• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berdasarkan judul yang diambil oleh peneliti maka, penelitian ini akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berdasarkan judul yang diambil oleh peneliti maka, penelitian ini akan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

9

Berdasarkan judul yang diambil oleh peneliti maka, penelitian ini akan diteliti dengan menggunakan berbagai teori yang relevan, dengan tujuan mendapatkan kajian pustaka yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh deskripsi secara umum. Kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian kali ini, ialah

2.1 Hakikat Novel

Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istiah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan (Nurgiyantoro, 2015:2), dengan demikian bahwa karya fiksi menunjuk pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya di dunia nyata.

Novel merupakan salah satu bentuk fiksi, selain puisi, cerpen dan juga drama. Sebagai salah satu bentuk fiksi novel memiliki kompleksitas yang tinggi baik ditinjau dari segi isi dan struktur. Novel menceritakan kehidupan manusia dan problematikannya secara lengkap sehingga terdiri atas bermacam-macam alur tidak seperti cerpen, novel memiliki banyak tokoh dengan karakter beragam, latar yang dimiliki novelpun lebih beragam dari pada cerpen yang hanya memiliki satu alur. Jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 kata sampai tak terbatas, dan jika dilihat dari jumlah

(2)

isi novel yang paling pendek minimal harus terdiri dari 100 halaman dan rata-rata waktu yang digunakan untuk membaca novel minimal 2 jam (Tarigan, 1984:165).

Dalam sebuah novel tentu ada unsur-unsur pembangunnya yang secara bersama membentuk sebuah totalitas, namun secara garis besar berbagai macam unsur yang membangun sebuah novel dapat dikelompokkan menjadi dua bangian antara lain unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, unsur yang dimaksud untuk menyebut sebagian saja misalnya tokoh, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, sudut pandang, dan lain-lain. Kepaduan antara berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Sementara itu unsur ekstrinnsik merupakan unsur yang berada di luar teks sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau dapat dikatakan sebagai unsur yang mempengaruhibangunan cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro, 2015:30). Dari setiap unsur yang telah disebutkan dalam penelitian ini hanya mengungkap beberapa unsur saja, demi fokusnya permasalahan penelitian.

2.1.1 Tema

Sebagaimana telah dikemukakan, karya fiksi merupakan manifestasi peng-alaman kemanusiaan, pengpeng-alaman ini tertuang dalam fakta-fakta cerita. Fakta cerita mengandung makna atau tema, karena pengarang menuliskan pengalamannya itu dalam bentuk cerita, bukan konseptual dan tema ini

(3)

dikemukakan secara eksplisit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema adalah arti cerita; tema adalah arti penyiaran cerita; tema mungkin menjadi arti penemuan cerita, dengan demikian tema berarti implikasi yang perlu dari cerita keseluruhan bukan yang terpisah dari cerita (Kenny dalam Pujiharto, 2012:76).

Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail cerita (Stanton, 2012:8). Tema bagi pengarang adalah konsep atau gagasan sentral yang dikembangkan oleh pengarang menjadi suatu cerita atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang (Sugiarti, 2001:38). Paparan tentang tema serta pemahaman-nya memberikan gambaran bahwa tema merupakan ide pokok atau sesuatu yang mendasar dalam karya sastra, dengan demikian tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita dan menjiwai bagian-bagian cerita tersebut.

2.1.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh keberadaan elemen ini sangat penting karena tanpannya tidak akan ada cerita, istilah ‘tokoh’ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam cerita. Sedangkan penokohan adalah cara pandang pengarang dalam melukiskan tokoh sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam suatu cerita sedangkan watak, perwatakan dan karakter adalah cara pandang pengarang dalam menggambarkan watak dan kepribadian tokoh.

Penyebutan nama tokoh tertentu, biasanya akan mengarah pada watak atau karakter yang dimiliki tokoh, karena penggunaan istilah karakter yang merupakan

(4)

cara pandang pengarang dalam menggambarkan watak dan juga kepribadian seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2015:165). Tokoh dan juga perwatakan memiliki peranan penting dalam sebuah karya sastra sebab watak atau karakter tokoh menghasilkan pergeseran, perbedaan kepentingan dan juga konflik yang menghasilkan sebuah cerita biasanya tokoh-tokoh dengan karakter yang berbeda memang sengaja diciptakan pengarang dalam pembuatan sebuah cerita fiksi agar membuat cerita terbuat terkesan lebih menarik, sebab dari perbedaan karakter atau watak tokoh itulah yang pada akhirnya dapat memunculkan sebuah konflik. Salah satu karakter yang terkait dengan penelitian ini adalah karakter mandiri dari tokoh utama perempuan dalam novel.

Sugiarti (2001:95) menyatakan bahwa dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang dapat dilakukan dengan empat cara, antara lain cara analitik, ialah cara yang digunakan apabila pengarang menggambarkan secara langsung mengenai kondisi badan, umur, watak, sifat, perasaan, pandangan hidup, kesukaan dan kesopanan para tokoh dalam sebuah cerita. Cara dramatik, ialah cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan secara tidak langsung dalam memberitahukan wujud atau keadaan tokoh cerita. Cara gabungan antara analitik dan dramatik, ialah upaya pengarang menggunakan dua cara tersebut untuk menggambarkan watak tokoh cerita. Cara terakhir ialah cara kontekstual, yaitu cara pengarang dalam melukiskan rupa dan watak yang dapat menggunakan berbagai cara sesuai fantasinya sendiri, serta tidak harus satu atau dua cara saja.mutu cerita rekaan banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak tokoh-tokoh pengarang yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh akan dapat meyakinkan kebenaran cerita yang disampaikan.

(5)

Sedangkan jenis tokoh menurut Pujiharto (2012:45) membaginya berdasarkan tiga aspek katagori diantaranya, tokoh berdasarkan fungsi penampilannya yaitu tokoh protagonis dan antagonis, tokoh berdasarkan kepentingan peranannya yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan, dan yang terakhir tokoh berdasarkan wataknya yaitu, tokoh sederhana (datar atau monoton dan hanya satu watak yang dicerminkan) dan tokoh bulat atau kompleks (sifat atau tingkah laku mengalami perubahan dan memberi efek kejutan).

2.1.3 Latar

Latar atau setting adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud seperti dekor suatu tempat, latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan dan tahun), cuaca, atau bahkan satu periode dalam sebuah sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2012:35).

Penggambaran latar dalam sebuah cerita dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang suatu tempat tertentu, hal tersebut mungkin bisa juga menjadi adanya temu budaya, baik budaya dalam lingkungan nasional, budaya antar daerah maupun budaya Internasional (budaya antar bangsa). Dengan demikian latar bisa dikaitkan sebagai alat pengenal kebudayaan masyarakat. 2.2 Citra

Citra ialah bentuk gambaran mental atau pribadi yang memiliki kesan tertentu, dalam penelitin ini kesan pemikiran dan tingkah laku tokoh ditinjau dari

(6)

segi sosiologi terkait proses sosial dan perubahannya di dalam keluarga ataupun masyarakat.

Citra diri adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi seseorang, hal ini juga sejalan dengan pendapat Altenbernd yang terpapar dalam buku Sugihastuti (2000:43) mengenai citraan yaitu gambaran-gambaran angan atau pikiran dan setiap gambaran pikiran disebut citra atau imaji. Yang dimaksud citra perempuan dalam sebuah novel adalah semua wujud gambaran mental dan tingkah laku yang diekspresikan oleh tokoh perempuan. (Sugihastuti, 2000:44). Adanya citra diri tentu dipengaruhi oleh beberapa hal seperti bagaimana seseorang dibesarkan orang tuanya, pengalaman hidup, lingkungan dan lain sebagainya. (Arif, 2014:44)

2.3 Citra Perempuan

Citra perempuan ialah merupakan wujud gambaran mental spiritual, tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh tokoh perempuan dalam berbagai aspek yaitu aspek fisik dan psikis sebagai citra perempuan (sosok perempuan), serta aspek keluarga dan masyarkat sebagai citra sosial (aspek sosial budaya) yang melatar belakangi terbentuknya wujud citra perempuan. Dalam menjaga citra tersebut perempuan sebagai individu harus memainkan perannya dengan baik sebagai individu, istri, dan perannya disosial masyarakat. (Sugihastuti, 2000:7).

Pada umumnya citra yang dihayati oleh kaum perempuan dan dipandang oleh para kaum lelaki, bahwa perempuan itu haruslah, sabar, tabah, penyayang, keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian dan keadilan, pandai mengurus suami, anak-anak dan rumah tangga, selalu cantik, bersih, dan sebagainya. Singkat kata seorang perempuan harus sempurna tanpa celah. Namun citra lain

(7)

yang menjadi strereotip bagi seorang perempuan adalah bodoh, dungu, tidak punya otak, emosional, tidak bisa diajak bicara. Entah bagaimana caranya citra-citra tersebut dapat dikatakan sebagai kodrat seorang perempuan. (Siregar, 2001:8).

Dalam sebuah karya sastra pengarang akan memberikan gambaran tokoh yang jelas dan mampu memberikan keterangan agar tokoh dapat hidup dalam imajinasi pembaca. Dengan demikian untuk memahami citra diri seorang tokoh dan citra diri perempuan dalam sebuah novel, pembaca perlu memiliki gambaran-gambaran perilaku tokoh utama melalui kata dan kalimat yang diungkap dalam satuan cerita.

2.3.1 Citra Perempuan ditinjau dari Aspek Fisik

Citra perempuan yang ditinjau dari aspek fisik direpresentasikan sebagai gambaran fisik perempuan yang meliputi jenis kelamin, usia dan tanda-tanda jasmani. Berdasarkan penggambaran hubungan fisik ini yang tidak lepas juga dari penggambaran fisik laki-laki dalam novel, sering terjadi adanya diskriminasi atau perbedaan, baik dalam lingkungan sosial maupun keluarga. (Sugihastuti, 2000:82) Dalam aspek fisik biasanya perempuan cenderung lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki, kondisi fisik perempuan yang merupakan mahluk sumber reproduksi; maka fisiknya halus (cenderung lemah) sehingga bergantung pada perlindungan laki-laki dan karena inilah yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (Jamhari, 2003:11)

Menurut Burn dalam Cash aspek fisik dapat dibagi menjadi dua yaitu keseluruhan tubuh dan bagian tubuh. Keseluruhan tubuh mencakup mulai dari tinggi badan, berat badan, usia, fungsi reproduksi, gaya berbusana, hingga

(8)

kosmetik sedangkan untuk bagian tubuh terdiri dari wajah, rambut, gigi, hidung, mata, pipi, leher, lengan, perut, bentuk dada, pantat, pinggul sampai kaki (Cash, 2004:3)

2.3.2 Citra Perempuan ditinjau dari Aspek Psikis

Selain aspek fisik, perempuan juga direpresentasikan melalui aspek psikis, sebab perempuan termasuk mahluk psikologis, yaitu mahluk yang memiliki pe-mikiran, perasaan, aspirasi dan keinginan. Berdasarkan citra psikis ini dapat di-gambarkan kekuatan emosional yang dimiliki oleh perempuan dalam sebuah cerita. Melalui pencitraan, perempuan secara psikis bisa dilihat bagaimana rasa emosi yang dimiliki perempuan tersebut, rasa penerimaan terhadap hal-hal disekitar, cinta kasih yang dimiliki dan yang diberikan terhadap sesama atau prang lain, serta bagaimana menjaga potensinya untuk dapat eksis dalam sebuah komunitas timbal balik antara citra fisik dan psikis. Dalam novel, perempuan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Sugihastuti, 2000:95)

Citra psikis memiliki keterkaitan dengan citra fisik, perubahan psikis yang terjadi pada seorang perempuan juga akan mempengaruhi adanya perubahan fisiknya, salah satu contohnya adalah saat perempuan sudah dewasa secara primer akan menujukkan aktifitas untuk menarik perhatian pihak lainnya. Adanya keinginan dan kepuasan diri yang dirasakan oleh perempuan saat dirinya berhias diri atau berdandan agar terlihat lebih menarik secara fisik di depan orang lain, hal ini terkadang tidak dipahami oleh kaum laki-laki. Hal ini menunjukkan secara langsung yaitu pengalaman psikis juga akan ditentukan oleh realitas fisik. Dilihat dari perbedaan dasar sifat perempuan dan juga laki-laki, hal tersebut juga berpengaruh pada perkembangan diri yang dimulai dari lingkungan keluarga, dan

(9)

pengalaman lain dari interaksi sosial, dari studi-studi kemudian dinyatakan lebih jelas lagi bahwa perempuan sebagai manusia adalah adalah mahluk yang kompleks. (Saldi, 2010:5).

2.3.3 Citra Perempuan ditinjau dari Aspek Sosial

Citra sosial perempuan merupakan wujud dari citra perempuan dalam kelurga serta citranya dalam masyarakat, seperti diungkap oleh Sugihastuti (2000:98) citra sosial memiliki hubungan dengan norma-norma dan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat, tempat perempuan tersebut menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antara manusia meliputi peran sebagai pribadi, peran dalam komunitas dan peran dalam pekerjaan.

Kelompok masyarakat tersebut termasuk kelompok dalam keluarga dan masyarakat luas. Melalui hubungan dengan masyarakat sosial dapat terlihat bagai-mana cara perempuan tersebut menyikapi sesuatu dan menjalin hubungan dengan sesama. Dan sisi lain, perempuan selalu membutuhkan orang lain untuk melang-sungkan kehidupannya. Dalam peranannya di tataran sosial, perempuan diharapkan mampu memlihara harmoni, bukan saja dalam lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan para tetangga disekitar, hal ini menjadikan perempuan sebagai penjaga norma dan nilai sosial, termasuk nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku seksual (Saldi, 2010:11).

Keterkaitan antara citra perempuan dengan karya sastra baik novel fiksi, maupun pengarangnya terutama perempuan adalah ketika sebuah karya sastra seperti novel, dibuat terutama cerita novel tersebut mengisahkan tentang perempuan. Maka unsur cerita atau pencitraan sendiri adalah gambaran mengenai setiap individu dalam perempuan. Citra selalu tergambar disetiap pemikiran atau

(10)

tingkah laku tokoh. Citra tersebut dapat berupa citra perempuan secara fisik, psikis serta citra perempuan dimasyarakat dan keluarga, sebuah citra dapat dilihat dari sudut pandang perempuan itu sendiri.

2.4 Mandiri

Kata mandiri dapat dicitrakan sebagai gambaran seseorang yang mampu berdiri sendiri, dan tidak bergantung pada orang lain (Parker, 2006:224). Karakter mandiri merupakan salah satu dari 18 nilai pendidikan karakter, karena diri merupakan inti dari mandiri yang tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri dan juga perkembangan karakter atau sifat serta perilaku seseorang.

Kemandirian (self-reliance) adalah kemampuan untuk mengelola semua yang dimilikinya sendiri, bentuk dan wujud dari kemandirian diantaranya mengetahui bagaimana mengelola waktu, dan berfikir, bersikap, dan bertindak secara mandiri, disertai dengan kemampuan dalam mengambil resiko dan memecahkan masalah. Kemandirian seseorang tidak ditandai dengan usia, tetapi salah satunya ditandai dengan perilaku atau sikap. Individu yang mandiri biasanya tidak memiliki kebutuhan untuk mendapat atau meminta persetujuan orang lain ketika hendak melangkah menentukan suatu keputusan yang baru, dan hanya berdasarkan pada keputusan pada diri sendiri. Kemandirian berkenaan dengan pribadi yang mandiri, kreatif dan mampu berdiri sendiri yaitu memiliki kepercayaan diri yang bisa membuat seseorang mampu sebagai individu untuk beradaptasi dengan mengurus segala hal dengan dirinya sendiri (Parker, 2006:226).

(11)

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi sikap mandiri seseorang diantaranya, dari faktor internal dan juga eksternal, kedua faktor inilah yang dapat mempengaruhi sikap mandiri seseorang dapat terbentuk. Pertama dari faktor internal diantaranya ada kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh, kesehatan jasmani dan jenis kelamin. Pada umumnya anak yang sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sakit (Walgito, 2010:112). Kedua kondisi psikologis, walaupun kecerdasan atau kemampuan berpikir seseorang dapat diubah atau dikembangkan melalui lingkungan, sebagian ahli berpendapat bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap keberhasilan lingkungan dalam mengembangkan kecerdasan seseorang. Kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian seseorang. Kemampuan bertindak dan mengambil keputusan tanpa bantuan orang lain hanya mungkin dimiliki oleh orang yang mampu berpikir dengan seksama tentang tindakannya (Basri, 2000). Ketiga polah asuh orang tua dan keluarga dalam mendidik seseorang dari kecil hingga dewasa yang mampu membentuk sikap mandiri seseorang. Selain faktor internal ada pula faktor eksternal diantaranya, faktor lingkungan baik tempat tinggal atau lingkungan kerja, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain sebagainya.

2.5 Sosiologi Sastra

Sastra dalam bidang keilmuan selalu berurusan dengan masyarakat dengan demikian sastra dianggap sebagai tiruan masyarakat yang tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (Endraswara, 2013:78). Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengkaji dan mengungkap permasalahan yang terdapat dalam sastra, tidak terlepas dari ilmu-ilmu yang terdapat dalam sosiologi.

(12)

Sebab karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dengan lingkungannya, karena dalam karya sastra terdapat kolerasi antara pengarang dan masyarakat. (Endraswara, 2013:77) mendefinisikan bahwa sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif, sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial, kehidupan sosial dalam lingkungan masyarakat menjadi lahirnya karya sastra yang diciptakan oleh pengarang, karya sastra yang berhasil dan sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya.

2.5.1 Sosiologi Karya Sastra,

Sosiologi karya sastra merupakan kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Sastra sebagai cermin masyarakat berkaitan dengan sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep “cermin” tentu saja kabar karena masyarakat yang sebenarnya tidak sama dengan masyarakat yang digambarkan dalam sastra karena adanya intervensi pandangan dunia pengarang. Oleh karena itu, cermin di sini menjadi refleksivitas masyarakat yang digambarkan pengarang bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan dalam masyarakat. Dengan demikian, sastra sebagai cermin masyarakat berarti sastra yang merefleksikan masyarakat atau merepresentasikan semangat zaman. Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu dibutuhkan suatu metode atau teknik yang dapat meningkatkan proses pencarian dokumen tersebut salah satu cara yaitu dengan menerapkan teknik AJAX pada fitur

Kecernaan adalah ukuran nilai pakan suatu hijuan yang ditetapkan dari jumlah pakan yang diserap oleh saluran pencernaan, ditunjukkan dengan satuan persen (Cowder

Kemampuan mahasiswa calon guru Biologi dalam merancang kegiatan pembelajaran menggunakan metode praktikum diperoleh dari hasil penilaian Satuan Acara Praktikum (SAP)

Puji Syukur peneliti panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaian penelitian bertajuk ‘ Ekspresi Emosi

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi

Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak

Pengaruh gaya kepemimpinan ini yang dilakukan pimpinan KPP Pratama Bogor terlihat pada adanya saling kepercayaan antara para pegawai dalam pelaksanaan tugas yang

Bantuan dari OKI tidak hanya mementingkan negara-negara anggotanya saja, namun negara yang bukan merupakan anggotanya juga mendapatkan perhatian dari OKI. Resolution