• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dan konformitas kelompok Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dan konformitas kelompok Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hampir bisa di pastikan tidak ada satupun ruang gerak dan aspek kehidupan

masyarakat ini terhindar dari dampak industrialisasi dan arus globalisasi. Termasuk juga

remaja yang tengah berada dalam realitas kehidupan yang semakin di dominasi produk

industri dan terkepung berbagai arus perubahan sosial yang dahsyat. Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan telah menimbulkan berbagai fenomena dari dampak industrialisasi

dan globalisasi. Persoalan besar lain yang menjadi dampak dari industrialisasi dan

globalisasi tersebut adalah semakin maraknya budaya konsumtif (consumer culture)

dalam kehidupan remaja dan masyarakat pada umumnya.

Besarnya budaya konsumtif itu telah lama melanda dunia remaja, di mana saja

mereka berada, kehidupan remaja sudah banyak di warnai dan di kendalikan

kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendidik, karena mengajarkan keborosan, kerakusan dan

kesia-siaan dari segala sesuatu yang di konsumsi untuk kepuasan sendiri. Dampak negatif dari

fenomena tersebut secara psikologis dan sosiologis tergolong destruktif terhadap

perkembangan dan kepribadian remaja sebagai makhluk individu dan sosial.

Agen besar yang menyebarkan budaya konsumtif itu secra intensif dan ekstensif terhadap dunia remaja adalah iklan, lewat media massa cetak, elektornik, pamflet dan

spanduk serta pertunjukan langsung yang menawarkan dan menjajakan berbagai produk

industri dan jasa layanan di tampilkan di depan mata tiap remaja.

Menurut Tambunan (2001) perilaku konsumtif adalah keinginan untuk

(2)

untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Hal ini di ilustrasikan seperti seseorang yamg

memiliki penghasilan 500 ribu rupiah, ia membelanjakan 400 ribu rupiah dalam waktu

tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, sisanya ia belanjakan sepasang sepatu

karena sepatu yang di milikinya untuk bekerja sudah rusak, dalam hal ini orang tersebut

belum di sebut berperilaku konsumtif, tetapi apabila ia membelanjakan gajinya yang

500 ribu tersebut untuk sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli

sepatu sebanyak 400 ribu rupiah dengan kartu kredit) maka ia dapat di sebut berperilaku

konsumtif.

Produsen juga memandang perilaku konsumtif ini sebagai peluang potensial

karena melihat pola konsumsi tersebut, terlebih saat remaja pola konsumsi seseorang

terbentuk (Tambunan,2001).Alasan lain remaja mudah terbujuk rayuan iklan, suka

ikut-ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya.

Lebih-lebih bagi remaja putri yang keinginan untuk berperilaku konsumtif Lebih-lebih besar dari

pada remaja pria. Menurut Loudon (Dalam Rini,2002) remaja putri terutama yang

berusia 14-19 tahun paling banyak membelanjakan uangnya untuk kosmetika, pakaian,

alat-alat yang membantu memelihara kecantikannya serta lebih banyak membelanjakan

uangnya untuk membeli perhiasan. Sifat-sifat tersebut yang di manfaatkan oleh

sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Di kalangan remaja terutama di

kota-kota besar mall sudah menjadi rumah kedua, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar, padahal mode itu sendiri selalu

berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang di milikinya, alhasil

(3)

Ketika orang berbicara tentang konsumsi dari sisi materiilnya, ukurannya meski

juga tidak selalu pasti, namun masih bisa menggunakan indikator atau standarisasi

tertentu untuk mengukurnya. Misalnya, pengertian sandang, pangan dan papan.

Dilihat dari kebutuhan fisisnya, sandang berfungsi untuk melindungi manusia

dari kondisi (termasuk didalamnya iklim) alam lingkungannya; panas, dingin, debu dan

sebagainya. Sementara, secara agamis atau dari sisi moral, pakaian selain melindungi

fisiknya, juga untuk menutup auratnya. Sehingga dengan berpakaian yang memenuhi

syarat fungsionalnya, diharapkan, disamping orang akan terjaga kesehatannya, juga terjaga dari kemungkinan perilaku a-moral lawan jenisnya, sebagai akibat dari

munculnya rangsang seksual yang ditimbulkan oleh keindahan aurat yang dimilikinya.

Karenanya, yang menjadi pertanyaan adalah berpakaian seperti apa yang kemudian bisa

dikatakan sebagai konsumtif.

Orang dikatakan berpakaian konsumtif apabila pakaian yang dipakainya sudah

terkelupas dari fungsi utamanya. Dan, secara ekonomi sudah tidak lagi memenuhi nilai

ekonomisnya. Sebagai contoh, dengan uang yang semestinya bisa dibelikan pakaian

yang sudah mampu memenuhi syarat fungsional. Orang justru membeli pakaian yang

meski sudah memenuhi syarat moral, yakni, menutupi seluruh auratnya; namun, tidak

memenuhi syarat fisis. Karena, pakaian yang dibelinya terbuat dari bahan yang cocok

atau lebih cocok untuk dipakai di daerah yang secara geografis berbeda. Misalnya, beriklim dingin. Sementara, ia tinggal di daerah tropis. Sebaliknya, meski sering pula

pakaian yang dibelinya sudah memenuhi syarat fisis. Namun, dilihat dari sisi modelnya

tidak memenuhi syarat moral. Hal ini dikatakan konsumtif juga. Karena, dengan uang

yang dikeluarkannya, sesungguhnya sudah berlebih atau bahkan sering sangat berlebih

(4)

terjadi dalam alam kehidupan konsumtif saat ini, pakaian sudah sering tidak lagi

memperhatikan kedua syarat fungsionalnya. Apalagi dilihat dari sisi ekonomisnya.

Dengan label “special design” orang rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit

untuk membayar pakaian yang terbuat dari bahan yang harganya hanya seperberapa dari

harga produk akhirnya. Belum lagi ketika pakaian itu dipakai, tidak jarang membuat

lawan jenis yang melihatnya melotot karenanya. Bukan karena model atau bahan yang

dipakainya. Tetapi lebih karena pakaian tadi bukannya melindungi aurat. Melainkan

justru menjadikannya bagian-bagian tubuh sebagai sajian rasa berahi lawan jenis. Untuk apa ? untuk mendapatkan perhatian umum. Agar dikatakan sebagai orang hebat beda

dengan yang lain orang modern dan lain-lain.

Dari sini, fungsi pakaian sudah bergeser dari fungsi utamanya. Pakaian tidak lagi

sekedar menjadi alat pelindung fisik seseorang dari iklim dan nafsu lawan jenis, tetapi,

sudah menjadi bagian dari perangkat untuk mewujudkan eksistensi seseorang. Dalam

semangat seperti ini, meski sering bisa dikata kurang atau bahkan mungkin tidak cocok,

mereka berpakaian layaknya orang-orang di wilayah lain yang jelas berbeda baik dari

sisi geografis maupun budayanya. Hal seperti ini dilakukan agar si pemakai bisa

dikatakan setara dengan standart kehidupan mereka. Mereka tidak lagi melihat pakaian

dari sisi fungsionalnya. Tetapi sudah menempatkannya ke dalam wilayah status sosial.

Atau mungkin yang lebih trendy lagi sebagai gaya hidup.

Meski harus mengorbankan nilai fungsional dan ekonomisnya, mereka

mendapatkan satu sisi lain yang merupakan bagian integral dalam berkonsumsi, yakni,

kepuasan batin.

Dari kacamata kapitalistik, keinginan atau kebutuhan manusia harus dipompa

(5)

diatas adalah benar. Karena, semangat beda, lebih dari yang lain, atau dalam bahasa

globalnya “bersaing bebas” atau “persaingan bebas” adalah sebuah karakter yang

menjadi prasyarat bagi berjalan sempurnanya sistem ini. Sebuah sistem yang tidak

mengakui keberadaan etika dan moral sebagai penjaga sekaligus pengawal bagi

terciptanya keharmonisan pergaulan antar umat manusia. Etika bagi seorang kapitalis

adalah bagaimana menciptakan sebuah keyakinan sehingga orang yang dieksploitir

tidak merasakan sakitnya. Sebaliknya, justru menikmatinya sebagai sebuah anugrah

berupa kesempatan yang tidak boleh disia-siakan dalam kehidupannya. Demikian pula moralitas. Bagi mereka, moralitas adalah bagaimana mereka bisa meraih keuntungan

sebesar-besarnya atas investasi yang ditanamnya. Mereka tidak perduli dengan apa dan

bagaimana akibat yang ditimbulkannya. Mereka tidak peduli apakah dengan pakaian

yang dipasarkannya itu akan mendorong munculnya banyak kasus pemerkosaan, atau

apakah dengan pakaian itu akan mengakibatkan si pemakai terpaksa melakukan utang

yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Bagi mereka, ini tidak penting.

Dalam kerangka berpikir seperti ini. Berkonsumsi adalah hak asasi individual

yang tidak memiliki tanggungjawab sosial. Karenanya, maksimalisasi pola konsumsi

menjadi bagian yang sangat dianjurkan. Dan, untuk memacunya, mereka membawanya

kedalam sebuah gaya hidup yang kemudian diberi label atas tingkat kemampuan

berkonsumsinya sebagai “status sosial”.

Bagi peyakin ideologi ini, ekses yang diakibatkan atau ditimbulkan oleh

investasi bukanlah menjadi tanggungjawabnya. Karena, hanya dengan memacu pola

konsumsi masyarakat semaksimal mungkin seperti inilah mereka berharap produk

(6)

teori pertumbuhan dimana keuntungan pasti akan mereka peroleh dari investasi yang

mereka tanam. Sutisna (Lestari,2003).

Apabila kita melihatnya dari kacamata sosialistik. Sikap dan perilaku seseorang

tidak hanya mewakili dirinya sendiri. Melainkan di dalam hak-hak individual-nya

terkandung hak dan kepentingan orang lain. Atau dengan kata lain, setiap gerak dari

individu dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap lingkungannya, dan demikian

pula sebaliknya.

Seorang yang berpandangan sosialis akan mempertimbangkan berbagai pengaruh yang mungkin muncul dari sikap dan perilakunya. Sehingga, meski memiliki

kemampuan membeli atas sebuah produk. Hal ini sering tidak dilakukannya. Bukan

karena tidak ingin mengkonsumsi atau tidak mampu membelinya, melainkan, justru

karena pertimbangan kondisi sosial-ekonomi sekelilingnya. Atau, bahkan tidak jarang,

sikap diatas muncul atas pertimbangan moral. Dalam pola berpikir seperti ini, orang

didorong untuk menyimpan kelebihan kemampuan konsumsi kedalam tabungannya,

atau dengan kata lain melakukan saving. Baik itu dilakukan dalam bentuk uang atau

bisa juga dalam bentuk barang.

Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat di mengerti bila melihat usia

remaja sebagai peralihan dalam mencari identitas diri, remaja ingin di akui

eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu (conform). Sarwono (2001) berpendapat bahwa konformitas merupakan kesesuaian

antara perilaku seseorang dengan perilaku orang lain yang di dorong oleh keinginannya

sendiri, konformitas terjadi dari kesamaan antara perilaku individu dengan norma.

Kebutuhan untuk di terima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu

(7)

kelompok sebayanya. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih

memandang bahwa yang superficial itu sama pentingnya dengan substansi, apa yang di

kenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja menjadi lebih penting untuk

di tiru di bandingkan dengan kerja keras dan usaha yang di lakukan artis idolanya itu

untuk sampai pada kepopulerannya.

Menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja itu

di lakukan secara berlebihan, pepatah “lebih besar pasak dari pada tiang” berlaku di

sini, terkadang apa yang di tuntut oleh remaja di luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana, Hal ini menyebabkan banyak orang tua mengeluh saat anaknya mulai

memasuki duni remaja, dalam hal ini perilaku tadi telah menimbulkan masalah ekonomi

pada keluarganya.

Tambunan (2001). Konsumsi adalah salah satu kegiatan ekonomi selain

produksi dan distribusi. Sebagai akhir dari rangkaian proses tersebut, konsumsi dapat

diartikan sebagai kegiatan menggunakan barang atau jasa untuk kebutuhan hidup.

Sedangkan konsumtif lebih diarahkan pada perilaku yang ditunjukkan oleh pemakai,

dalam hal ini konsumen. Tanpa disadari, setiap hari kita melakukan konsumsi. Dari

pemenuhan kebutuhan pokok sampai pelengkap, yaitu kebutuhan primer (pangan,

sandang dan papan), sekunder (barang elektronik, perabotan rumah tangga, kebutuhan

sehari-hari) dan kebutuhan tersier (pendidikan, kesehatan, transportasi, wisata, asuransi dan lain-lain).

Dalam mengonsumsi suatu barang dapat ditinjau dari perspektif keinginan atau

kebutuhan. Faktor keinginan inilah yang sering mempengaruhi pola tingkah laku kita.

Keinginan tidak mesti dipenuhi, karena tidak menghilangkan eksistensi kita sebagai

(8)

serta apabila tidak terpenuhi, maka identitas kita sebagai manusia akan hilang (makan,

minum, pakaian,rumah). Jika Anda disodorkan selembar kertas dan menuliskan semua

keinginan anda, maka sampai pada urutan keseratus pun, keinginan lain tetap akan ada.

Dan mengapa keinginan yang selama ini ada telah menjadi kebutuhan, hal ini

dikarenakan kemampuan pihak-pihak lain, dalam memanipulasi keinginan menjadi

kebutuhan yang harus dituntaskan dengan melakukan tindakan konsumsi.

Ketika keinginan telah menjadi kebutuhan mutlak sehingga apabila tidak

dipenuhi, maka identitas sebagai manusia akan hilang, yang dapat disamakan dengan kebutuhan akan makan dan minum. Misalkan saja dengan tidak memiliki barang-barang

mewah, seseorang akan tersisih oleh status sosial, tidak memiliki pakaian bermerek,

seseorang akan dipandang rendah dalam lingkup pergaulan, tidak makan makanan

impor, seseorang tidak dipandang modern dan berbagai kasus lainnya.

Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok

remaja, dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan

gaya hidup konsumtif, gaya hidup konsumtif ini harus di dukung oleh kekuatan

finansial yang memadai. Masalah lebih besar lagi terjadi apabila pencapaian tingkat

financial itu di lakukan dengan segala macam cara yang tidak baik, mulai dari bekerja

yang berlebihan sampai menggunakan cara instant seperti korupsi, mencuri dan

sebagainya yang sampai akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosiaologis bahkan etika.

Banyak kasus yang kita jumpai dalam dinamika masyarakat seperti yang di

beritakan dalam berita “SIDIK” yang di tayangkan di salah satu televisi swasta TPI

tanggal 24 Maret 2007, seorang remaja berinisial “DN” di kota Serang, Banten yang

(9)

interogasi pihak kepolisian ternyata motif perampokan tersebut di karenakan keinginan

memiliki motor yang dia inginkan. Ada lagi contoh kasus seperti sinetron-sinetron yang

di tayangkan di televisi yang selalu menawarkan berbagai macam contoh kehidupan

modern yang cenderung konsumtif.Ada juga kasus seperti penayangan sinetron di

televisi yang menawarkan gaya hidup konsumtif di tengah keterpurukan perekonomian

kita.(Bayu Setiono. Liputan 6 SCTV,15-10-2006).Kasus lain adalah banyaknya

kemunculan gedung-gedung pertokoan, pusat belanja, factory outlet yang terus

menjamur di kota Surabaya dan kota-kota lainnya (Kompas Cyber Media, jumat 21-12-2006).

Melihat latar belakang masalah di atas, sudah barang tentu perilaku konsumtif

yang berlebihan akan membawa dampak yang negatif bagi remaja maupun bagi

masyarakat pada umumnya. Remaja yang memang dalam masa transisi, tidak realistik,

dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya serta mudah oleh terbujuk oleh

iklan, tren maupun suka ikut-ikutan teman mudah untuk terpengaruh oleh budaya

konsumtif akan tetapi perilaku konsumtif yang berlebihan tersebut dapat di kurangi atau

bahkan di hilangkan dengan sejak dini melalui konsep diri positif yang akan

menciptakan citra positif tentang dirinya, optimis, tidak mudah menyerah sehingga tidak

mudah menyerah pada bujukan budaya konsumtif juga mempertimbangkan kondisi

sosial ekonomi di sekelilingnya, serta memanfaatkan kemampuan konsumsi kedalam tabungan. Dengan begitu juga secara tidak langsung juga akan tidak untuk selalu

menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan.

Penelitian ini memfokuskan untuk meneliti perilaku konsumtif yang terjadi pada

remaja putri, banyak faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku konsumtif, dalam

(10)

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan konformitas

kelompok dengan perilaku konsumtif pada remaja putri. Dengan ini penulis hendak

melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Konsep Diri dan Konformitas

Kelompok Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri”

B. Tujuan penelitian Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji hubungan antara konsep diri dan konformitas kelompok dengan perilaku konsumtif pada remaja putri

2. Untuk mengetahui peran konsep diri dan konformitas kelompok dalam perilaku

konsumtif pada remaja putri.

3. Untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan konformitas kelompok dengan

perilaku konsumtif pada remaja putri.

C. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin di harapkan dalam penelitian ini:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmuan psikologi

sehingga dapat memperluas dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dan di bidang psikologi sosial tentang hubungan antara konsep diri dan

konformitas kelompok dalam perilaku konsumtif pada remaja putri.

2. Manfaat Praktis

(11)

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi tentang

hubungan antara konsep diri dan konformitas kelompok dengan perilaku konsumtif

yang bertujuan agar tercipta pola perilaku yang lebih rasional dan positif dalam

usahanya untuk dapat di terima dalam kelompok teman sebayanya sehingga hal ini

dapat meminimalisir perilaku konsumtif pada remaja dengan cara mengembangkan

konsep diri dan kegiatan yang positif sehingga ke depannya akan menciptakan remaja

yang unggul dalam prestasi dan sebagainya

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan bisa memberi informasi dan referensi bagi

peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis sehingga mampu menyempurnakan

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai Ibukota Provinsi Kota Jayapura dengan panjang jalan 458,24 Km yang terdiri dari.. bermacam jenis jalan yaitu primer berfungsi sebagai jalan regional sekunder

telah Allah ajarakan kepada Nabi Adam pada saat di surge yang nantinya menjadi. pengetahuan bagi Adam ketika dia hidup di

Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi Kesetimbangan Kimia Berdasarkan Tingkatan Sekolah .... Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi

The body types of senior and junior elite female triathletes differed in muscle mass, sum. of skinfolds and the percentage of adipose mass in relation to total

Citra merek yang baik akan mengubah konsep pemikiran konsumen tentang produk perusahaan karena dapat membuat konsumen merasakan merek yang akan digunakan memiliki

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan, atau

Data yang digunakan dalam penelitian berupa kata, frasa, paragraf, dan kalimat yang mengandung aspek religius dalam novel Mahabbah Rindu karya Abidah El Khalieqy. Sumber data

Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam mencakup kepala madrasah dan guru yang mempunyai peran yang sangat urgen dalam memberdayakan ummat. Tujuannya adalah untuk