• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT (Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT (Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT

(Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RIVALDY NAJMII HARMANSYAH NIM: 11180440000018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2022

(2)

i

IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT

(Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RIVALDY NAJMII HARMANSYAH NIM: 11180440000018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2022

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT

(Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RIVALDY NAJMII HARMANSYAH NIM: 11180440000018

Pembimbing

Dr. Moh. Ali wafa, S.H., SAg., M.Ag.

NIP. 197304242002121007

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2022

(4)

iii

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini:

Nama : Rivaldy Najmii Harmansyah Tempat, tanggal lahir : Depok, 23 Maret 2001

NIM : 11180440000018

Program Studi : Hukum Keluarga

Alamat : Jl. Harapan Gg. Musholla Rt 07/02 No.09,

Kel.Rangkapan Jaya Baru Kec. Pancoran Mas, Depok, 16434

Nomor HP / Email : 0895394156185 / valdyjr23@gmail.com Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu pernyataan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka peneliti bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Januari 2022 M 19 Jumadil Akhir 1443 H

Rivaldy Najmii Harmansyah (11180440000018)

(6)

v ABSTRAK

Rivaldy Najmii Harmansyah. NIM 11180440000018. IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT (Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2022 M.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan memberi pengetahuan bagaimana ketentuan pengangkatan anak menurut perundang-undangan, serta kebiasaan dan faktor-faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat Betawi Ciputat Tangerang Selatan Banten dan implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkat.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggabungkan pendekatan normatif dengan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Hasil penelitian ini menujukan bahwa kasus pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat Betawi Ciputat masih banyak yang menggunakan hukum adat, dimana mereka beranggapan kemudahan dan tidak banyaknya biaya yang dikeluarkan. Dalam hal pengangkatan anak di masyarakat Betawi mereka berpendapat bahwa mengangkat seorang anak dalam adat Betawi cukup dengan kesepakatan kekeluargan saja, dalam contoh hal pengangkatan anak yang dilakukan oleh salah satu pasangan suami istri yang Bernama Bapak Erwin dan Ibu Hani. Dari kejadian tersebut pasangan Suami Istri yang bernama Erwin dan Hani ini mengangkat salah satu anak dengan alasan ingin membantu keponakannya. Mereka berpendapat bahwa mengangkat seorang anak dengan cara kesepakatan antar keluarga menurutnya sudah cukup sah untuk membuktikan pengangkatan anak yang dilakukannya tersebut, sedangkan menurut Pasal 47 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak bahwa orang tua yang ingin mendapat legalitas status anak yang diadopsi diluar penetapan pengadilan diharapkan dapat memenuhi prosedur hukum yang berlaku sebagai syarat mutlak pengangkatan anak khususnya untuk proses pengangkatan anak di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten.

Kata Kunci : Legalitas hukum, Adopsi, Penetapan Pengadilan Pembimbing Skripsi : Dr. Moh. Ali wafa, S.H., SAg., M.Ag.

Daftar Pustaka : Tahun 1985 Sampai Tahun 2021.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

ﺑِ

ﻢِ ﺴْ

'ﱣ ِ ا ﺮﱠ ﻟ

ﺣْ

ﻦِ ﻤٰ

ا ﺮﱠ ﻟ ﺣِ

ﯿْ

Segala puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia nikmat iman, islam dan nikmat kesehatan sehingga peneliti telah mampu menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT (Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)”.

Sholawat serta semoga tercurahkan kepada Rasulallah SAW, keluarga dan sahabatnya. Penyusunan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penyusunan skripsi, peneliti banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan moril maupun materil. Peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Mesraini, S.H., M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga, dan Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Abdul Halim M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik.

4. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., SAg., M.Ag. Pembimbing Skripsi, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan bagi peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

(8)

vii

5. Orang tua tercinta Bapak Edy Nurmansyah dan Ibu Novi Haryati, yang telah membesarkan, dan membimbing peneliti dengan penuh kesabaran, ketekunan serta dengan penuh kasih sayang .

6. Hari Setiadi, SubKoordinator Pengangkatan Anak di Kantor Kementerian Sosial dan Hesty, Kepala Seksi Perubahan Status Anak Kewarganegaraan dan Kematian di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang Selatan yang telah membantu peneliti dalam memberikan informasi terkait penelitian ini.

7. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam penyelesaian karya tulis ini.

Tiada cita yang akan terwujud dengan sendirinya melainkan dengan pertolongan Allah SWT, sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Peneliti berharap skripsi ini bermanfaat untuk peneliti khususnya dan untuk para pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT, dan terakhir semoga setiap bantuan, doa, motivasi dan bimbingan yang telah diberikan kepada peneliti mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.

Jakarta, 21 Januari 2022 M 19 Jumadil Akhir 1443 H

Peneliti

Rivaldy Najmii Harmansyah NIM: 11180440000018

(9)

viii DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Kajian Terdahulu ... 11

E. Kerangka Konseptual ... 15

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA ... 22

A. Kerangka Teori ... 22

B. Pengangkatan Anak ... 24

C. Hukum Pengangkatan Anak ... 40

D. Hak-Hak Anak Angkat ... 52

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DI KELURAHAN CIPAYUNG, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN BANTEN ... 59

A. Sejarah dan Letak Geografis Kecamatan Ciputat ... 59

B. Profil Kelurahan Cipayung Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan ... 61

C. Sejarah Masyarakat Betawi ... 64

D. Profil Masyarakat Ciputat Yang Melakukan Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan ... 67

E. Perbedaan Hak Anak Angkat dan Anak Kandung Dari Orang Tua ... 68

BAB IV POLA PENGANGKATAN ANAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK WARIS ... 72

(10)

ix

A. Ketentuan Pengangkatan Anak Menurut Perundang-undangan di Indonesia .. 72

B. Kebiasaan-kebiasaan dan Faktor-faktor Pengangkatan Anak Yang Terjadi di Masyarakat Betawi Ciputat Tangerang Selatan ... 78

C. Implikasi Hukum Anak Yang di Adopsi Tanpa Penetapan Pengadilan Terhadap Warisan Orang Tua Angkat ... 82

BAB V PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 101

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengangkatan anak diluar pengadilan masih menjadi persoalan krusial bagi negara Indonesia. Di Indonesia pengaturan mengenai pengangkatan anak sampai saat ini belum diatur secara khusus dalam undang-undang, melainkan masih diatur dalam beberapa ketentuan hukum yang masih tersebar, seperti ketentuan mengenai adopsi bagi anak laki- laki Tionghoa, kebiasaan pengangkatan anak pada masyarakat Bali yang juga menganut sistem patrilineal, kebiasaan masyarakat di Jawa terjadi pada keluarga yang tidak mempunyai anak, atau hanya mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan saja, maka mereka akan mengangkat anak laki-laki atau anak perempuan, demikian juga di Indonesia.1 Hukum atau aturan yaitu perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagai peraturan tertulis seperti undang-undang dasar, undang-undang, keputusan presiden, peraturan pemerintah, keputusan menteri-menteri dan perturan-peraturan daerah.2

Pengertian pengangkatan anak menurut Arief Gosita adalah “suatu tindakan pengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlukan sebagai anak turunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan”.3

Pengangkatan anak dititik beratkan pada kesadaran solidaritas sosial, dalam arti sikap kerelaan dan ketulusan seseorang untuk mengambil alih tanggung jawab pemeliharaan anak karena orang tua kandungnya dalam keadaan tidak atau kurang mampu untuk membesarkan dan mendidiknya dengan tujuan mendapatkan anak karena belum atau tidak dikaruniai seorang anak. Menurut Pasal 1 butir 9 Undang-undang

1 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7.

2 Neng Yani Nuhayani, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015, h. 13

3 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo, 1985, Cet. Pertama), h. 44.

(12)

2

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan dalam Pasal 1 butir 1, bahwa:4

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.

Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga. Sehubungan dengan telah diaturnya anak angkat dan pengangkatan anak pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksaan Pengangkatan Anak, maka substansi dan akibat hukum dari pengangkatan anak ini telah mengalami perubahan. Dewasa ini pengangkatan anak bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan para calon orang tua angkat, tetapi lebih fokuskan pada anak, tetapi dibutuhkan untuk menjamin kepentingan calon anak angkat, jaminan atas kepastian, keamanan, keselamatan, pemeliharaan dan pertumbuhan anak angkat, sehingga pengangkatan memberi peluang pada anak untuk hidup lebih sejahtera.5 Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, disebutkan bahwa:6

“Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, meliputi:

a. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat, dan b. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Dalam hal pengangkatan anak dikenal dengan dua peraturan. Dimana yang pertama itu pengangkatan anak berdasarkan adat istiadat tempat itu sendiri, pengangkatan anak berdasarkan adat boleh ada penetapan pengadilan boleh tidak. Sedangkan dalam

4 Peturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

5 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 10

6 Peturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

(13)

3

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menjelaskan bahwa:

(1). Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.

(2). Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Dalam pasal tersebut telah jelas disebutkan bahwa pengangkatan anak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan secara langsung maupun melalui lembaga pengasuhan anak itu harus ada penetapan pengadilan. Pengangkatan anak melalui lembaga pengadilan adalah untuk mendapatkan kepastian hukum, karena akibat hukum dari pengangkatan anak menyangkut kewarisan dan tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Maka dari itu pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum, yaitu melalui penetapan pengadilan.7

Kasus pengangkatan anak di Indonesia kebanyakan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melainkan hanya menggunakan surat pernyataan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, atau hanya dengan lisan antara keluarga orang tua kandung dengan orang tua angkat. Dalam kondisi inilah peranan pengadilan atau notaris dapat diupayakan dalam keterlibatannya untuk membuat akta berkaitan dengan proses pengangkatan anak yang mana dalam suatu akta dapat terungkap jelas prosedur pengangkatan anak tersebut, apa yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang- undangan dapat dicantumkan dalam akta.

Tingginya angka perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat, bahkan disharmoni dalam keluarga salah satunya disebabkan karena belum memiliki keturunan. Jadi, mayoritas masyarakat beranggapan bahwa tujuan perkawinan menjadi tidak tercapai karena perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan.

7 Lulik Djatikumoro, Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), h. 9-10.

(14)

4

Dengan demikian, apabila didalam perkawinan telah memiliki keturunan, maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses keberlanjutan generasi dapat berjalan.8

Pengangkatan anak termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri.9 Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia harus berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Bahwa dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu pengangkatan anak hanya dapat di lakukan untuk kepentingan yang terkait bagi anak dan di laksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya di alihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak yang di keluarkan pada tanggal 7 April 1979 bahwa; “Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di pengadilan negeri, dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta notaris yang di legalisir oleh pengadilan negeri”. Dengan demikian, setiap kasus pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan negeri.10

8 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, h. 12.

9Muhammad Heriawan, Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif Perlindungan Anak, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Tadulako), h. 175.

10 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 3.

(15)

5

Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek Pengadilan Agama, berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menetapkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”11

Dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedangkan yang ada hanya di perbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab). Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka anak diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayahnya atau ibunya. Menurut M. Budiarto pengangkatan anak dalam hukum Islam hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut; pertama, tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung dan keluarganya. Kedua, anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya. Ketiga, anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal diatas. Keempat, orang tua angkatnya tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya.12

Mengenai anak angkat atau adopsi, juga diatur dalam hukum adat. Pengangkatan anak dalam masyarakat adat, biasanya dilakukan dengan upacara-upacara tertentu yang harus disaksikan oleh orang banyak dengan diketahui dan dipahami oleh anggota-anggota

11 Republik Indonesia, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf h.

12 M. budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika presindo, 1985), h. 24.

(16)

6

keluarga dari yang mengangkat anak itu, agar supaya pengangkatan anak itu menjadi kedudukan hukum terhadap yang mengangkat itu, sama seperti kedudukan hukum anak kandung sendiri. Yang dimaksud dengan pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat (Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak).

Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan pengadilan (Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemeritah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak). Lebih lanjut, menurut Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, kepala instansi sosial provinsi dan kabupaten/ kota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap pengangkatan anak jadi pada dasarnya tidak ada suatu keharusan bahwa pengangkatan anak harus dengan penetapan pengadilan. Bisa juga berdasarkan adat kebiasaan setempat. Akan tetapi, disarankan dengan penetapan pengadilan, karena pada dasarnya pengangkatan anak ini dilakukan demi kepentingan si anak. Ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Mentri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke Departemen Sosial, instansi sosial dan instansi terkait (Pasal 17 ayat (4) Peraturan Mentri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak).

Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku. Pengangkatan anak yang dilakukan melalui proses adat istiadat setempat memang diperbolehkan, tetapi alangkah baiknya pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan agar pengangkatan anak yang dilakukan menjadi sah dimata hukum, agar anak yang diangkat menjadi terlindungi dengan adanya penetapan pengadilan. Namun pada tatanan empiris sebagian besar masyarakat tidak

(17)

7

melakukan pengangkatan melalui proses penetapan pengadilan.13 Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang berbunyi, “permohonan pengangktan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.” Penetapan pengadilan ini sangat penting dalam mengatur masalah hukum, seperti yang diketahui bahwa hal ini dapat memberikan kepastian hukum secara penuh kepada status anak angkat apabila tata cara pengangkatan anaknya dilakukan melalui penetapan pengadilan. Dari pernyataan tersebut maka disinilah peran dan tanggung jawab orang tua angkat dipertanyakan, bagaimana tanggung jawab orang tua angkat yang notabene harus menjadi tempat perlindungan bagi anak yang diangkat sedangkan cara mengangkat anaknya saja tidak melalui tata cara yang benar.

Dengan adanya perbedaan ketentuan dan belum adanya Undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pengangkatan anak, tetapi dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat di lakukan untuk kepentingan yang terkait bagi anak dan di laksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.14 Dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan dengan penetapan pengadilan.15

Tetapi, fakta yang terjadi di masyarakat yakni khususnya pada masyarakat desa Ciputat terdapat seorang anak yang diangkat sepenuhnya masuk ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Salah satu kepala keluarga di desa Ciputat bernama pak Erwin yang mengangkat anak dari keponakan dan mengambil alih pengasuhan serta biaya

13 Nadia Nur Syahidah, Praktik Pegangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan dan Dampak Hukumnya (Studi Kasus di Desa Bantarjati, Klapanungal, Bogor), (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 5.

14 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

15 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

(18)

8

dan kebutuhan anak angkat. Pada kenyataannya proses pengangkan anak yang telah dilakukan tidak melalui penetapan pengadilan melainkan dengan melalui kesepakatan antara keluarga pak Erwin dengan keluarga orang tua kandung anak yang diangkatnya.

Hal tersebut menyebabkan anak yang diangkatnya itu tidak memiliki kekuatan hukum dan berdampak terhadap status anak tersebut yang berada di dalam lingkungan orang tua angkatnya. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Dalam hal studi legalitas status anak adopsi diluar penetapan pengadilan telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Evy (2005)16, mengatakan bahwa pengangkatan anak melalui putusan pengadilan memiliki tujuan yaitu sebagai alat bukti tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi anak angkat dan orang tua angkat untuk memenuhi kewajiban serta menuntut haknya. selain itu, Penetapan pengesahan yang diberikan oleh pengadilan negeri mempunyai nilai kepastian hukum terhadap status pengangkatan anak itu sendiri, juga sebagai bukti untuk melaksanakan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya sebagai akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut, yang antara lain adalah hak dan kewajiban yang ada hubungannya dengan pemeliharaan, pendidikan dan harta peninggalan. Sedangkan proses pengangkatan anak diluar pengadilan salah satunya dilihat dari aspek hukum adat sebagaimana dikutip dari Pratiwi (2016)17, mengatakan bahwa ketika anak angkat masuk kedalam suatu keluarga yang mengangkatnya maka putuslah hubungan keluarga kandung dengan anak tersebut.

berdasarkan pernyataan tersebut Partiwi (2016)18, menyanggah bahwasannya proses pengangkatan anak tersebut telah melalui proses yang salah yaitu melakukan pengangkatan anak tetapi tidak melalui penetapan pengadilan, karna menurut Kasyful

16 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 38.

17 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h.18.

18 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h.19.

(19)

9

(2020)19, pengangkatan anak yang dilakukan dengan tata cara dan motivasi yang salah dari orang tua angkat yang minim pengetahuan tentang pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang dapat mempengaruhi kehidupan antara anak angkat dan orang tua angkat.

Dari pernyataan diatas, dengan adanya perbedaan dan sering sekali timbul permasalahan mengenai ketentuan yang mengatur tentang masalah pengangkatan anak.

Maka penulis termotivasi untuk mengangkat permasalahan ini untuk diteliti lebih dalam mengenai legalitas hukum terhadap status anak yang di alihasuhkan serta implikasi hukum yang diterima oleh orang tua asuh yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI ANAK ANGKAT DI LUAR PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP WARISAN ORANG TUA ANGKAT (Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari permasalahan yang muncul pada latar belakang banyak masalah yang dapat diidentifikasikan yaitu:

1. Legalitas akta authentik (anak angkat) yang berada pada orang tua angkat.

2. Praktik pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan yang dilakukan di masyarakat Desa Ciputat.

3. Faktor penyebab terjadinya pengangkatan anak yang di lakukan terhadap orang tua angkat.

4. Pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat.

5. Akibat hukum terhadap status anak yang di alihasuhkan.

6. Akibat hukum yang diterima orang tua angkat terhadap anak yang di alihasuhkan.

19 Muhammad Kasyful Anwar Budi, Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 21.

(20)

10 2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan pembahasan agar menjadi lebih terarah dengan baik, maka penulis membatasi penelitian ini dengan mengidentifikasi pelaksanaan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan yang akan menitikberatkan terhadap implikasi anak angkat terhadap warisan orang tua angkat menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Kompilasi Hukum Islam, yang wilayah penelitianya dibatasi di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan Banten.

3. Perumusan Masalah

Fokus pertanyaan dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan pengangkatan anak menurut perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana kebiasaan-kebiasaan dan faktor-faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat Betawi Ciputat Tangerang Selatan?

3. Apa implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari permasalahan yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa tujuan peneliti yang hendak dicapai antara lain:

1. Untuk mengetahui etentuan pengangkatan anak menurut perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan faktor-faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat Betawi Ciputat tangerang selatan.

3. Untuk mengetahui implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkat.

(21)

11 D. Kajian Terdahulu

Pada penulisan skripsi ini, peneliti telah melakukan telaah kepustakaan yang bersumber pada buku dan skripsi-skripsi tentang masalah Hak Asuh Anak. Maka dari itu penulis akan mencoba mereview studi terdahulu terkait dengan permasalahan hukum antara lain:

Evy (2005)20, dalam judul “Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus)” mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip pengangkatan anak bertujuan agar seorang anak angkat tidak sampai terlantar menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dini (2016)21, dalam judul “Relevansi Pengangkatan Dan Pemberdayaan Anak Angkat Dalam Hukum Islam” mengatakan bahwa kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dapat disamakan dengan anak asuh atau dengan anak yang memperoleh tunjangan sosial ekonomi dari orang tua yang mengangkatnya. Mungkin pula anak angkat itu ikut dengan orang tua yang mengangkatnya walaupun tidak mendapat tunjangan sosial ekonomi tetapi dia membantu dengan tenaganya pada orang tua yang mengangkatnya. Dalam hal ini orangtua angkat dan anak angkat tersebut menerapkan satu doktrin dalam Islam yang dinamakan ta’awun.

Ini merupakan salah satu bentuk amal shalih dalam ajaran Islam. Darwan (2003)22, dalam judul “Hukum Anak Indonesia” mengemukakan syarat dalam pengangkatan anak yaitu antara dua orang tua angkat dengan anak angkatnya minimal harus terdapat selisih umur 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Untuk itu setiap orang dewasa dapat mengangkat anak.

Apabila calon orang tua dalam perkawinan, maka usia perkawinan orang tua angkat minimal telah berlangsung selama (lima) tahun, sehingga ada selisih antara usia perkawinan calon orang tua angkat dengan usia calon anak angkat minimal lima tahun.

20 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 53.

21 Dini Noordiany Hamka, Relevansi Pengangkatan Dan Pemberdayaan Anak Angkat Dalam Hukum Islam, (Skripsi S-1, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama, Universitas Islam Negri Alauddin Makassar), h. 9.

22 Darwan Prints, “Hukum Anak Indonesia”, (T: Citra Aditya 2003) h. 95

(22)

12

Evy (2005)23, mengatakan bahwa pengangkatan anak melalui putusan pengadilan memiliki tujuan yaitu sebagai alat bukti tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi anak angkat dan orang tua angkat untuk memenuhi kewajiban serta menuntut haknya. selain itu, Penetapan pengesahan yang diberikan oleh pengadilan negeri mempunyai nilai kepastian hukum terhadap pengangkatan anak itu sendiri, juga sebagai bukti untuk melaksanakan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya sebagai akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut, yang antara lain adalah hak dan kewajiban yang ada hubungannya dengan pemeliharaan, pendidikan dan harta peninggalan.

Sedangkan proses pengangkatan anak diluar pengadilan salah satunya dilihat dari aspek hukum adat sebagaimana dikutip dari Pratiwi (2016)24, dalam judul “Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan” yang mengatakan bahwa dengan masuknya anak angkat kedalam suatu keluarga yang mengangkatnya maka putuslah hubungan keluarga kandung dengan anak angkat tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan dengan adopsi menurut hukum barat, perbedaannya adalah dalam hukum adat pengangakatan anak disyaratkan dengan suatu imbalan sebagai pengganti kepada orang tua kandung si anak angkat, biasanya merupakan benda-benda yang dikramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magis. Dilihat dari segi motivasi dalam melakukan pengangkatan anak, pengangkatan anak dalam hukum adat lebih menekankan pada kekhawatiran pada calon orangtua angkat akan kepunahan, maka calon orangtua angkat akan mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak itu akan menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia akan terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

Berdasarkan pernyataan tersebut Partiwi (2016)25, menambahkan bahwasannya proses pengangkatan anak tersebut telah melalui proses yang salah yaitu melakukan

23 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 38.

24 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 18.

25 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 19.

(23)

13

pengangkatan anak tetapi tidak melalui penetapan pengadilan. Kasyful (2020)26, dalam judul “Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan” mengatakan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan dengan tata cara dan motivasi yang salah dari orang tua angkat yang minim pengetahuan tentang pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang dapat mempengaruhi kehidupan antara anak angkat dan orang tua angkat. Dalam pengangkatan anak berarti adanya orang lain yang masuk ke dalam anggota keluarga orang tua angkat, yang apabila dilakukan dengan motivasi yang salah akan menimbulkan permusuhan antar keturunan dalam keluarga tersebut, salah satu contohnya yaitu dalam hal kewarisan, yang seharusnya anak angkat tidak mendapatkan warisan tetapi masuk kedalam anggota ahli waris, sehingga anggota ahli waris yang seharusnya mendapat warisan akan menutup bagian ahli waris yang seharusnya.

Pratiwi (2016)27, menjelaskan akibat-akibat hukum yang dapat timbul dengan adanya pengangakatan anak tanpa melalui proses yang benar yaitu (1) Dapat mengakibatkan terjadinya kesalah pahaman antara yang halal dan yang haram. Misalnya dengan masuk nya anak angkat menjadikan ia sebagai mahram yang mana ia tidak boleh menikah dengan orang yang seharusnya dapat atau boleh dinikahi, dan juga ia dapat melihat aurat orang lain yang seharunya haram dilihatnya. (2) Terganggunya hubungan keluarga beserta hak-haknya. Ini memungkinkan akan terganggunya hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan dalam Islam. Akibat hukum yang mengakibatkan hubungan hukum antara anak dan orangtua biologis putus sama sekali dan timbul hubungan hukum yang baru dengan orangtua agkatnya, dalam hal perwalian misalnya untuk anak angkat perempuan yang beragama islam bila ia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanya lah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya, dan orangtua angkat tidak dibenarkan menjadi wali nikahnya. (3) Dengan masuknya anak angkat ke dalam keluarga orangtua angkat dapat menimbulkan permusuhan antara satu keturunan dalam keluarga itu. Misalnya dalam hal warisan, yang seharusnya anak angkat

26 Muhammad Kasyful Anwar Budi, Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 21.

27 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 21.

(24)

14

tidak mendapatkan warisan malah menjadi ahli waris yang dapat menutup bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang lain yang berhak menerimanya. Surjanti (2015)28, dalam judul “Akibat Hukum dan Sanksi Pidana Pengangkatan Anak Secara Illegal” menambahkan sesuai dengan pasal 11 stb 1917 bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi hukum orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua kandung yang mengangkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung. Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat.

Ahmad (2018)29, dalam judul “Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan, dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Angkat”

menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi anak angkat tidak dapat diberikan karena tidak terdapat penetapan pengadilan yang menjadi dasar bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dan sah menurut hukum. Maka penting adanya penetapan dari pengadilan, karena dengan begitu anak angkat akan mendapatkan dokumen hukum berupa penetapan pengadilan yang akan menguatkan serta untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah apabila suatu saat terjadi masalah hukum.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini menggunakan metode pendekatan yang mana penelitian ini membahas lebih mendalam mengenai pengangkatan anak adopsi diluar penetapan pengadilan yang mengerucut kepada legalitas hukum terhadap status anak yang di alihasuhkan, kesadaran hukum masyarakat serta implikasi hukum yang diterima oleh orang tua asuh yang melakukan

28 Surjanti, (Akibat Hukum dan Sanksi Pidana Pengangkatan Anak Secara Illegal), Jurnal, h. 74.

29 Ahmad Royani, “Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan, dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Angkat”, Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan, Vol. 2018. 6, h. 145.

(25)

15

adopsi tanpa melalui penetapan pengadilan. Sumber masalah yang diambil berasal dari praktik masyarakat langsung dengan mendasar kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Islam dan Hukum Adat. Sedangkan penelitian sebelumnya mengkaji pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat serta mengkaji secara mendasar mengenai prosedur, syarat, faktor penyebab, sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara illegal, perlindungan hukum serta harta warisan yang mana hal tersebut sudah tercantum jelas dalam undang-undang yang sebelumnya sudah ada.

E. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep terkait istilah yang digunakan sebagai landasan konseptual untuk menghindari perbedaan penafsiran kata dalam pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian berdasarkan pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Islam adalah sebagai berikut:

1. Anak menurut Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam anak yang sah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

2. Perlindungan anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(26)

16

3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

Keluarga dalam islam adalah merupakan rumah tangga yang dibangun dari suatu pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilaksanakan sesuai syariat agama islam yang memenuhi syarat pernikahan dan rukun nikah yang ada. Pernikahan juga awal membangun rumah tangga islam dan keluarga Sakinah, mawaddah dan warahmah.

4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

Orang tua menurut Islam ada 3 kelompok yang disebut orang tua dalam ajaran islam: 1) Bapak ibu yang melahirkan, yaitu bapak ibu kandung. 2) Bapak ibu yang mengawinkan, yaitu bapak ibu mertua. 3) Bapak ibu yang mengajarkan, yaitu bapak ibu guru.

5. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Anak Angkat dalam pasal 171 huruh (h) Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian anak angkat sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian normatif adalah metode penelitian yang mendasarkan dan memandang hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, atau suatu

(27)

17

institusi sosial yang otonom.30 Pendekatan tersebut merujuk pada masalah-masalah hukum yang ada di masyarakat.

Penelitian empiris adalah suatu kajian yang memandang hukum sabagai suatu kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain.31 Pendekatan tersebut merujuk pada fakta-fakta sosial yang ada di masyarakat.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu menjabarkan data secara relevan dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data dan memahami hasil analisis.

Peneliti pun juga menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian empiris adalah mendasarkan diri atas berbagai segi pengalaman, dan biasanya merujuk kepada pengalaman panca indera.32 yang artinya bahwa penelitian ini memandang hukum sebagai suatu fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai.33 Oleh karena itu, penelitian yang ingin dibahas kali ini tentang pemahaman yang bersifat dinamis.

3. Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian. Maka, oleh karena itu data yang peneliti gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh menggunakan hasil interview pihak terkait yang dihasilkan sendiri secara langsung seperti: wawancara via online dan offline.

30 Fahmi Muhammad dan Jenal Aripin, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. Pertama, 2010), h. 10.

31 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, (Jakarta:

Perenada Media Group, Cet. Pertama, 2012), h. 2.

32 Bambang Sugiono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Keenam), h. 18.

33 Bahder Johan, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, … h. 81.

(28)

18

b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti: buku- buku terkait Hukum Perlindungan Anak di Indonesia khususnya mengenai pengangkatan anak serta jurnal hukum.

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu, seperti buku-buku mengenai perkawinan, perlindungan anak, jurnal perlindungan anak atau laporan- laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini data-datanya adalah data sekunder dan primer, yaitu:

a. Data Sekunder

Dalam penelitian ini yang termasuk sebagai data sekunder ialah:

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

4) Peraturan Menteri Kesehatan Sosial Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak

b. Data Primer

Data primer diperoleh melalui hasil dari pengumpulan fakta-fakta sosial/fakta hukum, yaitu meliputi hasil interview pihak terkait, berupa daftar pertanyaan tertulis, yang narasumbernya yakni sebagai berikut:

1) Interview terhadap Staff dari Kementrian Sosial Republik Indonesia.

2) Interview terhadap Staff dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

3) Interview terhadap orang tua kandung 4) Interview terhadap orang tua angkat.

c. Data Tersier

(29)

19

Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan primer dan bahan sekunder, seperti jurnal internasional, ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang diakses melalui internet.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni:

a. Penlusuran Kepustakaan yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri Peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian. Adapun Peraturan-peraturan yang terkait yaitu baik berupa:

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

4) Peraturan Menteri Kesehatan Sosial Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak

b. Wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan interview secara personal langsung kepada pihak terkait dalam penelitian ini. Adapun pihak yang diwawancarai adalah pihak orang tua kandung sendiri yang dalam hal ini adalah (nama orang tua), Staff dari Kementrian Sosial Republik Indonesia, orang tua angkat, dan Staff dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. Setelah itu, bahan-bahan hukum tersebut akan dihubungkan datanya (korelasional) untuk mengetahui bahan hukum yang satu,

(30)

20

yaitu perarturan perundang-undangan (Das Sollen) sesuai atau tidak sesuai dengan fakta sosial yang ada (Das Sein).

7. Pedoman Penelitian

Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini mengacu pada kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan skripsi terdiri atas lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang menjadi objek penelitian.

Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai berikut.

Bab Satu mengenai Pendahuluan. Pada bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka konseptual, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab Dua mengenai Perlindungan Hukum Hak Anak Angkat Dalam Keluarga. Pada bab ini, akan dibahas tiga jenis kajian pustaka, yakni pengangkatan anak, hukum pengangkatan anak dan hak-hak anak. Pada kajian pustaka ini membahas mengenai istilah dan ketentuan hukum yang muncul pada penelitian ini agar tidak terjadi kerancuan pemahaman terhadap istilah dan ketentuan tersebut, lalu juga kajian teoritis yang mana membahas teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan terkait penelitian ini.

Bab Tiga mengenai Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pada bab ini menjelaskan bahwa, peneliti akan membahas dan menguraikan beberapa data yang berhubungan erat dengan apa yang menjadi titik fokus pembahasan dalam penelitian ini, yakni penulis akan menjabarkan sejarah dan letak geografis kecamatan ciputat, profil kelurahan cipayung kecamatan ciputat kota Tangerang selatan, sejarah masyarakat betawi serta membahas profil masyarakat ciputat yang melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan.

(31)

21

Bab Empat mengenai ketentuan hukum pengangkatan anak, kebiasaan dan faktor pengangkatan anak dan Implikasinya terhadap hak wairsan anak angkat. Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab permasalahan yang ada pada penelitian ini diantaranya menjelaskan dan menganalisis serta menjawab permasalahan hukum mengenai ketentuan hukum pengangkatan anak, kebiasaan dan faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat betawi ciputat dan implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkatnya. Sedangkan bab terakhir adalah bab Lima mengenai Penutup. Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dari peneliti dan saran. Kesimpulan merupakan penyederhanaan dari hasil analisis data dan dapat ditarik dari hasil pembuktian atau dari uraian yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya yang saling erat dengan pokok masalah.

(32)

22 BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA

A. Kerangka Teori

1. Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.34

Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.35

Tujuan hukum pada hakikatnya menciptakan ketertiban dan memberikan rasa aman antar anggota masyarakat. Begitu pula dalam kedudukan hukum terhadap status anak menurut peraturan perundang-undangan. Kedudukan hukum yang dimaksud Menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad mengenai kedudukan hukum menyampaikan bahwa:36 Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi yang terwujud dalam gerakan (sikap), tetapi juga gerakan badan atau ucapan di dalam masyarakat. Perilaku itu apakah, sesuai dengan status dan perannya. Status, yaitu mengenai posisi yang di duduki, sedangkan peran adalah perilaku yang diharapkan karena kedudukan kita. Hukum dikonsepsikan sebagai bentuk kesesuaian antara kedudukan dan peranan yang dibawakan seseorang dalam masyarakat.

34 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.

35 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 54.

36 Salim dan Erlies, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 142.

(33)

23

Penjelasan kedudukan hukum dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa utamanya kedudukan hukum itu menyangkut status dan peran terhadap subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, apabila subjek hukum dipandang dari statusnya maka menyangkut mengenai posisi dan kedudukan si subjek hukum tersebut dan apabila dipandang dari perannya maka menyangkut perbuatan apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan si subjek hukum dalam kedudukannya.

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat yang berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis.37 2. Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Bachsan Mustafa bahwasanya kepastian hukum dapat disimpulkan pada tiga makna yaitu, pasti mengenai peraturan hukumnya, pasti dengan kedudukan hukum dari objek dan subjek hukum, dan mencegah adanya perbuatan melawan hukum.

Teori kepastian hukum yang di kemukakan oleh Gustav Radbruch dalam Muhammad Erwin menyatakan bahwa sesuatu yang di buat pasti memiliki cita atau tujuan.38

37 Annisa Justisia Tirtakoesoemah dan Muhammad Rusli Arafat, Penerapan Teori Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Penyiaran, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Volume 18, No.1, 2019, h. 5.

38 Dyah Octhorina Susanti, Urgensi Pendaftaran Tanah (Perspektif Utilities dan Kepastian Hukum), Fakultas Hukum Universitas Jember, h. 11.

(34)

24 B. Pengangkatan Anak

1. Pengertian Anak

Menurut Poerwadarminta anak adalah seseorang yang dilahirkan dalam suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan.39 Dari pengertian yang diuraikan di atas nampak jelas perbedaan pengertian anak antara pengertian sehari-hari dengan pengertian secara hukum.

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab anak dengan ayahnya. Namun hukum Islam memberikan ketentuan lain, kata nasab secara etimologi berasal dari Bahasa Arab, yaitu ﺐﺴ ﻧ– ﺐﺴﻨ ﯾ– ﺒﺎﺴﻧ apabila terdapat kalimat ﻞﺧ ﺮ ﻟ اﺐﺴﻧ berarti ﮫﺒﺴﻧ ﺮﻛ ذ و ﮫﻔﺻ و memberikan ciri-ciri dan menyebutkan keturunannya.40

Kata nasab telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai keturunan (terutama dari pihak bapak) atau pertalian keluarga. Disamping itu, Ensiklopedia islam mengartikan nasab sebagai keturunan atau kerabat, yakni pertalian keluarga melalui akad nikah perkawinan yang sah. 41

Kata nasab terkait erat dengan kalimat ﺐﺴﻟﻨ ا dan ﺮﮭﺼﻟ ا dalam QS. Al- Furqon (25) ayat 54, Al-qurtubi menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa ا

ﻧ ﺴ

ﺐ dan ﺮﮭﺼﻟا keduanya bersifat umum yang mencangkup hubungan kerabat di antara manusia. Dalam hal ini secara lebih jelas Ibnu Al-Arabi sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa nasab adalah sebuah istilah yang menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum seorang wanita atas dasar ketentuan syariat. Jika melakukannya dengan cara maksiat, hal itu tidak lebih dari sekedar reproduksi biasa, bukan merupakan nasab yang

39 Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1976), h. 1-2.

40 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, Edisi Kedua, 2013), h. 22.

41 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil), Tangerang Selatan, YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia), 2018, h. 230.

(35)

25

benar. Sehingga tidak masuk dalam kandungan ayat tahrim, maksudnya tidak ada pengaruh dalam masalah hubungan haram dan tidak haram untuk menikah, juga tidak berakibat adanya kewajiban iddah, sehingga seorang wanita yang hamil bukan karena menikah, melainkan dalam kasus married by accident, maka untuk menikah tidak perlu menunggu lahir anaknya.42

Pada dasarnya anak bagi orang tua mempunyai arti yang cukup banyak dan arti yang penting bagi anak antara lain:

a. Sebagai rahmat Allah b. Sebagai amanah Allah c. Sebagai penguji iman d. Sebagai media beramal e. Sebagai bekal di akhirat f. Sebagai unsur kebahagiaan

g. Sebagai tempat bergantung dihari tua h. Sebagai penyambung cita-cita

i. Sebagai makhluk yang harus di didik

Disamping itu hal yang pertama sebagai penerus keturunan yang akan merupakan cermin keberhasilan hidup dari orang tua yang melahirkan, membesarkan mendidiknya. Sesuai pula dengan kondisi anak yang senantiasa tumbuh dan berkembang, tumbuh badannya dan berkembang jiwanya. Faried Maa’aruf Noor, menyatakan terdapat beberapa aspek atau segi perkembangan anak antara lain:

a. Aspek Kognitif

Dalam hal ini anak yang semula tidak tau hal apa-apa, kemudian menjadi anak yang cukup cerdik dan pandai.

b. Aspek Perilaku Sosial

42 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil), Tangerang Selatan, YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia), 2018, h. 231.

(36)

26

Dalam aspek ini anak yang semula pasif dalam menerima perlakuan sekitarnya, menjadi barang yang aktif memberi perlakuan pada sekitarnya, Sehingga dalam batasbatas tertentu dapat merubah keadaan yang ada di lingkungannya.

c. Aspek Emosional

Dalam aspek ini anak yang semula pasif untuk menerima sesuatu yang memberikan kebahagiaan dari orang lain, menjadi orang yang aktif untuk mendapatkan kebahagiaan atau membahagiakan orang lain.

d. Aspek Psikoseksual

Dalam aspek inni anak yang semula merasakan kenikmatan hanya dari sesuatu yang masuk dari mulut, menjadi orang yang dapat merasakan dari segi sesuatu yang diterimanya dari luar. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa anak mempunyai arti pnting bagi setiap orang tua, dan dengan demikian orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak, memberi makan, pakaian, menjaga keselamatan, kesejahteraan lahir dan batin.43

e. Dalam Bidang Pendidikan Meliputi

1) Mendidik anak (memberi pendidikan kepada anak).

2) Mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal.

3) Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan.

4) Mengembangkan rasa hormat terhadap orang tua, dan guru, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilai sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, darimana anak berasal, dan peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri.

5) Mempersiapkan anaknya untuk bertanggung jawab dalam kehidupan.

6) Dapat menjawab keinginan dan pertanyaan anak.

43 Faried Ma’aruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, (Jakarta: Gema Insan Press,1990), h. 55.

(37)

27

7) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadab tanah air.44 f. Dalam Bidang Agama Meliputi

1) Azan bagi anak laki-laki dan iqamah bagi anak perempuan.

2) Memperdalam hubungan anak dengan Allah.

3) Memperkenalkan nikma dan karunia Allah.

4) Membimbing anaknya dalam pengalaman ilmu agama.

5) Memberi nama bagi anak.

6) Memperjelas nasab (keturunan).

7) Selalu mendo’akan kepada anaknya.45 g. Dalam bidang Emosional

1) Adanya rasa kasih sayang dan cinta kepada anak.

2) Harus mencerminnkan keteladanan yang baik karena anaknya akan selalu mengikuti jejak dan prilaku orang tuanya.

3) Mengikuti sagala tindak tanduk orang tuanya.

4) Berbuat dan bersikap adil dalam keluarga.

5) Bijak dalam membimbing.

6) Meluangkan waktu untuk bergaul dan bermain dengan anaknya 7) Harus baik tidak kasar dan bijak dalam mengungkapkan

kemarahannya terhadap anak.

8) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.46 h. Dalam Bidang Kesehatan Meliputi

1) Orang tua dan keluarga brtanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan merawat anak sejak dalam kandungan hingga dewasa.

2) Bila Orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut maka pemerintah wajib memenuhinya.47

44 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya), h. 135.

45 Zakiah Dradjat, ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1979), h. 36.

46 Majalah, Parent Guide (Better Parent-Better Generation), Edisi Tanggal 4 Oktober 2003, h. 22

47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Gambar

Gambar Peta Wilayah Kecamatan Ciputat
Gambar Peta Wilayah Kelurahan Cipayung

Referensi

Dokumen terkait

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Pada metode antopometri kita kenal dengan Indeks Antropometri. Indeks antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter

Teknologi menjadikan semua hal menjadi lebih mudah dan praktis, munculnya teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) yang sekarang berkembang pesat,

Talang Markisa ini merupakan desa terpencil yang terisolir dari akses dasar manusia, namun masyarakatnya masih dapat bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan-bantuan dari

Berdasarkan uraian pembahasan dan permasalahan serta tujuan penelitian “Penerapan SAK EMKM sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan UMKM (studi kasus pada UMKM UD

Hasil Observasi Proses Pembelajaran Menulis Narasi dengan Penerapan Metode Peta Pikiran Pada Siswa Kelas VIII/A SMP Negeri 1 Kuripan.

keramat yang di pahami oleh masyarakat Desa Purwosari yaitu sebuah tradisi selamatan agar di jauhkan dari gangguan-gangguan roh halus yang pelaksaannya di lakukan

Bagaimana pengaruh siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan minat belajar rendah terhadap hasil belajar pada Standar Kompetensi Memperbaiki Unit Kopling dan