• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keperilakuan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keperilakuan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

II.1 Landasan Teori II.1.1 Teori Keperilakuan

Teori keperilakuan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.

Hudayati dalam Setyorini (2011) membagi pengaruh terhadap perilaku manusia menjadi tiga aspek yaitu:

1. Struktur Karakter (character structure) seperti kepribadian, kebiasaan, dan tingkah laku.

2. Struktur Sosial (social structure) seperti ekonomi, politik, dan agama.

3. Dinamika Kelompok (dynamic group) yang merupakan kombinasi dari struktur karakter dengan struktur sosial.

De Zoort dan Lord dalam Setyorini (2011) menyebutkan bahwa saat menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara yaitu, fungsional dan disfungsional. Jadi dengan adanya tekanan anggaran waktu dapat mempengaruhi perilaku auditor yang kemudian menyebabkan perilaku disfungsional yaitu penghentian prematur atas prosedur audit. Auditor yang tidak mempunyai kompetensi yang baik akan melakukan atribusi kesalahan lebih besar dibandingkan dengan auditor yang mempunyai kompetensi yang baik.

Jadi kompetensi mempengaruhi perilaku auditor yang kemudian akan mempengaruhi apakah auditor akan melakukan penghentian prematur atas prosedur audit atau tidak. Sehubungan dengan penjelasan ini, teori tersebut berusaha menjelaskan tentang aspek perilaku manusia dalam organisasi, khususnya auditor

(2)

10 untuk meneliti bagaimana perilaku auditor dengan adanya interaksi antara time pressure, risiko audit, kompetensi auditor, auditee pressure serta prosedur review dan quality control oleh KAP terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

II.1.2 Audit

Untuk melaksanakan audit, diperlukan informasi yang dapat diverifikasi dan sejumlah standar atau kriteria yang digunakan sebagai pegangan pengevaluasian informasi tersebut. Informasi tersebut harus dapat diukur agar dapat diverifikasi.

Accounting Review vol.47 dalam Modern Auditing (2002) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan derajat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Mengacu pada Standar Profesional Akuntan Publik 2001, tujuan umum atas audit laporan keuangan oleh auditor independen adalah menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, serta arus kas sesuai prinsip akuntansi yang berterima umum.

II.1.2.1 Jenis - Jenis Auditing

Mulyadi (2002) menyebutkan tiga jenis Auditing yang umum dilaksanakan, yaitu:

1. Audit atas Laporan Keuangan (Financial Audit)

Dalam audit laporan ini, auditor independen mengevaluasi kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen secara keseluruhan dibandingkan dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku umum.

(3)

11 Dalam pengertiannya apakah laporan keuangan secara umum merupakan informasi yang dapat diverifikasi lalu telah disajikan sesuai dengan kriteria tertentu. Umumnya kriteria yang dimaksud adalah prinsip akuntansi yang berterima umum. Hasil audit atas laporan keuangan tersebut disajikan dalam bentuk tertulis berupa laporan audit yang kemudian dibagikan kepada para pemakai informasi keuangan.

2. Audit Kepatuhan (Compliance Audit)

Bertujuan untuk mempertimbangkan apakah auditee (klien) telah mengikuti prosedur atau peraturan tertentu yang telah ditetapkan pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak tertentu dalam organisasi atau pihak yang berwenang membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan.

3. Audit Operasional (Operasional Audit)

Merupakan pemeriksaan atas semua atau sebagian prosedur dan metode operasional suatu organisasi untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan ekonomisasinya. Audit operasional dapat menjadi alat manajemen yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil dari audit operasional berupa rekomendasi-rekomendasi perbaikan bagi manajemen sehingga audit jenis ini lebih merupakan konsultasi manajemen.

II.1.2.2 Tahap - Tahap Pelaksanaan Audit

Mulyadi (2002) membagi tahap audit atas laporan keuangan meliputi:

1. Penerimaan Perikatan Audit

(4)

12 Langkah awal pekerjaan audit atas laporan keuangan berupa pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak penugasan audit dari klien. Enam langkah yang perlu ditempuh oleh auditor didalam mempertimbangkan penerimaan penugasan audit dari calon kliennya, yaitu:

a. Mengevaluasi integritas manajemen.

b. Mengidentifikasi keadaan khusus dan risiko luar biasa.

c. Menilai kompetensi untuk melakukan audit.

d. Menilai independensi.

e. Menentukan kemampuan untuk menggunakan kemahiran profesionalnya dengan kecermatan dan keseksamaan.

f. Membuat surat perikatan audit.

2. Perencanaan Audit

Setelah menerima penugasan audit dari klien, langkah berikutnya adalah perencanaan audit. Ada tujuh tahap yang harus ditempuh, yaitu:

a. Memahami bisnis dan industri klien.

b. Melaksanakan prosedur analitik.

c. Mempertimbangkan tingkat meterialitas awal.

d. Mempertimbangkan risiko bawaan.

e. Mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap saldo awal, jika perikatan dengan klien berupa audit tahun pertama.

f. Mengembangkan strategi audit awal terhadap asersi signifikan.

g. Memahami pengendalian intern klien.

3. Pelaksanaan Pengujian Audit

(5)

13 Tahap ini disebut juga dengan pekerjaan lapangan yang tujuan utamanya adalah untuk memperoleh bukti audit tentang efektivitas struktur pengendalian intern klien dan kewajaran laporan keuangan klien. Secara garis besar pengujian audit dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a.Pengujian analitis (analytical tests).

b.Pengujian pengendalian (tests of control).

c.Pungujian substantive (substantive tests).

4. Pelaporan Audit

Langkah akhir dari suatu proses pemeriksaan oleh auditor adalah penerbitan laporan audit. Oleh karena itu, auditor harus menyusun laporan keuangan auditan (audited financial statement), penjelasan laporan keuangan (notes to financial statement) dan pernyataan pendapat auditor.

II.1.2.3 Prinsip - Prinsip Profesi

Akuntan publik dalam menjalankan tugasnya harus teguh dalam memegang etika profesi. Modern Auditing (2002) menyebutkan enam prinsip dasar etika yang terdapat dalam Kode Etik yaitu:

1. Tanggung jawab

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktifitas mereka. Para CPA memiliki tanggung jawab yang berkesinambungan untuk bekerja sama dengan para anggota lainnya guna meningkatkan seni akuntansi, menjaga kepercayaan publik pada profesi dan melaksanakan self-regulatory.

(6)

14 2. Kepentingan Publik

Para CPA harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan yang mendahulukan kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme.

3. Integritas

Para akuntan publik harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional dengan integritas tertinggi untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat.

4. Objektivitas dan Independensi

Seorang CPA harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari pertentangan kepentingan dalam melakukan tanggung jawab profesional.

Seorang CPA yang berpraktik sebagai akuntan publik harus bersikap independen dalam kenyataan dan penampilan pada waktu melaksanakan audit atau jasa atestasi lainnya.

5. Kecermatan atau Keseksamaan

Seorang CPA harus mengamati standar teknis dan etika profesi, terus meningkatkan kompetensi serta mutu jasa, dan melaksanakan tanggung jawab profesional dengan kemampuan terbaik.

6. Lingkup dan Sifat Jasa

Seorang CPA yang berpraktik sebagai akuntan publik, harus mematuhi Prinsip-Prinsip Kode Perilaku Profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang diberikan.

(7)

15 II.1.2. 4. Standar Auditing

Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada standar auditing menurut Standar Profesional Akuntan Publik 2001, yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sebagai berikut:

1. Standar Umum

a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis sebagai auditor.

b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerjaan Lapangan

a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

c. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

3. Standar Pelaporan

a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

(8)

16 b. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.

c. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

d. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keungan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan.

Dalam semua hal yang mana auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.

II.1.3 Prosedur Audit

Pernyataan Standart Audit No.2, menyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Maka dari itu, sesuai dengan standar auditing bahwa untuk menghasilkan laporan audit yang berkualitas auditor harus melaksanakan beberapa prosedur audit. Mulyadi (2002) mendefinisikan prosedur audit sebagai instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit.

(9)

17 Dengan melakukan seluruh prosedur audit yang ada maka tujuan dari proses audit yaitu untuk meningkatkan kualitas dari laporan keuangan dapat tercapai dan kesalahan yang terjadi dapat diminimalisasi. Malone dan Roberts dalam Weningtyas, et al. (2006) menyatakan prosedur audit ini sangat diperlukan bagi asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien dan efektif. Standar pekerjaan lapangan ketiga menyebutkan beberapa prosedur audit yang harus dilaksanakan oleh auditor dalam mengumpulkan berbagai tipe bukti audit.

Mulyadi (2002) menyebutkan prosedur audit yang terdapat dalam standar tersebut, yaitu:

1. Inspeksi

Inspeksi merupakan pemeriksaan secara rinci terhadap dokumen atau kondisi fisik sesuatu. Prosedur audit ini banyak dilakukan oleh auditor.

Dengan melakukan inspeksi terhadap sebuah dokumen, auditor akan dapat menentukan keaslian dokumen tersebut.

2. Pengamatan

Pengamatan merupakan prosedur audit yang digunakan oleh auditor untuk melihat atau menyaksikan pelaksanaan suatu kegiatan. Objek yang diamati auditor adalah karyawan, prosedur, dan proses.

3. Permintaan Keterangan

Permintaan keterangan merupakan prosedur audit yang dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan. Bukti audit yang dihasilkan dari prosedur ini adalah bukti lisan dan bukti dokumenter.

4. Konfirmasi

Konfirmasi merupakan bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh informasi secara langsung dari pihak ketiga yang bebas.

(10)

18 Kualitas dari auditor dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedur-prosedur audit yang tercantum dalam program audit. Disamping auditor memakai prosedur audit yang disebutkan dalam standar tersebut, auditor juga melaksanakan berbagai prosedur audit lainnya untuk mengumpulkan bukti audit yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. Elen, et al. (2001), menyebutkan Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) yang merupakan standar audit baku, merinci prosedur audit sebagai berikut:

1. Kegiatan pendahuluan (Pre-engagement Activities) terdiri dari:

1.1 Menerima atau menolak klien baru 1.2 Membuat jangka waktu perjanjian 1.3 Menetapkan staf audit

2. Aktivitas perencanaan (Planning Activities) terdiri dari empat langkah, yaitu:

2.1 Pemahaman tentang bisnis klien, auditor harus melakukan:

2.1.1 Persiapan evaluasi analitik 2.1.2 Menaksir resiko

2.2 Penaksiran atas materialitas

2.3 Mengevaluasi akuntansi pengendalian intern, dilakukan melalui dua tahap:

2.3.1 Tahap awal 2.3.2 Tahap pelengkap

2.4 Mengembangkan perencanaan audit secara menyeluruh:

2.4.1 Menjelaskan kepercayaan yang optimal terhadap pengendalian intern

2.4.2 Merancang prosedur compliance test

(11)

19 2.4.3 Merancang prosedur substantif

2.4.4 Pencatatan program audit

3. Kegiatan pengujian kepatuhan, dilakukan melalui dua langkah, yaitu:

3.1 Melakukan pengujian

3.2 Melakukan evaluasi akhir terhadap pengendalian intern, dengan cara:

3.2.1 Melakukan evaluasi 3.2.2 Modifikasi rencana audit

4. Kegiatan pengujian substantif dilakukan dengan lima langkah, yaitu:

4.1 Melakukan pengujian substantif dari transaksi 4.2 Melakukan prosedur pemeriksaan analitik

4.3 Memeriksa secara detil terhadap pengujian atas saldo 4.4 Prosedur pemeriksaan post balance sheets

4.5 Memeriksa hasil dari prosedur substantif, dengan cara:

4.5.1 Penemuan agregatif 4.5.2 Melakukan evaluasi

4.5.3 Modifikasi perencanaan audit

4.6 Auditor harus memberikan penjelasan kepada:

4.6.1 Manajemen 4.6.2 Pengacara 4.6.3 Lainnya

5. Kegiatan merancang opini dan laporan, dilakukan melalui empat langkah, yaitu:

5.1 Mengevaluasi laporan keuangan 5.2 Mengevaluasi hasil audit

5.3 Perumusan opini

(12)

20 5.4 Draft dan menerbitkan laporan

6. Kegiatan berkelanjutan, dilakukan melalui enam langkah, yaitu:

6.1 Mengadakan pengawasan terhadap pengujian 6.2 Evaluasi pekerjaan asisten

6.3 Mempertimbangkan kelayakan hubungan dengan klien

6.4 Melakukan komunikasi khusus yang diperlukan, mengenai hal berikut:

6.4.1 Kelemahan yang material dalam pengendalian intern 6.4.2 Kesalahan yang bersifat material

6.4.3 Kegiatan ilegal oleh klien

6.5 Melakukan konsultasi dengan pihak yang berkompeten tentang masalah-masalah khusus

6.6 Merancang dokumen kerja, memutuskan dan menyimpulkan dalam kertas kerja yang tepat

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Herningsih (2002). Prosedur audit yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa prosedur audit yang ditetapkan dalam Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) yang menurut Herningsih (2002), mudah untuk dilakukan praktik penghentian prematur prosedur audit. Prosedur tersebut adalah :

1. Pemahaman bisnis dan industri klien (PSA No.5 2001) 2. Pertimbangan pengendalian internal (PSA No.69 2001) 3. Review kinerja internal auditor klien (PSA No.33 2001) 4. Informasi asersi manajemen (PSA No. 07 2001) 5. Prosedur analitik (PSA No.22 2001)

6. Proses konfirmasi (PSA No.07 2001)

(13)

21 7. Representasi manajemen (PSA No.17 2001)

8. Pengujian pengendalian tekhnik audit berbantu komputer (PSA No.59 2001)

9. Sampling audit (PSA No.26 2001)

10. Perhitungan fisik persediaan dan kas (PSA No.07 2001)

II.1.4 Perilaku Premature Sign-Off

Shapeero, et al. dalam Weningtyas (2006) menyatakan praktik ini terjadi ketika auditor mendokumentasikan prosedur audit secara lengkap tanpa benar-benar melakukannya atau mengabaikan atau tidak melakukan beberapa prosedur audit yang disyaratkan tetapi ia dapat memberikan opini atas suatu laporan keuangan dan menarik kesimpulan tanpa adanya peninjauan mendalam yang sesuai dalam prosedur audit yang ada. Perilaku tersebut bisa menyebabkan pemecatan dan tuntutan hukum terhadap auditor. Graham dalam Shapeero, et al. (2003) menyimpulkan bahwa kegagalan audit sering disebabkan karena penghapusan prosedur audit yang penting dari pada prosedur audit tidak dilakukan secara memadai. Dalam Donnely, et al.

(2003), disebutkan bahwa pengurangan kualitas audit yang dilakukan dari kegiatan ini mungkin dipandang sebagai pengorbanan bagi individu untuk bertahan dalam lingkungan audit.

Alderman dan Deitrick dalam Basuki dan Krisna (2006) menemukan premature sign-off biasanya terjadi pada area audit dengan sedikit dokumentasi kertas kerja, misalnya saat tahapan dilakukannya prosedur analitis pada permulaan audit, pengujian terhadap pengendalian intern klien, dan pemeriksaan terhadap pekerjaan staf klien. Selain itu, pelaksanaan supervisi yang kurang baik juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya penghentian prematur

(14)

22 atas prosedur audit. Ulum (2005) menyatakan bahwa perilaku premature sign-off of audit procedures timbul karena rendahnya orientasi etis para auditor (sifat relativisme yang tinggi). Akibatnya, premature sign-off memberi dampak secara langsung terhadap kualitas audit karena dapat memungkinkan auditor tidak mampu menemukan error dan irregularities yang terjadi pada laporan keuangan klien.

II.1.5 Time Pressure

Dalam bekerja auditor dihadapkan dengan adanya time pressure.

Raghunathan (1991) menyatakan bahwa premature sign-off pada program audit sebelum menyelesaikan satu atau lebih prosedur audit yang dibutuhkan timbul akibat tekanan anggaran waktu. De Zoort dan Lord dalam Setyorini (2011) menyebutkan bahwa saat menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara yaitu, fungsional dan disfungsional. Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaik-baiknya sedangkan tipe disfungsional sebaliknya.

Dalam Herningsih (2002), time pressure dibedakan menjadi:

 Time budget pressure

Time budget pressure adalah keadaan dimana auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran waktu yang sangat ketat.

Time budget pressure yang diberikan oleh kantor akuntan publik kepada auditornya bertujuan untuk mengurangi biaya audit. Semakin cepat waktu pengerjaan audit, maka biaya pelaksanaan audit akan semakin kecil.

(15)

23

 Time deadline pressure

Time deadline pressure adalah kondisi dimana auditor dituntut menyelesaikan tugas audit pada waktunya. Auditor yang menyelesaikan tugas melebihi waktu normal yang telah dianggarkan, tidak dapat memenuhi permintaan klien secara tepat waktu kemungkinan akan sulit jenjang karir auditornya di masa depan.

Waggoner dan Chasell dalam Weningtyas, et al. (2007) mengartikan fungsi anggaran waktu dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah sebagai dasar estimasi biaya audit, alokasi staf ke masing-masing pekerjaan dan evaluasi kenerja staf auditor. Akan tetapi, seringkali anggaran waktu tidak sesuai dengan realisasi atas pekerjaan yang dilakukan. Semakin bersaingnya Kantor Akuntan Publik, membuat KAP harus bisa mengalokasikan waktu secara tepat karena berhubungan dengan kos audit yang harus dibayar klien. Apabila KAP tidak dapat menggunakan waktu dengan baik sehingga waktu audit menjadi lebih lama maka berdampak pula pada kos audit yang semakin besar yang mungkin akan membuat klien mengganti KAP.

Penelitian dari Soobaroyen dan Chengabroyan (2005) menemukan adanya time budget pressure yang terdapat di negara berkembang (yaitu Mauritius) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara maju (Inggris, Irlandia, New Zealand dan Amerika Serikat). Soobaroyen dan Chengabroyan (2005) juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pengetatan anggaran (budget tightness) maka praktik penghentian prematur atas prosedur audit semakin meningkat pula.

Ketika waktu yang sudah ditentukan dalam suatu pekerjaan audit relevan untuk dilaksanakannya audit dan mampu dicapai oleh seorang auditor maka hal tersebut

(16)

24 tidak akan menimbulkan konflik sehingga kemungkinan penghentian prematur atas prosedur audit tidak akan dilakukan.

II.1.6 Risiko Audit

SA Seksi 312 menyebutkan risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Penilaian terhadap risiko yang dihadapi oleh auditor secara jelas dinyatakan dalam standar audit yaitu Pernyataan Standar Auditing (PSA) Seksi 312, risiko audit dan materialitas dalam pelaksanaan audit dimana risiko audit perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi prosedur tersebut.

PSA Seksi 312 juga menyebutkan bahwa, auditor juga menghadapi risiko praktik profesional lainnya akibat dari tuntutan pengadilan, publikasi negatif atau peristiwa lain yang timbul berkaitan dengan laporan keuangan yang telah diaudit dan dilaporkan.

Mulyadi (2002) membagi risiko audit menjadi dua, yaitu:

a) Risiko audit keseluruhan (Overall audit risk)

Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit keseluruhan yang direncanakan. Yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar, padahal kenyataannya laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.

(17)

25 b) Risiko audit individual

Karena audit mencangkup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepada akun-akun yang berkaitan.

Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam risiko audit adalah:

a.) Risiko bawaan

Adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi tidak terdapat kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang terkait.

b.) Risiko pengendalian

Adalah risiko terjadinya salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern suatu entitas. Risiko ini ditentukan oleh efektivitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas laporan keuangan entitas.

c.) Risiko deteksi

Adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi ditentukan oleh efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi dan sebagian lagi karena ketidak pastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%.

Risiko audit yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah risiko deteksi.

(18)

26 II.1.7 Kompetensi Auditor

Standar umum pertama, SA seksi 210 menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Ashton dalam Mayangsari (2003) mengatakan bahwa ukuran keahlian tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan- pertimbangan lain dalam pembuatan suatu keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain disamping pengalaman. Mayangsari (2003) mengukur kompetensi dalam bidang auditing dengan pendidikan dan pengalaman.

Kompetensi dapat diukur dari pencapaian dan pemeliharaan tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang auditor. Dalam penugasan profesional melebihi kompetensi, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten atau mengundurkan diri dari penugasan. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan dari dirinya memadai untuk tanggung jawab yang harus dipenuhinya.

Suraida (2005) menyatakan kompetensi adalah keahlian profesional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil dari pendidikan formal, ujian profesional maupun keikutsertaan dalam pelatihan, seminar, simposium dan lain-lain seperti:

1. Untuk luar negeri (AS) ujian CPA (Certified Public Accountant) 2. Dalam negeri (Indonesia) USAP (Ujian Sertifikat Akuntan Publik) 3. PPB (Pendidikan Profesi Berkelanjutan)

4. Pelatihan-pelatihan intern dan ekstern

5. Keikutsertaan dalam seminar, simposium dan lain-lain

(19)

27 Seseorang yang baru memasuki karir sebagai akuntan publik, harus lebih dulu mencari pengalaman profesi. Mulyadi (2002) meyatakan agar akuntan yang baru selesai menempuh pendidikan formalnya dapat segera menjalani pelatihan teknis dalam profesinya, pemerintah dalam SK menteri Keuangan No 43/KMK.017/1997 tanggal 27 januari 1997 mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik dibidang audit bagi akuntan yang ingin memperoleh ijin praktik dalam profesi akuntan publik.

Kusharyati (2003) menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Penelitian yang dilakukan Choo dan Trotman dalam Harhinto (2004) menunjukkan bahwa auditor yang berpengalaman lebih banyak menemukan butir-butir yang tidak umum dibanding auditor yang kurang berpengalaman. Tetapi untuk menemukan butir-butir yang umum, tidak ada bedanya antara auditor berpengalaman dan auditor yang kurang berpengalaman. Pengalaman auditor akan menjadi bahan pertimbangan yang baik dalam mengambil keputusan dalam tugasnya.

II.1.8 Auditee Pressure

Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kompetensi auditor sedangkan tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga standar umum yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Dalam Standar

(20)

28 Profesi Akuntan Publik 2001 seksi 220 PSA No.04 alinea dua, dijelaskan bahwa independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal berpraktik sebagai auditor internal). Informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan harus tidak bias, auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun sebab sekalipun auditor memiliki keahlian teknis yang sangat baik, apabila tidak memiliki sikap independen akan tidak berguna.

Menurut Harhinto (2004) independensi auditor mencakup dua aspek yaitu:

 Independensi dalam kenyataan ( independence in fact )

Independensi dalam kenyataan adalah apabila akuntan publik berhasil mempertahankan sikap yang tidak bias selama audit.

 Independensi dalam penampilan ( independence in appearance )

Independensi dalam penampilan adalah hasil persepsi pihak lain terhadap independensi akuntan publik.

Dalam kenyataannya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang sering mengganggu sikap mental independen auditor karena sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut. Sebagai penjual jasa auditor mempunyai kecenderungan untuk memuaskan keinginan kliennya, mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien. Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI no. 423/KMK.02/2008 diatur tentang Jasa Akuntan Publik yang menyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dan suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama lima tahun buku berturut-turut dan oleh akuntan publik paling lama untuk tiga tahun buku berturut-turut.

(21)

29 America Institute of Certified public Accountant (AICPA) dalam Meutia (2004) memberikan prinsip-prinsip berikut sebagai panduan yang berkaitan dengan independensi, yaitu:

1. Auditor dan perusahaan tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien.

2. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang akan mengangggu objektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang mempengaruhi laporan keuangan.

3. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan menganggu objektivitas auditor.

Harhinto (2004) menyatakan bahwa tekanan manajemen dan intervensi manajemen merupakan suatu ancaman yang dapat merusak dan menghancurkan independensi auditor. Penurunan independensi auditor tidak terlepas dari keadaan personal dan eksternal pembentuk perilaku berupa hubungan keagenan antara pemilik (principal), manajemen (agen 1), dan auditor (agen 2) yang menyebabkan terjadinya situasi konflik audit.

II.1.9 Prosedur Review dan Quality Control oleh KAP

Menurut Waggoner dan Cashell dalam Weningtyas, et al. (2006), kantor akuntan publik perlu melakukan prosedur review (prosedur pemeriksaan) untuk mengontrol kemungkinan terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit yang dilakukan oleh auditornya. Prosedur review merupakan proses memeriksa atau meninjau ulang hal atau pekerjaan untuk mengatasi terjadinya indikasi ketika staf auditor telah menyelesaikan tugasnya. Prosedur review berperan dalam memastikan bahwa bukti pendukung telah lengkap dan juga pertimbangan ketika terdapat tanda-

(22)

30 tanda bahwa penghentian prematur telah terjadi. Tanda-tanda tersebut dapat berupa apabila ada auditor yang selalu memenuhi target audit baik dari segi waktu maupun biaya dan kelihatan memiliki banyak waktu luang.

Heriyanto dalam Weningtyas, et al. (2006) mendefinisikan prosedur review sebagai pemeriksaan terhadap kertas kerja yang dilakukan oleh auditor pada level tertentu. Fokus dari prosedur review ini terutama pada permasalahan yang terkait dengan pemberian opini. Messier dalam Weningtyas, et al. (2006) menyatakan terdapat lima elemen dari quality control yaitu independensi, integritas dan objektivitas, manajemen personalia, penerimaan dan keberlanjutan serta perjanjian dengan klien, performa yang menjanjikan serta monitoring. Berbeda dengan prosedur review yang berfokus pada pemberian opini, quality control lebih berfokus pada pelaksanaan prosedur audit sesuai standar auditing. Quality control akan membantu sebuah KAP untuk memastikan bahwa standar profesional telah dijalankan auditor yang bekerja di KAP tersebut dengan semestinya di dalam praktik.

II.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian Herningsih (2002) menunjukkan bahwa 56% sampel cenderung melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Responden dari penelitian Herningsih (2002) berjumlah 66 auditor dari seluruh KAP di Indonesia. Prosedur yang sering ditinggalkan oleh auditor adalah mengurangi jumlah sampel yang telah direncanakan dalam audit laporan keuangan. Sedangkan prosedur yang jarang ditinggalkan adalah melakukan konfirmasi dalam audit laporan keuangan. Dari penelitian Herningsih (2002) juga dapat diketahui adanya hubungan yang signifikan antara variabel time pressure dan variabel risiko audit terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

(23)

31 Hasil dari penelitian Weningtyas, et al. (2006) diketahui hanya 13% dari 79 responden yang berasal dari KAP di Jawa tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Prosedur yang paling sering ditinggalkan menurut responden dari Weningtyas, et al. (2006) adalah pemahaman terhadap bisnis klien sedangkan pemeriksaan fisik merupakan prosedur yang paling jarang ditinggalkan. Pada penelitian Weningtyas, et al. (2006) dapat dibuktikan hubungan yang signifikan antara time pressure, risiko audit, materialitas serta prosedur review dan quality control terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

Hasil dari penelitian Weningtyas, et al. (2006) membuktikan bahwa time pressure dan risiko audit berhubungan positif dengan penghentian prematur atas prosedur audit, sehingga semakin besar time pressure dan risiko audit yang dihadapi oleh auditor maka semakin besar pula kecenderungan auditor melakukan perilaku penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan materialitas serta prosedur review dan quality control berhubungan negatif terhadap perilaku penghentian prematur atas prosedur audit sehingga semakin rendah materialitas serta prosedur review dan quality control maka perilaku penghentian prematur atas prosedur audit semakin rendah.

Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Basuki dan Krisna (2006) mengenai pengaruh tekanan anggaran waktu terhadap perilaku disfungsional dan kualitas audit. Responden penelitiannya adalah auditor yang bekerja pada KAP di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan anggaran waktu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap premature sign off, namun tekanan anggaran waktu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap perilaku underreporting of time.

(24)

32 Penelitian yang dilakukan oleh Ulum (2005) mengenai pengaruh orientasi etika terhadap hubungan antara time pressure dengan premature sign off prosedur audit. Responden penelitiannya adalah auditor BPK diseluruh wilayah Indonesia yang tersebar di tujuh kantor perwakilan BPK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa time pressure secara statistik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap premature sign off prosedur audit para auditor BPK-RI. Namun potensi pengaruh tersebut ada dan ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien regresi, artinya semakin tinggi time pressure yang dirasakan oleh auditor BPK-RI, maka premature sign off prosedur audit cenderung tidak dilakukan oleh para auditor.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabelnya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, variabel yang pada umumnya diuji untuk dilihat pengaruhnya terhadap penghentian prematur atas prosedur audit adalah variabel time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review dan quality control serta locus of control auditor. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel time pressure, risiko audit, kompetensi auditor, auditee pressure serta prosedur review dan quality control oleh KAP. Peneliti mencoba menguji dua variabel baru yaitu variabel kompetensi yang diukur dengan pendidikan dan pengalaman serta variabel auditee pressure yang diukur dengan independensi auditor dalam hal hubungan dengan klien, tekanan emosional dengan klien, high audit fee serta fasilitas dan hadiah yang diterima dari klien. Sehingga kemungkinan dari penelitian ini, akan lebih hasilnya dalam melihat lebih luas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penghentian prematur atas prosedur audit.

(25)

33 II.3 Hipotesis

II.3.1 Terdapat Urutan Prioritas dari Prosedur Audit yang Dihentikan

Dalam usaha memperoleh bukti audit yang cukup kompeten, maka sebelum melaksanakan audit auditor harus menyusun program audit yang merupakan kumpulan dari prosedur audit yang akan dijalankan dan dibuat secara tertulis.

Prosedur audit meliputi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh auditor dalam melakukan audit. Hal yang dihadapi profesi auditor saat ini adalah praktik penghentian prematur atas prosedur audit. Ketika melakukan pengabaian, auditor akan memiliki kecenderungan untuk memilih prosedur yang paling tidak berisiko diantara sepuluh prosedur audit seperti yang telah dijabarkan di atas. Pemilihan ini akan menimbulkan urutan atau prioritas dari prosedur audit yang dihentikan dimulai dari prosedur yang paling sering dihentikan sampai dengan paling jarang/ tidak pernah dihentikan. Penelitian ini akan mengivestigasi urutan/ ranking dari prosedur audit yang sering dihentikan. Hipotesisnya dirumuskan sebagai berikut:

Ha1 : Terdapat urutan prioritas dari prosedur audit yang dihentikan.

II.3.2 Pengaruh Time Pressure terhadap Premature Sign-Off

Penelitian Weningtyas, et al. (2006), menyatakan bahwa time pressure mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Hal ini berarti auditor dapat melakukan penghentian atas prosedur audit jika dihadapkan pada keadaan time pressure. Pelaksanaan prosedur audit dalam kondisi ini tentu saja tidak akan sama hasilnya bila prosedur audit dilakukan dalam kondisi tanpa time pressure. Agar menepati anggaran waktu yang telah ditetapkan, ada kemungkinan bagi auditor untuk melakukan pengabaian terhadap prosedur audit bahkan pemberhentian prosedur audit. Semakin besar time pressure terhadap waktu

(26)

34 pengerjaan audit, semakin besar pula kecenderungan untuk melakukan penghentian prematur. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis sebagai berikut:

Ha2 : Time pressure berpengaruh positif terhadap premature sign-off.

II.3.3 Pengaruh Risiko Audit terhadap Premature Sign-Off

Dalam penelitian Weningtyas, et al. (2006), risiko deteksi dinyatakan sebagai ketidakpastian yang dihadapi auditor dimana kemungkinan bahan bukti yang telah dikumpulkan oleh auditor tidak mampu untuk mendeteksi adanya salah saji yang material. Saji material bisa terjadi karena adanya kesalahan (error) atau kecurangan (fraud).Ketika auditor menginginkan risiko deteksi yang rendah, semua bahan bukti yang dikumpulkan auditor harus dapat mendeteksi adanya salah saji yang material.

Agar bahan bukti dapat mendeteksi adanya salah saji yang material maka diperlukan jumlah bahan bukti yang lebih banyak dan jumlah prosedur yang lebih banyak pula.

Dengan demikian ketika risiko audit rendah, auditor harus lebih banyak melakukan prosedur audit sehingga kemungkinan melakukan penghentian prematur atas prosedur audit akan semakin rendah. Untuk mengetahui pengaruh risiko audit terhadap terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit, maka hipotesis yang diajukan penulis adalah sebagai berikut:

Ha3 : Risiko audit berpengaruh positif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

II.3.4 Pengaruh Kompetensi terhadap Premature Sign-Off

Pada penelitian ini variabel kompetensi akan diukur dengan pendidikan dan pengalaman. Auditor yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai berbagai hal. Auditor akan semakin mempunyai banyak

(27)

35 pengetahuan mengenai bidang yang digelutinya, sehingga dapat mengetahui berbagai macam masalah secara lebih mendalam. Diharapkan seorang auditor dengan gelar yang semakin tinggi akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam melaksanakan audit dan tidak melakukan penghentian prematur atas prosedur audit yang telah direncanakan. Semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman kerjanya semakin kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan kinerja. Auditor yang tidak berpengalaman akan melakukan atribusi kesalahan lebih besar dibandingkan dengan auditor yang berpengalaman.

Pengalaman auditor akan menjadi bahan pertimbangan yang baik dalam mengambil keputusan dalam tugasnya. Hipotesis penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Raghunathan (1991) bahwa auditor dengan tingkatan yang semakin tinggi (kompeten) cenderung melakukan penghentian prematur prosedur audit. Pada penjelasan diatas menunjukkan adanya pengaruh yang negatif antara kompetensi auditor terhadap pengentian prematur atas prosedur audit. Karena auditor yang kompeten akan benar-benar melakukan pertimbangan dalam menjalankan prosedur- prosedur audit dan tidak melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Maka formulasi hipotesis yang diajukan penulis adalah sebagai berikut:

Ha4 : Kompetensi auditor berpengaruh negatif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

II.3.5 Pengaruh Auditee Pressure terhadap Premature Sign-Off

Pada penelitian ini variabel auditee pressure akan diukur dengan hubungan auditor dengan klien, tekanan emosional dengan klien, high audit fee serta fasilitas dan hadiah yang diterima dari klien. Hubungan yang lama antara auditor dengan klien mempunyai potensi untuk menjadikan auditor puas dengan pekerjaannya,

(28)

36 melakukan prosedur audit yang kurang tegas dan selalu tergantung pada pernyataan manajemen tanpa mencari lebih jelas lagi kebenarannya. Tekanan dari klien dapat timbul pada situasi konflik, situasi konflik terjadi ketika antara auditor dengan manajemen atau klien tidak sependapat dengan hasil pengujian laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor. Klien berusaha mempengaruhi audit laporan keuangan yang dilakukan auditor dengan memaksa auditor untuk melakukan tindakan yang melanggar standar auditing, termasuk dalam pemberian opini yang tidak sesuai dengan keadaan klien. Manajemen mungkin ingin kinerja perusahaannya terlihat berhasil yaitu dengan menggambarkan laba yang lebih tinggi di dalam pasar.

Pada situasi ini, auditor mengalami dilema. Di satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien, maka melanggar standar profesi. Di sisi lainnya, jika permintaan klien tidak terpenuhi maka klien dapat melakukan penghentian penugasan atau mengganti KAP auditornya, sementara auditor membutuhkan fee untuk memenuhi kebutuhannya. Knopp dalam Harhinto (2004) menyatakan kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor untuk mengatasi tekanan klien. Klien yang memiliki kondisi keuangan yang baik dapat memberikan fee audit yang cukup besar dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil sehingga auditor kurang memperhatikan hal-hal tersebut. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gosh dan Moon dalam Kusharyanti (2003) menghasilkan temuan bahwa kualitas audit meningkat dengan semakin lamanya audit tenure. Temuan ini menarik karena ternyata mendukung pendapat yang menyatakan bahwa pertimbangan audit antara auditor dengan klien berkurang. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:

(29)

37 Ha5 : Auditee pressure berpengaruh positif terhadap penghentian prematur

atas prosedur audit.

II.3.6 Pengaruh Prosedur Review dan Quality Control oleh Kantor Akuntan Publik Terhadap Premature Sign-Off

Kantor akuntan publik perlu melakukan prosedur review (prosedur pemeriksaan) untuk mengontrol kemungkinan terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit yang dilakukan oleh auditornya. Berbeda dengan prosedur review yang berfokus pada pemberian opini, quality control lebih berfokus pada pelaksanaan prosedur audit sesuai standar auditing.

Pelaksanaan prosedur review dan quality control yang baik akan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya perilaku auditor yang menyimpang, seperti praktik penghentian prematur atas prosedur audit. Kemudahan pendeteksian ini akan membuat auditor berpikir dua kali ketika akan melakukan tindakan semacam penghentian prematur atas prosedur audit. Semakin tinggi kemungkinan terdeteksinya praktik penghentian prematur atas prosedur audit melalui prosedur review dan quality control, maka semakin rendah kemungkinan auditor melakukan praktik tersebut. Formulasi hipotesis yang diajukan penulis adalah sebagai berikut:

Ha6 : Prosedur review dan quality control yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik berpengaruh negatif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

(30)

38 II.3.7. Pengaruh Time pressure, Risiko audit, Kompetensi Auditor, Auditee Pressure serta Prosedur Review dan Quality Control terhadap Premature Sign-Off

Dalam melaksanakan auditnya auditor perlu didukung dengan anggaran waktu yang cukup. Karena apabila auditor bekerja dibawah tekanan waktu yang tidak sesuai dengan besarnya pekerjaan dikhawatirkan kualitas audit menurun.

Dalam perencanaan audit, auditor juga harus mempertimbangkan risiko audit.

Sedangkan untuk variabel kompetensi, auditor terlebih dahulu harus memiliki kompetensi sebelum dapat menjadi independen karena auditor yang tidak kompeten, tidak mungkin dapat independen dalam melaksanakan pekerjaan audit. Auditor yang tidak kompeten cenderung bergantung pada pendapat orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas auditnya, karena sangat terbatas pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.

Ketika risiko deteksi tinggi dan tekanan anggaran waktu tinggi maka maka akan mengakibatkan laporan keuangan tidak dapat selesai diaudit sesuai dengan waktu yang disepakati dengan klien dan memungkinkan auditor untuk melakukan penghentian prematur atas prosedur audit agar audit dapat selesai tepat waktu. Begitu pula apabila time pressure tinggi dengan kompetensi auditor yang rendah maka kemungkinan akan menyebabkan tingginya tingkat penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan kompetensi yang baik dari seorang auditor akan mempengaruhi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Serta prosedur review dan quality control oleh KAP yang dapat menjaga kualitas audit yang dilakukan oleh auditornya. Variabel-variabel ini saling berhubungan satu sama lain. Prosedur review dan quality control KAP diperlukan untuk untuk menghindari

(31)

39 penyimpangan yang dapat dilakukan auditor dan untuk menjaga kualitas KAP tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:

Ha7 : Pengaruh Time Pressure, Risiko Audit, Kompetensi Auditor, Auditee Pressure serta Prosedur Review dan Quality Control terhadap Premature Sign Off.

II.4 Arah Hipotesis

Arah dari hipotesis penelitian ini adalah hipotesis kausal yang melihat pengaruh antara:

Gambar II.1

Skema Arah Hipotesis Penelitian

Prosedur Review dan Control Quality (X5)

X5

Prematur Sign-Off of audit procedures

( Y ) Time Pressure ( X1 )

X5

Risiko Audit ( X2 )

X5

Kompetensi ( X3 )

X5

Auditee pressure ( X4 )

X5

Gambar

Gambar II.1

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang menjadi pencipta dan yang membudayakan tradisi pembacaan senandung munajat ini adalah tuan guru pertama yang juga merupakan pendiri Tarekat

Untuk dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan maka pekerjaan yang diberikan harus menarik, penuh tantangan dan tidak bersifat rutin.Pekerjaan yang

15% orang dewasa yang menggunakan situs jejaring sosial mengatakan mereka mendapat pengalaman yang buruk mengakhiri hubungan pertemanan dengan seseorang, sementara pada remaja

Untuk adonan dengan penambahan -amilase dan glukoamilase 25 U/g tepung masih dihasilkan adonan yang agak kasar sama dengan roti yang terbuat dari pasta ubi jalar ungu

Penulis tertarik untuk menganalisis pertimbangan hukum hakim konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait asas nemo judex idoneus in propria causa yang selanjutnya

Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode Vickers skala mikro untuk sampel hasil sintesis, hasil penempaan dan pengerolan paduan ZrNbMoGe pada posisi di dalam

Berdasarkan pemikiran di atas, maka pada tahun 2015 Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usian Dini, Nonformal dan Informal (BP-PAUDNI) Regional IV telah mengalokasikan anggaran

Kemudahan dalam hal pendirian perusahaan membangkitkan minat untuk membentuk sebuah perusahaan jasa kontraktor yang juga akan mempekerjakan banyak sumber daya