KIAMAT ATAU TIDAK, PENGUSUTAN HAMBALANG HARUS DILANJUTKAN! Oleh: GPB Suka Arjawa
Kiamat sepertinya menjadi momok di berbagai masyarakat. Ini tidak saja terjadi di Indonesia, juga di belahan dunia lain. Tidak di negara-negara sedang berkembang, juga di negara maju. Tayangan televisi berlangganan yang kebanyakan bersumber dari negara maju, juga mengupas fenomena tersebut. Tidak ketinggalan para ilmuwan mencoba menganalisis secara ilmiah apakah memang sistem kalender suku Maya yang terkenal tersebut benar-benar menyatakan tanggal 21 Desember 2012 ini sebagai hari akhir kehudupan bumi atau tidak. Banyak pendapat yang berseliweran mengenai hal ini. Bagi mereka yang tidak terlalu terpengaruh memandang tanggal tersebut sebagai 31
Desembernya kalender suku maya dan sehari setelah tanggal itu, sama seperti tanggal 1 Januarinya suku maya atauu tahun baru bagi mereka. Jadi kiamat itu tidak ada. Ada juga analisis yang menyebut kesejajaran posisi bumi dengan benda langit lainnya sehingga menimbulkan efek di bumi.
Hari kiamat memang pasti ada. Jika tidak salah, cendekiawan besar Stephan Hawking menjelaskan bahwa bentuk alam semesta ini (jadi bukan sekedar bumi) mirip dengan balon, yang berasal dari dentuman besar sekitar 4,5 milyar tahun lalu yang kini sedang mengembang dan terus berkembang sampai kemudian kempis lagi (meledak,
menghilang atau mengkerut?). Kita sekarang bertepatan ada di periode tengah itu, dan akhir dari pengembangan ini diperkirakan 4,5 milyar tahun lagi. Saat akhir itulah alam semesta akan kiamat. Tetapi kehidupan di bumi diperkirakan telah punah jauh sebelum kiamat itu terjadi.
Sebagai sebuah fenomena sosial, yakni sesuatu yang mampu mempengaruhi, sikap, perilaku dan interaksi masyarakat, maka berbagai pemberitaan tentang kiamat ini sangat mengusik perhatian. Hal inilah yang kemudian pada akhirnya membuat fenomena sosial tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, mulai dari kaum fatalis, budaya sampai dengan pemanfaatan ekonomis. Secara sosiologis, hal ini mampu menggerakkan masyarakat, mempertahankan dinamika sosial. Kiamat bisa dikatakan sebagai hari akhir, sebuah keadaan ke pralina, atau kembali menuju kekosongan. Bagi kalangan Hindu, ini bukanlah keanehan karena flsafat India mengenal keadaan kokosongan (ether), yang kemudian menjelma menjadi angka 0 (nol, kemudian dipelopori dipulikasikan di kalangan Arab). Akan tetapi, kiamat itu justru membungkam segala kedinamisan masyarakat, segala interaksi sosial, kreativitas dan berbagai hal yang berhubungan dengan eksistensial manusia. Sebagai mahluk berfikir sekaligus mempunyai rasa
khawatir, takut dan pasrah keadaan demikia membuat manusia tertarik untuk membahas hak iklwal kekiamatan itu.
oleh pemikiran-pemikiran rasional. Pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok sekte AUM Sinrikiyo di stasiun kereta api Jepang pada awal dekade delapanpuluhan, juga mempunyai keyakinan dengan hari kehancuran. Karena itu, berdasarkan dengan beberapa peritiwa fatalis tersebut, muncul pandangan bahwa modernisasi dan rasionalitas ternyata tidak terlalu memberikan keuntungan bagi masyarakat. Dipandang bahwa modernisasi terlalu menjauhkan manusia dari keasliannya sebagai zoon politikon, mahluk yang memasyarakat. Kelompok-kelompok sekte fatalis ini kemungkinan merupakan
kelompok orang yang sudah bosan dengan modernisasi dan rasionalitas sehingga ingin kembali ke akarnya melalui tindakan yang radikal. Akar itu yang dimaksudkan adalah mencari dunia tradisi dengan menghancurkan atau meninggalkan jagat yang modern ini, untuk menemukan sesuatu yang baru.
Amat mungkin teori post modern yang bermunculan sekarang, didorong oleh kemuculan tidak puasnya masyarakat dengan berbagai lelaku dan produk modernitas. Post modern lebih menjadi jalan tengah, dengan kembali merangkul tradisi yang bisa ”ditempelkan” pada hal-hal berbau modern. Pandangan tentang keunggulan kearifan lokal adalah contohnya.
Sebagai sebuah fenomena yang menarik perhatian masyarakat, persoalan kiamat atau kehancuran itu menarik minat para budayawan, justru untuk membangkitkan
kreativitasnya. Kelompok seni dan budayawan, memanfaatkan fenomena demikian untuk mengkreasi pikiran dalam bentuk karya budaya. Tahun 1983 muncul sebuah buku yang berjudul ”1984” (Nineteen Eighty Four) oleh George Orwel. Buku ini malah sampai dikupas oleh radio BBC, kelompok media penyiaran yang berbasis di London. Ia
memang tidak membahas kiamat tetapi sebuah degradasi sosial. Kurang lebih memandang bahwa tahun 1984 itu dunia akan lebih karut marut dengan berbagai persoalan internasional. Harap diketahui, di tahun-tahun 1983 persaingan antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sedang marak-maraknya. Perjanjian peluru kendali nuklir antar benua yang dibuat kedua Adi Daya itu berkali-kali digelar dan berkali-kali pula dilanggar. Leonyd Brezhnev pemimpin Uni Soviet mulai sakit-sakitan dan sebalumnya Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagam sempat ditembak (meski tidak tewas). Di Libanon, tahun 1982 invasi Israel ke Libanon (Sabra dan Shatilla), secara brutal dan tidak berperikemanusiaan, menewaskan ribuan pengungsi Palestina. Dan saat ini juga, Iran sedang mulai naik daun berkat keberhasilan revolusinya dan mulai berpengaruh di Timur Tengah. Bom bunuh diri dengan mobil mulai terjadi di era ini.
Karena faktor-faktor kehancuran itulah dunia semakin menakutkan, sehingga bukan tidak mungkin mendorong munculnya para kreator yang mencoba melukiskannya dalam bentuk buku, salah satunya”1984” tersebut. Beberapa tahun setelah terbitnya buku ini muncul sebuah film yang laris manis di seluruh dunia, dengan nama ”The Day After”. Tema film ini hampir sama dengan kiamat dan kehancuran, yakni rusaknya bumi oleh perang nuklir.
mengupas tuntas fenomena ini, jangan-jangan fenomena itu menjadi populer justru karena faktor-faktor ekonomi yang ada di belakangnya. Mungkin karena dunia sudah terlalu dipenuhi oleh modernisasi yang tidak kenal arah, orang mulai percaya bahwa kehancuran itu dekat. Tetapi mereka yang mempunyai kepentingan ekonomi
memanfaatkan hal ini untuk keuntungan maksimal. Dibuatlah film yang kolosal, diciptakanlah berbagai instrumen yang membuat manusia terhindar dari kiamat
(mislanya rumah di gua) demi kepentingan bisnis. Tapi mingkinkah itu, bukankah kalau sudah kiamat semuanya menjadi hancur? Lalu diberitakanlah secara besar-besaran di media sehingga menarik perhatian dunia.
Bagaimana di Indonesia? Sudahlah, kiamat atau tidak, pengusutan Hambalang harus dilanjutkan!****