• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI TAHUN 2020 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI TAHUN 2020 SKRIPSI"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

ELLA ANGGRAINI NIM. 161000099

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI TAHUN 2020

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELLA ANGGRAINI NIM. 161000099

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021

(3)
(4)

Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal: 02 September 2020

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes.

Anggota : 1. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D

(5)

(6)

Abstrak

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan penyakit kronis dan membutuhkan waktu penyembuhan teratur serta waktu yang lama sehingga dapat mengakibatkan kebosanan yang akan membuat penderita putus berobat.

Puskesmas Medan Deli merupakan Puskesmas dengan jumlah penderita TB paru ke-tiga tertinggi di kota Medan tahun 2018 sebesar 131 kasus, dengan angka kesembuhan TB paru terkonfirmasi yang rendah <85% sebanyak 63 orang (48,1%), angka pengobatan lengkap TB paru di Puskesmas Medan Deli sebanyak 4,9%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di Puskesmas Medan Deli tahun 2020. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional. Populasi sebanyak 60 responden penderita TB paru yang sudah menjalani pengobatan minimal 3 bulan, dengan jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner.

Data univariat dianalisis secara deskriptif, data bivariat dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil pengolahan data menunjukan proporsi kepatuhan minum obat sebesar 68,3%. Berdasarkan uji chi-square didapatkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan (p=0,001), sikap pasien (0,025), motivasi pasien (0,001), dan dukungan keluarga (0,006) dengan kepatuhan minum obat, sedangkan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan dukungan petugas kesehatan tidak ada hubungan bermakna dengan kepatuhan minum obat. Kepada penderita TB paru untuk tetap patuh dalam mengkonsumsi obat secara teratur dengan jadwal yang sudah ditetapkan oleh petugas kesehatan. Kepada Puskesmas Medan Deli agar tetap rutin memberikan penyuluhan kepada pasien TB paru, memberikan edukasi melalui short message atau whatsapp group serta follow up kembali status kepemilikan PMO. Kepada peneliti selanjutnya agar diharapkan meneliti variabel lain seperti hubungan antara PMO dengan kepatuhan minum obat dan efek samping obat.

Kata kunci: TB paru, kepatuhan minum obat

(7)

Abstract

Pulmonary Tuberculosis is infectious disease usually caused by the bacteria Mycobacterium tuberculosis. Pulmonary tuberculosis is a chronic and require healing time with regular and a long time. Regular tretment with a long time can lead to boredom that will make sufferers seek treatment. Medan Deli Health Center was Health Center with the third highest number of pulmonary tuberculosis sufferers in Medan with 131 cases, with a low pulmonary tuberculosis cure rate of 48,1%, the complete pulmonary tuberculosis treatment rate was 4,9% (Dinkes Kota Medan, 2018). The purpose of this research was to determine factors to the incidence of pulmonary tuberculosis sufferers with drug drinking complience in the research area of Medan Deli Health Center in 2020.

This research is an analytic study with cross sectional design. The Population is 60 pulmonary tuberculosis respondents who had undergrone treatment for at least 3 months. Total sample of research equal to total population is 60 respondents.

Intrument used was questioner. Univariate data was analyzed by descriptive test, bivariate data was analyzed by chi-square test. The result showed that proportion of drug drinking complianceis 68,3%. According to chi-square test significant association beetween knwoladge (p=0,001), patient attitude(p=0,025), patient motivation (p=0,001), and family support (p=0,006), with the drug drinking complience. While, age, gender, education, profession, and health workers support there is no significant relationship with drug drinking complience.

Patients with pulmonary tuberculosis to remain compliant consuming drugs regularly with a shedule tha has been set by health workers. Medan Deli Health Center to keep routinely providing counseling to pulmonary tuberculosis patients, provide education from short message or whatsapp group and follow up again of treatment observer. The next researcher is expected to exam other variables such as the relationship between PMO and drug side effects with drug drinking complience.

Keywords : Pulmonary tuberculosis, drug drinking complience

(8)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah swt, oleh karena kasih karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D., selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penguji I Skripsi, terimakasih untuk saran, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

(9)

5. Drs. Jemadi, M.Kes., selaku Dosen Penguji II Skripsi, terimakasih untuk saran, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Drh. Hiswani, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis di FKM USU.

7. Seluruh Dosen FKM USU dan Staf FKM USU yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di FKM USU.

8. Selaku Kepala Puskesmas Medan Deli yang telah memberikan izin kepada penulis, serta pegawai dan dokter dibagian TB yang juga turut membantu dalam proses pengumpulan data.

9. Teristimewa untuk orang tua penulis Mirjan (Bapak) dan Sulihastini (Ibu) serta adik penulis Muhammad Halim, Tiara Amanda, dan Yumna Naladhipa yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan baik moril maupun materil bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

10. Sahabat penulis Widya Anastasyia Manao, Theresia Erim K.Sinulingga dan Dina Khairiyah yang telah banyak membantu, mendukung, dan memberi semangat serta doa demi penyelesaian skripsi ini.

11. Teman-teman Peminatan Epidemiologi 2016, Peminatan Epidemiologi 2015

dan Stambuk 2016 FKM USU yang telah banyak mendukung dan memberi

semangat serta doa dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu,

yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan demi penyelesaian

skripsi ini.

(10)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi positif bagi pembaca.

.

Medan, September 2020

Ella Anggraini

(11)

Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiv

Daftar Lampiran xvi

Daftar Istilah xvii

Riwayat Hidup xviii

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 5

Tujuan umum 5

Tujuan khusus 5

Manfaat penelitian 6

Tinjauan Pustaka 8

Konsep Tuberkulosis 8

Definisi 8

Etiologi 8

Gejala Klinis 9

Patogenesis 10

Klasifikasi 14

Epidemiologi 16

Penularan 17

Penegakan diagnosis 19

Pengobatan 22

Upaya pencegahan 24

Konsep Karakteristik 25

Usia 25

Jenis kelamin 26

Pendidikan 26

Pekerjaan 27

Konsep Perilaku 27

(12)

Sikap 28

Tindakan 28

Konsep Motivasi 29

Teori motivasi 29

Faktor penggerak motivasi 30

Konsep Kepatuhan 30

Definisi 30

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan 30

Variabel dalam kepatuhan 31

Landasan Teori 32

Kerangka Konsep 35

Hipotesis 35

Metode Penelitian 37

Jenis Penelitian 37

Lokasi dan Waktu Penelitian 37

Populasi dan Sampel 37

Variabel dan Definisi Operasional 38

Metode Pengumpulan Data 40

Metode Pengukuran 40

Metode Analisis Data 42

Hasil Penelitian dan Pembahasan 43

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 43

Geografis 43

Demografis 43

Analisis Univariat 44

Kepatuhan minum obat 44

Karakteristik tidak patuh 44

Deskripsi karakteristik 45

Pengawas menelan obat 46

Pengetahuan 47

Sikap Pasien 48

Motivasi pasien 48

Dukungan petugas kesehatan 49

Dukungan keluarga 49

Analisis Bivariat 50

Hubungan antara karakteristik dengan kepatuhan minum obat

50 Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum

obat

51 Hubungan antara sikap pasien dengan kepatuhan minum

obat

52

Hubungan antara motivasi pasien dengan kepatuhan minum 53

(13)

Hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat

53 Hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

minum obat 54

Pembahasan 56

Proporsi Kepatuhan Minum Obat TB Paru 56

Hubungan antara Umur dengan Kepatuhan Minum Obat 57 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Minum Obat 59 Hubungan antara Pendidikan dengan Kepatuhan Minum Obat 61 Hubungan antara Pekerjaan dengan Kepatuhan Minum Obat 63 Hubungan antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat 65 Hubungan antara Sikap pasien dengan Kepatuhan Minum Obat 67 Hubungan antara Motivasi Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat 69 Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan

Kepatuhan Minum Obat

71 Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum

Obat

Keterbatasan Penelitian

73 76

Kesimpulan dan Saran 77

Kesimpulan 77

Saran 78

Daftar Pustaka 79

Lampiran 85

(14)

Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Jenis Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama 23

2 Jenis Obat Anti Tuberkulosis Lini Kedua 23

3 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian 40

4 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

43

5 Distribusi Proporsi Kepatuhan Minum Obat pada penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

44

6 Distribusi Proporsi Karakteristik Tidak Patuh Minum Obat pada penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

44

7 Distribusi Proporsi Penduduk Berdasarkan Karakteristik Responden yang Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

45

8 Distribusi Proporsi PMO pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

46

9 Distribusi Proporsi Pengetahuan pasien yang Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

47

10 Distribusi Proporsi Sikap Pasien yang Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020.

48

11 Distribusi Proporsi Motivasi Pasien yang Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

48

12 Distribusi Proporsi Dukungan Petugas Kesehatan pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

49

(15)

13 Distribusi Proporsi Dukungan Keluarga pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

49

14 Tabulasi Silang antara Karakteristik dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

50

15 Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

52

16 Tabulasi Silang antara Sikap Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

52

17 Tabulasi Silang antara Motivasi Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

53

18 Tabulasi Silang antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

54

19 Tabulasi Silang antara Dukunga Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

54

(16)

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Alur diagnosis TB paru 21

2 Teori perilaku Lawrence Green 33

3 Kerangka konsep 35

4 Diagram bar distribusi proporsi kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

56

5 Diagram bar tabulasi silang antara umur dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

58

6 Diagram bar tabulasi silang antara jenis kelamin dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

60

7 Diagram bar tabulasi silang antara pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

62

8 Diagram bar tabulasi silang antara pekerjaan dengan kepatuhan minum Obat pada Penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

64

9 Diagram bar tabulasi silang antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

66

10 Diagram bar tabulasi silang antara sikap pasien dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

68

11 Diagram bar tabulasi silang antara motivasi pasien dengan kepatuhan minum obat pada Penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

70

(17)

12 Diagram bar tabulasi silang antara dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

72

13 Diagram bar tabulasi silang antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020

74

(18)

Daftar Lampiran

No Judul Halaman

1 Informed Consent 85

2 Kuesionel Penelitian 86

3 Master Data 92

4 Output Hasil Penelitian 97

5 Surat Permohonan Izin Penelitian 105

6 Surat Izin Penelitian 106

7 Surat Pelaksanaan dan Selesai Penelitian 107

8 Dokumentasi Penelitian 108

(19)

Daftar Istilah

AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome BCG Bacillus Calmette Guerin

BTA Basil Tahan Asam

CNR Case Notification Rate

FASYANKES Fasilitas Pelayanan Kesehatan HIV Human Immunodeficiency Virus MDR Multi Drug Resistance

MOOT Mycobacterium Other Than Tuberculosis M.tb Mycobacterium tuberculosis

OAT Obat Anti Tuberkulosis

ODHA Orang Dengan HIV AIDS

PMO Pengawas Minum Obat

QA Quality Assurance

RO Resistan Obat

SP Sewaktu-Pagi

SR Success Rate

TB Tuberkulosis

TBC Tuberculosis

TCM Tes Cepat Molekuler

WHO World Helath Organization

XDR Extensively Drug Resistance

(20)

Riwayat Hidup

Penulis bernama Ella Anggraini berumur 22 tahun, dilahirkan di Medan pada tanggal 02 Februari 1998. Penulis beragama Islam, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Mirjan dan Ibu Sulihastini.

Pendidikan formal dimulai di Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Alwashliyah 25 Medan Tahun 2004-2010, sekolah menengah pertama di SMP Al-Washaliyah 26 Medan Tahun 2010-2013, sekolah menengah atas di SMA Laksamana Martadinata Medan Tahun 2013-2016, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, September 2020

Ella Anggraini

(21)

Pendahuluan

Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular sebagai penyebab utama masalah kesehatan. TB adalah salah satu dari 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Seperempat penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis.

Diagnosis dan perawatan tepat waktu rutin minum obat anti tuberkulosis (OAT) selama enam bulan pertama pada penderita TB dapat disembuhkan dan penularan infeksi semakin menurun (WHO, 2019).

Epidemi penderita TB di dunia mencapai 10.000.000 orang terinfeksi TB pada tahun 2018. Tiga negara dengan kejadian TB terbesar adalah India sebesar (27%), Cina (14%), dan Federasi Rusia (9%). Secara geografis sebagian besar kasus TB tahun 2018 terbesar di Asia Tenggara sebanyak 44%, Afrika (24%), dan Pasifik Barat (18%), dengan persentase lebih kecil di Mediterania Timur (8%), Amerika (3%) dan Eropa (3%). Negara sebagai penyumbang dua pertiga dari total dunia adalah India sebesar (27%), Cina (9%), dan Indonesia (8%) (WHO, 2019).

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bacillus mycobacterium tuberculosis, dengan menyebar saat orang yang sakit TB mengeluarkan bakteri ke udara melalui droplet dahak saat batuk atau bersin yang mempengaruhi paru-paru. Dari negara berpenghasilan tinggi yang melakukan tes diagnostik sensitif terdapat 80% kasus terkonfirmasi bakteriologis dari TB paru.

Ditemukan sekitar 70% orang dengan dahak BTA positif TB paru meninggal

(22)

dalam 10 tahun didiagnosis. Secara global pada tahun 2018 mengalami peningkatan dari TB paru terkonfirmasi secara bakteriologis dengan tes resisten rimfapisin menjadi 51% sebelumnya di tahun 2017 sebesar 41%. Menurut WHO, dari 7.000.000 kasus baru dan kambuh pada penderita TB paru tahun 2018 sebanyak 5,9 juta (85%) yang mengalami TB paru. Persentase kasus TB paru yang terkonfirmasi secara bakteriologis pada tahun 2018 dengan rata-rata di dunia sebesar 55%. Secara global diperkirakan 1,3 juta anak < 5 tahun kontak rumah tangga dari TB paru yang terkonfirmasi. Total kasus baru dan relapse sebesar 6.950.750 orang. Kasus TB menurut jenis kelamin laki-laki (58%) lebih tinggi dari perempuan (34%). Menurut jenis kelamin perempuan dengan kelompok umur tertinggi 15-24 tahun sekitar 500.000 orang menderita TB dan jenis kelamin laki- laki menurut kelompok umur tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun sekitar 750.000 orang (WHO Gobal Report, 2019).

Estimasi dengan beban TB di Asia Tenggara tahun 2018 untuk total kasus

baru sebesar 4.370.000 kasus dengan rate 220 per 100.000 penduduk. Kasus TB

terkonfirmasi pada tahun 2018 untuk kasus baru dan relapse sebesar 3.183.255

kasus. TB paru di Asia Tenggara sebesar 83% dengan terkonfirmasi bakteriologi

sebesar 56%, anak-anak berumur 0-14 tahun terkonfirmasi sekitar 7%, menurut

jenis kelamin laki-laki (58%) lebih besar dari perempuan (35%). Berdasarkan

jenis kelamin perempuan menurut umur tertinggi pada kelompok umur 15-24

tahun sebesar >200.000 orang dan jenis kelamin laki-laki menurut umur tertinggi

pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar >300.000 orang (WHO, 2019).

(23)

Penderita TB di Indonesia pada tahun 2017 berjumlah 420.994 kasus (Infodatin, 2018). Pada tahun 2018 kasus TB berjumlah 845.000. Proporsi kasus tuberkulosis menurut kelompok umur pada tahun 2018 tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 14,2% dan terendah pada kelompok umur ≥65 tahun sebesar 8,1%. Estimasi beban TB di Indonesia pada kasus baru sebesar 846.000 kasus dengan rate 316/100.000 penduduk. Kasus TB terkonfirmasi kasus baru dan relapse sebesar 563.879 kasus. TB paru di Indonesia terkonfirmasi sebesar 88%

dengan terkonfirmasi bakteriologi sebesar 50%. Pada anak usia 0-14 tahun sebesar 11% kasus. Jenis kelamin laki-laki (52%) lebih besar dari penderita berjenis kelamin perempuan (37%). Berdasarkan jenis kelamin menurut umur, laki-laki dengan kelompok umur tertinggi adalah 45-54 tahun sebesar >500.000 orang dan jenis kelamin perempuan adalah kelompok umur 15-24 tahun sebesar

>400.000 orang (WHO, 2019).

Penderita TB di Sumatera Utara berjumlah 26.361 kasus dengan proporsi sebesar 0,18% tahun 2017, dengan jumlah kasus terbanyak adalah kota Medan 8.192 kasus dengan proporsi sebesar 1,8% diikuti dengan Deli Serdang sebanyak 3.204 kasus (0,15%). Angka success rate TB menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sumetera Utara Tahun 2017 yang SR-nya belum mencapai target nasional 85%

yaitu Kota Medan sebesar 84,113%, Nias Selatan (83,9%), Padang Sidempuan (79,47%), Kota Binjai (72,03%, Tanjung Balai (68,36%), dan Kabupaten Simalungun (63,22%) (Dinkes Sumut, 2017).

TB paru BTA (+) dengan angka case notification rate (kasus baru) di

Sumatera Utara sebanyak 104,3 per 100.000 penduduk. Angka keberhasilan

(24)

pengobatan TB (succes rate) tahun 2017 ditingkat provinsi menurun dari tahun sebelumnya sebesar 92,19% menjadi 91,31%. Persentase kesembuhan TB tahun 2017 sebesar 82,40% menurun dibandingkan pencapaiaan tahun 2016 sebesar 85,52% (Dinkes Provsu, 2017). Jumlah Penderita TB paru BTA (+) di Sumatera Utara sebesar 14.883 kasus. Jumlah penderita TB paru BTA (+) di kota Medan sebesar 3.207 kasus. Angka kesembuhan (cute rate) penderita TB paru di kota Medan sebesar 75,29%, Angka pengobatan lengkap sebesar 8,83% dan angka keberhasilan pengobatan (success rate) sebesar 84,13%.

Pada tahun 2018 kasus TB paru di Kota Medan sebesar 1.196 kasus.

Angka kesembuhan (cute rate) penderita TB paru di Kota Medan sebesar 88,2%, Angka pengobatan lengkap sebesar 37,6% dan angka keberhasilan pengobatan (success rate) sebesar 91,1% (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2018).

Puskesmas Medan Deli merupakan Puskesmas dengan jumlah penderita TB paru ke-tiga tertinggi di kota Medan tahun 2018 sebesar 131 kasus, dengan angka kesembuhan TB paru terkonfirmasi yang rendah <85% sebanyak 63 orang (48,1%). Angka pengobatan lengkap TB paru di Puskesmas Medan Deli sebanyak 7 orang sebesar 4,9% (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2018).

Dampak yang di peroleh penderita TB Paru jika tidak patuh minum obat

anti tuberkulosis adalah bakteri yang menginfeksi tubuh akan kuat dan kebal

terhadap obat anti tuberkulosis jika tidak mematuhi petugas kesehatan dalam

minum OAT sehingga penderita TB paru akan semakin menderita dengan beban

penyakit dan menjadi TB resistan obat seperti resistan terhadap rimfapisin, TB

MDR dan TB XDR .

(25)

Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020. Penelitan ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Puskesmas Medan Deli.

Perumusan Masalah

Belum diketahui faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Mengetahui faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

Tujuan khusus. Tujuan khusus pada penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan), PMO (pengawas menelan obat), pengetahuan, sikap pasien, motivasi pasien, dukungan petugas kesehatan, dan dukungan keluarga di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020 .

2. Mengetahui hubungan karakteristik (usia, jenis kelamin, pindidikan, dan

pekerjaan) dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru

di Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

(26)

3. Mengetahui hubungan pengetahuan pasien yang menderita tuberkulosis paru dengan kepatuhan minum obat di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

4. Mengetahui hubungan sikap pasien yang menderita tuberkulosis paru dengan kepatuhan minum obat di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

5. Mengetahui hubungan motivasi pasien yang menderita tuberkulosis paru dengan kepatuhan minum obat di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

6. Mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

7. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli tahun 2020.

Manfaat penelitian

1. Sebagai masukan, informasi, acuan perencanaan, dan kebijakan kesehatan pada penderita tuberkulosis paru bagi puskesmas Medan Deli dalam upaya kepatuhan dan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru.

2. Sebagai sarana menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi

peneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat

pada penderita tuberkulosis paru, menerapkan ilmu yang telah didapat

peneliti selama berada di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

(27)

Sumatera Utara, dan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara .

3. Sebagai bahan informasi untuk peneliti lain yang akan melakukan

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat

pada penderita tuberkulosis paru.

(28)

Tinjauan Pustaka

Konsep Tuberkulosis

Definisi. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang juga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) merupakan kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran pernafasan dan dapat mengganggu penegakan diagnosis pengobatan tuberkulosis (Kementerian Kesehatan, 2018).

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi saluran napas bagian bawah. Basil mikobakterium tuberkulosa tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) hingga ke alveoli, kemudian menjadi infeksi primer (ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar getah bening dan membentuk primer kompleks (rangke). Penyebab tuberkulosis paru adalah mycobacterium tuberculosis menyebar saat penderita TB mengeluarkan bakteri ke udara dengan batuk dan mempengaruhi paru-paru (WHO, 2019).

Etiologi. Bakteri penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis berupa batang lurus dan tipis berukuran sekitar 0,4 × 3μm. Bakteri pada medium artifisial memiliki bentuk kokoid dan filamentosa yang terlihat dalam berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies lain (Caroll, K.C., dkk, 2018).

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap

pencucian warna dengan asam klorida dan alkohol sehingga disebut basil tahan

(29)

Gejala klinis. Gambaran klinik TB dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik.

Gejala sistemik. Gejala sistemik yang dialami oleh penderita tuberkulosis berupa demam, malaise, berkeringat pada malam hari, anoreksia, dan berat badan menurun.

Demam. Demam yang menyerupai demam influenza berlangsung selama lebih dari tiga minggu. Demam dapat mencapai suhu 40-41

C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali (Aditama, T.J., 2002).

Malaise. TB paru bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak badan, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, sakit kepala, pegal-pegal, mudah lelah, dan pada beberapa wanita dapat terjadi gangguan siklus menstruasi.

Gejala respiratorik. Gejala respiratorik yang dialami oleh penderita tuberkulosis paru berupa batuk, sesak nafas, dan nyeri dada.

Batuk. Gejala batuk banyak ditemukan pada penderita tuberkulosis paru.

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan untuk

membuang dampak dari radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non

produktif) kemudian dengan timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan

sputum). Kondisi batuk yang lebih lanjut adalah batuk darah dengan terjadinya

pembuluh darah pecah. Batuk darah lebih sering terjadi pada kavitas tetapi dapat

juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

(30)

Sesak nafas. Pada penderita TB paru ringan (baru) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas ditemukan saat penyakit sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah mencapai setengah bagian paru-paru. Kondisi lainnya diikuti dengan wheeze atau mengi saat bernafas disebabkan oleh bronkitis tuberkulosis atau tekanan kelenjar limfe pada bronkus.

Nyeri dada. Keadaan ini jarang ditemukan pada tuberkulosis. Nyeri dada timbul jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga dapat menimbulkan pleuritis atau radang. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu penderita TB menarik atau melepaskan nafas

Patogenesis. Patogenesis tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi dua yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis pasca primer (Setiati,S., dkk, 2014).

Tuberkulosis primer. Penularan tuberkulosis terjadi karena bakteri keluar menjadi droplet nuklei melalui batuk atau bersin dalam udara sekitar kita. Bakteri ini dapat hidup dalam udara bebas selama satu sampai dua jam dan mati jika terkena sinar matahari. Dalam keadaan lembab dan gelap bakteri dapat hidup berhari-hari maupun berbulan-bulan. Bakteri masuk ke alveolar bila berukuran

<5 mikrometer. Bakteri pertama kali akan dihadapi oleh neutrofil kemudian makrofag. Bakteri akan lebih banyak mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar melalui percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya.

Bila bakteri menetap di jarigan paru, berkembang biak dalam sitoplasma

makrofag, bakteri juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Sarang

primer atau afek primer (ghon) merupakan tempat bakteri yang hidup di jaringan

paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil. Sarang primer dapat

(31)

terjadi di setiap bagian jaringan paru. Jika bakteri menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Bakteri juga dapat masuk dari saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional selanjutnya bakteri masuk ke dalam vena dan menyebar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang. Jika masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB miller.

Dari afek atau sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga terjadi pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersamaan dengan limfadenitis regional akan menjadi kompleks primer (ranke), proses ini memakan waktu tiga sampai delapan minggu.

Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, hal ini yang sering terjadi.

2. Sembuh dengan memberi sedikit bekas berupa garis-garis fibriotik, klasifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumoni (radang paru- paru) dengan luasnya >5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena bakteri yang dormant.

3. Berkompilasi menyebar secara perkontinuitatum yaitu menyebar ke

sekitarnya, secara beronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di

sebelahnya, bakteri juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga

menyebar ke usus, secara limfogen, ke organ tubuh lain, dan secara

hematogen ke organ tubuh lainnya.

(32)

Tuberkulosis pasca primer. Bakteri yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian menjadi infeks endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer, TB pasca primer, dan TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena daya tahan tubuh menurun seperti malnutrisi, mengkonsumsi alkohol berlebih, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini yang bertempat di regio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invansinya adalah ke bagian parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru.

Sarang dini awalnya berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam waktu tiga sampai sepuluh minggu sarang menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

TB pasca primer dapat juga berasal dari infeksi eksogen yaitu usia muda

menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Sarang dini dapat di reabsorbsi

kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, tergantung dari jumlah bakteri,

virulensinya dan imunitas pasien. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera

menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri

menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang menyebar luas sebagai

granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian

tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Jika

jaringan keju keluar melalui droplet batuk maka akan terjadi kavitas. Kavitas

berdinding tipis yang kemudian menjadi menebal karena infiltrasi jaringan

(33)

fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).

Hidrolisi protein lipid dan nukleat oleh enzim yang di produksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya merupakan penyebab terjadinya perkijuan dan kavitas. Cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan uisa lanjut merupakan bentuk perkujian lain yang jarang.

Pada keadaan ini lesi sangat kecil tetapi berisi sangat banyak bakteri.

Kavitas dapat:

1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Jika kavitas dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Kavitas juga dapat masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus, Sarang ini kemudian mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. TB endobronkial dan TB endotrakeal juga dapat terjadi bila ruptur ke pleura.

2. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.

Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau aktif kembali menjadi cair dan kembali menjadi kavitas. Komplikasi kronik kavitas yaitu kolonisasi dari fungus seperti aspergillus dan selanjutnya menjadi mycetoma.

3. Open healed yaitu bersih dan menyembuh, dapat menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Beberapa berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.

Secara keseluruhan akan terdapat tiga macam sarang yaitu, sarang yang

sudah sembuh, sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi, sarang aktif

(34)

eksudatif, sarang ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna, dan sarang yang berada antara sembuh dan aktif kemudian sarang dapat sembuh secara spontan, tetapi kemungkinan menjadi eksaserbasi sehingga perlu diberi pengobatan yang sempurna.

Kalsifikasi tuberkulosis. Klasifikasi dan tipe penderita TB paru mengikuti klasifikasi baku untuk pasien TB berdasarkan Permenkes RI nomor 67 tahun 2016, terdiri atas :

Klasifikasi berdasarkan lokasi penyakit. Klasifikasi berdasrakan lokasi penyakit dibedakan berdasarkan paru dan ekstra paru.

Paru. Paru merupakan lokasi penyakit TB jika ditemukan kelainan ada di dalam parenkim paru, jika ditemukan kelainan di paru maka pasien di registrasi sebagai pasien TB paru dengan klsifikasi TB paru.

Ektsra paru. Ekstra parulokasi penyakit jika ditemukan kelainan ada pada organ di luar parenkim paru dengan dibuktikan dengan pemeriksaan bakteriologis resistan obat untuk sampel pemeriksaan yang diambil di luar parenkim paru.

Riwayat pengobatan sebelumnya. Riwayat pengobatan sebelumnya diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, terdiri atas:

Pasien baru. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT atau pernah diobati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan.

Pengobatan ulangan. Pengobatan ulangan adalah pasien yang

mendapatkan pengobatan ulang yang dikategorikan atas :

(35)

1. Kasus gagal pengobatan kategori 1 adalah pasien memperoleh pengobatan dengan panduan kategori 1 dengan hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2. Kasus gagal pengobatan kategori 2 adalah pasien memperoleh pengobatan ulangan dengan panduan kategori 2 yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Hal ini didukung dengan rekam medis dan riwayat pengobatan TB sebelumnya.

3. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali sebagai kasus TB rekuren berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis dari pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan atau tes cepat.

4. Default, Pasien kembali setelah loss to follow up, lalai berobat atau default adalah pasien yang kembali berobat setelah putus berobat atau loss to follow up paling sedikit dua bulan dengan pengobatan kategori-1 atau kategori-2 serta hasil pemeriksaan bakteriologis menunjukkan hasil terkonfirmasi.

5. Pernah diobati tidak diketahui hasilnya yaitu, pasien yang telah

mendapatkan pengobatan TB lebih dari satu bulan tetapi hasil

pengobatannya tidak diketahui.

(36)

6. Riwayat pengobatan lainnya adalah pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat dipastikan.

Epidemiologi tuberkulosis paru. Epidemiologi TB paru dapat diketahui berdasarkan distribusi dan frekuensi yaitu,

Distibusi dan frekuensi tuberkulosis paru. Distribusi dan frekuensi TB paru terdiri dari orang, tempat dan waktu.

Berdasarkan orang. Berdasarkan global report WHO 2019 bahwa kasus TB paru di dunia menurut jenis kelamin laki-laki (58%) lebih tinggi dari perempuan (34%). Kasus TB paru di Asia tenggara menurut jenis kelamin laki- laki lebih tinggi dibanding perempuan sebesar 58% kasus berjenis kelamin laki- laki dan perempuan 35%. TB paru di Indonesia terkonfirmasi laki-laki lebih tinggi sebesar 52% dibanding perempuan sebesar 37%. Jumlah kasus baru TB di Indonesia berdasarkan jenis kelamin tahun 2017 lebih banyak laki-laki sebesar 245.298 kasus dan perempuan sebesar 175.696 kasus (Infodatin, 2018). Kasus TB paru di Sumatera Utara pada tahun 2018 menurut jenis kelamin lebih tinggi laki- laki sebesar 64,76% dan diikuti oleh perempuan 35,24% (Kementerian Kesehatan, 2018).

Proporsi kasus tuberkulosis menurut kelompok umur di Indonesia pada tahun 2018 tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 14,2% dan terendah pada kelompok umur ≥ 65 tahun sebesar 8,1% (WHO, 2019)

Berdasarkan tempat. Proporsi TB tertinggi pada tiga negara dengan

bangsa terbesar dunia adalah India sebanyak 27%, Cina (14%), dan Federasi

Rusia (9%). Secara geografis sebagian besar kasus TB tahun 2018 terbesar di Asia

(37)

Tenggara sebanyak 44%, Afrika (24%), dan Pasifik Barat (18%), dengan persentase lebih kecil di Mediterania Timur (8%), Amerika (3%) dan Eropa (3%).

Negara sebagai penyumbang dua pertiga dari total dunia adalah India sebanyak (27%), Cina (9%), dan Indonesia (8%) (WHO, 2019).

Proporsi tertinggi di Indonesia pada provinsi Jawa Timur sebesar 15,75%

(Kementerian Kesehatan, 2018). Penderita TB di Sumatera Utara berjumlah 26.361 kasus dengan proporsi sebesar 0,18% tahun 2017, dengan jumlah kasus terbanyak adalah kota Medan 8.192 kasus dengan proporsi sebesar 1,8% diikuti dengan Deli Serdang sebanyak 3.204 kasus (0,15%) (Dinas Kesehatan Sumut, 2017).

Berdasarkan waktu. Jumlah kasus baru dan kambuh TB di dunia dari tahun 2000-2018 cenderung meningkat yaitu >50 per 100.000 penduduk hingga 100 per 100.000 penduduk per tahun. Total insiden TB di Asia Tenggara cenderung menurun dari tahun 2000-2018 dari 300 per 100.000 penduduk hingga

<300 per 100.000 penduduk. Kasus baru dan kasus kambuh cenderung meningkat dari tahun 2000-2018 dari <100 per 100.000 penduduk hingga 200 per 100.000 penduduk per tahun.

Penularan tuberkulosis paru. Menurut peraturan menteri kesehatan nomor 67 tahun 2016 penularan TB paru dikelompokan menjadi dua yaitu sumber penularan TB paru dan perjalanan alamiah TB pada manusia.

Sumber penularan. Sumber penularan yairu pasien TB khususnya dahak

pasien TB yang mengandung bakteri. Bakteri menyebar saat batuk atau bersin ke

udara dalam bentuk percikan dahak (droplet). Infeksi terjadi jika individu

(38)

menghirup udara yang terpapar dan mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis yang infeksius.

Perjalanan alamiah TB pada manusia. Perjalanan alamiah terdiri dari empat tahapan yaitu tahap paparan, infeksi, menderita sakit, dan meninggal dunia sebagai berikut:

Paparan. Paparan memiliki peningkatan peluang terkait dengan, jumlah kasus menular di masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak sumber penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekataan kontak dengan sumber penularan, dan lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.

Infeksi. Reaksi imunitas tubuh terjadi 6-14 minggu setelah infeksi. Lesi biasanya sembuh total tetapi bakteri dapat tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan akan aktif kembali sesuai dengan imunitas tubuh manusia.

Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.

Faktor risiko. Faktor risiko menjadi TB melalui, jumlah atau konsentrasi bakteri yang tehirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi, tingkat imunitas yang rendah seperti ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dan malnutrisi atau gizi buruk.

Meninggal dunia. Faktor risiko kematian karena tuberkulosis sebab

keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak adekuat, memiliki kondisi

kesehatan yang buruk dan penyakit penyerta, pada penderita TB tanpa pengobatan

dengan 50% mengalami kematian.

(39)

Penegakan Diagnosis TB Paru. Penetapan diagnosis TB paru melalui keluhan, anamnesis, pemeriksaan klinis, pemerikaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan adaya tanda dan gejala pasien yaitu pada gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama ≥2 minggu, batuk disertai dengan bercampur darah, sesak nafas, malaise, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari, demam lebih dari satu bulan.

Gejala dapat dipertemukan pada penyakit paru selain tuberkulosis, seperti asma, bronkiektasis, bronkitis kronis, kanker paru, dan lain-lain. Tingginya prevalensi TB di Indonesia maka setiap pasien yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut dianggap sebagai suspek atau terduga TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Pertimbangan pemeriksaan dengan tanda gejala pada faktor risiko meliputi, kontak erat dengan pasien, tinggal di daerah padat penduduk, daerah pengungsian dan orang yang bekerja dengan bahan kimia berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.

Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menunjang penegakkan diagnosis TB secara bakteriologi, pemeriksan tes cepat molekuler dan pemeriksaan biakan. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada sarana laboratorium yang terpantau mutunya.

1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung, pemeriksaan ini berfungsi untuk

menegakkan diagnosis, menentukan potensi penularan, dan menilai

keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan dua sampel

(40)

uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP). S (sewaktu) adalah pengambilan sampel dahak ditampung sewaktu berada di fasilitas pelayanan kesehatan. P (pagi) adalah pengambilan sampel dahak ditampung saat pagi setelah bangun tidur, dilakukan di rumah pasien atau di fasilitas kesehatan rawat inap.

2. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) TB pemeriksaan tes cepat molekuler menggunakan metode Xpert MTB/RIF. TCM adalah sarana untuk penegakkan diagnosis, tetapi tidak digunakan untuk evaluasi hasil akhir pengobatan.

3. Pemeriksaan biakan, pemeriksaan ini dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen), dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis.

Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan dengan foto toraks dan pemeriksaan hispatologi pada kasus TB dicurigai ekstra paru.

Pemeriksaan uji kepekaan obat. Uji kepekaan obat berfungsi untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi M.tb kepada OAT. Uji kepekaan dilakukan pada laboratorium yang sudah lulus uji pemanfaatan mutu/Quality Assurance (QA) dan telah bersertifikat nasional maupun internasional.

Alur diagnosis. Alur diagnosis tuberkulosis dapat dilakukan berdasarkan

fasilitas yang sudah tersedia yaitu fasilitas kesehatan yang memiliki akses

pemeriksaan dengan alat tes cepat molekuler dan fasilitas kesehatan yang

(41)

mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki akses ke tes cepat molekuler. Berikut adalah alur diagnosis TB :

Pasien baru, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+) atau tidak diketahui status HIV nya

Pemeriksaan Klinis dan bakteriologis dengan mikroskop atau TCM TB

(- -)

(+ +) (+ -)

TB Terkonfirmasi

Gambaran Mendukung TB

Foto toraks

Suspek TB

Tidak memiliki akses untuk TCM

Pemeriksaan Mikroskopis BTA

Terapi antibioka non OAT

(+ -) Pengobatan TB Lini 1 Tidak mendukung

Tb, Bukan TB cari kemungkinan

penyakit lain TB

Terkonfirmasi klinis

Pengobatan TB Lini 1

Ada perbaikan klinis

Tidak ada perbaikan klinis, ada faktor

risiko TB dan pertimbangan dokter Bukan TB cari

kemungkinan

penyakit lain TB terkonfirmasi klinis

(42)

Pengobatan tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis bertujuan dalam penyembuhan pasien sehingga memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian, mencegah kambuhnya penyakit, menurunkan risiko penularan tuberkulosis, dan mencegah TB RO.

Prinsip pengobatan. OAT merupakan bagian penting dalam pengobatan tuberkulosis sebagai upaya paling efisien mencegah penyebar bakteri TB.

Prinsip pengobatan TB yaitu diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang terdiri dari empat jenis obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Dosis yang diberikan harus tepat, OAT konsumsi secara teratur yang diawasi oleh pengawas minum obat (PMO) hingga pengobatan selesai. Jangka waktu yang digunakan dalam pengobatan harus tepat terdiri atas dua bagian yaitu bagian awal dan lanjutan sebagai pengobatan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan. Tahapan pengobatan terbagi atas dua bagian atau tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.

Tahap awal. Pada tahap ini pengobatan dilakukan setiap hari. Paduan obat dalam pengobatan ini untuk menurunkan dan meminimalisir jumlah serta pengaruh dari bakteri yang memiliki kemungkinan resistan saat sebelum penderita mendapat pengobatan. Pengobatan ini dilakukan selama dua bulan sampai tiga bulan dan kemampuan menularkan mulai menurun setelah pengobatan selama dua minggu pertama.

Tahap lanjutan. Pada tahap lanjutan dilakukan untuk membunuh bakteri

yang masih ada dalam tubuh. Pengobatan ini membutuhkan waktu empat atau

(43)

lima bulan pada tiga hari dalam satu minggu agar mencegah terjadinya kekambuhan.

Jenis obat anti tuberkulosis. OAT terbagi atas dua jenis, yaitu OAT lini pertama dan OAT lini kedua (Peraturan Menteri Kesehatan, 2016). Berikut jenis obat anti tuberkulosis :

a. Jenis OAT lini pertama Tabel 1

Jenis Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama

Jenis Sifat Efek samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Gangguan saraf tepi, psikokis toksisk, kejang, gangguan fungsi hati.

Rifampisin (R) Bakterisidal Gejala influenza berat, gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, urine berwarna merah, trombosipeni, sesak nafas, anemia hemolitik, skin rash.

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan fungsi hati, gout arthritis, gangguan gastrointestinal.

Streptomisin (S) Bakterisidal Terjadi nyeri pada bekas suntikan, ganguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, dan

ganguan saraf tepi.

b. Jenis OAT lini kedua Tabel 2

Jenis Obat Anti Tuberkulosis Lini Kedua

Grup Golongan Jenis obat

A Florokuinolon

 Levofloksasin (Lfx)

 Moksifloksasin (Mfx)

 Gatifloksasin (Gfx)

(Bersambung)

(44)

Tabel 2

Jenis Obat Anti Tuberkulosis Lini Kedua

Grup Golongan Jenis Obat

B C

D

OAT suntik lini kedua OAT oral lini kedua

D1

 Kanamisin (Km)

 Amikasin (Am)*

 Kapreomisin (Cm)

Streptomisin (S)**

 Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*

 Sikloserin (Cs)/Terizidon (Trd)*

 OAT lini 1 

Pirazinamid (Z)

Etambutol (E)

Isoniazid (H) dosis tinggi D2

OAT baru

 Bedaquiline (Bdq)

 Delamanid (Dlm)*

 Pretonamid (PA-824)

D3

OAT

tambahan

Upaya pencegahan tuberkulosis paru.

Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan serta faktor pejamu, (Noor, 2013). Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara :

Meningkatkan daya tahan tubuh. Meningkatkan daya tahan tubuh dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, memelihara istirahat yang cukup dan berkualitas, melakukan olahraga setiap hari, meningkatkan imunitas tubuh dengan imunisasi BCG.

Meningkatkan kesehatan lingkungan. Meningkatkan kesehatan lingkungan

dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan rumah, melengkapi rumah dengan

ventilasi yang cukup, dan membuka jendela setiap hari.

(45)

Pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang ditujukan pada suspek penderita TB paru. Strategi pengobatan pasien TB paru mengacu kepada DOTS dengan demikian penderita TB harus dipantau dalam pengobatan dan tetap meminum OAT secara tepat dan teratus seuai pasuan OAT yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga tidak timbulnya TB resitan obat.

Penderita TB MDR harus mematuhi etika bersin dan batuk, menggunakan masker dan tidak membuang dahak sembarangan.

Konsep Karakteristik

Usia. Menurut Notoatmodjo (2012) bahwa semakin cukup umur maka tingkat kekuasaan dan kematangan individu akan lebih baik dalam bekeja dan berfikir. Akibat dari kematangan dan pengalaman jiwa maka semakin dewasa suatu individu maka pola berfikir akan semakin teratur dan matang dalam menjalankan sesuatu.

Menurut Zubaidah (2015) bahwa usia dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru memiliki hubungan signifikan dengan hasil uji statistik p=0,000, dan nilai OR pada penderita muda 0,822 kali dari pada penderita usia tua. Menurut Yuda (2018) bahwa usia memiliki hubungan dengan kepatuhan minum obat dengan p=0,006 dan usia >45 tahun cenderung tidak patuh sebesar 28,13%.

Menurut Wulandari (2015) bahwa usia yang lebih dominan adalah 22

sampai 60 tahun (67,1%) sebagai usia produktif.

(46)

Jenis kelamin. Jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dari jenis kelamin perempuan disebabkan perilaku atau kebiasaan merokok dan minum alkohol sebagai penyebab TB paru (WHO, 2019).

Berdasarkan jenis kelamin pada penderita tuberkulosis paru di Provinsi Sumatera Utara bahwa laki-laki lebih tinggi 64,76% sedangkan perempuan (35,24%) (Kementerian Kesehatan, 2018)

Pendidikan. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat, pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan koeresi. Pendidikan merupakan bentuk upaya dalam berperilaku kondusif bagi kesehatan (Notoatmodjo, 2012).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah menerima informasi yang berdampak pada tingginya pengetahuan yang dimiliki (Makhfudi, 2010).

Pekerjaan. Berdasarkan penelitian bahwa pasien tuberkulosis paru dengan kategori tidak teratur berobat lebih tinggi dengan mempunyai pekerjaan yang memberi penghasilan untuk kebutuhan hidup pasien, hasil uji statistik menunjukan bahwa OR=0,617 kali menunjukkan bawa pekerjaan adalah faktor risiko terhadap perilaku berobat penderita TB paru (Pare, 2012).

Jenis pekerjaan yang memiliki dampak pada munculnya penyakit yaitu : 1. Faktor lingkungan yang langsung menimbulkan kesakitan seperti, gas

beracun, radiasi, benda fisik yang membuat accident.

2. Pekerjaan dengan beban stres tinggi.

3. Ada atau tidaknya gerak tubuh saat bekerja.

(47)

4. Tinggal dan berkumpul di tempat yang relatif kecil dan sempit (Makhfudi, 2010).

Konsep Perilaku.

Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau resultant antara berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, rasa, penciuman, dan raba. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui mata dan telinga. Pengatahuan atau ranah kognitif adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu, tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (syntesis), dan evaluasi (evaluation) (Notoatmodjo, 2012).

Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dapat di kelompokkan menjadi

pengetahuan tentang sakit dan penyakit (penyebab penyakit, gejala atau tanda

penyakit, bagaimana cara pengobatan penyakit, bagaimana cara pencegahan

penyakit), pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan (jenis-jenis makanan

bergizi, pentingnya olahraga, pentinnya istirahat cukup), dan pengetahuan tentang

kesehatan lingkungan (manfaat air bersih, manfaat pencahayaan, cara

pembuangan limbah) (Notoatmodjo, 2012).

(48)

Sikap. Sikap atau attitude merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu objek. Sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu. Proses terbentuknya sikap dan reaksi terbagi menjadi dua yaitu, komponen pokok sikap dan tingkatan sikap.

Komponen pokok sikap. Sikap mempunyai tiga komponen pokok dalam Allport (1954).

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Tiga komponen tersebut secra bersamaan membentuk sikap yang utuh (total attitude). Penentuan sikap yang utuh harus berdasarkan pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi sebagai peranan penting.

Tingkatan sikap. Tingkatan sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu, menerima (receiving), merespons (responding), menghargai (valuing) dan bertanggung jawab (responsible) (Notoatmodjo, 2012).

Tindakan. Suatu sikap belum tentu dikatakan terwujud dalam suatu

tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi tindakan diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan salah satunya adalah

fasilitas. Tindakan atau practice memiliki beberapa tindakan yaitu, respon

terpimpin (guided response), mekanisme (mecanism), adopsi (adoption)

(Notoatmodjo, 2012).

(49)

Konsep Motivasi

Motivasi adalah persyaratan utama untuk masyarakat berpartisipasi. Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk untuk berpartisipasi di segala program. Motivasi muncul harus dari masyarakat itu sendiri (Notoatmodjo, 2012)

Motivasi atau dorongan keluarga adalah bagian terkecil masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dengan ikatan persudaraan maka hidup dalam satu rumah tangga dengan saling berinteraksi dapat mempertahankan satu kebudayaan (Effendy, 2006).

Teori motivasi. Menurut Notoatmodjo 2012, motivasi dibagi berdasarkan berbagai pandangan yaitu berdasarkan kebutuhan manusia seperti (motif kebutuhan biologis, darurat dan motif objektif), berdasarkan atas terbentuknya motif melalui motif pembawaan yang dibawa sejak lahir dan motif yang dipelajari seperti dorongan untuk belajar, dan berdasarkan penyebabnya meliputi motif instrinsik (rangsangan dari dalam diri) dan ekstrinsik (rangsangan dari luar).

Motivasi intrinsik pasien TB terbagi menjadi 4 faktor menurut teori

Victor. H. Vroom yaitu, hasil merupakan hasil yang berkenaan dari pekerjaan itu

sendiri, instrumentalitas merupakan kadar keyakinan seseorang bahwa hasil

tingkat pertama akan menghasilkan hasil tingkat kedua, valensi merupakan

kekuatan atau keinginan seseorang untuk mencapai hasil tertentu, baik

menyangkut hasil tingkat pertama maupun tingkat kedua, dan harapan berkaitan

dengan keyakinan seseorang mengenai kemungkinan suatu perilaku tertentu akan

diikuti hasil tertentu.

(50)

Faktor penggerak motivasi. Penggerak yang berpengaruh pada motivasi dalam mendapat kesehatan yang baik dapat diperoleh melalui motivasi atau dorongan agar beberapa keinginan sembuh dapat terpenuhi. Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi (Rismalinda, 2017).

Faktor individu. Berasal dari dalam diri individu itu sendiri yaitu pertumbuhan atau kematangan, kepandaian, adanya keinginan sembuh, dan faktor pribadi.

Faktor kemasyarakatan. Berasal dari individu lainnya yang mampu memberi dorongan kepada individu yang sakit seperti keluarga atau kondisi rumah tangga, petugas kesehataan dengan cara penyampaian kepada pasien dan motivasi kemasyarakatan.

Konsep Kepatuhan

Definisi. Menurut Sarafino (1990) dikutip oleh (Slamet, 2007) mengartikan kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan. Teori Decision 1985 mengatakan bahwa penderita merupakan pengambil kebijakan dan kepatuhan sebagai hasil dari pengambil kebijakan.

Kepatuhan klien adalah perilaku yang sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Niven, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Kepatuhan menurut

Niven 2008, faktor yang mempengaruhi kepatuhan yaitu :

(51)

Pendidikan. Pendidikan merupakan usaha sadar daan terencana demi menciptakan suasana yang diinginkan tercapai sesuai harapan. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan selama pendidikan itu aktif.

Akomodasi. Suatu cara dan usaha yang dilakukan guna memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan.

Modifikasi faktor lingkungan dan sosial. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial dapat membangun dukungan sosial dari orang terdekat dengan pasien maupun kelompok-kelompok pendukung guna membantu kepatuhan terhadap pengobatan.

Perubahan model terapi. Perubahan model terapi adalah cara yang dibuat paling sederhana dan pasien terlihat aktif dalam menjalankan pengobatan (terapi).

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien. Faktor ini bertujuan memberi umpan balik pada pasien atau klien setelah mendapat informasi tentang diagnosis.

Variabel dalam kepatuhan. Beberapa variabel yang berhubungan dengan kepatuhan terdiri dari lima variabel (Niven, 2008).

Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan. Perilaku kepatuhan lebih tinggi pada penyakit akut dan lebih rendah pada penyakit kronis karena dampak yang dirasakan tidak terlihat langsung dan cepat.

Ciri-ciri individu. Variabel demografi digunakan untuk menerka

kepatuhan seseorang, seperti sesorang dengan jenis kelamin perempuan

cenderung mematuhi petugas kesehatan.

Gambar

Gambar 2. Landasan Teori Perilaku Lawrence Green 1980  Keterangan: Variabel yang diteliti (       )
Gambar 3. Kerangka konsep  Hipotesis
Gambar  5.  Diagram  bar  tabulasi  silang  antara  umur  dengan  kepatuhan  minum  obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli Tahun 2020
Gambar  6.  Diagram  bar  tabulasi  silang  antara  jenis  kelamin  dengan  kepatuhan  minum  obat  pada  penderita  TB  paru  di  wilayah  kerja  Puskesmas  Medan  Deli  Tahun 2020
+7

Referensi

Dokumen terkait

puluh lima bulan Juli tahun dua ribu sebelas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa ATIM.. mengumumkan pemenang Penyedia Barang untuk Pengadaan Alat

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

yang sama dan ada juga mutu yang lebih baik.. Faditlah Advertising Palembang harus dapat menyaingi perusahaan lain untuk mencapai tujuan perusahaan, dengan menetapkan harga

Resiko Likuditas (Liquidty Risk) adalah risiko likuiditas yang terjadi akibat adanya variabilitas likuiditas, yang mana jika variabilitas likuiditas ini semakin tinggi,

Suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar di kelas menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh seorang guru, selain membangun suasana yang

Diharapkan dari penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah atau instansi kesehatan dalam mencanangkan program pemanfaatan starter tape, nasi basi

bahwa orang dengan pendidikan yang cukup tentang orang dengan gangguan jiwa.. juga masih memiliki stereotipe negatif terhadap orang dengan gangguan

Dari hasil ujicoba program simulasi dan shorewall asli dengan konfigurasi. jaringan dan data yang sama diperoleh hasil