• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASAS MATERI MUATAN PERDA DALAM KERANGKA DAERAH OTONOMI KHUSUS. VI UUD 1945 Perubahan Keempat tentang Pemerintah Daerah, yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II ASAS MATERI MUATAN PERDA DALAM KERANGKA DAERAH OTONOMI KHUSUS. VI UUD 1945 Perubahan Keempat tentang Pemerintah Daerah, yaitu"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

28 BAB II

ASAS MATERI MUATAN PERDA

DALAM KERANGKA DAERAH OTONOMI KHUSUS

A. Otonomi Khusus Daerah Papua

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat merupakan wilayah di Indonesia bagian timur yang mempunyai otonomi khusus. Dasar mengenai pembentukan daerah khusus diatur dalam Pasal 18 B Bab VI UUD 1945 Perubahan Keempat tentang Pemerintah Daerah, yaitu (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun

(2)

29 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Pembentukan atas Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua dilatarbelakangi untuk menghentikan keinginan masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Undang- Undang tersebut dibentuk untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat Papua. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, otonomi khusus Provinsi Papua dibentuk untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah dan Rakyat Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus wilayahnya. Salah satunya ialah yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa:

“Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dengan adanya otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua tersebut, maka ada sistem birokrasi yang berbeda yang dimiliki oleh wilayah Papua dibandingan dengan wilayah lain yang ada di Indonesia. Dalam Bab V tentang Bentuk dan Susunan Pemerintahan

(3)

30 pada UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, maka terbentuklah Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi tersebut kemudian berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007 tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat.

Untuk otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua Barat diatur dalam Pasal 1 Point a Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang menyebutkan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah

(4)

31 Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua disebutkan bahwa dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi- provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi. Secara eksplisit apabila merujuk pada Bab V Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintah Provinsi Papua Barat juga terdapat tiga komponen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB).

Konstruksi Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dibangun berlandaskan pada sejumlah pernyataan bermakna filosofis, sebagaimana tertuang dalam konsiderans menimbang yang mengandung sejumlah pengakuan antara lain:1

1. Pengakuan atas cita-cita dan tujuan NKRI;

2. Pengakuan bahwasanya masyarakat Papua adalah insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab;

3. Pengakuan terhadap adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus;

4. Pengakuan bahwasanya penduduk asli Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia dan merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman budaya, sejarah, adat istiadat, dan bahasa;

5. Pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya

1 Rochendi S.& Kausar Ali Saleh, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Otonomi Khusus Di Provinsi Papua Barat, Jurnal Politik, Volume. 13 Nomor 1, 2017, hlm 1909.

(5)

32 kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM);

6. Pengakuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli;

7. Pengakuan adanya kesenjangan Provinsi Papua dengan provinsi lain di Indonesia.

Pada dasarnya, Otonomi Khusus Papua adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua Barat untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka NKRI.

Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus Papua, maka, terdapat hal- hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di sisi lain terdapat juga sejumlah komitmen, antara lain:2

1. Menjunjung tinggi HAM, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat;

2. Menghargai kesetaraan dan keragaman sosial budaya masyarakat Papua;

3. Perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral;

4. Perlindungan hak-hak dasar penduduk asli dan HAM;

5. Supremasi hukum;

6. Penegakan demokrasi;

7. Penghargaan terhadap pluralisme;

8. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM penduduk asli Papua.

2 Ibid.

(6)

33 Pengakuan dan komitmen ini merupakan pengejawantahan dari nilai dasar yang melandasi penyusunan Rancangan Undang- undang tersebut. Nilai dasar tersebut kemudian diinterpretasi dalam 5 (lima) prinsip, yang diakronimkan menjadi “Papua”, yakni proteksi, affirmasi, pemberdayaan, universal, dan akuntabilitas.

Nilai dasar dan prinsip sebagaimana tersebut, pada ranah operasional diaktualisasikan dalam bentuk rumusan isi atau batang tubuh dari UU Otsus yang terdiri atas XXIV Bab dan 79 Pasal.3

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 21 tahun 2001 dan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2008 bahwa pelaksanaan kewenangan khusus dimaksud harus diatur dalam Perdasus/Perdasi, dengan ketiadaaan peraturan tersebut, maka, dapat dikatakan prinsip “money follow function” dalam penggunaan anggarannya belum dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif.4 Berkait dengan hal tersebut, maka, tidak heran jika kehadiran Otonomi Khusus belum berdampak secara signifikan terhadap pencapaian kesejahteraan orang asli Papua yang merupakan target/sasaran affirmative action dan menjadi tujuan dari UU Nomor 21 Tahun 2001.

3 Ibid.

4 Rochendi S & Kausar Ali Saleh, Op.cit, hlm 1913.

(7)

34 Tabel 1 memberikan gambaran tentang besarnya tantangan yang dihadapi untuk mengejawantahkan UU No. 21/2001 dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Tabel 1

Perdasus/Perdasi Dalam Kerangka UU No. 21/2001

Pasal Topik Papua Papua Barat

Pasal 2

Perdasus mengenai Lambang Daerah Provinsi Papua dalam bentuk Bendera dan Lagu Daerah

Belum ada Belum ada

Pasal 4 ayat

3

Perdasus/Perdasi mengenai

kewenangan-

kewenangan khusus Provinsi dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus

Belum ada Perdasi Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Provinsi Papua Barat

Pasal 4 ayat

4 dan 5

Perdasus/Perdasi mengenai

kewenangan-

kewenangan khusus Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan

Otonomi Khusus

Belum ada Belum ada

Pasal 4 ayat

9

Perdasus mengenai Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur mengenai perjanjian

Internasional

Perdasus Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Gubernur Terhadap Perjanjian Internasional

Belum ada

(8)

35 Pasal

11 ayat 3

Perdasus mengenai tatacara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Perdasi Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Pemilihan Umum

Gubernur Dan Wakil Gubernur (banyak Pasal yang dicabut MA)

Belum ada

Pasal 19 ayat 3

Perdasus mengenai keanggotaan dan jumlah anggota MRP

Belum ada Perdasus

Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Keanggotaan Dan Jumlah Anggota

Majelis Rakyat Papua Barat Pasal

20 ayat 2

Perdasus mengenai tugas dan wewenang MRP

Perdasus Nomor 4

Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP

Perdasus Nomor 6 Yahun 2012 Tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang,

Hak Dan

Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat Pasal

21 ayat 2

&

Pasal 23 ayat 2

Perdasus mengenai hak dan kewajiban MRP

Perdasus Nomor 3

Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Hak dan

Kewajiban MRP

Perdasus

Nomor 6 Yahun 2012 Tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang,

Hak Dan

Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat Pasal

24 ayat 2

Perdasus/Perdasi mengenai Tata Cara Pemilihan MRP

Perdasus No 14 Tahun 2016

Perdasi Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata

(9)

36 tentang Tata

Cara Pemilihan Anggota MRP

Cara Pemilihan Anggota MRP

Pasal 26 ayat 3

Perdasi mengenai Perangkat Provinsi Papua

Sudah ada Sudah ada

Pasal 27 ayat 3

Perdasi mengenai Pengaturan

Kebijakan

Kepegawaian di Provinsi Papua

Sudah ada Sudah ada

Pasal 29 ayat 3

Perdasi mengenai tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap

Perdasus

Belum ada Belum ada

Pasal 32 ayat 2

Perdasi mengenai fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaan Komisi Hukum Ad Hoc

Perdasi Nomor 16

Tahun 2013 tentang Komisi Hukum Ad Hoc

Belum ada

Pasal 34 ayat 7

Perdasus mengenai pembagian lebih lanjut secara adil dan berimbang

penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan memberikan perhatian bagi daerah-daerah

tertinggal.

Perdasus Nomor 25 Tahun 2013 Tentang

Pembagian Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Dana Otonomi Khusus

Belum ada

Pasal 35 ayat 6

Perdasi mengenai ketentuan

pelaksanaan

Perdasi Nomor 17

Tahun 2013

Perdasi Nomor 11 Tahun 2009 Penerimaan

(10)

37 bantuan luar negeri tentang

Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah

Sumbangan Pihak Ketiga Kepada

Pemerintah Provinsi Papua Barat

sebagaimana telah diubah Perdasi Nomor 11 Tahun 2012 Pasal

36 ayat 1

Perdasi mengenai perubahan dan perhitungan

APBD

Sudah ada Sudah ada

Pasal 36 ayat 3

Perdasi mengenai tata cara penyusunan dan

pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja

Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta

pertanggungjawaban dan pengawasannya.

Sudah ada Sudah ada

Pasal 38

Perdasus mengenai pemanfaatan

sumberdaya alam di Papua

Perdasus Nomor 18

Tahun 2008 tentang

Perekonomian Berbasis Kerakyatan

Belum ada

Pasal 41 ayat 2

Perdasi mengenai Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi

Perdasi Nomor 18

Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyertaan Modal

Pemerintah Daerah Kepada

Perdasi Nomor 6 Tahun 2007 tentang

Investasi Daerah

(11)

38 Pihak Ketiga

Pasal 43

Perdasus/Perdasi mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum

Adat

Perdasus Nomor 23

Tahun 2008 Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum

Adat atas Tanah

Belum ada

Pasal 51

Perdasus/Perdasi mengenai Peradilan Adat

Perdasus Nomor 20

Tahun 2008 tentang

Peradilan Adat di Papua

Belum ada

Pasal 56 ayat 6

Perdasi mengenai penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Papua

1. Perdasi Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

2. Perdasus Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat Terpencil.

Belum ada

Pasal 57

Perdasus/Perdasi Perlindungan HAKI Orang Asli Papua

Perdasus Nomor 19

Tahun 2008 tentang

Perlindungan HAKI

Orang Asli Papua

Belum ada

Pasal 59

Perdasi mengenai Penyelenggaraan

Perdasi Nomor 7 Tahun 2010

Belum ada

(12)

39 ayat 2 pelayanan kesehatan Tentang

Pelayanan Kesehatan Pasal

60 ayat 2

Perdasi mengenai program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk

Sudah ada Belum ada

Pasal 61 ayat 4

Perdasi mengenai Penempatan

penduduk

Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang

Kependudukan

Belum ada

Pasal 62 ayat 4

Perdasi mengenai pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi Orang Asli Papua

Belum ada Belum ada

Pasal 64

Perdasus/Perdasi mengenai

Pengelolaan

lingkungan hidup secara terpadu dengan

memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan

memperhatikan hak- hak masyarakat adat dan untuk sebesar-

1. Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan di Provinsi Papua 2. Perdasus Nomor 22 Tahun 2008 tentang

Pelindungan dan Pengelolaan SDA

Masyarakat Hukum Adat

Belum ada

(13)

40 besarnya bagi

kesejahteraan penduduk.

Pasal 66

Perdasus mengenai pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua

Belum ada Belum ada

Pasal 67

Perdasus mengenai Pelaksanaan

pengawasan sosial

Belum ada Belum ada

Sumber: UU Otsus Papua dan Setjen kemendagri, diolah penulis.

B. HAM Dalam Kepentingan Orang Asli Papua

Hukum menjadi instrumen penting dalam melindungi dan tegaknya HAM dalam negara. Dalam melindungi dan memastikan tegaknya HAM dalam negara, harus dipastikan hukum menjadi instrumen dalam pengawasan bahkan pembatasan kepada otoritas publik atau negara agar tidak terjadi abuse of power, dalam banyak kasus menjadi awal terjadinya pelanggaran HAM.

Menurut Hamdan Zoelva, konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional diimplementasikan dalam kehidupan bernegara.5 Konsep negara hukum indonesia diwujudkan dalam bentuk perlindungan terhadap warga negara dalam UUD Negara Republik

5 Muhammad Amin Putra, Perkembangan Muatan Ham Dalam Konstitusi Di Indonesia, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 9 No. 2, April-Juni 2015. Hlm 200.

(14)

41 Indonesia. Sehingga HAM tanpa dibingkai dalam hukum konstitusi akan menimbulkan kesewenang-wenangan.

Indonesia memiliki konsepsi hak-hak asasi manusia dalam hukum dasarnya sejak tahun 1945, menunjukkan adanya corak konstitutionalisme yang dibangun dan terjadi konteksnya pada saat menginginkan kemerdekaan atau lepasnya dari penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, atau bisa disebut memiliki corak konstitutionalisme yang anti kolonialisme. Dalam Undang-Undang Dasar yang dibuat tahun 1945, telah dicantumkan hal tersebut dalam Pembukaan-nya alinea 1, yang menegaskan: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan

“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-

(15)

42 undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.

Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), secara substansi menegaskan bahwa negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan pasal 28I ayat (5), merupakan konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.6

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas

6 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Op.cit, hlm 9.

(16)

43 berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7

Secara normatif, undang-undang otsus membagi subjek pengaturan ke dalam empat golongan subjek, yakni: Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, Orang Asli Papua, dan Penduduk Provinsi Papua.8 Dalam konteks masyarakat adat Papua, regulasi pada tingkat undang-undang sampai pada peraturan daerah khusus di Papua telah menerjemahkan konsep HAM dalam konteks masyarakat hukum adat Papua sebagai subjek pemegang hak, dengan penjabaran unit terkecil berupa orang asli Papua.

Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua mempunyai identitas diri yang khas dan merupakan suatu

7 Lihat Penjelasan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

8 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mendefinisikan kelompok subjek tersebut sebagai berikut: Pertama, Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya; Kedua, Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya; Ketiga,Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua; Keempat, Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

(17)

44 keragaman dari masyarakat asli Papua. Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat memberikan keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar dari penduduk asli Papua.

Untuk itu perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu:9

a. Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional.

b. Perlindungan hak‐hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas‐batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

c. Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.

d. Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.

9 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 54

(18)

45 e. Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan

f. Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua.

C. Pembentukan Perda di Daerah Otonomi Khusus Papua

Dalam Bab VIII Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ditegaskan mengenai instrumen hukum di daerah otonomi khusus Provinsi Papua yakni Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, dan Keputusan Gubernur. Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Adapun Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Keputusan Gubernur adalah instrumen hukum untuk melaksanakan Perdasus atau Perdasi.

Dalam konsiderans “menimbang” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ditegaskan bahwa penetapan daerah otonomi khusus (Papua) harus tetap

(19)

46 mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peraturan perundang-undangan, Perdasus dan Perdasi adalah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukanPasal 7 ayat (2) huruf aUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pasal 29UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa:10

(1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.

(2) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

(3) Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

(4) Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa:11

(1) Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

10 Lihat Pasal 29 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

11 Lihat Pasal 30 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

(20)

47 (2) Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdasus, dan Perdasi.

Kemudian, Pasal 31 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa:12

(1) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(2) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(3) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.

Perda di Papua dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan

12 Lihat Pasal 31 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

(21)

48 pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.

Selain itu, sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan konkuren dan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 11-14 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No. 18 Tahun 2016 Tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.

(22)

49 Berdasarkan Ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan, peraturan perundang‐undangan tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu peraturan perundang‐undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud peraturan perundang‐undangan merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (vide Pasal 2 UU No.12/2011), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang‐undangan (vide Pasal 3 ayat (1) UU No.12/2011), asas‐asas pembentukan peraturan perundang‐undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No.12/2011 jo Pasal 237 UU No. 23/2014.

Pasal 1 angka 2 UU No.12/2011 menyatakan bahwa:

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU

(23)

50 No.23/2014 Pasal 65(2) huruf b bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 97 ayat (1) huruf a bahwa

”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 236 ayat (2) bahwa ”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda di Provinsi Papua dan Papua Barat mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah, namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, misalnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selain itu Perda Provinsi Papua dan Papua Barat dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

(24)

51 D. Materi Muatan Dalam Pembentukan Perda

Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalamUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal- hal yang:13

a. Mengantar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan

13 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(25)

52 peraturan perundang-undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut:14

a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah- masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar

14 Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(26)

53 belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k. Asas lain, sesuai substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Selain itu, Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:15

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;

dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:16

(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang

15 Lihat Pasal 236 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

16 Lihat Pasal 237 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(27)

54 tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.

(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara efektif dan efisien.

Mengenai muatan sanksi Pasal 238Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.

(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. penghentian tetap kegiatan;

e. pencabutan sementara izin;

f. pencabutan tetap izin;

g. denda administratif; dan/atau

h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(28)

55 Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 249 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima.

Dalam hal Perda Provinsi dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Menteri sedangkan Perda Kabupateen/kota dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan pada Presiden dan Bupati/walikota dapat mengajukan keberatan pada Menteri dalam waktu 14 hari sejak pembatalan diterima.17 Model pengenaan sanksi kepada kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (2) dan (4) maupun Pasal

17 Lihat Pasal 249 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

(29)

56 252 UU No 23 Tahun 2014 dapat dikenakan pada daerah yang tidak melakukan perubahan Perda karena alasan bertentangan dengan

“kepentingan umum dan atau kesusilaan”.18

18 Umbu Rauta, Op.cit, hlm 273.

Referensi

Dokumen terkait

Pacta penelitian ini juga dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif banyak unsur logam berumur para panjang yang terkandung dalam cuplikan lingkungan sedimen dan air

Norma sosial (social norms) merupakan pedoman yang menjadi arah bagi perilaku dan tindakan seseorang atau masyarakat agar sesuai dengan aturan-aturan yang telah

Kesan-kesan buruk lain : Tiada kesan yang penting atau bahaya kritikal yang diketahui.

Gambar 11 Matrik Penjumlahan Setiap Penilaian Pada 12 terdapat table rasio konsistensi dimana nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing kolom atau baris merupakan hasil

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan calon guru dalam menghasilkan ensiklopediaberbasis bioedupreneurship melalui pembelajaran berbasis proyek dengan

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH

Ladhan olahraga dengan intensitas sedang yang dilakukan 3 kali seminggu selama 15-60 menit merupakan terapi efekuf untuk hipertensi ringan sampai sedang, dengan demikian,