujuan hidupnya.34 Lansia yang berada di tingkat status ekonomi rendah, tidak hanya rentan terhadap penyakit dan ketidakmampuan, juga kurang mempunyai kesempatan dalam mengembangkan hidup mereka, sehingga akan menurunkan skor PWB.35 Menurut Ryff, Singer, dan Love, menjadi sehat membuat orang bahagia, dan kebahagiaan tersebut semakin menguatkan kesehatan seseorang. Lansia yang sehat memiliki skor purpose in life yang cenderung lebih tinggi daripada lansia yang memiliki riwayat penyakit kronis karena mereka mampu menemukan makna hidup lewat aktivitas dan kehidupannya yang tidak terganggu penyakit.36 Lansia yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai, dan menjadi bagian dalam jaringan sosial (seperti keluarga dan organisasi tertentu) yang menyediakan tempat bergantung ketika

32

Ibid. hlm 89-90 33 Ibid. hlm. 90-91. 34 Ibid. hlm. 91-92. 35 Ibid.

36

(30)

20

Universitas Kristen Maranatha dibutuhkan.37 Menurut Levin, faktor religiusitas berperan lewat doa sebagai coping dalam menghadapi masalah, serta partisipasi aktif dalam kegiataan

keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan.38

Ditinjau dari kepribadiannya, lansia yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres sehingga meningkatkan skor PWB. Ada beberapa perspektif untuk memahami kepribadian, salah satunya teori traits. Menurut teori traits, trait individu menunjukan pola yang konsisten dalam cara individu berpikir, merasa, dan bertingkah laku. Teori trait yang akan digunakan untuk membahas lansia bersumber pada five factor of personality. Dalam hal ini, trait merupakan basic tendencies yang merupakan fungsi adaptif sehingga penting bagi lansia dalam

beradaptasi ketika menghadapi masalah.39 Lansia memiliki kelima trait yang bervariasi dalam derajatnya, kelima trait tersebut adalah pertama, extraversion merujuk pada kuantitas dan intensitas relasi personal, tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas untuk mendapatkan kesenangan. Kedua, agreeableness merujuk pada kualitas orientasi interpersonal seseorang dimulai dari perasaan peduli sampai dengan perasaan permusuhan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan. Ketiga, conscioentiousness, yaitu derajat keteraturan individu, tekun, dan motivasi yang berorientasi pada tujuan. Keempat, neuroticism merujuk pada

37 Edward P. Sarafino dan Timothy W. Smith, Health psychology: Biopsychosocial interactions, Ed. 7, (New York : John Wiley & Sons, Inc., 2011), hlm. 81.

38 Maria P. Aranda, “Relationship between Religious Involvement and Psychological Well-Being: A Social Justice Perspective”, Health Social Work, Vol.33, (USA : Oxford University Press, 2008), hlm.9-10.

39

(31)

Universitas Kristen Maranatha emotional stability, yaitu mengidentifikasikan kecenderungan individu untuk

mengalami distress psikis, ide-ide yang tidak realistik, dan coping respon yang maladaptif. Kelima, adalah opennes to experience yaitu proaktif mencari dan menghargai pengalaman karena keinginannya sendiri, toleran, dan melakukan eksplorasi terhadap sesuatu yang belum dikenal..

Extraversion merupakan dimensi yang dapat memprediksi banyak tingkah

laku sosial. Lansia yang memiliki faktor extraversion yang tinggi memiliki PWB yang tinggi. Mereka mampu menerima diri yang secara fisik mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena mereka memiliki emosi positif yang mendukung mereka untuk bahagia dan menerima keadaan mereka (self-acceptance). Mereka mampu membangun hubungan yang positif dengan orang

(32)

22

Universitas Kristen Maranatha Agreeableness dapat disebut juga social adaptability atau likability. Lansia

yang memiliki skor agreeableness yang tinggi memiliki PWB yang tinggi. Mereka memiliki hubungan yang positif dengan orang lain karena ramah, senang menolong orang lain dan kooperatif (positive relation with others). Dalam penguasaan lingkungannya, mereka tidak menyalahkan orang lain atas keadaan fisik yang menurun karena pada dasarnya mereka mudah memaafkan orang lain (environmental mastery), dengan demikian mereka juga dapat menerima keadaannya yang mengalami penurunan dalam penghasilan setelah pensiun (self-acceptance). Dalam hal ini, mereka mampu mengatasi tekanan sosial ketika

berpikir dan bertindak lewat keterusterangan mereka (autonomy). Lansia yang memiliki skor tinggi dalam agreeableness mampu memeroleh makna hidup dari setiap pengalaman yang dimilikinya dalam menolong orang lain (purpose in life), mereka juga mampu menyadari potensi yang dimiliki dengan cara melihat hal terbaik dari orang lain (personal growth).

Conscientiousness menggambarkan perbedaan keteraturan dan

(33)

Universitas Kristen Maranatha sebelum bertindak menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional (autonomy). Dalam kesehariannya, mereka mampu memanipulasi lingkungannya yang kompleks karena terbiasa mengontrol lingkungan sosialnya (environmental mastery), mereka juga memiliki tujuan hidup yang terencana karena mereka

ambisius (purpose in life). Dalam pertumbuhan pribadinya, lansia mampu melihat perkembangan diri karena terdorong oleh kebiasaannya yang ingin memberikan yang terbaik dan senang bekerja keras (personal growth).

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan

emosi negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Lansia yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi memiliki PWB yang rendah. Mereka cenderung mengalami kesulitan untuk menerima keadaan dirinya yang secara fisik mengalami penurunan (self-acceptance). Dalam menjalin hubungan dengan orang lain, mereka lebih sering tertutup dan kesulitan menjalin komitmen (positive relation with others). Ketika dihadapkan pada situasi yang menuntut pengambilan

(34)

24

Universitas Kristen Maranatha merasa hidupnya tidak berarti sehingga tidak mampu mengembangkan diri (personal growth).

Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan

(35)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6 Asumsi

Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi sebagai berikut :

1) Masa lansia merupakan suatu masa penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan yang bersifat negatif dalam hidupnya. Masalah akan muncul bila lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut yang berujung pada penghayatan mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani.

2) Lansia akan menghayati kehidupan yang mereka jalani secara positif didasari penerimaan diri (self acceptance) terhadap segala perubahan dan

- Faktor Sosiodemografi

• Usia

• Jenis kelamin

• Status marital

• Status ekonomi

• Riwayat penyakit kronis - Dukungan sosial

- Religiusitas Five factor of personality

Anggota Komunitas Lansia Gereja Katolik di kota Bandung

extraversion

agreeableness

conscientiousness

neuroticism

openness to experience

PWB

Dimensi :

self acceptance

positive relation with others

autonomy

environmental mastery

purpose in life

(36)

26

Universitas Kristen Maranatha keadaan yang mereka jalani, kemampuannya dalam menjalin relasi positif dengan orang lain (positive raltion with others), kemampuannya untuk menguasai lingkungan (environmental mastery), kemandirian (autonomy), kemampuannya dalam menetapkan tujuan hidup (purpose in life), serta kemampuannya untuk mengembangkan pribadi (personal growth) di masa tua ini.

3) Kepribadian lansia menentukan bagaimana individu memandang masalah yang dihadapinya lewat kecenderungannya dalam berpikir, merasa, dan bertindak yang unik. Hal ini akan berpengaruh pada penghayatannya atas berbagai kemampuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka.

1.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

a) Terdapat kontribusi positif trait extraversion terhadap PWB. b) Terdapat kontribusi positif trait agreeableness terhadap PWB. c) Terdapat kontribusi positif trait conscientiousness terhadap PWB. d) Terdapat kontribusi negatif trait neuroticsm terhadap PWB.

(37)

74

Universitas Kristen Maranatha KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dihasilkan kesimpulan sebagai berikut :

1) Trait extraversion memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PWB

lansia di komunitas Gereja Katolik Kota Bandung, artinya jika lansia memiliki derajat trait extraversion yang tinggi, maka akan membuat PWB nya tinggi.

2) Trait neuroticism memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PWB

lansia di komunitas Gereja Katolik Kota Bandung, artinya jika lansia memiliki derajat trait extraversion yang tinggi, maka akan membuat PWB nya rendah.

3) Trait opennes to experience memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap PWB lansia di komunitas Gereja Katolik Kota Bandung, artinya jika lansia memiliki derajat trait extraversion yang tinggi, maka akan membuat PWB nya tinggi.

4) Trait conscienciousness memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

(38)

75

Universitas Kristen Maranatha

5) Trait agreeableness memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

PWB lansia di komunitas Gereja Katolik Kota Bandung, artinya jika lansia memiliki derajat trait extraversion yang tinggi, maka akan membuat PWB nya tinggi.

6) Diantara kelima trait kepribadian yang memberikan kontribusi paling besar terhadap PWB adalah trait extraversion sebesar 36,3%, kemudian diikuti trait opennes to experience sebesar 36,2%, lalu trait neuroticism sebesar 31%, trait agreeableness 14,6%, dan terakhir conscientiousness 11,3%.

7) Berdasarkan faktor religiusitas, separuh dari keseluruhan responden yang merasa puas terhadap kegiatan di komunitas lansia memiliki PWB yang rendah dan separuh dari keseluruhan responden yang menghayati hubungannya dekat dengan Tuhan memiliki PWB yang rendah pula.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

Saran teoritis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Supaya memeroleh gambaran yang lebih komprehensif, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kontribusi faktor religiusitas terhadap PWB pada anggota komunitas lansia di Gereja Katolik Kota Bandung.

(39)

Universitas Kristen Maranatha 5.2.2 Saran Praktis

Dalam rangka mendukung lansia mengembangkan diri dengan cara memerhatikan keunikannya (trait) masing-masing, saran praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa trait extraversion, trait openness to experience, dan trait neuroticism memberikan kontribusi

terbesar terhadap PWB. Maka dari itu penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi ketua komunitas lansia Gereja Katolik Kota Bandung dalam rangka memfungsikan trait-trait dengan mengembangkan kegiatan berupa diskusi atau sharing, sehingga para lansia dapat berbagi pengalamannya dalam menghadapi masalah.

(40)

77

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Aranda, Maria P. 2008. “Relationship between Religious Involvement and Psychological Well-Being : A Social Justice Perspective” Health Social Work. Vol.33. hlm. 9-21. USA : Oxford University Press.

Cummings, S.M. 2002. “Predictors of Psychological Well-Being Among Assisted Living Residents” Journal of Health & Social Works Vol. 27 No. 4, hlm. 293-302.

Feist, Jess. dan Gregory J.F. 2010. Teori Kepribadian. Ed.7. Terjemahan Prathita Sjahputri. Jakarta : Salemba Humanika.

Gunarsa, Singgih D.. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Gulo, W.. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo

Hutapea, B. 2011. “Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi Berbasis Keagamaan di Jakarta” Jurnal INSAN Vol. 13 No. 02 Agustus 2011, hlm. 64-73.

Lopez, Jesus; dkk. 2010. “Psychological Well-Being, Assessment Tools and Related Factors” Psychological Well-Being. New York : Nova Science Publisher Inc.

McCrae, Robert R.dan Paul T. Costa Jr. 2003. Personality in Adulthood, A

Five-Factor Theory Perspective. 2nd ed. New York : The Guilford Press.

Pervin, Lawrence A. dan Oliver P. John. 1999. Handbook of Personality: Theory

and Research, 2nd edition. New York : Guilford Press.

Ryan, R.M. & Edward L. Deci. 2001. “On Happiness and Human Potentials : A Review of Research on Hedonic and EudaimonicWell-Being” Journal Annual Review of Psychology, Vol 52. hlm. 141-166.

Ryff,C.D. 1989. “Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of Psychological Well-Being” Journal of Personality and Social Psychology. Vol 57 No.6. Hlm. 1069-1081.

Ryff, C.D. dan Corey L.M. Keyes. 1995. “The structure of psychological well-being revisited” Journal of Personality and Social Psychology, Vol.69 No.4, 719-727.

(41)

Universitas Kristen Maranatha Santrock, John. W. 2011. Life-span Development. Ed.13. New York :

McGraw-Hill.

Sarafino, Edward P. dan Timothy W. Smith. 2011. Health psychology: Biopsychosocial interactions. Ed. 7. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sarwono, Jonathan dan Budiono Herlina.2012. Statistik Terapan Aplikasi untuk Riset Skripsi, Tesis, dan Disertasi menggunakan SPSS, AMOS dan Excel. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo-Kompas Gramedia.

Sheldon, K.M. dan Tan, H. H. 2007. “The Multiple Determination of Well-Being: Independent Effects of Positive Traits, Needs, Goals, Selves, Social

Supports, and Cultural Contexts” Journal of Happiness Studies Vol. 8, hlm. 565-592.

Siegler, Ilene. C. & Beverly H. Brummett. 2000. “Associations Among NEO Personality Assessments and Well-Being at Mid-Life: Facet-level Analyses” Abstrak. Journal Psychology and Aging, Vol. 5, No.4.

(42)

79

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. (Online). (http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/1998/13/uu/KESEJAHTERAAN -LANJUT-USIA, diakses tanggal 28 April 2013).

John, O.P., Naumann, L.P., & Soto, C. J. 2008. Paradigm Shift to the Integrative Big-Five Trait Taxonomy: History, Measurement, and Conceptual Issues. New York, NY: Guilford Press. (Online). (http://www.ocf.berkeley.edu/~johnlab/bfiscale.php, diakses tanggal 12 November 2013)

Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Tahun 2050 Akan Ada 2 Miliar Penduduk Lanjut Usia. (Online). (http://www.menkokesra.go.id/ content/tahun- 2050 - akan - ada - 2 - miliar - penduduk – lanjut - usia, diakses tanggal 10 Maret 2013).

Komisi Nasional Lanjut Usia. Lampu Kuning Ledakan Kaum Renta. (Online). (http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&s id=26, diakses tanggal 1 April 2013).

Ekoputri, Anastasia Widianti. Pentingnya pemberdayaan kaum manula. (Online). (http://humaniora.kompasiana.com, diakses tanggal 19 Maret 2013). Urbaniak, Geoffrey C. dan Scott Plous. (2013). Research Randomizer (Version

4.0) [Computer software]. Retrieved on June 22, 2013, from http://www.randomizer.org/.

Referensi

Dokumen terkait

 Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa..  Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman, memberikan penguatan

Adapun pengamatan dalam materi penelitian ini adalah aspek demografi, ekonomi dan sosial usaha penangkapan unit alat tangkap Trammel net .Tangkap Trammel net

Penerimaan bantuan beras miskin pada suatu masyarakat merupakan sebuah kegiatan yang selalu dilaksanakan setiap tahun, dimana data calon penerima tersebut selalu meningkat dari

Hasil dari penelitian ini adalah sensor TCS 230 bekerja dengan baik untuk melihat perbedaan warna dengan pengujian menggunakan Kodak scanner calibration chart dengan bacaan

[r]

The sEH inhibitory activity of isolated compounds was then evaluated using a fl uorescent method based on hydrolysis of the speci fi c substrate PHOME in the presence of sEH enzyme..

Pada bagian ini mempunyai pola ritme yang sederhana dibandingkan dengan pola bagian A dan B dengan memainkan tangan kanan pada ride cymbal untuk memunculkan suasana tenang,

Maka hipotesis kesepuluh yang menyatakan bahwa ROA secara persial memiliki pengaruh positive yang signifikan terhadap CAR pada Bank Umum Swasta Nasional Non